4.1.2 Hasil Temuan Peneliti Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pesaninformasi apa saja yang dibutuhkan oleh pengungsi yang
mengalami bencana. 2. Untuk mengetahui lembaga apa saja yang seharusnya memberikan informasi yang
dibutuhkan pengungsi. 3. Untuk mengetahui siapa saja yang berperan dalam menangani korban bencana
Gunung Sinabung. 4. Untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi bencana dalam menangani bencana
Gunung Sinabung. Oleh karena itu, peneliti melakukan pengamatan langsung dan wawancara mendalam
dengan tiga informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat diuraikan Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan
Rekonstruksi untuk penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung.
1. Informan 1 - HumasMedia Centre- Florida
Tanggal wawancara : 26 Oktober 2015 Saat pertama kali ditemui, Bu Florida menunjukkan sikap yang sama sekali tidak formal
seperti kebanyakan orang humasmedia centrepada umumnya. Sikapnya yang .ramah dan welcome, membuat orang betah dan banyak bertanya mengenai data dan informasi erupsi
Gunung Sinabung. Di mejanya terdapat tumpukan kertas yang banyak, HT dan handphonenya yang terus bergetar menandakan ada panggilan masuk atau mungkin sekedar pemberitahuan saja.
Begitu juga dengan mata dan tangannya yang tidak berhenti berkutat dari layar monitor dan keyboard yang berada dihadapannya.
Sebelumnya, saat diajak untuk memulai wawancara, Bu Florida melihat jam beberapa kali menandakan bahwa waktu yang bisa dia sediakan tidak banyak. Hal ini dikarenakan adanya
kabar dari posko pengungsian yang sedang membutuhkan bantuan dari humasmedia centre. Bahkan, TNI yang berada di posko utama bersama humasmedia centre tersebut sudah bergegas
untuk terjun ke posko pengungsian yang membutuhkan bantuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Bu Florida adalah salah satu staf pada bagian humasmedia centre. Akses data dan informasi seputar erupsi Gunung Sinabung merupakan tugas utama yang dilakukan. Seperti yang
dijelaskan Bu Florida yaitu, “Banyak sekali, mulai dari menghimpun data pengungsi yang meninggal, melahirkan,
sakit dan sebagainya. Selain itu, mengeluarkan data harian mengenai status Gunung Sinabung.”
Selama proses penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung berjalan, humasmedia centre akan terus memperbaharui setiap data dan informasi yang akan dikeluarkan
setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam proses penanganannya. Sesuai penjelasan Bu Florida yaitu,
“PVMBG akan upgrade data ke grup what’s up untuk Laporan Gunung Sinabung. Setiap 6 jam sekali data akan di update seiring dengan perkembangan gunung. Kemudian,
PVMBG menghimpun data ke media centre dan disebar melalui radio komunikasi.” Radio komunikasi merupakan salah satu alat yang dimanfaatkan untuk mempercepat
proses penyebaran informasi dan evakuasi. Penempatan radio komunikasi yang tidak merata tidak menjadi kendala yang berarti dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung
ini. “Nah, itu dia, kondisinya tidak semua posko punya radio komunikasi. Jadi, kekurangan
ini disiasati dengan cara memberikan HP ke setiap posko. Selain itu juga diberikan jaringan internet yang berkoordinasi dengan kominfo dan telkomsel.”
Akses data dan informasi melalui humasmedia centre ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengungsi pada khususnya. Kesalahan data dan informasi mengenai erupsi
Gunung Sinabung ini akan sangat berpengaruh terhadap tindakan dari tim penanganan begitu juga dengan pengungsi sebagai korban dari bencana ini. Berada di posko pengungsian yang
memakan waktu lebih dari 2 tahun ternyata menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pengungsi untuk mendapatkan setiap data dan informasi.
Saat ditanya mengenai kendala yang dihadapi ketika menyebar informasi, Florida menjawab,
Universitas Sumatera Utara
“Kadang informasi tentang data pengungsi ada perbedaan dengan kondisi di lapangan. Hal ini dikarenakan proses evakuasi yang belum merata. Informasi harus diperbaharui
terus-menerus untuk bisa lebih update. Hal ini disebabkan karena status gunung yang tidak stabil.”
Informasi yang disebar merupakan pedoman bagi pengungsi dan masyarakat untuk melakukan aktivitas di luar posko pengungsian, terutama bagi pengungsi yang kembali ke
kampung halamannya untuk melihat situasi tempat tinggalnya. Apalagi mereka yang berada dalam radius 5 km dari Gunung Sinabung. Media centre merupakan salah satu jaminan yang bisa
dipercaya oleh pengungsi dan masyarakat pada umumnya. Seperti yang dijelaskan Bu Florida, yaitu,
“Tentu saja, media centre sudah membekali posko-posko dengan alat komunikasi seperti radio komunikasi, HT, handphone, jaringan internet untuk mempermudah akses
informasi. Jadi, kesalahan informasi cepat tersebar dan dapat diminimalisir dengan segera dengan cara pembaharuan informasi yang terus update. Jadi, untuk update
informasi anda bisa mengaksesnya melalui website kab.karo yaitu : www.karokab.go.id
dibawah naungan kominfo dan PDE media centre. Seminggu sekali update, tapi karena adanya media centre ini, setiap hari bisa akses data dan informasi.”
Status gunung yang tidak stabil tidak terlalu menyulitkan proses evakuasi. Erupsi yang terjadi secara tiba-tiba tidak menjadi kendala yang berarti dengan pemanfaatan media centre ini.
Sampai pada saat ini, informasi mengenai status Gunung Sinabung masih dalam keadaan awas level IV. Sesuai dengan yang dijelaskan Bu Florida, yaitu,
“Status Gunung Sinabung tanggal 26 Oktober 2015 Laporan Gunung Sinabung, 26 oktober 2015
Pkl. 00.00 – 06.00 WIB Visual :
Cuaca mendung – berawan, angin tenang dan suhu udara 17 – 18 C, G. Sinabung
tertutup kabut asap.
Universitas Sumatera Utara
SEISMISITAS : 1 x LF ; Amax : 10 mm ; Lg : 55 dtk.
3 x Hybird ; Amax : 4 – 40 mm : Lg : 12 – 45 dtk. Tremor menerus, Pkl. 00:00 – 06:00 ; Amax : 0,5 – 1 mm dominan 0,5 mm.
1 x Tektonik jauh ; Amax : 58 mm ; S – P : 33 dtk ; Lg : 230 dtk. 17 x Guguran ; Amax : 2 – 70 mm ; S-P : 33 dtk ; Lg : 230 dtk.
KESIMPULAN :
Gunung Sinabung awas Level IV ; Info G. Sinabung ;
26 Oktober 2015 ; Pkl. 08:34 WIB ; Terjadi awan panas guguran dengan jarak linear 3.500 meter kea rah Tenggara – Timur
dan tinggi kolom abu tertutup kabut menggunakan kamera thermal. Angin kea rah Barat – Barat Laut.
Info erupsi G. Sinabung ; 26 Oktober 2015 ; Pkl. 07:35 WIB ;
Terjadi awan panas guguran dengan jarak linear tidak teratur tertutup kabut asap . Laporan G. Sinabung, 26 Oktober 2015 ;
Pkl. 06:00 – 12.00 WIB Visual :
Cuaca mendung , angin tenang – perlahan ke Barat ,dan suhu udara 17 – 28
C. G.Sinabung tertutup kabut.
Terjadi 2x awan panas guguran dengan jarak linear 3.500 meter kearah Tenggara – Timur dan tinggi kolom tertutup kabut menggunakan kamera thermal .
SEISMISITAS : 2x LF ; Amax : 4 – 6 mm ; Lg : 8 – 10 dtk
Tremor menerus, Pkl. 06:00 – 12:00 WIB ; Amax : 0,5 – 2 mm dominan 0,5 mm ; 16 z guguran ; Amax : 6 – 120 mm ; Lg : 31 – 409 dtk.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN : G. Sinabung Awas level IV .”
Data dan informasi mengenai pengungsi juga banyak mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi yang sedang berjalan. Hal ini dikarenakan sebagian dari pengungsi sudah
bosan dan jenuh selama dua tahun berada di posko pengungsian. Kemudian mereka melanjutkan hidup dan kehidupannya di daerah yang jauh dari erupsi gunung. Termasuk bagi pengungsi dari
desa Bekerah dan desa Simacem yang sedang dalam tahap relokasi di desa Siosar. Ketika ditanyakan mengenai data dan informasi pengungsi, Bu Florida menjawab,
“Pengungsi berjumlah dengan 2615 KK atau 9523 Jiwa. Pengungsi ditempatkan di 9 titik posko pengungsian atau penampungan dengan disertakan penanggung jawab untuk
setiap poskonya. Untuk lebih jelasnya anda dapat membuka website Kabupaten Karo di www.karokab.go.id
.” Web merupakan salah satu alat yang bisa dimanfaatkan untuk akses data dan informasi
dari internet melalui media centre. Selain itu, pemanfaatan FAX juga bisa dimaksimalkan untuk proses pengiriman surat kepada pihak terkait mengenai penanganan darurat bencana erupsi
Gunung Sinabung ini. Hal ini jelas terlihat seperti yang dikatakan Bu Florida, yaitu, “Sebelumnya, ada dua posko ditutup karena sudah menerima sewa rumah dan sewa
lahan kemudian media centre melalui FAX mengirim surat ke banyak pihak untuk akses informasi tersebut. Termasuk camat yang bersangkutan, BNPB, BPBD dan lainnya.
Perangkat desa juga merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam penanganan darurat bencana ini. Semua pihak dilibatkan dalam penanganan bencana ini. Proses ini dilakukan
untuk mempermudah dan mempercepat proses penanganannya. Hal ini diakui oleh Bu Florida dalam wawancaranya,
“Peranan BANKOM , ARON perangkat desa, BALUR sekretaris desa, melalui radio komunikasi sangat banyak berpengaruh terhadap tindakan di lapangan untuk lebih cepat
dalam hal akses data dan informasi. Jadi, semua dilibatkan dalam penanganan bencana
Universitas Sumatera Utara
ini demi kelancaran untuk meminimalisir setiap kendala yang dihadapi. Komunikasi dan koordinasi sangat dibutuhkan dalam penanganan bencana ini.”
Sambil melihat jam tangannya dan membereskan mejanya, Bu Florida minta maaf karena tidak bisa meneruskan wawancara. Hal ini disebabkan karena ia harus bergegas ke posko
pengungsian, sehingga wawancara selanjutnya dilakukan dengan pihak yang lainnya ke tempat yang berbeda pula.
2. Informan 2 - Jurnalis yang mewakili media - Ngadep
Tanggal wawancara: 27 Oktober 2015 Keterbatasan bukanlah satu halangan dalam melakukan sesuatu. Hal itu seharusnya
menjadi pemicu semangat untuk bisa menghasilkan yang terbaik. Kata-kata itulah yang disampaikan Pak Ngadep ketika peneliti pertama kali menjumpainya. Pak Ngadep termasuk
salah satu tipe orang yang mudah diajak bergaul tanpa memandang kalangan. Keadaan ini membuat suasana menjadi hangat dalam wawancara yang dilakukan.
Ketika ditanyakan mengenai peranan media dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Ngadep langsung menjawab,
“Kemampuan media dalam menyampaikan informasi saat penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung secara akurat akan sangat menentukan dampak seperti apa
yang akan terjadi dalam suatu wilayah bencana. Untuk penanganan bencana, jurnalis tidak melebih-lebihkan berita. Menjaga keseimbangan sebagai mata terhadap TIM
penanganan bencana. Sifatnya terbuka dalam setiap peliputannya.” Dalam setiap peliputannya, jurnalis pasti pernah mengalami hambatan dan kendala.
Melakukan peliputan di tengah situasi bencana sudah jelas sangat menyulitkan. Apalagi jurnalis yang meliput tidak terlalu mengerti dan memahami soal bencana tersebut.
“Sedikit pasti ada, Cuma bisa diminimalisir oleh jurnalis yang berkomunikasi dengan SATGAS, sehingga setiap kendala dan temuan baru bisa langsung di evaluasi.
“Sebelumnya jurnalis pernah keliru menafsirkan kasus awan panas yang memakan korban, rencana pemerintah melakukan pemulangan pengungsi, kemudian jurnalis
menafsirkan bahwa pengungsi sudah bisa pulang. Hal tersebut langsung di evaluasi
Universitas Sumatera Utara
untuk menghindari korban lainnya agar tidak terulang kejadian yang sampai memakan korban tersebut karena nyawa yang menjadi taruhannya.”
Kemudian peneliti menanyakan soal tindakan yang dilakukan untuk menghindari kekeliruan yang sempat memakan korban tersebut, Pak Terombo langsung menjawab,
“Pada saat berada di lapangan baik itu pada fase pra bencana, saat bencana, semua jurnalis harus berpikiran positif untuk menghindari kekeliruan. Sehingga sifatnya
menjadi, apa yang terlihat itulah yang harus diberitakan. Informasi dari media baik itu melalui surat kabar, majalah, televisi dan gambar lainnya mengenai bencana ini sangat
berpengaruh terhadap penanganan bencana itu sendiri.” Media merupakan salah satu akses yang bisa dimanfaatkan korban bencana dalam hal
akses informasi. Hal ini sangat penting dalam mengurangi setiap dampak yang terjadi bahkan penyelamatan diri akibat dari erupsi Gunung Sinabung tersebut. Seperti yang dijelaskan Pak
Terombo, “Media dapat memainkan peran sebagai gerbang informasi bagi masyarakat tentang
akan terjadinya bencana, dampak bencana, dan bahkan penyelamatan diri karena terjadinya bencana. Para jurnalis harus mempunyai kemampuan dan pemahaman
tentang bencana untuk memudahkan jurnalis dalam melakukan liputan di sekitar erupsi Gunung Sinabung. Mempunyai pemahaman mengenai istilah dan pengetahuan tentang
berbagai macam bencana. Sehingga tidak salah dalam melakukan peliputan di daerah bencana, yang dapat menimbulkan salah informasi kepada masyarakat. Media massa
dapat mengembangkan jurnalisme sensitif bencana dengan tidak mengekspose berlebihan peristiwa, korban, maupun dampak bencana yang dapat menimbulkan
ketakutan bagi masyarakat. Selain itu, media massa dapat menjalankan fungsi kendali dan edukasi bagi masyarakat di daerah bencana.
Saat ditanyai tentang bad news is good news dalam peliputan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Terombo menjawab,
“Bukti tentang berita buruk adalah berita baik dalam praktik jurnalisme bencana erupsi Gunung Sinabung adalah, sepinya peliputan pasca bencana di media massa, selain
Universitas Sumatera Utara
dilupakannya soal mitigasi bencana. Walaupun berkali-kali terjadinya erupsi, mitigasi bencana belum menjadi tren dalam pemberitaan media. Media baru sibuk mengejar efek
dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang. Sehingga, sangat jarang yang mengingatkan tentang mitigasi bencana.”
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana erupsi
Gunung Sinabung. Tetapi mitigasi bencana erupsi Gunung Sinabung seakan luput dari perhatian jurnalis dan media. Seperti yang dijelaskan Pak Terombo,
“Berita itu tak seksi lagi, adalah mantra yang sering terdengar dari mulut wartawan atau editor yang menolak berita yang sudah berulang-ulang dimuat. Walaupun masalah yang
dihadapi masyarakat korban bencana belum tuntas, seringkali media tak lagi menampilkan berita dengan alasan tersebut. Secara konvensional, biasanya media
menyaring berita yang layak dimuat atatu tidak berdasarkan kriteria, berapa banyak korbannya?seberapa baru kejadiannya?dan apakah kira-kira berita itu akan memuat
rating tinggi atau mengeruk iklan yang banyak? Dalam konteks Indonesia, berita soal politik dan hukum, masih menjadi panglima dan seringkali mengalahkan isu-isu
bencana. Paradigma jurnalisme sensitif bencana dalam mengawal rehabilitasi dan rekonstruksi
diuji oleh kebijakan media yang menilai berita tentang rehabilitasi dan rekonstruksi tidak semenarik berita pada awal-awal bencana. Berita tentang warga yang berjuang memulihkan dan
membangun dirinya terkadang dianggap kurang menarik karena dalil yang sering dipakai media adalah bad news is good news. Makin lama rentang waktu kejadian, makin kurang jumlah
wartawan peliput sehingga makin kurang pemberitaannya. Padahal, proses rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana sering menjadi bencana baru yang tak kalah berbahaya
dibandingkan bencana awal. Korupsi, kesenjangan, konflik kepemilikan tanah dan munculnya pemodal besar yang menguasai asset penting dan menyingkirkan masyarakat lokal yang berada
dalam kondisi rentan sangat mungkin terjadi karena itu, media seharusnya tetap serius dalam mengawal proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Universitas Sumatera Utara
“Rehabilitasi dan rekonstruksi akibat dari bencana erupsi Gunung Sinabung luput dari perhatian kami sebagai jurnalis yang mewakili media. Penanganannya yang masih
dalam tanggap darurat bencana membuat jurnalis tidak bisa meliput proses rehabilitasi dan rekonstruksi secara mendalam. Fungsi kontrol media dalam tahapan rehabilitasi dan
rekonstruksi seolah-olah dikesampingkan. Padahal, proses relokasi di desa Siosar sedang berjalan. Jurnalis yang ingin meliput disana dibatasi pergerakannya oleh pihak
TNI yang mengawal proses relokasi. Hal ini membukikan bahwa media kehilangan kegarangannya dalam mengawal proses relokasi. Fase rahabilitasi dan rekonstruksi
khususnya relokasi bagi pengungsi yang sedang berjalan ini merupakan peran penting media pada fungsi kontrol sosial. Proses relokasi ini banyak penyimpangan yang
berpotensi terjadi. Media sebagai kontrol sosial berkewajiban terus-menerus memelototi lembaga-lembaga yang menjadi saluran gelontoran uang untuk relokasi bagi pengungsi
ini. Media wajib menyalak sekeras-kerasnya bila lembaga tersebut menununjukkan tanda-tanda penyimpangan. Terbatasnya ruang gerak media membuat proses relokasi ini
luput bahkan hilang dari perhatian media.” Saat ditanyai tentang politisasi penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak
Ngadep langsung menjawab, “Saat ini, penanggulangan bencana yang dijalankan pemerintah masih lambat, berbelit-
belit dan birokratis. Bahkan ada pihak alih-alih berpikir mencari jalan keluar memperkuat manajemen bencana, malah menjadikan bencana sebagai ajang kampanye
politik. Bendera partai dan foto-foto calon pejabat bertebaran, yang seringkali jauh lebih leboh daripada besarnya bantuan yang dikucurkan.”
3. Informan 3 - Perwakilan dari Pemkab Karo - Gelora
Tanggal wawancara : 28 Oktober 2015 Satu-satunya perwakilan dari Pemkab Karo yang dapat diwawancarai adalah Pak Gelora
Ginting. Hampir semua pegawai Pemkab Karo sulit ditemui akibat aktivitas dan kesibukannya masing-masing. Keadaan tersebut tidak mempengaruhi hasil wawancara yang diperoleh dari Pak
Gelora Ginting. Hasil wawancara yang diperoleh masuk dalam kategori sangat memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
Kebetulan Pak Gelora merupakan mantan Sekretaris BNPB Pusat. Jadi, informasi yang diperoleh dari Pak Gelora sangat membantu dalam penelitian ini.
Saat pertama kali ditemui, Pak Gelora sedang break di kantor dan berbincang-bincang dengan beberapa staff yang sedang berada di ruangan tersebut. Pak Gelora mampu untuk
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Setiap kali diajukan pertanyaan, ia menjawabnya dengan panjang lebar. Ia mengaku sudah terbiasa untuk diwawancarai. Tapi, tidak banyak waktu
yang bisa ia luangkan dalam wawancara tersebut.Keadaan yang diungkapkannya tersebut terbukti dengan telepon genggamnya yang berbunyi terus selama wawancara berlangsung.
Namun, itu bukan jadi satu penghalang bagi peneliti untuk mendapatkan informasi darinya. Ketika ditanyakan hal apa yang mendasari terjadinya erupsi Gunung Sinabung, Pak
Gelora langsung menjawab, “Ya, bahwa wilayah Kabupaten Karo memiliki kondisi geografis, hidrologis dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan daerah.”
Erupsi Gunung Sinabung merupakan tantangan baru bagi Pemkab Karo. Gunung yang selama ini diam tiba-tiba bangun dari tidurnya kemudian berangsur-angsur dan berlangsung
hingga saat ini merupakan masalah baru bagi Pemkab Karo. Bencana ini belum pernah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Kerugian akibat bencana ini sangat dirasakan baik itu oleh korban
bencana maupun masyarakat Karo lainnya. Pak Gelora juga menjelaskan proses penanganan yang dilakukan selama erupsi Gunung Sinabung terjadi.
“Dalam penanggulangan bencana perlu adanya koordinasi dan penanganan yang cepat, tepat, efektif, efisien, terpadu dan akuntabel agar korban jiwa dan kerugian harta benda
dapat diminimalisir. Penanggulangan bencana, khususnya pada saat tanggap darurat bencana harus dilakukan secara cepat, tepat dan dikoordinasikan dalam satu komando.”
Saat ditanyakan mengenai maksud dari satu komando tersebut, Pak Gelora langsung menjawabnya dengan penuh semangat.
Universitas Sumatera Utara
“Untuk melaksanakan penanganan tanggap darurat bencana ini,maka pemerintah Kabupaten Karo yang diwakili oleh kepala BPBD Kabupaten Karo sesuai dengan
kewenangannya dapan menunjuk seorang pejabat sebagai komandan penanganan tanggap darurat bencana sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 pasal
47 ayat 2. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memudahkan akses untuk memerintahkan sektor dalam pemerintahan dan pengerahan SDM, perizinan, pengadaan barangjasa,
pengelolaan dan pertanggungjawaban atas uang dan barang serta penyelamatan. Untuk melaksanakan akses tersebutlah makanya perlu dibentuk Komando Tanggap Darurat
Bencana.” Pemkab Karo berusaha untuk mempercepat proses penanganan bencana erupsi Gunung
Sinabung. Dengan tujuan mengurangi dan meminimalisir kerugian akibat dari erupsi gunung ini. Kemudian, Pemkab Karo membentuk tim penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung.
“Sama dengan penanganan kasus lainnya, semua ada tahapannya. Jadi, tahapan pembentukan Tanggap Darurat Bencana ini harus dilaksanakan secara keseluruhan
menjadi satu rangkaian sistem komando yang terpadu.” Kemudian, Pak Gelora menjawab seputar tahapan yang dilakukan Pemkab Karo dalam
pembentukan tim penanganan bencana ini. “Tahapan pembentukan Tanggap Darurat Bencana ini terdiri dari 4 tahap
yaitu:Informasi kejadian awal bencana, Penugasan Tim Redaksi Cepat TRC, Penetapan status tingkat bencana dan Pembentukan Komando Tanggap Darurat
Bencana.” Dalam setiap penanganan bencana haruslah dilakukan perencanaan, pengorganisasian,
pendorongan dan pengendalian. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat dan memudahkan proses penanganan yang akan dilakukan. Tim yang dibentuk harus mampu memberikan yang
terbaik terhadap korban bencana. Begitu juga saat Pak Gelora menjelaskan satu per satu dari keempat tahapan pembentukan tanggap darurat bencana tersebut.
“Baiklah, yang pertama itu adalah informasi kejadian awal bencana. Informasi ini diperoleh dari beberapa sumber antara lain pelaporan, media massa, instansilembaga
Universitas Sumatera Utara
terkait, masyarakat, internet atau informasi lain yang dapat dipercaya. BNPB dan atau BPBD melakukan klarifikasi kepada instansilembaga masyarakat di lokasi bencana.”
Informasi kejadian awal bencana merupakan dasar dalam pembentukan tanggap darurat bencana. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora,
“Informasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan menggunakan rumusan pertanyaan terkait bencana yang terjadi. Misalnya seperti ini:
Apa : Jenis bencana
Bilamana : Hari, tanggal, bulan, tahun, jam, waktu setempat
Dimana : Tempat, lokasi, daerah bencana kecamatan
Penyebab : Penyebab terjadinya bencana
Bagaimana : Upaya yang telah dilakukan
Informasi kejadian awal bencana disusun dengan rumusan pertanyaan 5W+1H. Sesuai dengan penjelasan dari Pak Gelora,
1. What = apa
: Dalam hal ini, bencana erupsi gunung Sinabung termasuk dalam kategori bencana alam.
2. When= Kapan : Bencana erupsi gunung Sinabung ini terjadi pada tahun 2010
yang lalu. Letusan terakhir gunung ini sejak September 2013 dan berlangsung hingga kini.
3. Where = Dimana: Bencana ini terjadi di Kabupaten Karo.
4. Who = Siapa Berapa: Jumlah orang yang tewas akibat bencana ini sebanyak 15
orang. Masyarakat yang bermukim dan beraktivitas 6 km dari kawah aktif diungsikan dari tempat yang lebih aman. Pengungsi berasal dari Kecamatan payung, Kecamatan
Tiga Nderket, Kecamatan Simpang Empat dan Kecamatan Naman Teran. Sementara itu yang berada dalam radius 3 km, yang bermukim di Kec.Payung Desa Suka Meriah dan
Kec. Naman Teran Desa Bekerah dan Desa Simalem sudah dalam proses relokasi. 5.
Why = Mengapa terjadi : Tiga gempa bumi dahsyat yang pernah terjadi di wilayah Sumatera antara 2005 sampai 2007, kemungkinan besar memicu aktivitas
vulkanik di Gunung Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
6. How = Bagaimana menangani bencana ini : Rehabilitasi dan Rekonstruksi
merupakan solusi dalam penangangan bencana ini. Pemkab Karo menilai bencana ini harus ditanggapi secara serius dalam proses
penanganannya. Bencana ini jangan dianggap enteng apalagi dipengaruhi situasi dan kondisi yang tak kunjung membaik. Tak berapa lama, Pak Gelora kemudian menjelaskan tahapan yang
kedua dalam pembentukan komando tanggap darurat bencana ini. “Yang kedua adalah Penugasan Tim Redaksi Cepat TRC. Dari informasi kejadian awal
yang diperoleh,BNPB danatau BPBD menugaskan Tim Redaksi Cepat TRC tanggap darurat bencana untuk melaksanakan tugas pengkajian secara cepat, tepat, dan dampak
bencana serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka penanganan darurat bencana. Hasil pelaksaan tugas TRC tanggap darurat dan masukan dari berbagai
instansi lembaga terkait akan menjadi bahan pertimbangan bagi: 1. Kepada BPBD Kabupaten kota untuk mengusulkan kepada Bupati Walikota dalam
rangka menentapkan status atau tingkat bencana skala Kabupaten Kota. 2.
Kepada BPBD provinsi untuk mengusulkan kepada Gubernur dalam rangka meningkatkan status tingkat bencana skala provinsi.
3. Kepada BPPD untuk mengusulkan kepada Presiden RI dalam rangka menetapkan
status tingkat bencana skala nasional.” Sambil meminum secangkir teh yang telah disuguhkan, Pak Gelora juga menjelaskan
tahapan yang ketiga dalam pembentukan komando tanggap darurat bencana ini. “Yang ketiga adalah Penetapan Status Tingkat bencana. Ya, sesuai dengan bahan
pertimbangan pada tahapan kedua dan berbagai masukan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam forum rapat dengan instansi lembaga terkait, maka :
1. BupatiWalikota menetapkan statustingkat bencana skala KabupatenKota.
2. Gubernur menetapkan statustingkat bencana skala provinsi.
3. Presiden RI menetapkan statustingkat bencana skala nasional.
Tindak lanjut dari penetapan statustingkat bencana tersebut, kepada BNPBBPBD, provinsiBPBD, KabupatenKota sesuai dengan kewenangannya menunjuk seorang
pejabat sesuai komando penanganan tanggap darurat bencana sesuai statustingkat bencana skala nasionaldaerah.”
Universitas Sumatera Utara
Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang
terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Pak Gelora juga menjelaskan statustingkat bencana erupsi Gunung Sinabung.
“Berdasarkan DALA Damage and Lost Accessment dasar untuk melakukan penganggaran. Kerusakan dan kerugian akibat dari bencana ini sekitar 4,9 T. jauh lebih
besar daripada APBD Karo sekitar 1,2 T. Jadi, penanganan bencana ini harus menjadi bencana nasional karena APBD Karo yang terbatas sehingga penangannnya harus
ditangani secara nasional. Jadi, erupsi Gunung Sinabung ini sudah termasuk dalam status bencana nasional. Jumlah yang telah diberikan sekitar 3,6 T dari bantuan pusat
nasional.” Sambil melepaskan kacamatanya, Pak Gelora menjelaskan tahapan yang terakhir dalam
pembentukan penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. “Yang terakhir adalahPembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana. Kepala
BNPB BPBD provinsi BPBD Kabupaten Kota sesuai dengan status tingkat bencana dan tingkat kewenangannya, maka:
1. Mengeluarkan surat keputusan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana.
2. Melaksanakan mobilisasi sumber daya manusia, peralatan dan logistik serta dana dari instansi lembaga terkait dan atau masyarakat.
3. Meresmikan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana.” Selain daripada keempat tahapan yang telah dijelaskan, Pak Gelora juga menekankan
perlunya komunikasi dan koordinasi dalam penanganan bencana ini. segala sesuatunya akan berjalan lancar ketika proses komunikasi yang terjalin baik.
“Komunikasi yang digunakan mempertimbangkan sistem kearifan lokal. “Rakut Sitelu Tutur Siwaluh”.TIM menggunakan wadah budaya Karo untuk mempermudah proses
komunikasi guna meringankan beban dari korban bencana itu sendiri.” Sistem kearifan lokal merupakan salah satu komunikasi alternatif yang digunakan dalam
penanganan bencana ini. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora pada saat penentuan lokasi relokasi.
Universitas Sumatera Utara
Terlebih bagi pengungsi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kehidupannya di desa tersebut.
“Pada saat penentuan lokasi relokasi bagi korban yang berada dalam radius 3km. terlebih dahulu dilakukan dialog dengan masyarakat pengungsi. TIM penanganan
membawa mereka ke beberapa lokasi relokasi untuk memilih lokasi yang cocok bagi pengungsi untuk melanjutkan kehidupannya. Kemudian ditetapkan lokasi yang dipilih
tersebut sebagai tempat relokasi.” Tentu saja, penentuan lokasi relokasi hanya dapat dilakukan pada fase rehabilitasi dan
rekonstruksi. Fase rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan tahap akhir dalam penanganan suatu bencana. Saat ditanyakan mengenai tahapan penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak
Gelora menjawab, “Ya, seperti yang telah saya jelaskan tadi bahwa penanganan erupsi Gunung Sinabung
ini masih dalam tahap tanggap darurat. Biasanya, sesuai dengan UU bencana, seharusnya penanganan ini sudah sampai pada tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Namun, status Gunung Sinabung ini sedikit berbeda dengan gunung yang lainnya yang mengakibatkan proses penanganan berangsur-angsur hingga bertahun. Jadi, sampai
pada hari ini penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung masih dalam fase tanggap darurat. Kemungkinan besar awal bulan Januari 2016 penanganan bencana ini sudah
bisa masuk dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.” Kemudian peneliti menanyakan tentang kebijakan pemerintah mengenai pembentukan
BPBD di Kabupaten Karo, Pak Gelora Langsung Menjawab, “Ya, sangat baguslah dengan pembentukan BPBD ini. Cuma harus diketahui bahwa
BPBD hanyalah sebagai fasilitator dalam penanganan bencana ini.” Saat ditanyai mengenai tanggapan dari perwakilan Pemkab Karo mengenai penanganan
bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak gelora menjawab, “Kebijakan pemerintah yang menyebabkan penanganan bencana berjalan lamban
disebabkan kelemahan UU itu sendiri.”
Universitas Sumatera Utara
BPBD menempatan dirinya sebagai pelaksana operasional yang seharusnya adalah sebagai fasilitator. Hal ini menyebabkan kelemahan dari BPBD itu sendiri saat pelaksanaan
penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung. “Kebijakan dariinstansi pemerintahan yang masih lemah. Dalam penanganan
rehabilitasi dan rekonstruksi seharusnya dilakukan diskusi publik oleh BPBD, sementara tidak pernah dilakukan. Jadi, setiap keputusan, kebijakan dan tindakan menjadi keliru yang
memperlambat proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung. Penanganan suatu bencana tidak hanya melibatkan institusi pemerintahan saja. Banyak
organisasi yang turut mendorong penanganan ini dengan sangat giat dalam melakukan advokasi dan lobi. Gerak operasional kalangan organisasi terlihat lebih lincah dan cepat di lapangan.
“Ada dari kalangan LSM, relawan, NGO yang terlihat lebih lincah dan cepat di lapangan. Organisasi seperti NGO, LSM terbukti mampu mendorong peristiwa erupsi
Gunung Sinabung untuk dijadikan pembelajaran bagi pembaharuan kebijakan mengenai penanganan bencana.
Penanganan erupsi Gunung Sinabung masih dalam tahap tanggap darurat bencana. Belum masuk pada tahapan pemulihan yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini disebabkan karena
status Gunung Sinabung yang tidak stabil. Terlalu berpedoman terhadap UU yang berlaku menyebabkan kekeliruan tersendiri dalam proses penanganan bencana ini. Seperti yang
dijelaskan Pak Gelora, “Kelemahan dari Pemkab itu sendiri ketika proses relokasi diadakan pada fase tanggap
darurat yang seharusnya dilakukan pada fase pasca bencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Fase relokasi ini dikomandoi oleh TNI yang seharusnya hanya bisa masuk
pada fase tanggap darurat. Sesuai dengan UU, yang melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah lembaga dan kementrian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.”
Saat ditanyai mengenai proses komunikasi yang terjalin dalam penanganan bencana ini, Pak Gelora menjawab,
Universitas Sumatera Utara
Ya, Kerap kali terjadi kelambatan komunikasi yang mengakibatkan Miss Communication. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap penanganan bencana itu sendiri. Apalagi, ini
yang pertama kali terjadinya bencana di Kabupaten Karo.” Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dan berpengaruh terhadap
penanganan suatu bencana. Termasuk dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Dengan berbicara dan bertindak akan sangat membantu proses penanganan darurat bencana
erupsi Gunung Sinabung. Ketika berbicara, maka secara tidak langsung sudah melakukan koordinasi yang sangat bermanfaat dalam penanganan ini. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora,
“Bidang kesehatan dalam sistem pelayanannya kurang memahami, sehingga apa yang dia ketahui itulah yang dia kerjakan. Ya, seharusnya ketika ini merupakan pengalaman
pertama dalam menghadapi bencana akan lebih baik ketika lebih banyak melakukan koordinasi untuk memecahkan masalah yang sedang berjalan. Komunikasi sangat
berperan dalam pemecahan masalah yang sedang berjalan tersebut. Paling tidak denganadanya komunikasi yang baik bisa meminimalisir kekurangan yang terjadi. Saling
mengisi untuk menghadapi setiap kendala yang didapatkan.” Saat ditanyai mengenai pengaruh pilkada terhadap pengungsi erupsi Gunung Sinabung,
Pak Gelora menjawab, “Pilkada merupakan salah satu proses demokrasi. Disanalah hak rakyat untuk
menyuarakan apa yang pantas untuk disuarakan. Dengan cara memilih mana yang dianggap layak untuk memimpin Karo kedepannya. Terlebih dalam menangani bencana
erupsi Gunung Sinabung. Kekecewaan dirasakan pengungsi terhadap pemimpin Karo sebelumnya. Inilah saatnya untuk memilih pemimpin yang dianggap membantu rakyat
dalam meringankan derita yang sedang dialami. Terkhusus terhadap pengungsi erupsi Gunung Sinabung. Jadi, harapan saya selaku pihak yang netral, pemimpin Karo
Universitas Sumatera Utara
kedepannya harus benar-benar pro rakyat melihat situasi Tanah Karo yang saat ini sedang mengalami krisis.”
4. Informan 4 - Pengungsi dari desa Bekerah - Budiman
Tanggal wawancara : 29 Oktober 2015 Selama menjadi pengungsi dari desa Bekerah, Pak Budiman lebih banyak menghabiskan
waktunya di posko pengungsian. Sebagai masyarakat yang tertimpa musibah, ia beserta warga lain hanya bisa pasrah saat berada di posko pengungsian. Keresahan mulai terasa akibat dari
bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Rasa bosan, jenuh disertai dengan ketidakjelasan membuatnya harus berpikir keras dalam melanjutkan kehidupan ini. Hal ini terlihat ketika dia
terkejut pada saat peneliti menghampirinya. Sebelum peneliti memulai wawancara, Pak Budiman sempat berkata kepada peneliti,
ketika bencana ini berakhir ingatkan kalau Pak Budiman pernah menghadapinya. Ketegasan dalam pernyataan itu meyakinkan peneliti bahwa mereka sedang dalam kesusahan dan
membutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak. Maka dari itulah peneliti merasa tertarik untuk mewawancarai Pak Budiman sebagai salah satu informan dari desa Bekerah. Keluh kesah yang
disampaikannya kepada peneliti merupakan sebagian dari serangkaian harapan dalam penanganan bencana ini.
Melihat keresahannya, maka peneliti me mutuskan untuk bertanya kepada Pak Budiman soal perasaan Pak Budiman ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi untuk yang pertama kalinya.
“Ya, jelaslah sangat terkejut mendengarnya. Apalagi jarak desa kami dengan kaki gunung kurang lebih 3-4 km saja. Saya sempat merasakan kepanikan dan tidak tahu
harus melakukan apa. Semua berlarian dan berhamburan di jalanan untuk menjauh dari Gunung Sinabung. Maklumlah karena bencana ini terjadi pertama kalinya setelah
Gunung Sinabung tidur dan bangun dari tidurnya membuat suasana seketika menjadi kacau balau. Namun, kepala desa berusaha untuk menenangkan warganya dan mengajak
setiap warganya berkumpul di jambur untuk proses evakuasi demi mengurangi kepanikan yang dialami warga.”
Universitas Sumatera Utara
Erupsi Gunung Sinabung merupakan shock therapy bagi Pak Budiman. Gunung yang sama sekali tidak beraktivitas selama ratusan tahun yang lalu itu tiba-tiba meletus. Apalagi, jarak
dari desa Pak Budiman dengan Gunung Sinabung hanya berkisar 3-4 km saja. Jelas saja kejadian ini menjadi kepanikan tersendiri bagi Pak Budiman. Saat ditanyai tanda-tanda kejadian erupsi
Gunung Sinabung, Pak Budiman menjawab, “Tidak ada yang bisa memastikan bencana ini akan terjadi. Apalagi selama ini situasi
gunung terlihat aman-aman saja. Hanya saja kedengarannya seperti suara gemuruh yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Tapi, suara itu ternyata tidak berhenti
disertai dengan getaran kecil. Saya beserta keluarga keluar dari rumah untuk memastikan darimana suara itu berasal. Ternyata Gunung Sinabung yang meletus.
Terlihat lava pijar yang menyala terang dari gunung tersebut membuat kami berusaha untuk menjauh dan menghindari resiko yang tidak diinginkan terjadi.”
Kepanikan yang dialami warga desa Bekerah sempat membuat keramaian di malam hari itu. Berujung kepada kekacauan yang tidak sempat terhindarkan lagi. Nilai gotong royong yang
belum luntur masih melekat dalam kebiasaan Pak Budiman beserta warga desa Bekerah lainnya. Musyawarah untuk mencari mufakat pun dilakukan untuk menenangkan hati dan perasaan.
Biasanya, hal itu dilakukan di jambur yang dipimpin langsung oleh kepala desa Bekerah. Sembari menunggu bantuan untuk proses evakuasi, Pak Budiman beserta beberapa warga
lainnya mengutamakan perempuan dan anak-anak untuk diselamatkan ke tempat yang lebih aman. Pada saat kejadian pertama kalinya, belum adanya tim khusus penanganan bencana ini
sehingga proses evakuasi dilakukan dengan seadanya saja. Dibentuknya tim penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung membuat proses evakuasi mulai lancar sekalipun masih ada
kendala. “Bencana ini merupakan kejadian yang pertama kali sejak ratusan tahun yang lalu.
Belum terbentuknya BPBD beserta tim penanganan bencana ini membuat kami hanya mengkuti arahan dari kepala desa saja. Biasanya, kami berkumpul sekaligus berdiskusi
di jambur untuk mencari solusi sebelum datangnya bantuan untuk proses evakuasi. Sebagian dari warga ada juga yang tidak peduli dengan situasi yang terjadi karena ini
merupakan kejadian yang pertama kalinya. Mereka beranggapan letusan itu hanya terjadi sekali saja. Tapi ternyata karakteristik dari Gunung Sinabung ini berbeda dengan
Universitas Sumatera Utara
gunung yang lainnya. Erupsi yang dikeluarkan dari Gunung Sinabung bisa berkali-kali bahkan hampir setiap harinya mengalami erupsi. Barulah tahun 2013 kemarin dibentuk
BPBD beserta dengan tim untuk penganganan bencana ini. Proses evakuasi yang dilakukan mulai terkoordinir, terencana dengan manajemen yang terbaik. Jalur evakuasi
juga sudah diberlakukan bilamana erupsi gunung terjadi kembali. Tapi, tetap titik kumpul pertama itu dilakukan di jambur. Kemudian, barulah dibawa ke tempat yang jauh
lebih aman termasuk ke posko-posko pengungsian.” Saat ditanyakan tentang bagaimana penanganan terhadap korban selama berada di posko
pengungsian, Pak Budiman langsung menjawab, “Berada di posko pengungsian merupakan satu pengalaman baru bagi kami warga
korban erupsi Gunung Sinabung. Bahkan sampai pada hari ini kami tetap masih setia berada disini. Kehidupan kami secara drastis berubah total. Kadang, kami merasa jenuh
dan bosan selama berada di posko pengungsian ini. Apalagi pelayanan yang diberikan belum sesuai dengan harapan kami. Tapi, paling tidak kami masih bisa bersyukur karna
masih banyak orang yang mau membantu dan peduli terhadap kondisi kami. Namanya juga kejadian yang pertama kali, jadi proses penanganannya masih terbilang kacau.”
Rasa kecewa memang terlihat jelas saat Pak Budiman menjelaskan proses penanganan yang diberikan kepada korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Pasrah tapi tak rela
diperlakukan seperti ini. Sudah terlalu banyak mereka dirugikan akibat dari bencana ini. Seperti yang dijelasakan oleh Pak Budiman,
“Bicara soal kerugian pasti banyak lah. Apalagi kami mengungsi sudah hampir dua tahun. Jangankan dari segi materi, moral dan mental kami pun sudah terganggu akibat
dari bencana ini. Kadang, kami merasakan trauma ketika erupsi gunung terjadi kembali. Semua menjadi terganggu akibat dari erupsi Gunung Sinabung. Bagaimana tidak, saya
punya anak yang sedang kuliah di pulau Jawa juga ikut merasakan dampak dari erupsi gunung tersebut. Darimana belanja anak saya kalau setiap harinya hanya berdiam diri
saja di posko pengungsian. Sementara itu, untuk kembali ke kampung melihat ladang yang sedang ditanami akan sangat beresiko. Simpanan yang ada tidak akan mampu
membiayai semuanya kalau tidak ada uang masuk yang didapatkan. Syukurlah kalau ada
Universitas Sumatera Utara
yang menawarkan pekerjaan. Tapi kalau tidak, ya seperti inilah membuat kami ada yang stres bahkan sampai gila akibat dari bencana ini. Dua tahun bukanlah waktu yang
singkat. Rasanya sangat lama sekali untuk keluar dan bangkit dari derita ini.” Uluran tangan dibalik ketulusan hati akan sangat membantu dalam proses penanganan
darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Menjalani kehidupan di posko pengungsian merupakan pengalaman baru bagi Pak Budiman. Dua tahun menjadi pengungsi bukan
segampang membalikkan telapak tangan untuk menjalaninya. Banyak proses yang harus dilaluinya.
“Awalnya berada di posko pengungsian saya tidak betah dan rasanya ingin segera pulang ke kampung halaman. Tapi, situasinya tidak memungkinkan akan hal itu. Banyak
hal yang saya butuhkan sejak awal kejadian sampai pada hari ini yang tetap bertahan di posko pengungsian ini. Disini, saya berharap tersedianya air bersih yang cukup untuk
minum sekaligus untuk mandi dan sebagainya. Kamar mandi yang terbatas memaksa tim penanganan membuat kamar mandi yang seadanya saja. Sebaiknya hal ini juga menjadi
perhatian bagi tim yang menangani bencana ini. Makanan dan minuman sehat juga diperlukan melihat situasi kami yang sudah hampir dua tahun menjadi pengungsi disini.
Peranan dari pakar psikolog beserta relawan juga akan sangat membantu terutama memberi kekuatan dalam menghadapi trauma. Informasi yang cepat, jelas dan efisien
juga akan sangat membantu dalam proses penanganan ini. Perbaikan daripada tempat tinggal kami dan bila perlu dilakukan relokasi bagi desa yang memang tidak
memungkinkan bagi warga untuk melanjutkan kehidupannya disana. Banyak hal yang mesti diperbaiki guna mengembalikan situasi ini normal kembali. Tapi, paling tidak
kebutuhan dasar kami sebagai pengungsi haruslah terpenuhi. Intinya, saya butuh pemulihan baik itu secara fisik maupun non fisik.”
Kebutuhan dasar korban erupsi Gunung Sinabung sangat diharapkan untuk dipenuhi termasuk juga kebutuhan akan informasi. Ketidaknyamanan pengungsi harus dibalas dengan
pelayanan yang terbaik. Kerja nyata yang dilakukan akan sangat membantu meringankan beban sebagai korban bencana. Pak Budiman percaya kepada tim penanganan darurat bencana ini atas
harapannya dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
“Ya, mudah-mudahanlah apa yang saya harapkan selaku korban bencana bisa terealisasi sekalipun tidak sepenuhnya. Ya, paling tidak bisa mendekatilah. Penanganan yang
dilakukan terhadap bencana ini masih terbilang lamban.” Saat ditanyakan soal contoh dari kelambanan dalam penanganan bencana ini, Pak
Budiman langsung menjawab, “Masih kerap terjadi keterlambatan dalam pembagian logistik kepada pengungsi. Di
posko pengungsian yang lain beras berlebihan sementara di posko pengungsian ini, kami kekurangan. Ini tidak adil karena kami sama-sama menjadi korban dalam bencana ini.
Ya, sekalipun di tempatkan di posko pengungsian yang berbeda. Adu mulut juga pernah terjadi akibat dari keterlambatan tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu,
saya mulai terbiasa akan hal itu. Begitu juga dengan tim penanganan darurat bencana ini, akan berusaha untuk memberikan yang terbaik terhadap korban bencana. ”
Banyak hal yang bisa didapatkan atas kejadian ini. Semuanya dijadikan sebagai pengalaman dan pelajaran untuk kedepannya. Ketulusan hati akan sangat meringankan beban
dari korban bencana. Mengingat kawasan bencana lazimnya dalam kondisi yang serba darurat dan kacau, maka wilayah bencana seolah-olah sebagai kawasan tidak bertuan. Kondisi semacam
ini membuka peluang bagi partai politik dan komunitas lain yang berslogan peduli bencana bisa memberikan bantuan tanpa aturan yang jelas.
Akibatnya, yang tampak menonjol di wilayah bencana, bukan informasi tentang peta bencana, tata tertib memberikan bantuan kepada korban, keberadaan posko pemerintah maupun
petunjuk evakuasi, tetapi justru keberadaan simbol dan atribut partai politik ataupun kelompok yang membangun popularitas di lingkungan korban bencana. Situasi wilayah bencana alam,
lebih mirip arena kampanye politik yang mengabaikan kondisi psikologis korban. Ini terjadi karena parpol dan lembaga politik lainnya, terperangkap dalam tindakan mengunggulkan
pencitraan ketimbang memberikan bantuan dengan tulus hati kepada korban bencana. Seperti yang dijelaskan Pak Budiman tentang pengaruh pilkada terhadap pengungsi erupsi Gunung
Sinabung. “Ya, awalnya kami senang karena banyak yang peduli terhadap korban bencana erupsi
Gunung Sinabung. Bantuan yang diberikan juga berlebih. Tapi, lama-kelamaan saya
Universitas Sumatera Utara
merasa muak sendiri akan hal itu. Mereka memanfaatkan kami pengungsi untuk pencitraan kepentingan pribadinya. Artinya, kami dimanfaatkan oleh mereka sebagai
lumbung suara dalam pilkada nanti. Buktinya, waktu pemilihan caleg kemarin kami diberikan banyak bantuan dengan catatan memilih dia sebagai calon yang pantas duduk
di DPRD Karo. Setelah dia terpilih sama sekali tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kami selaku korban bencana merasa dirugikan akan hal ini tapi kami butuh
bantuan dari mereka.”
5. Informan 5 - Pengungsi dari desa Simacem - Hendra
Tanggal wawancara : 29 Oktober 2015 Kesendirian bukanlah alasan bagi Pak Hendra untuk pasrah dalam menjalani kehidupan
ini. Semenjak istrinya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, ia hidup sendiri saja. Kebetulan buah dari perkawinannya belum menghasilkan keturunan. Kebiasaan hidup menyendiri
membuatnya lebih sering “erjuma berngi” atau bermalam di ladang dibandingkan pulang ke desa. Jauh dari keramaian bukan jadi satu halangan bagi peneliti untuk menjadikannya sebagai
informan dalam penelitian ini. Banyak hal menarik yang bisa didapatkan dari sosok Pak Hendra. Ketika ditanyakan tentang bagaimana perasaan Pak Hendra saat erupsi terjadi pertama
kalinya, Pak Hendra langsung menjawab, “Ya, pada saat kejadian pertama kalinya, saya merasakan ada getaran disertai suara
gemuruh. Saya berpikir akan turun hujan. Ternyata, tidak disangka kalau Gunung Sinabung yang meletus.Kebetulan, pada saat kejadian saya berada di ladang dan berniat
untuk bermalam disana. Banyak ternak yang mau dijaga dan panen buah yang sudah dekat. Dalam sekejap, hujan abu vulkanik yang sangat tebal mulai turun dan menyelimuti
sekitar ladang bahkan sampai ke desa. Saya merasa khawatir kalau hujan abu ini terus- menerus terjadi akan menyebabkan gagal panen. Sementara itu, warga yang lainnya
berusaha untuk menjemput saya ke ladang karena situasi sedang tidak aman. Barulah kami berkumpul untuk dilakukan proses evakuasi ke daerah yang lebih aman. Bertahan
di sekitar gunung akan sangat membahayakan bagi kami.” Bencana alam seolah-olah menjadi akrab di telinga kita. Interaksi dengan bencana adalah
suatu kelaziman yang tidak bisa dihindarkan. Ada unsur kepasrahan ketika bencana dikaitkan
Universitas Sumatera Utara
dengan nasib manusia baik itu dalam mitos, legenda maupun cerita-cerita rakyat yang berujung kepada pelembagaan nilai fatalistik menghadapi musibah. Bukan berarti, semua keyakinan dasar
masyarakat yang bersumber kepada nilai-nilai tradisional, khususnya di kawasan rentan bencana selalu merugikan. Banyak pesan yang terkandung dalam cerita rakyat maupun mitos yang
berkembang justru memberikan pelajaran berharga cara menghadapi bencana alam. “Ya, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Memang tidak ada yang menyangka akan
terjadinya letusan dari Gunung Sinabung. Bahkan, saya yang hampir sebulan bermalam di ladang tidak mendapat petunjuk yang menandakan akan terjadinya letusan Gunung
Sinabung. Saya terkejut dengan kejadian ini. Biasanya, tanda-tanda itu akan terlihat dan bisa dirasakan sebelum bencana datang. Tapi kali ini memang tidak ada apa pun yang
menandakan letusan itu akan terjadi.” Saat ditanyai mengenai tanda-tanda yang bisa terlihat dan dirasakan itu, Pak Hendra
menjawab, “Berdasarkan pengalaman saya, petunjuk dari bencana itu akan datang terlihat dari
tingkah laku hewan. Burung-burung yang berada di sekitar gunung pasti terbang jauh meninggalkan tempat itu. Selain itu, melalui cuaca juga bisa dilihat dan dirasakan.
Artinya, pasti ada kejanggalan sebelum bencana itu terjadi. Makanya, semua warga di sekitar gunung merasa kaget dan terkejut akibat dari peristiwa ini.”
Bencana dan dinamika pengelolaannya, menekankan betapa pentingnya menumbuh- kembangkan nilai-nilai yang menyangkut kesejatian manusia. Bencana membawa pesan
langsung yang tertuju pada kesadaran manusia. Meski alam tak punya bahasa verbal seperti halnya manusia, tapi peristiwa bencana harusnya ditangkap dalam pengertian yang membaikkan
sikap dan perilaku manusia. Alam juga mampu dan memiliki mekanisme dalam berkomunikasi. Bahkan alam pun terbukti mampu melontarkan tanda, sebagai salah satu bentuk komunikasinya.
Bisa jadi tanda-tanda itu tak diindahkan oleh manusia. Sampai kemudian alam pun terpaksa meminta perhatian manusia atas perlakuan yang diterimanya selama ini.
Kemudian kembali Pak Hendra menjawab ketika ditanyakan seputar proses evakuasi yang dilakukan saat erupsi terjadi.
Universitas Sumatera Utara
“Pada saat kejadian pertama kali, proses evakuasi yang dilakukan bisa dibilang belum ada. Inilah kejadian yang pertama kali terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan,
saya sendiri tetap bertahan di ladang sebelum warga desa menjemput ke ladang. Proses evakuasi masih seadanya saja sebelum dibentuk tim yang menanganani beserta
jajarannya. Tapi, setelah dibentuk barulah saya merasakan proses evakuasi. Hal ini disebabkan karena erupsi Gunung Sinabung yang berulang kali terjadi.
Proses evakuasi merupakan tahap awal dalam situasi darurat bencana. Paling tidak bisa menngurangi bahkan mencegah kerugian yang lebih besar apabila bencana datang kembali.
Proses evakuasi akan berjalan lancar apabila dikomandoi oleh pihak yang bertanggung jawab. Seperti yang dijelaskan Pak Hendra,
“Seiring dengan berjalannya waktu, apalagi status gunung yang tidak stabil hingga sampai hari ini juga tetap mengalami erupsi, maka dibentuklah tim yang menangani
bencana ini sehingga proses evakuasi yang dilakukan mulai terkoordinir dengan baik. Begitu juga dengan pembuatan jalur evakuasi untuk mempercepat proses evakuasi.
Sebelumnya, saya hanya berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri saja tanpa memikirkan hal lainnya. Petunjuk dari kepala desa lah yang meyakinkan saya untuk
berkumpul di jambur ketika erupsi terjadi, kemudian akan dilakukan proses evakuasi. Kehadiran BPBD beserta TNI mengurangi derita kami selaku korban bencana. Dimana,
bukan hanya manusia saja yang dievakuasi termasuk juga ternak kami yang berada di dekat kaki Gunung Sinabung. Hanya saja, hujan abu vulkanik mengganggu proses
evakuasi. Jalur yang becek dan berlumpur akan memperlambat jalannya proses evakuasi. Ya, sebagian dari TNI beserta warga menyirami jalanan supaya bisa dilewati
untuk mempercepat proses evakuasi tersebut.” Setelah proses evakuasi berakhir barulah dilakukan penanganan terhadap korban selama
berada di posko pengungsian yang telah ditentukan. Pemulihan harus dilakukan dengan segera untuk menenangkan sikap dan perilaku korban bencana. Apalagi di tengah situasi bencana yang
tak kunjung normal, bisa saja menyebabkan timbulnya masalah baru apabila tidak ditangani dengan segera.
Universitas Sumatera Utara
“Ya, namanya juga saya sebagai korban dari bencana ini pasti mengharapkan yang terbaiklah dalam penanganannya. Bukannya hanya sekali kami dievakuasi, bahkan
sampai berkali-kali karena status gunung yang tidak stabil. Hal ini bisa saja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku korban bencana. Sampai sejauh ini
penanganan yang diberikan kepada kami sudah baik. Cuma kendalanya masih terjadi keterlambatan dalam proses penanganan ini.”
Keterlambatan dalam proses penanganan ini disebabkan karena minimnya komunikasi dan koordinasi yang dijalin. Kondisi bencana memerlukan suatu bentuk pengelolaan informasi
yang tidak hanya membuktikan sistem koordinasi berbagai lembaga formal yang berperan, tapi juga dipupayakan sebagai cara mengundang kepedulian seluruh komponen masyarakat yang
memiliki peluang untuk berpartisipasi. Tata kelola informasi tak sekedar menyampaikan perkembangan yang terjadi, namun dapat pula memberi petunjuk dalam menghimpun segenap
potensi kepada khalayak luas. Peran komunikasi dalam tata kelola organisasi penanganan bencana menjadi sangat
pnting untuk mengevakuasi korban sekaligus menyediakan informasi yang akurat bagi tindakan strategs berikutnya. Aliran komunikasi dalam penanganan bencana dimaksudkan untuk
menghindari kesimpang-siuran informasi. Informasi yang berkeliaran justru menambah kepanikan masyarakat luas. Informasi dan komunikasi tidak hanya sekedar laporan-laporan yang
menambah buruk keadaan, namun pada terciptanya atmosfer sehat yang menguatkan semua pihak untuk tetap bekerja sama. Informasi harus menjadi sumber inspirasi ditemukannya solusi
yang segera dapat diakukan secara cepat dan cermat. “Terlambatnya pasokan makanan, minuman bahkan obat-obatan. Hal ini disebabkan
tidak lancarnya komunikasi yang terjalin. Informasi yang beredar bisa menyebabkan bantuan tidak sampai tapi bisa juga menumpuk di satu tempat. Kadang kami ribut akan
hal itu karena kami sudah menderita kok malah ditindas lagi. Hal ini juga dipengaruhi karena kejadian yang pertama kali terjadi. Tapi, kondisi yang normal saja bisa emosi
apalagi dalam kondisi yang tidak normal sudah pasti lah kami menuntut apa yang seharusnya menjadi hak kami sebagai korban dari bencana ini.”
Universitas Sumatera Utara
Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Seperti pada penjelasan Pak Hendra berikut ini.
“Banyak lah. Mulai dari materi sudah pasti dirugikan karena saya hanya bisa berdiam diri selama berada di posko pengungsian. Pulang ke desa untuk mengolah ladang terlalu
beresiko. Syukurlah ada tawaran pekerjaan, kalau tidak ya seperti inilah. Kondisi moral dan mental juga terganggu akibat bencana ini apalagi kaum perempuan dan anak-anak.
Secara keseluruhan, banyak hal yang dirugikan akibat bencana ini. Rumah yang tidak mungkin bisa ditempati lagi karena tebalnya abu vulkanik yang sudah menyerupai tanah.
Begitu juga dengan lahan pertanian yang jaraknya sangat dekat dengan kaki Gunung Sinabung tidak mungkin lagi untuk diolah. Seluruh warga tanah Karo dirugikan akibat
erupsi gunung ini. Perekonomian lumpuh, pendidikan , termasuk pertanian yang merupakan sumber penghasilan utama disini.”
Posko pengungsian merupakan kehidupan baru yang dijalani Pak Hendra sebagai korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Berada di posko pengungsian selama hampir dua tahun
menyebabkan banyak kebutuhan yang harus dipenuhi sekalipun hidupnya hanya sendiri. Untuk pemenuhan kebutuhan itu bukanlah persoalan yang gampang untuk diselesaikan. Banyak proses
yang harus dijalaninya. “Banyak hal yang saya butuhkan selama berada di posko pengungsian ini. Yang
terutama adalah pasokan makanan dan minuman, ketersediaan air bersih serta informasi mengenai penanganan bencana ini termasuk juga obat-obatan untuk kesehatan kami.
Pemerataan dan ketepatan guna dalam pasokan bantuan juga dibutuhkan dalam penanganan bencana ini”
Kondisi psikologis korban bencana jelas terganggu akibat dari erupsi Gunung Sinabung ini. Senyuman dari Pak Hendra menandakan ia tidak terlalu merasakan dampak psikologis dari
bencana ini. Sesuai dengan penjelasan dari Pak Hendra, “Selama berada di posko pengungsian, kaum perempuan beserta anak-anak kerap kali
histeris ketika erupsi gunung terjadi. Ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari tim
Universitas Sumatera Utara
penanganan untuk menghidari resiko terburuk yang terjadi. Kalau saya pribadi tidak terlalu terganggu akibat dari bencana ini.”
Saat ditanyakan mengenai proses penanganan terhadap psikologis korban bencana, Pak Hendra menjawab,
“Ada dari bidang kesehatan beserta relawan berusaha melakukan terapi bagi korban bencana yang mengalami trauma. Mereka diajak untuk lebih rileks dan santai setiap kali
erupsi terjadi. Anak-anak diajak bermain beserta relawan untuk memulihkan pikiran mereka dari bencana ini. Tapi, secara keseluruhan apa yang mereka lakukan terhadap
korban bencana cukup berhasil dalam menghadapi rasa takut dan trauma.” Tidak ada seorang pun yang menginginkan bencana erupsi Gunung Sinabung ini terjadi.
Itulah bencana alam, tidak diingini tapi kapan saja bisa akan terjadi. Pelestarian terhadap alam sangat penting dalam pencegahan terjadinya bencana serupa. Bisa saja harta benda musnah dan
korban jiwa pun berjatuhan dalam sekejap. Di pihak lain, elite dalam kekuasaan negara terperangkap oleh birokrasi berjenjang yang lamban bertindak. Kelambanan akan berdampak
terhadap korban yang lebih besar. Sudah selayaknya jika para pemegang otoritas penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung bisa bergerak lebih fleksibel agar sigap dalam
mengahadapi bencana. “Bencana alam merupakan peristiwa yang tidak diharapkan. Alam sendiri lah yang
menginginkannya terjadi. Ya, sekalipun begitu proses penanganan yang dilakukan bisa secepat mungkin untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda
termasuk juga dampak psikologis akibat dari bencana ini. Saling berkoordinasi dengan melakukan komunikasi yang baik antara tim penanganan dengan korban bencana akan
sangat membantu proses penanganannya. Komunikasi yang dibangun harus lebih baik lagi untuk mempercepat dan melancarkan penanganan bencana ini. Sampai pada saat
ini, banyak hal yang belum sesuai dengan harapan kami.” Setelah bertahun-tahun menjadi pengungsi, belum terlihat jelas kebijakan pemerintah
secara komprehensif yang dapat digunakan dimana pun bencana terjadi. Pak Budiman menyaksikan kebijakan responsif yang mengebu-gebu di awal peristiwa bencana, yang
mengendur setelah waktu berjalan. Pengalaman ini bisa jadi membuat rakyat tidak percaya
Universitas Sumatera Utara
kepada janji-janji pemerintah untuk membantu mereka menata kembali kehidupan setelah bencana berakhir. Apalagi sebentar lagi akan diadakan pilkada untuk memimpin Kabupaten Karo
kedepannya. Sikap Pak Budiman ini, bisa jadi sebagai wujud ketidakpercayaan kepada para pemimpin sekalipun berada dalam situasi yang sangat sulit. Selama ini, janji-janji pemerintah
untuk membantu mereka lebih sekedar janji yang realisasinya sangat minim. “ Sama saja, pemerintah, partai politik dan lembaga politik lainnya hanya membantu
dengan harapan mendapat imbalan dari bantuannya tersebut. Mereka berbondong- bondong untuk mengkampanyekan calon yang mereka usung dengan harapan kami
sebagai pengungsi memilihnya. Padahal sebelum pilkada ini, kejadian yang sama pernah juga terjadi pada pemilihan caleg yang lalu. Setiap datang ke posko pengungsian mereka
membawa bantuan yang sebanyak-banyaknya dengan harapan kami akan memilih dia sebagai caleg yang pantas untuk dipilih. Kami akan ditangani penuh oleh mereka ketika
mereka duduk dalam pemilihan tersebut. Semuanya hanyalah bualan semata, janji tinggallah janji. Setelah terpilih mereka hilang begitu saja tanpa menghiraukan kami
yang butuh bantuan dan uluran tangan dari mereka. Di tengah situasi bencana seperti ini, sempat-sempatnya mereka mementingkan kepentingan pribadinya dengan cara
memanfaatkan kami sebagai korban yang seharusnya dibantu bukan untuk ditelantarkan seperti ini.”
6. Informan 6 - Pengungsi dari desa Sigarang-garang - Riahna
Tanggal wawancara : 30 Oktober 2015 Kebiasaan kaum hawa di Tanah Karo dengan memakan sirih terlihat kental dari seorang
Ibu Riahna. Bibirnya yang merah dilengkapi “sontil” di mulutnya membuat peneliti tersenyum ketika hendak menyapanya. Seakan-akan tidak ada masalah yang sedang dihadapinya. Ibu
Riahna adalah sosok wanita yang ceria. Sebelum bersedia untuk diwawancarai, beliau sempat mengatakan bahwa cuma sirih inilah yang bisa menenangkan pikirannya. Ibu Riahna lebih sering
berada di luar kota maupun tempat saudaranya daripada di posko pengungsian. Keadaan tersebut membuat hasil wawancara yang diperoleh dari Ibu Riahna kurang memuaskan. Ibu Riahna tidak
terlalu panjang dalam menjelaskan setiap jawaban yang disampaikannya. Setiap kali diajukan pertanyaan, ia menjawab sesingkatnya bahkan hanya satu atau dua pertanyaan yang dijawabnya
dengan panjang dan lebar. Ia mengaku tidak suka diwawancarai dan tidak banyak waktu yang
Universitas Sumatera Utara
bisa ia luangkan untuk wawancara tersebut.Keadaan yang diungkapkannya tersebut terbukti dengan telepon genggamnya yang berbunyi terus selama wawancara berlangsung.
Sambil menggoyang “sontil” di bibirnya, peneliti menanyakan tentang perasaan Ibu Riahna saat pertama kali terjadinya erupsi Gunung Sinabung. Ibu Riahna menjawab,
“ Tentu saja kaget dengan letusan Gunung Sinabung terjadi pertama kalinya. Pada saat kejadian, saya beserta keluarga sudah dalam keadaan beristirahat. Tiba-tiba warga
sekitar menggedor rumah dan membangunkan kami untuk bergegas dan mencari tempat yang lebih aman. Seperti biasanya, setiap ada informasi warga desa diajak berkumpul di
jambur untuk mendengarkan arahan dari kepala desa untuk proses selanjutnya. Tapi, karena kami punya kendaraan pribadi, kami pergi ke Kabanjahe untuk berlindung di
tempat saudara.” Saat ditanyai tentang tanda-tanda erupsi Gunung Sinabung akan terjadi, Ibu Riahna
langsung menjawab, “Ya, kalau saja ada tanda-tanda akan terjadinya erupsi gunung, sudah lebih awal kami
akan meninggalkan desa ini. Tidak seorang pun yang akan menduga terjadinya bencana ini. Bahkan, kami sekeluarga sempat tertidur saat letusan itu terjadi.”
Tidak semua korban bencana dievakuasi secara langsung. Sebagian dari korban bencana melakukan proses evakuasi dengan caranya tersendiri. Proses evakuasi memakan waktu selama
menunggu bantuan. Keluarga dari Ibu Riahna menggunakan mobil sendiri untuk melakukannya. Seperti yang Ibu Riahna jelaskan,
“Bagi saya pribadi, proses evakuasi yang dilakukan cukup baik. Ya, sekalipun masih ada hambatanlah dalam pelaksanaannya. Namun, berhubung karena kami sekelurga pergi
dengan kendaraan pribadi pada saat proses evakuasi dilakukan, saya tidak terlalu tahu ketika evakuasi berlangsung. Cuma, pada saat berada di posko pengungsian warga yang
lainnya menceritakan tidak terlalu banyak kendala saat proses evakuasi dilakukan.” Saat ditanyai mengenai penanganan korban bencana selama berada di posko
pengungsian, Ibu Riahna menjawab,
Universitas Sumatera Utara
“Sama saja, karena tidak setiap harinya kami sekeluarga berada di posko pengungsian. Kadang, kami berada di Kabanjahe bahkan pernah juga pergi ke luar kota. Ya, pada saat
berada di posko pengungsian, proses penanganan yang diberikan kepada kami sebagai korban bencana cukup baik. Ya, sekalipun masih ada kendala soal ketepatan waktu
dalam pembagian logistik. Baik itu berupa makanan, minuman, obat-obatan dan sebagainya. Selain itu, penanganan yang diberikan di posko pengungsian juga belum
merata.” Penanganan dalam peristiwa bencana sangat rentan akan terjadinya konflik. Kesenjangan
bisa menjadi pemicu timbulnya masalah baru. Semua harus disama ratakan, tidak ada yang perlu dibedakan. Kondisi bencana tentu saja sangat berbeda dengan kondisi normal.
“Ini diketahui ketika pengungsi dari posko yang lain bercerita dengan saya. Kebetulan kami merupakan masih saudara. Jadi, di posko yang lain itu beras bisa melimpah sampai
bertumpuk malahan. Sementara kami yang berada disini kekurangan akan hal itu. Dari sana jelas terlihat kalau penanganan dalam bencana iini belum merata dan tidak adil.
Apa bedanya kami dengan mereka seolah-olah pengungsi dari desa kami di anak tirikan. Padahal, seharusnya itu tidak boleh terjadi karena bisa menimbulkan kecemburuan
sosial yang berujumg pada konflik.” Sektor pertanian merupakan hasil utama dari penduduk desa di tanah karo. Lahannya
yang subur membuatnya sangat cocok untuk ditanami. Terjadinya erupsi Gunung Sinabung sangat merugikan bagi petani karo. Banyak yang mengalami gagal panen saat abu vulkanik
menyirami tanaman mereka. “Bicara soal kerugian sudah pasti banyaklah. Mulai dari pertanian, pariwisata, ekonomi,
pendidikan, sosial, budaya, bahkan kondisi fisik saya juga dirugikan akibat bencana ini. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melewatkan dan melupakan bencana ini.
Banyak sekali yang dirugikan akibat dari bencana ini.” Sambil membuang sirih dari mulutnya Ibu Riahna menjawab tentang kebutuhan
pengungsi saat berada di posko pengungsian.
Universitas Sumatera Utara
“Yang terutama adalah makanan dan minuman termasuk juga pasokan air bersih beserta obat-obatan terhadap kesehatan kami. Selain itu, informasi mengenai bencana ini juga
sangat penting bagi kami. Hal ini untuk mendapatkan kepastian yang bisa menenangkan hati dan pikiran kami. Perbaikan lahan dan rumah mungkin membutuhkan proses yang
agak lama. Kebutuhan dasar haruslah terpenuhi termasuk juga bagi anak-anak kami yang bergelut dalam bidang pendidikan supaya diberikan keringanan dalam melanjutkan
studinya.” Karakteristik khalayak yang menyangkut sikap, wawasan, kemampuan komunikasi,
sistem sosial dan kultur, harus menjadi perhatian pengirim pesan agar informasi dipahami dan tercapai tujuan yang ditetapkan. Jadi, penyampaian pesan kepada korban bencana wajib
mengedepankan empati. Hal ini dimaksudan untuk menciptakan pemahaman bersama yang bermanfaat dalam memberikan bantuan. Kemudian Ibu Riahna menjawab tentang harapannya
terhadap penanganan bencana ini. “Ya, mudah-mudahan lah ke depannya ketika erupsi terjadi lagi, tim penanganan
bencana ini lebih cepat, tepat dan akurat dalam penanganannya. Paling tidak untuk meminimalisir kerugian akibat dari bencana ini. Inilah pengalaman dan pelajaran bagi
warga Karo yang terlibat dalam penanganan erupsi Gunung Sinabung ini. Saya sebagai korban bencana berharap bencana ini dapat berakhir secepatnya.”
Tidak ada yang bisa memastikan kapan bencana erupsi Gunung Sinabung ini akan berakhir. Ditengah situasi bencana, Kabupaten Karo akan menggelar pesta demokrasi lewat
pilkada serentak. Kabupaten Karo kedepannya akan dipimpin oleh pemenang dalam pilkada serentak ini. Kehidupan korban bencana erupsi Gunung Sinabung akan bergantung dari
kebijakan pemimpin baru nantinya. Ibu Riahna pun menjawab ketika ditanyakan mengenai pengaruh pilkada terhadap korban bencana erupsi Gunung Sinabung.
“Sama saja seperti pileg yang lalu. Ketulusan hati dalam memberikan bantuan akan sangat berarti bagi kami pengungsi. Kami memang membutuhkan bantuan tapi bukan
berarti kami harus dimanfaatkan demi kepentingan mereka. Janji yang diberikan tidak satu pun ditepati. Malahan mereka enggan untuk melihat kondisi kami sekarang ini
setelah pemilihan itu berakhir. Pilkada yang sebentar lagi ini juga kemungkinan sama
Universitas Sumatera Utara
seperti pileg yang lalu. Mengumbar janji dengan beralaskan kami pengungsi sebagai korban yang patut untuk diperjuangkan. Itulah kenyataannya, kami membutuhkan
bantuan dari mereka. Mau makan apa kami kalau tidak ada pekerjaan tetap yang bisa kami lakukan. Mau tidak mau kami harus menerima bantuan dari mereka.
7. Informan 7 - Pengungsi dari desa Kebayaken - Terombo
Tanggal wawancara : 31 Oktober 2015 Perawakannya yang berwibawa, penampilannya yang menarik meski tetap memakai
seragam mengajar seperti biasanya, dan tutur katanya yang jelas dan tidak berlebihan membuat Pak Terombo cukup nyaman diwawancarai. Ia termasuk salah satu yang membantu anak sekolah
dalam kegiatan belajar mengajar sekalipun sebagai korban bencana. Mendidik merupakan tugas utama pahlawan tanpa tanda jasa ini. Tanpa pamrih, bermodalkan ketulusan sangat membantu
meringankan derita dalam situasi bencana ini. Saat ditanyai soal perasaannya ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi pertama kalinya,
Pak Terombo langsung menjawab, “Pada saat itu, selesai mengajar dan les sore di sekolah, saya berencana pulang ke
rumah. Kebetulan saya lewat dari warung dan singgah di sana sebentar. Posisi duduk saya pas menghadap ke arah mulut Gunung Sinabung. Tak begitu lama, saya tersentak
melihat percikan lava pijar keluar dari mulut gunung tersebut. Saya panik dan langsung memberitahu warga untuk berkumpul di jambur karena Gunung Sinabung meletus. Rasa
takut dan trauma sempat menghantui saya karena kejadian itu pas di depan mata saya.” Tidak selamanya peristiwa bencana alam itu memberikan tanda-tanda. Sama halnya
dengan erupsi Gunung Sinabung yang terjadi pertama kalinya. Tidak ada yang menyangka gunung yang sudah ratusan tahun itu diam, kemudian tiba-tiba meletus.
“Sudah pasti tidak ada tanda-tanda akan terjadinya letusan Gunung Sinabung. Buktinya, saya yang langsung melihat sendiri letusan itu merasa panik dan ketakutan. Bahkan,
sempat kebingungan harus melakukan apa. Cuaca pun pada saat kejadian dalam keadaan normal saja. Tingkah laku aneh dari hewan pun tidak ada terlihat. Memang
sebuah kejutan lah bagi saya pribadi letusan dari Gunung Sinabung ini.”
Universitas Sumatera Utara
Kemudian peneliti menanyakan tentang proses evakuasi yang dilakukan saat erupsi terjadi, Pak Terombo menjawab,
“Seperti biasanya kami akan berkumpul di jambur untuk menerima arahan dari kepala desa. Barulah dibicarakan proses evakuasi yang akan dilakukan sembari menunggu
bantuan dari TNI, Basarnas dan lainnya. Tim penanganan dan BPBD pada saat kejadian pertama belum ada. Tidak seperti sekarang ini sudah dibentuk. Proses evakuasi pada
saat itu, masih sangat kacau. Belum terorganisir sama sekali. Kami semua saling membantu untuk mempercepat proses evakuasi. Ternyata, erupsi yang terjadi bukan
hanya sekali bahkan berkali-kali dan berlangsung sampai hari ini. Kami pun berulang kali di evakuasi dari desa. Tim penangangan berserta BPBD berupaya untuk
memberikan yang terbaik bagi kami korban bencana. Akses jalur evakuasi sedikit mempercepat jalannya proses evakuasi sekali pun masih ada hambatan dalam
penanganannya.” Saat ditanyai soal penanganan terhadap korban bencana selama berada di posko
pengungsian, Pak Terombo langsung menjawab, “Ya, biasa saja. Sama seperti pengungsi dari desa yang lainnya. Cuma karena ini
kejadian yang pertama terjadi, tim penanganan bencana ini masih kerepotan dalam proses penanganannya. Keterlambatan dan pemerataan pembagian logistik masih sering
kali terjadi. Sampai-sampai bantuan itu tidak sampai ke tangan kami korban bencana ini. Saya melihat sendiri bantuan itu datang dari berbagai arah. Tapi, kenapa pembagian
kepada kami korban bencana tidak merata. Keributan sempat terjadi akibat dari ulah- ulah orang yang tidak bertanggung jawab itu. Saya sendiri sebagai korban merasakan
layak untuk diperjuangkan bukan malah disepelekan dan ditelantarkan seperti ini. Tidak ada seorang pun yang menginginkan bencana ini terjadi.”
Setiap peristiwa dan kejadian dari suatu bencana alam pasti akan memiliki dampak. Baik itu secara fisik maupun non fisik. Termasuk bencana erupsi Gunung Sinabung yang sangat
berdampak terhadap masyarakat karo khususnya korban yang berada di sekitar gunung. Banyak pihak yang dirugikan akibat dari bencana ini.
Universitas Sumatera Utara
“Banyak lah kerugian yang saya alami selama bencana ini terjadi. Kerugian harta benda bahkan jatuhnya korban jiwa yang terkena awan panas juga berasal dari desa saya.
Selain itu, kejadian ini sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis. Apalagi saya seorang guru melihat murid-murid saya ketakutan ketika erupsi terjadi lagi. Kegiatan
belajar-mengajar juga diliburkan akibat bencana ini. Tapi, itu bukan satu halangan bagi saya untuk mengajar siswa dengan peralatan di tempat yang seadanya saja.
Ketidakjelasan informasi juga menjadi kendala bagi saya untuk kembali ke desa melihat situasi desa. Sangat memprihatinkan keadaan kami selama berada di posko pengungsian
ini.” Saat ditanyai soal kebutuhan pengungsi selama berada di posko pengungsian, Pak
Terombo menjawab, “Saya hanya butuh kepastian yang menjamin kehidupan kami untuk kedepannya.
Pemerataan pembagian logistik harus diberlakukan. Tidak ada yang dibedakan, semua harus disamaratakan. Kebutuhan dasar kami sebagai korban bencana haruslah
terpenuhi.” Begitu juga dengan harapan dari korban selama bencana berlangsung atau bahkan setelah
bencana berakhir. Mereka masih punya harapan untuk melanjutkan kehidupannya di tengah situasi bencana.
“Ya, harapan saya bencana ini segera berakhir. Seandainya terjadi kembali sebaiknya tim penanganan harus mampu memberikan yang terbaik bagi korban bencana. Udah
susah kok malah disusahin lagi. Intinya yang terbaiklah yang harus dilakukan bilamana bencana ini berulang kembali. Semuanya harus dijadikan pelajaran agar kedepannya
penanganan yang diberikan bisa lebih baik dari yang sebelumnya.” Kemudian kembali Pak Terombo menjawab ketika ditanyakan seputar pengaruh pilkada
terhadap korban bencana erupsi Gunung Sinabung. “Sebagai komunitas yang memiliki pilihan hidup untuk tetap berdampingan dengan
bencana, pemenang dalam pilkada ini harus mampu memberikan yang terbaik buat Karo kedepannya khususnya bagi kami korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Perhatian
Universitas Sumatera Utara
dari pemerintah akan sangat membantu kami dalam menghadapi bencana ini. Bukan malah memanfaatkan korban bencana sebagai lumbung suara dalam pilkada nanti. Kami
tidak butuh janji, kami hanya butuh realisasi dari apa yang sudah direncanakannya. Penanganan korban erupsi Gunung Sinabung perlu perhatian khusus bagi pemerintahan
yang baru nanti.”
4.2 Penyajian Data Penelitian