dari pemerintah akan sangat membantu kami dalam menghadapi bencana ini. Bukan malah memanfaatkan korban bencana sebagai lumbung suara dalam pilkada nanti. Kami
tidak butuh janji, kami hanya butuh realisasi dari apa yang sudah direncanakannya. Penanganan korban erupsi Gunung Sinabung perlu perhatian khusus bagi pemerintahan
yang baru nanti.”
4.2 Penyajian Data Penelitian
Penyajian data dalam penelitian ini merupakan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti secara langsung di lokasi penelitian. Wawancara yang dilakukan peneliti tersebut
merupakan salah satu cara untuk memperoleh data primer yang diperlukan dalam penulisan skripsi sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Dalam bab ini disajikan tentang
Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi studi deskriptif kualitatif peranan komunikasi bencana dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo. Hasil wawancara tertulis ini merupakan salinan dari wawancara langsung yang peneliti
dapatkan di lokasi penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari panduan wawancara yang dijadikan pedoman saat
mewawancarai informan. Pertanyaan tersebut mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan permasalahan peneliti. Sedangkan data-data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan
yang mengangkat topik yang relevan dengan penelitian ini. Sesuai dengan hasil observasi dan wawancara mendalam peneliti di lapangan, maka data yang diperoleh akan diinterpretasikan
berdasarkan tujuan penelitian.
4.3 Pembahasan
Dari hasil pengamatanpenelitian serta wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan dalam sebuah pembahasan seperti berikut ini:
4.3.1 Lembaga yang berperan memberikan informasi yang dibutuhkan pengungsi
Adalah sebuah kewajiban kemanusiaan bagi semua komponen untuk tergerak dan bergerak melakukan apa saja yang bisa meringankan akibat dari bencana erupsi Gunung
Sinabung ini. Tugas pemerintah utamanya adalah membuat kebijakan yang tepat sekaligus mengimplementasikannya lewat penanganan yang terbaik. Pemerintah tentu memegang peranan
penting, kapasitas dan sumber daya yang dimilikinya diatas kertas tentu akan berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan kemampuannya menangani bencana baik dari tahap pra bencana, saat bencana maupun pasca bencana. Namun, dari penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut
nampaknya masih jauh dari tahapan sempurna. Kapasitas pemerintah dalam menangani bencana yang telah didasari dengan UU dan berbagai perangkat peraturan lainnya belum bisa dikatakan
maksimal. Disana sini masih banyak keluhan dan kritik atas praktek penanganan bencana. Pengelolaan resiko bencana yang efektif tergantung pada peran serta semua pemangku
kepentingan yang berwawasan. Peran kunci terletak pada praktek pertukaran informasi dan komunikasi yang bisa dijangkau dengan mudah.
Harapan korban bencana kepada pemerintah adalah fokus aspek kemanusiaan, membantu korban dan memperlakukannya secara manusiawi, sambil membangun harapan masa depan.
Pemerintahan jika dilihat sebagai entitas politik pasti melakukan politik pencitraan. Namun, politik pencitraan dalam kasus bencana bukanlah statement, pidato, kunjungan, makan bareng
pengungsi dan publikasi mengenai aksi pemerintah pusat maupun daerah. Para korban bukanlah tontonan yang perlu dikasihani, mereka adalah orang sedang membutuhkan bantuan baik fisik
maupun psikologis. Pencitraan yang sesungguhnya adalah berupa wujud nyata kegiatan, tindakanaksi cepat dan tuntas serta mampu menyelesaikan setiap persoalan.
Dalam situasi darurat atau kritis, biasanya jiwa kepemimpinan dan kemampuan dari elite politik akan teruji. Kemampuan komunikasi, koordinasi bercampur dengan kecepatan respon dan
ketegasan dalam mengambil keputusan akan mencerminkan kualitasnya sebagai pemimpin sejati. Tindakan cepat, tegas, tepat sasaran, komunikatif, persuasif dari seorang pemimpin akan mampu
mendorong bawahan atau anggota timnya bergerak cepat dalam menanggulangi korban saat terjadi bencana. Bahkan pemimpin sejati lebih mungkin muncul dalam masa krisis karena dalam
situasi krisis, kepemimpinan seseorang akan terlihat dengan jelas termasuk dengan komitmen yang bersangkutan terhadap kepentingan rakyatnya.
Para pemimpin dianggap masih lamban, ragu-ragu dan tidak tegas dalam bertindak menghadapi berbagai bencana terutama bencana erupsi Gunung Sinabung. Kritikan ini
dilontarkan mengingat sering terjadinya keterlambatan bantuan ke daerah bencana. Saling lempar tanggung jawab antar pemimpin ditambah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat
dan daerah dalam mengahadapi bencana erupsi Gunung Sinabung ini yang seharusnya membutuhkan tindakan dengan kecepatan tinggi dan tepat sasaran. Dalam situasi panik dan
Universitas Sumatera Utara
kacau saat bencana, waktu menjadi sangat berharga karena keterlambatan memberikan bantuan akan berdampak besar pada jatuhnya korban yang lebih banyak.
Berdasarkan skala waktu, kondisi sebelum, saat dan sesudah bencana merupakan rangkaian perjalanan waktu yang terhubung satu sama lain. Dilihat dari konteks sebuah kejadian,
maka hal ini merupakan sebuah siklus. Dimana saat dan setelah bencana, ada kurun waktu yang ditetapkan sebagai kondisi kritis yang dinamakan waktu tanggap darurat. Pada fase ini, keadaan
kacau balau karena banyak sistem yang mengalami kegagalan fungsi sehingga dinyatakan sebagai kondisi tanggap darurat sampai kondisi cukup membaik untuk memulai rehabilitasi dan
rekonstruksi. Mobilisasi sumber daya termasuk material dan barang perlu dilakukan dari luar wilayah bencana guna membantu kondisi darurat sampai pemulihan awal. Status Gunung
Sinabung yang tidak stabil menyebabkan penanganannya masih dalam fase tanggap darurat bencana belum sampai pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dalam situasi darurat seperti bencana kemungkinan korban tetap ada, tugas utama penanganan adalah mencegah terjadinya bencana supaya tidak meluas. Untuk situasi seperti ini
diperlukan suatu sistem, termasuk aspek komunikasi dan informasi, kepemimpinan yang kuat serta punya kewenangan cukup untuk menggerakkan dan mengalokasikan berbagai sumber daya
yang ada. Masyarakat tidak membutuhkan berbagai statement dari berbagai pihak. Mereka membutuhkan kepastian tentang apa yang dilakukan sekarang ini dan bagaimana nantinya.
Ketidakjelasan ini akan menimbulkan kesan dan posisi kondisi penanganan lapangan, dimana unsur-unsur pemerintah dan berbagai lembaga lainnya berjalan sendiri-sendiri dengan koordinasi
yang terbatas. Satu sistem juga yang perlu ditangani secara serius selain penanganan darurat bencana
tersebut adalah pusat komunikasi dan media centre. Mensuplai berbagai data, informasi, baik untuk kepentingan pengambilan keputusan bagi yang berwenang maupun bagi masyarakat yang
bersifat multi channel. Dalam situasi darurat bencana, publik khususnya korban bencana membutuhkan kepastian informasi. Ketika ada situasi dan informasi yang berubah terus, mereka
dapat memonitornya pada sumber yang bisa dipercaya. Pusat komunikasi yang terpercaya harus dikelola dan dipastikan sebagai rujukan masyarakat.
Titik simpangan yang rawan adalah ketika banyak pihak menangkap pesan bencana berdasarkan posisi dan pandangan masing-masing. Hal tersebut yang membuat respon dan
langkah bersama dalam tugas kemanusiaan menjadi kurang efektif, serampangan, tidak tepat
Universitas Sumatera Utara
sasaran, tumpang-tindih atau bahkan melebihi dari ukuran yang diperlukan. Tidak adanya kepastian serta minimnya koordinasi akan berdampak pada tidak jelasnya peran. Sistem
penanganan bencana menjadi terkesan kaku ketika sejumlah organisasi terkait belum memiliki pola kerja yang didasarkan pada komitmen dan tanggung jawab atas penyelamatan yang masih
dimungkinkan. Kondisi bencana memerlukan suatu bentuk pengelolaan informasi yang tidak hanya
membuktikan sistem koordinasi berbagai lembaga formal yang berperan, tetapi juga diupayakan sebagai cara mengundang kepedulian seluruh komponen masyarakat yang memiliki peluang
untuk berpartisipasi. Lalu lintas informasi dan berbagai pernyataan dari sejumlah sumber jangan sampai menambah kepanikan dan kebingungan massa. Tata kelola informasi tak sekedar
menyampaikan perkembangan yang sedang terjadi. Namun, dapat juga memberi petunjuk berhimpunnya segenap potensi bantuan kepada khalayak luas. Lambatnya pertolongan dalam
konteks bencana bukan disebabkan oleh karena minimnya sumber daya, melainkan belum terkelolanya sistem penanganan yang terintegrasi secara utuh.
Peran komunikasi dalam tata kelola organisasi penanganan bencana menjadi sangat penting untuk mengevakuasi korban sekaligus menyediakan informasi yang akurat bagi tindakan
strategis berikutnya. Aliran komunikasi dalam penanganan bencana dimaksudkan untuk menghindari kesimpang-siuran informasi. Informasi yang berkeliaran justru malah menambah
kepanikan masyarakat luas. Informasi dan komunikasi tidak hanya berkisar pada laporan-laporan yang menambah buruk keadaan, namun pada terciptanya atmosfer yang sehat dalam menguatkan
semua pihak untuk tetap bekerja sama. Informasi harus menjadi sumber inspirasi ditemukannya solusi yang segera dapat dilakukan secara cepat dan cermat.
Perjalanan bidang kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia berkembang cukup pesat sejak disahkannya UU No. 24 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Untuk menjalankan
undang-undang ini, pemerintah Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB untuk tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD untuk
tingkat provinsi, kabupatenkota. Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen LPND yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri.
BPBD merupakan pelaksana operasional yang seharusnya menjadi fasilitator dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. BPBD dianggap belum menguasai
Universitas Sumatera Utara
tentang penanganan bencana sehingga salah dalam menafsirkan apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara itu, keterlibatan dari organisasi baik itu dari kalangan LSM, NGO dan relawan sangat membantu dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Keterbatasan
kemampuan institusi pemerintah mampu diimbangi dan ditutupi saat melakukan penanganan bencana di lapangan. Begitu juga dengan peranan dari BANKOM, ARON perangkat desa,
BALUR sekretaris desa yang sangat berpengaruh terhadap tindakan di lapangan untuk lebih cepat dalam penanganannya.
Jadi, lembaga yang berperan untuk memberikan informasi adalah dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan PVMBG yang merupakan perwakilan dari Pemkab Karo,
termasuk juga BPBD yang merupakan lembaga pemerintah non departemen serta organisasi dari NGO, LSM dan relawan dari berbagai pihak dalam penanganan bencana erupsi ini.
4.3.2 Pesaninformasi yang dibutuhkan oleh pengungsi yang mengalami bencana
Dalam situasi bencana, berbagai macam data dan masukan menjadi beragam. Setiap individu bisa menggali untuk mendapatkan berbagai pengetahun tentang suatu hal. Data tersebut
bisa menjadi bernilai, yaitu membawa peristiwa bencana ke arah resolusi yang terbaik. Sebelum diolah menjadi informasi, berbagai data akan muncul beberapa hal:
1. Data datang bertahap, dalam situasi yang cepat berubah, harus segera dikirimkan kepada pihak yang membutuhkan baik secara vertikal maupun horizontal
2. Data harus dievaluasi dan diolah menjadi informasi data baik, berkualitas dan dapat dipercaya
3. Data harus bisa dibuat untuk pengambilan keputusan yang tepat 4. Harus ada infrastruktur yang cukup layak untuk mendukung proses dan infrastruktur
tersebut harus digunakan 5. Harus ada cukup staff yang terlatih, yang bisa mengerjakan hal tersebut
6. Dari semua proses yang diperlukan harus menunjukkan gambaran yang tepat, detail dan dapat diandalkan
Berbagai data yang ada di lapangan adalah bahan dasar informasi. Tentu saja perlu verifikasi data tersebut agar dapat dipercaya. Namun, lebih penting dari itu adalah temuan data di
lapangan untuk menghindari kemungkinan kekacauan di kemudian hari karena overloaded. Data
Universitas Sumatera Utara
tersebut kemudian akan diolah menjadi informasi, dan informasi menjadi bahan penting dalam pengambilan keputusan. Proses ini membutuhkan kecepatan, keakuratan dan ketepatan agar tidak
terjadi bias atau salah menangkap dalam menginterpretasikan data. Informasi merupakan hal penting untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan.
Kurangnya informasi dapat mengakibatkan kesalahan dan akhirnya dapat menimbulkan kerugian. Tidak semua informasi dapat dimanfaatkan, tetapi informasi yang memiliki
karakteristik tertentu yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan. Seperti keakuratannya, ketepatannya dan dapat diakses pada saat dibutuhkan. Informasi yang menyatakan hal
sebenarnya atau akurat kadang sulit diperoleh, tetapi informasi yang mendekati dan menggambarkan kondisi sebenarnya harus diperoleh dan disimpan dengan sistem yang mudah
diakses. Dengan menggabungkan banyak informasi dan analisis, informasi tersebut akan menjadi lebih bermakna.
Teknologi informasi berkembang sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi komputer dan teknologi komunikasi. Pengumpulan data real time yang cepat dan dalam
kapasitas besar merupakan fungsi teknologi yang dapat mengeleminasi kelemahan sumber daya manusia. Selain itu dengan tambahan sistem perangkat lunak, maka sistem mampu membaca,
mengolah dan bahkan menganalisis informasi yang siap dipakai untuk pengambilan keputusan. Dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini, humasmedia centre
berperan penting dalam penyajian data dan informasi yang dibutuhkan pengungsi. Informasi penyebaran logistik bencana bisa diakses melalui media centre ini. Media centre sudah
membekali posko pengungsian dengan alat-alat komunikasi yang mendukung dalam hal akses informasi. Seperti HT, radio komunikasi, handphone dan jaringan internet dalam mempermudah
dan mempercepat akses informasi. Kesimpang siuran informasi dapat diminimalisir dengan pemanfaatan media centre ini.
Informasi mengenai data pengungsi baik itu melahirkan, sakit, meninggal dan lainnya bisa didapatkan melalui media centre yang ditempatkan di posko utama penanganan bencana ini.
Selain itu, data harian mengenai perkembangan status gunung juga bisa diakses melalui media centre. Termasuk juga pemerataan pembagian logistik bisa ditanyakan kepada media centre.
Ketidakpastian informasi menjadi kendala yang menimbulkan kekeliruan dalam proses penanganannya.
Universitas Sumatera Utara
Humasmedia centre merupakan salah satu akses yang bisa dimanfaatkan dalam menghimpun data dan informasi seputar penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung. Selain
itu, bisa juga membentuk jaringan informasi dan komunikasi serta menyebarkan informasi tentang informasi tersebut ke media massa dan masyarakat luas. Media centre
jugamempermudah dan mempercepat melakukan akses data dan informasi seputar bencana erupsi Gunung Sinabung.
Sebagai institusi penyedia informasi, media menjadi pusat perhatian publik, secara khusus peristiwa bencana erupsi Gunung Sinabung. Secara positif, media bisa menjadi sumber
pertama yang memberi informasi peristiwa, menunjukkan perkembangan dan secara psikologis mendorong rasa kemanusiaan publik serta menjadi mediator bantuan bencana.
Publik tidak membutuhkan tayangan media atas peristiwa bencana dengan gaya liputan infotaiment, analisis yang bergaya diskusi politikisu kontroversial. Gaya-gaya tersebut yang
memojokkan dan memaksa orang harus memberi jawaban atas pertanyaan yang mungkin tidak relevan pada korban yang baru saja kehilangan kerabatnya. Media TV akan lebih baik jka
merancang berbagai format tayangan mengenai bencana, memiliki kepentingan yang produktif yaitu membantu publik dalam menangani bencana sebaik-baiknya. Salah satu kontribusinya
adalah membanu sekaligus menjembatani ”problem solving” lapangan, korban yang belum ditangani. Secara skenario besarnya adalah membantu, memobilisasi, edukasi dan memberi
semangat serta optimisme masa depan kepada publik. Selain faktor media massa, media lokal dan media komunitas menjadi hal yang patut
untuk dicatat, menceritakan mengenai suara korban erupsi Gunung Sinabung lewat koran “sora sirulo”, yang didedikasikan dan diterbitkan khusunya untuk masyarakat Karo. Dari pengalaman
produksi, pengelola seperti pemulung berita, namun yang tampak berbeda adalah media tersebut lebih menyuarakan kepentingan korban bencana daripada media lainnya yang cenderung
menggunakan kepentingan pasar, pemerintah dan kebijakan media tersebut sebagai acuannya. Sampai pada saat ini, sebagai contoh jaringan komunikasi radio 2 arah khusus bencana
masih berjalan. Media jalin Sinabung internet streaming dan juga jaringan Balerante, yang memiliki anggota relawan pemilik HT minimal, setiap hari dan terus menerus melakukan
kontak serta saling mengiformasikan situasi Gunung Sinabung. Informasi mengenai data harian status Gunung Sinabung juga sangat dibutuhkan oleh
masyarakat khususnya korban bencana. Pembaharuan informasi yang dilakukan secara terus-
Universitas Sumatera Utara
menerus akan memudahkan korban bencana untuk lebih update. Untuk update informasi, masyarakat sekaligus korban bencana bisa mengaksesnya melalui website Kabupaten Karo,
yaitu: www.karokab.go.id dibawah naungan kominfo dan PDE media centre. Biasanya update informasi seminggu sekali, tetapi dengan adanya media centre setiap hari bisa akses data dan
informasi. PVMBG upgrade data ke grup what’s up untuk laporan Gunung Sinabung. PVMBG menghimpun data ke media centre dan disebar melalui radio komunikasi. Setiap 6 jam sekali
data akan di update seiring dengan perkembangan gunung. Pekerjaan jurnalis berdekatan dengan pekerjaan peneliti. Dimana, jurnalis juga
mengkonstruksikan realitas sosial mejadi teks yang mengandung informasi. Sehingga penting bagi jurnalis untuk tidak sekedar memberitakan suatu peristiwa. Tetapi sebagaimana seorang
peneliti, jurnalis juga harus mampu menggambarkan secara detail data dan fakta ketika peristiwa bencana erupsi Gunung Sinabung sedang berlangsung. Wartawan yang meliput bencana juga
harus mengedepankan akurasi dan empati. Pemilihan kata-kata untuk berita juga harus hati-hati guna menghindari meningkatnya stres dan kepanikan masyarakat khususnya korban bencana.
Pendeskripsian peristiwa bencana harus jelas dan spesifik. Media memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi bencana kepada khalayak.
Namun, konstruksi berita yang disampaikan kadang melupakan nilai-nilai entitas kemanusiaan. Sehingga dalam menginformasikan bencana malah mengakibatkan bencana kedua kepada
korban bencana. Saat terjadinya bencana, media massa umumnya memberi porsi headline dengan konstruksi seragam yang menyajikan pesan-pesan dramatik, taumatik dan mencekam.
Kemodifikasian bencana tersebut tak lepas dari hegemoni kapitalis dan ketatnya persaingan industri media. Media berlomba-lomba menyajikan berita secepat dan sedahsyat
mungkin dengan mengabaikan akurasi data dan fakta, serta etika dan nilai-nilai jurnalisme. Keberpihakan kepada masyarakat pun menjadi semu, bila ujung-ujungnya adalah untuk menjual
berita dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Untuk itulah perlu adanya kesadaran wartawan dan media dalam meliput bencana.
Dimana, paradigma peliputan bencana dapat diselaraskan dengan konsep manajemen bencana. Tujuannya adalah untuk menciptakan paradigma jurnalisme sensitif bencana yang
mengutamakan keberpihakan kepada masyarakat. Media dapat menjalankan fungsinya pada fase pra bencana, tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi.
Universitas Sumatera Utara
Pada fase pra bencana, media berperan menginformasikan upaya mitigasi dan kesiapan menghadapi bencana. Pada fase tanggap darurat, wartawan harus memiliki empati dan
mewartakan dengan sudut pandang korban. Dengan demikian, produk jurnalisme yang disajikan mewakili realitas dan terhindar dari eksploitasi untuk kepentingan komersial berita semata. Pada
fase rahabilitasi dan rekonstruksi, peran penting media pada fungsi kontrol sosial terhadap penyimpangan dan sejenisnya.
Peran media tersebut harus didukung konstruksi berita yang objektif, dengan bahan baku dan proses yang berkualitas. Sebagaimana seorang peneliti, jurnalis juga harus mampu
menggambarkan secara detail data dan fakta ketika erupsi Gunung Sinabung sedang berlangsung.
Pesan yang dibutuhkan pengungsi korban bencana erupsi Gunung Sinabung berupa kepastian akan status gunung. Selain itu, informasi mengenai pemerataan pembagian logistik
juga perlu diketahui para korban. Informasi mengenai kejelasan nasib pengungsi yang masih bertahan di posko pengungsian juga penting bagi para korban mengingat pengungsi dari desa
Bekerah dan Simacem sudah di relokasi.
4.3.3 Kebutuhan yang diperlukan korban bencana Gunung Sinabung
Erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kondisi psikologis korban bencana yang terganggu bahkan
jatuhnya korban jiwa sempat menghantui korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Dampak dari setiap kejadian bencana bisa mempengaruhi keadaan fisik dan non fisik korban. Oleh karena itu,
diperlukan proses pemulihan terhadap korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Dua tahun menjadi pengungsi bukanlah waktu yang singkat untuk melewatkannya.
Banyak proses yang harus dilalui korban bencana. Kehidupan dari korban bencana berubah total selama berada di posko pengungsian. Intensitas terhadap kebutuhan pun meningkat melihat
kondisi yang tak kunjung normal. Korban bencana membutuhkan pemulihan dengan segera akibat dari erupsi Gunung Sinabung ini.
Kebutuhan dasar menjadi hal utama yang harus diperhatikan pihak yang terkait dalam penanganan ini. Mulai dari pasokan makanan, minuman dan ketersediaan air bersih. Seperti
kejadian di posko pengungsian desa Sigarang-garang yang mengalami kekurangan pasokan beras. Sementara itu, di posko pengungsian yang berbeda terjadi penumpukan logistik. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
sangat disayangkan karena akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung kepada konflik. Padahal, bencana ini belum berakhir tapi muncul masalah baru di tengah situasi darurat
bencana. Termasuk juga kebutuhan kesehatan terhadap korban bencana menjadi salah satu
perhatian khusus bagi tim penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Pasokan obat- obatan setiap harinya harus disediakan bilamana korban mengalami sakit secara tiba-tiba. Secara
psikologis, kondisi korban bencana erupsi Gunung Sinabung ini jelas sangat terganggu. Rasa jenuh, bosan bahkan trauma dirasakan korban bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Keadaan
yang tak kunjung normal menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perasaan korban bencana terganggu. Untuk itu, korban bencana membutuhkan sosok yang mampu membangkitkan
semangat mereka di situasi darurat bencana ini. Para psikolog beserta relawan melakukan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi tekanan yang sedang dihadapi. Hasilnya cukup
memuaskan, melihat setiap korban bencana di posko pengungsian tidak hanya mengeluh melainkan berusaha untuk mencari solusi terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Sementara itu, kebutuhan pemulihan jangka panjang bagi korban bencana masih dalam tahapan jauh dari sasaran. Membangun perekonomian, pemulihan pendidikan, perbaikan fasilitas
umum, perbaikan sarana dan prasarana korban bencana, termasuk juga relokasi bagi desa Bekerah dan desa Simacem yang masih jauh dari tahapan sempurna. Status gunung yang tidak
stabil mengakibatkan penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung masih dalam tahap tanggap darurat dan belum masuk pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Penanganan erupsi Gunung Sinabung ini masih dalam tahap tanggap darurat. Biasanya, sesuai dengan UU bencana, seharusnya penanganan ini sudah sampai pada
tahap RR. Namun, status Gunung Sinabung ini sedikit berbeda dengan gunung yang lainnya yang mengakibatkan proses penanganan berangsur-angsur hingga bertahun.
Jadi, sampai pada hari ini penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung masih dalam fase tanggap darurat. Kemungkinan besar awal bulan Januari 2016 penanganan
bencana ini sudah bisa masuk dalam fase rehabilitasi pasca bencana.” Jadi, kebutuhan korban bencana akan pemulihan jangka waktu ini masih menunggu
sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kebutuhan akan informasi juga sangat membantu korban bencana dalam menghadapi
bencana ini. ketidakjelasan informasi bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Seperti kejadian
Universitas Sumatera Utara
yang merenggut nyawa pada saat terjadinya erupsi Gunung Sinabung yang mengeluarkan awan panas. Media keliru dalam menafsirkan sebuah wacana. Pemerintah daerah menegaskan rencana
pemulangan pengungsi, sementara media menafsirkan pengungsi sudah bisa dipulangkan. Jelas, sangat merugikan bagi korban yang mengalami kejadian tersebut.
Ketidakjelasan informasi sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku korban dalam melakukan suatu tindakan. Hal ini jelas sangat merugikan bagi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung. Informasi yang dibutuhkan bukan membantu malah menyulitkan korban yang sedang dalam kesusahan.
Kejadian bencana erupsi Gunung Sinabung ini sebaiknya jadi pelajaran buat kedepannya bilamana bencana serupa terjadi kembali. Pemenuhan kebutuhan terhadap korban bencana harus
menjadi perhatian khusus untuk mengurangi resiko bencana yang lebih besar. Kebutuhan dasar mereka harus diutamakan paling tidak bisa menenangkan korban bencana sembari menunggu
pemenuhan kebutuhan jangka panjang korban bencana dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Jadi, kebutuhan yang diperlukan korban bencana erupsi Gunung Sinabung berupa
kebutuhan mendesak dan pemulihan jangka panjang. Misalnya, pasokan makanan, minuman dan kesehatan bagi para korban. Pemulihan terhadap pendidikan terhadap korban yang masih
berstatus sebagai pelajarmahasiswa. Perbaikan terhadap rumah dan lahan pertanian juga diharapkan dengan segera terealisasi bagi para korban. Pasokan listrik yang masih kurang untuk
menghindari pemadaman listrik yang sangat panjang selama erupsi gunung terjadi
4.3.4 Peranan komunikasi bencana erupsi Gunung Sinabung
Bencana telah mengubah konfigurasi dan tatanansosial manusia. Dinamika penanganannya pun menuntut keseriusan serta keteguhan untuk menjadikan kondisi yang terjadi
sebagai cara dan jembatan yang menghubungkan keberagaman identitas yang selama ini sering menjadi faktor pembeda antar manusia. Bencana mengetuk toleransi agar hubungan dan interaksi
sesama saling melengkapi. Komunikasi yang mendasari hubungan manusia dalam konteks bencana, berupaya menemukan alternatif solusi dalam mengatasi persoalan. Sehingga peran dan
posisi komunikasi lebih pada upaya yang mengarah pada tindakan kolektif serta berdimensi jangka panjang, luas dan berkontribusi pada banyak aspek.
Dalam kondisi bencana, semua hal seakan tampak dominan. Hal itulah yang membingungkan bahkan mengaburkan perhatian. Batasan antara mahluk individu maupun sosial
Universitas Sumatera Utara
jaraknya sangat tipis. Tak mudah menjelaskan secara gamblang sejumlah kepanikan atas peristiwa yang menjadi bagian dari perjalanan masyarakat. Meski keadaan berangsur-angsur
stabil, masih banyak pekerjaan yang harus dicermati. Sejumlah masalah masih menyimpan daya letus yang jika tak segera diatasi justru memiliki dampak serius di kemudian hari.
Bencana, selain memang menyedihkan, dapat juga memberi harapan lahirnya pembaharuan. Terlebih bagi masyarakat yang terkena bencana secara langsung. Kendala-kendala
koordinasi atau belum optimalnya peran lembaga-lembaga pemerintah, tidak boleh dijadikan alasan untuk terus mengupayakan sebuah program yang tidak cuma sebagai gambaran belaka.
Kondisi bencana merupakan ruang yang mengundang perhatian dan tindakan serius, bukan sekedar unjuk pasukan. Kondisi bencana memerlukan serangkaian observasi, dukungan data dan
informasi yang valid serta cara yang tepat dalam merespon untuk memecahkan masalah. Mencermati keadaan posko-posko pengungsian akibat erupsi Gunung Sinabung, peneliti
melihat bahwa jumlah pengungsi yang ditampung secara massal justru cepat menimbulkan kejenuhan. Ratusan bahkan ribuan manusia yang berhari-hari berada dalam keramaian itu pelan-
pelan menurunkan mental psikologis para pengungsi. Secara sosiologis, masyarakat korban bencana itu merupakan warga yang kesehariannya hidup dalam kultur dan struktur yang
sederhana. Kompleksitas manusia akan menjadi stimulan yang ampuh dalam membuat kesadaran mereka semakin sirna. Mereka kaget dengan keadaan suara gemuruh.
Jangan heran bila manusia sering rebut karena takut tak kebagian. Sebab dalam keadaan bencana, tidak ada jaminan bahwa keperluan akan tercukupi. Kekhawatiran atau rasa cemas
menjadi semakin tinggi, tidak ada lagi toleransi. Jika hari ini tidak memperoleh sesuatu, maka besok mungkin tak akan ada lagi. Kerawanan terhadap sesama membentang seluas area
penampungan. Sikap tenggang rasa yang sebelumnya melekat kuat seketika terhapus oleh keadaan. Kecemburuan tak dapat terhindarkan lagi. Saling intip dan curiga mulai berkeliaran.
Temperatur di tempat pengungsian menandingi suhu Gunung Sinabung. Tanpa kesadaran diri hilang, berbagai jenis penyakit kini bermunculan, yang lebih memilukan lagi bahwa penyakit itu
adalah penyakit sosial. Aplikasi pengelolaan bencana memang masih parsial. Mestinya dengan adanya
pentahapan langkah penanggulangan harusnya tidak mengakibatkan tumpang-tindih. Masa tanggap darurat turut sedapat mungkin menjadi pintu masuk awal yang strategis dalam
mengidentifikasi sejumlah data untuk keperluan berikutnya. Rumitnya koordinasi, benturan
Universitas Sumatera Utara
peran lembaga-lembaga yang berwenang, sistem informasi yang belm dikelola, dan seterusnya, menambah panjang daftar masalah. Hal ini tentu berdampak ke tahap reahabilitasi dan
rekonstruksi. Kurang terintegrasinya pengelolaan bencana tampak ketika masing-masing posko diorganisir dengan pendekatan korban saja. Para pengungsi dilihat sebagai pihak yang dikira
hanya sebagai penerima bantuan. Melihat hal itu, diharapakan berbagai program pengelolaan bencana tepat sasaran dan memiliki kegunaan yang berkelanjutan.
Di posko pengungsian dibentuk koordinasi dengan perwakilan-perwakilan pengungsi. Tujuannya adalah agar semua dinamika dan keperluan yang berkembang senantiasa
dikoordinasikan dengan koordinator setiap poskonya. Itu yang membuat hubungan dan tanggung jawab antar pengelola posko dengan pengungsi semakin erat dan dekat. Setiap persoalan selalu
menjadi milik bersama tanpa membeda-bedakan. Partisipasi para pengungsi sangat menentuka tingkat kebetahan mereka ketika berada di posko pengungsian. Tak terasa, pelan-pelan para
relawan dan pengungsi sudah menjadi satu keluarga besar yang saling berbagi, melayani dan mengasihi.
Pola komunikasi tidak hanya dalam kemasan filosofis yang abstrak dan spekulatif. Hal ini harus dikonkritkan dalam sikap dan tindakan agar kemasan tersebut bermanfaat dan dinikmati
oleh manusia. Konkritisasi tersebut hanya dapat dijupai dalam terapan sistem, karena yang dilakukan dalam pengelolaan bencana adalah bantuan kemanusiaan. Efektivitas pengelolaan
bencana akan tampak apabila mampu membuat ukuran-ukuran penilaian. Itulah sebabnya kaidah nilai kemanusiaan perlu diwujudkan melalui sistem yang berperan multidimensional. Sistem
yang memberi arah dalam mencapai tujuan agar tidak menciderai kepentingan yang bersifat asasi. Sistem ini dibangun melalui peran komunikasi yang lebih manusiawi dan harmonis.
Komunikasi digunakan untuk mengekspresikan segaala perasaan dan pikiran manusia. Secara asasi manusia berhak menyelenggarakan komunikasi tanpa melihat status. Komunikasi
manusiawi, terutama dalam keadaan bencana, sangat manjur menembus lubuk hati sehingga berangsur-angsur dapat bersama menemukan jalan keluar atas bencana yang dialami.
Terapan ilmu komunikasi dalam membangun sistem pengelolaan bencana sebagai suatu model ideal daam mencapai hakikat kemanusiaan. Tatanan sistem komunikasi akan menuntun ke
sifat keteraturan sebagai intuitif alamiah yang berada pada sentra nilai kemanusiaan yang paling dalam. Kemasan yang komunikasi ditata secara bijak dalam pola keteraturan. Hal ini sebagai
konkritisasi dalam menentukan kapasitas yang sangat berbeda yang dimiliki setiap pihak. Hak
Universitas Sumatera Utara
dan kewajiban serta tanggung jawab muncul berdasarkan kapasitas yang berbeda itu. Dalam konteks kebencanaan, sistem komunikasi berada dalam sistem nilai tertentu, yang tentu tak sama
dibanding dengan tidak adanya bencana. Komunikasi bencana seharusnya mampu mendorong semangat korban termasuk bagi
korban yang tetap memilih untuk bertahan hidup di kawasan rawan bencana. Peran komunikasi bencana merupakan salah satu unsur penting dalam penanganan suatu bencana. Membantu
dengan berbicara dan bertindak, bukan hanya sebatas berkata-kata saja. Korban bencana butuh kepastian dalam menghadapi bencana erupsi ini. Realisasi dalam penanganan bencana ini sangat
membatu korban bencana untuk melanjutkan hidup kedepannya. Dalam kasus erupsi Gunung Sinabung, pola komunikasi bencana belum bisa menjalankan
peranannya. Komunikasi dan koordinasi yang terjalin masih kerap terkendala oleh banyak faktor. Penanganan bencana ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi pertama kali kemungkinan jadi
salah satu penyebab tidak terjalinnya komunikasi bencana seperti yang diharapakan. Pemilihan orang yang belum tepat sasaran untuk menangani bencana ini merupakan faktor yang sangat
disesalkan. Pola komunikasi yang dilakukan masih jauh dari harapan khususnya bagi korban bencana. Dampaknya sangat dirasakan termasuk kelambanan dalam penanganan darurat bencana
erupsi Gunung Sinabung ini. Padahal, banyak cara dan alternatif yang bisa dimaksimalkan dalam menutupi setiap kekurangan daam penanganan darurat bencana ini.
Pengembangan media komunitas misalnya, bisa berguna berkaitan sistem penanggulangan bencana. Media komunitas dapat memunculkan karakteristik masyarakat lokal
dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Media komunitas juga bisa menjadi arena sosialisasi informasi, pengetahuan serta peningkatan kapasitas masyarakat tentang resiko
bencana. Media komunitas memainkan peran pendukung dalam sistem kebencanaan yang berlangsung dalam proses saling melengkapi.
Media komunitas sebagai sistem disaster mitigation aalah arena terbuka peliputan, penganalisaan berbagai bentuk informasi bencana yang akan dihadapi warga sebagai bahan
informatif untuk mengembangkan kewaspadaan akan bahaya bencana dengan segala potensi melalui pelibatan diri dan komunitasnya untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.
Secara perlahan, warga akan semakin sadar serta mengambil bagian dalam ruang sosial yang lebih luas dalam penanggulangan bencana. Pengelolaan hasil atau manfaat media komunitas,
buakn lagi dinikmati oleh segelintir orang akan tetapi sangat bermanfaat bagi keamanan dan
Universitas Sumatera Utara
kesiapan seluruh masyarakat dalam menghadapi bencana. Komunitas warga setempat lah yang mampu memberikan pertolongan pertama, ketika terjadinya erupsi Gunung Sinabung. Oleh
sebab itu, dengan keberadaan media komunitas, masyarakat diorganisir dalam sistem nasional penanggulangan bencana.
Universitas Sumatera Utara
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Bab ini berisi tentang simpulan dan saran yang dapat ditarik dari hasil penelitian. Simpulan merupakan jawaban dari hasil temuan yang berasal dari penelitian tentang peranan
komunikasi bencana dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Saran merupakan masukan yang diajukan peneliti berdasarkan kesimpulan yang telah ditarik dari penelitian tersebut.
Penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung masih dalam tahapan tanggap darurat bencana dan belum memasuki tahapan rehabiltasi dan rekonstruksi. Setelah melakukan
penelitian ini, peneliti dapat menarik kesimpulan yaitu: 1. Lembaga yang berperan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pengungsi adalah
dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, media centre dan PVMBG yang merupakan perwakilan dari Pemkab Karo, termasuk juga BPBD lembaga non
departemen serta TNIPOLRI . Selain itu, organisasi dari NGO. LSM, PMI serta relawan dari berbagai pihak berperan juga dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung
di Kecamatan Naman Teran.
2. Pesaninformasi yang dibutuhkan pengungsi yang mengalami bencana berupa informasi pemerataan pembagian logistik, kepastian mengenai status Gunung Sinabung dan
kejelasan soal nasib pengungsi yang masih bertahan di posko pengungsian. Pengungsi dari desa Bekerah dan Simacem sudah direlokasi. Sementara itu, pengungsi dari desa
Sigarang-garang dan Kuta Rayat masih bertahan di posko pengungsian sembari menanti
status gunung normal kembali.
3. Kebutuhan yang diperlukan korban bencana Gunung Sinabung berupa kebutuhan mendesak dan pemulihan jangka panjang. Misalnya, pasokan makanan, minuman dan
kesehatan bagi para korban. Pemulihan terhadap pendidikan terhadap korban yang masih berstatus sebagai pelajarmahasiswa. Perbaikan terhadap rumah dan lahan pertanian juga
diharapkan dengan segera terealisasi bagi para korban. Pasokan listrik yang masih kurang
untuk menghindari pemadaman listrik yang sangat panjang selama erupsi gunung terjadi.
4. Peranan komunikasi bencana dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung masih terbilang lamban. Kurang efektifnya komunikasi dan koordinasi menjadi penghambat
Universitas Sumatera Utara
penanganan bencana ini. Komunikasi dan koordinasi yang terjalin masih kerap terkendala oleh banyak faktor. Penanganan bencana ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi pertama
kali kemungkinan jadi salah satu penyebab tidak terjalinnya komunikasi bencana seperti yang diharapakan. Pola komunikasi yang dilakukan masih jauh dari harapan khususnya
bagi korban bencana. Dampaknya sangat dirasakan termasuk kelambanan dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Padahal, banyak cara dan
alternatif yang bisa dimaksimalkan dalam menutupi setiap kekurangan daam penanganan
darurat bencana ini.
5.2 Saran