Peranan komunikasi bencana erupsi Gunung Sinabung

yang merenggut nyawa pada saat terjadinya erupsi Gunung Sinabung yang mengeluarkan awan panas. Media keliru dalam menafsirkan sebuah wacana. Pemerintah daerah menegaskan rencana pemulangan pengungsi, sementara media menafsirkan pengungsi sudah bisa dipulangkan. Jelas, sangat merugikan bagi korban yang mengalami kejadian tersebut. Ketidakjelasan informasi sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku korban dalam melakukan suatu tindakan. Hal ini jelas sangat merugikan bagi korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Informasi yang dibutuhkan bukan membantu malah menyulitkan korban yang sedang dalam kesusahan. Kejadian bencana erupsi Gunung Sinabung ini sebaiknya jadi pelajaran buat kedepannya bilamana bencana serupa terjadi kembali. Pemenuhan kebutuhan terhadap korban bencana harus menjadi perhatian khusus untuk mengurangi resiko bencana yang lebih besar. Kebutuhan dasar mereka harus diutamakan paling tidak bisa menenangkan korban bencana sembari menunggu pemenuhan kebutuhan jangka panjang korban bencana dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Jadi, kebutuhan yang diperlukan korban bencana erupsi Gunung Sinabung berupa kebutuhan mendesak dan pemulihan jangka panjang. Misalnya, pasokan makanan, minuman dan kesehatan bagi para korban. Pemulihan terhadap pendidikan terhadap korban yang masih berstatus sebagai pelajarmahasiswa. Perbaikan terhadap rumah dan lahan pertanian juga diharapkan dengan segera terealisasi bagi para korban. Pasokan listrik yang masih kurang untuk menghindari pemadaman listrik yang sangat panjang selama erupsi gunung terjadi

4.3.4 Peranan komunikasi bencana erupsi Gunung Sinabung

Bencana telah mengubah konfigurasi dan tatanansosial manusia. Dinamika penanganannya pun menuntut keseriusan serta keteguhan untuk menjadikan kondisi yang terjadi sebagai cara dan jembatan yang menghubungkan keberagaman identitas yang selama ini sering menjadi faktor pembeda antar manusia. Bencana mengetuk toleransi agar hubungan dan interaksi sesama saling melengkapi. Komunikasi yang mendasari hubungan manusia dalam konteks bencana, berupaya menemukan alternatif solusi dalam mengatasi persoalan. Sehingga peran dan posisi komunikasi lebih pada upaya yang mengarah pada tindakan kolektif serta berdimensi jangka panjang, luas dan berkontribusi pada banyak aspek. Dalam kondisi bencana, semua hal seakan tampak dominan. Hal itulah yang membingungkan bahkan mengaburkan perhatian. Batasan antara mahluk individu maupun sosial Universitas Sumatera Utara jaraknya sangat tipis. Tak mudah menjelaskan secara gamblang sejumlah kepanikan atas peristiwa yang menjadi bagian dari perjalanan masyarakat. Meski keadaan berangsur-angsur stabil, masih banyak pekerjaan yang harus dicermati. Sejumlah masalah masih menyimpan daya letus yang jika tak segera diatasi justru memiliki dampak serius di kemudian hari. Bencana, selain memang menyedihkan, dapat juga memberi harapan lahirnya pembaharuan. Terlebih bagi masyarakat yang terkena bencana secara langsung. Kendala-kendala koordinasi atau belum optimalnya peran lembaga-lembaga pemerintah, tidak boleh dijadikan alasan untuk terus mengupayakan sebuah program yang tidak cuma sebagai gambaran belaka. Kondisi bencana merupakan ruang yang mengundang perhatian dan tindakan serius, bukan sekedar unjuk pasukan. Kondisi bencana memerlukan serangkaian observasi, dukungan data dan informasi yang valid serta cara yang tepat dalam merespon untuk memecahkan masalah. Mencermati keadaan posko-posko pengungsian akibat erupsi Gunung Sinabung, peneliti melihat bahwa jumlah pengungsi yang ditampung secara massal justru cepat menimbulkan kejenuhan. Ratusan bahkan ribuan manusia yang berhari-hari berada dalam keramaian itu pelan- pelan menurunkan mental psikologis para pengungsi. Secara sosiologis, masyarakat korban bencana itu merupakan warga yang kesehariannya hidup dalam kultur dan struktur yang sederhana. Kompleksitas manusia akan menjadi stimulan yang ampuh dalam membuat kesadaran mereka semakin sirna. Mereka kaget dengan keadaan suara gemuruh. Jangan heran bila manusia sering rebut karena takut tak kebagian. Sebab dalam keadaan bencana, tidak ada jaminan bahwa keperluan akan tercukupi. Kekhawatiran atau rasa cemas menjadi semakin tinggi, tidak ada lagi toleransi. Jika hari ini tidak memperoleh sesuatu, maka besok mungkin tak akan ada lagi. Kerawanan terhadap sesama membentang seluas area penampungan. Sikap tenggang rasa yang sebelumnya melekat kuat seketika terhapus oleh keadaan. Kecemburuan tak dapat terhindarkan lagi. Saling intip dan curiga mulai berkeliaran. Temperatur di tempat pengungsian menandingi suhu Gunung Sinabung. Tanpa kesadaran diri hilang, berbagai jenis penyakit kini bermunculan, yang lebih memilukan lagi bahwa penyakit itu adalah penyakit sosial. Aplikasi pengelolaan bencana memang masih parsial. Mestinya dengan adanya pentahapan langkah penanggulangan harusnya tidak mengakibatkan tumpang-tindih. Masa tanggap darurat turut sedapat mungkin menjadi pintu masuk awal yang strategis dalam mengidentifikasi sejumlah data untuk keperluan berikutnya. Rumitnya koordinasi, benturan Universitas Sumatera Utara peran lembaga-lembaga yang berwenang, sistem informasi yang belm dikelola, dan seterusnya, menambah panjang daftar masalah. Hal ini tentu berdampak ke tahap reahabilitasi dan rekonstruksi. Kurang terintegrasinya pengelolaan bencana tampak ketika masing-masing posko diorganisir dengan pendekatan korban saja. Para pengungsi dilihat sebagai pihak yang dikira hanya sebagai penerima bantuan. Melihat hal itu, diharapakan berbagai program pengelolaan bencana tepat sasaran dan memiliki kegunaan yang berkelanjutan. Di posko pengungsian dibentuk koordinasi dengan perwakilan-perwakilan pengungsi. Tujuannya adalah agar semua dinamika dan keperluan yang berkembang senantiasa dikoordinasikan dengan koordinator setiap poskonya. Itu yang membuat hubungan dan tanggung jawab antar pengelola posko dengan pengungsi semakin erat dan dekat. Setiap persoalan selalu menjadi milik bersama tanpa membeda-bedakan. Partisipasi para pengungsi sangat menentuka tingkat kebetahan mereka ketika berada di posko pengungsian. Tak terasa, pelan-pelan para relawan dan pengungsi sudah menjadi satu keluarga besar yang saling berbagi, melayani dan mengasihi. Pola komunikasi tidak hanya dalam kemasan filosofis yang abstrak dan spekulatif. Hal ini harus dikonkritkan dalam sikap dan tindakan agar kemasan tersebut bermanfaat dan dinikmati oleh manusia. Konkritisasi tersebut hanya dapat dijupai dalam terapan sistem, karena yang dilakukan dalam pengelolaan bencana adalah bantuan kemanusiaan. Efektivitas pengelolaan bencana akan tampak apabila mampu membuat ukuran-ukuran penilaian. Itulah sebabnya kaidah nilai kemanusiaan perlu diwujudkan melalui sistem yang berperan multidimensional. Sistem yang memberi arah dalam mencapai tujuan agar tidak menciderai kepentingan yang bersifat asasi. Sistem ini dibangun melalui peran komunikasi yang lebih manusiawi dan harmonis. Komunikasi digunakan untuk mengekspresikan segaala perasaan dan pikiran manusia. Secara asasi manusia berhak menyelenggarakan komunikasi tanpa melihat status. Komunikasi manusiawi, terutama dalam keadaan bencana, sangat manjur menembus lubuk hati sehingga berangsur-angsur dapat bersama menemukan jalan keluar atas bencana yang dialami. Terapan ilmu komunikasi dalam membangun sistem pengelolaan bencana sebagai suatu model ideal daam mencapai hakikat kemanusiaan. Tatanan sistem komunikasi akan menuntun ke sifat keteraturan sebagai intuitif alamiah yang berada pada sentra nilai kemanusiaan yang paling dalam. Kemasan yang komunikasi ditata secara bijak dalam pola keteraturan. Hal ini sebagai konkritisasi dalam menentukan kapasitas yang sangat berbeda yang dimiliki setiap pihak. Hak Universitas Sumatera Utara dan kewajiban serta tanggung jawab muncul berdasarkan kapasitas yang berbeda itu. Dalam konteks kebencanaan, sistem komunikasi berada dalam sistem nilai tertentu, yang tentu tak sama dibanding dengan tidak adanya bencana. Komunikasi bencana seharusnya mampu mendorong semangat korban termasuk bagi korban yang tetap memilih untuk bertahan hidup di kawasan rawan bencana. Peran komunikasi bencana merupakan salah satu unsur penting dalam penanganan suatu bencana. Membantu dengan berbicara dan bertindak, bukan hanya sebatas berkata-kata saja. Korban bencana butuh kepastian dalam menghadapi bencana erupsi ini. Realisasi dalam penanganan bencana ini sangat membatu korban bencana untuk melanjutkan hidup kedepannya. Dalam kasus erupsi Gunung Sinabung, pola komunikasi bencana belum bisa menjalankan peranannya. Komunikasi dan koordinasi yang terjalin masih kerap terkendala oleh banyak faktor. Penanganan bencana ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi pertama kali kemungkinan jadi salah satu penyebab tidak terjalinnya komunikasi bencana seperti yang diharapakan. Pemilihan orang yang belum tepat sasaran untuk menangani bencana ini merupakan faktor yang sangat disesalkan. Pola komunikasi yang dilakukan masih jauh dari harapan khususnya bagi korban bencana. Dampaknya sangat dirasakan termasuk kelambanan dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Padahal, banyak cara dan alternatif yang bisa dimaksimalkan dalam menutupi setiap kekurangan daam penanganan darurat bencana ini. Pengembangan media komunitas misalnya, bisa berguna berkaitan sistem penanggulangan bencana. Media komunitas dapat memunculkan karakteristik masyarakat lokal dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Media komunitas juga bisa menjadi arena sosialisasi informasi, pengetahuan serta peningkatan kapasitas masyarakat tentang resiko bencana. Media komunitas memainkan peran pendukung dalam sistem kebencanaan yang berlangsung dalam proses saling melengkapi. Media komunitas sebagai sistem disaster mitigation aalah arena terbuka peliputan, penganalisaan berbagai bentuk informasi bencana yang akan dihadapi warga sebagai bahan informatif untuk mengembangkan kewaspadaan akan bahaya bencana dengan segala potensi melalui pelibatan diri dan komunitasnya untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Secara perlahan, warga akan semakin sadar serta mengambil bagian dalam ruang sosial yang lebih luas dalam penanggulangan bencana. Pengelolaan hasil atau manfaat media komunitas, buakn lagi dinikmati oleh segelintir orang akan tetapi sangat bermanfaat bagi keamanan dan Universitas Sumatera Utara kesiapan seluruh masyarakat dalam menghadapi bencana. Komunitas warga setempat lah yang mampu memberikan pertolongan pertama, ketika terjadinya erupsi Gunung Sinabung. Oleh sebab itu, dengan keberadaan media komunitas, masyarakat diorganisir dalam sistem nasional penanggulangan bencana. Universitas Sumatera Utara BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan