dari pemerintah akan sangat membantu kami dalam menghadapi bencana ini. Bukan malah memanfaatkan korban bencana sebagai lumbung suara dalam pilkada nanti. Kami
tidak butuh janji, kami hanya butuh realisasi dari apa yang sudah direncanakannya. Penanganan korban erupsi Gunung Sinabung perlu perhatian khusus bagi pemerintahan
yang baru nanti.”
4.2 Penyajian Data Penelitian
Penyajian data dalam penelitian ini merupakan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti secara langsung di lokasi penelitian. Wawancara yang dilakukan peneliti tersebut
merupakan salah satu cara untuk memperoleh data primer yang diperlukan dalam penulisan skripsi sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Dalam bab ini disajikan tentang
Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi studi deskriptif kualitatif peranan komunikasi bencana dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo. Hasil wawancara tertulis ini merupakan salinan dari wawancara langsung yang peneliti
dapatkan di lokasi penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari panduan wawancara yang dijadikan pedoman saat
mewawancarai informan. Pertanyaan tersebut mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan permasalahan peneliti. Sedangkan data-data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan
yang mengangkat topik yang relevan dengan penelitian ini. Sesuai dengan hasil observasi dan wawancara mendalam peneliti di lapangan, maka data yang diperoleh akan diinterpretasikan
berdasarkan tujuan penelitian.
4.3 Pembahasan
Dari hasil pengamatanpenelitian serta wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan dalam sebuah pembahasan seperti berikut ini:
4.3.1 Lembaga yang berperan memberikan informasi yang dibutuhkan pengungsi
Adalah sebuah kewajiban kemanusiaan bagi semua komponen untuk tergerak dan bergerak melakukan apa saja yang bisa meringankan akibat dari bencana erupsi Gunung
Sinabung ini. Tugas pemerintah utamanya adalah membuat kebijakan yang tepat sekaligus mengimplementasikannya lewat penanganan yang terbaik. Pemerintah tentu memegang peranan
penting, kapasitas dan sumber daya yang dimilikinya diatas kertas tentu akan berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan kemampuannya menangani bencana baik dari tahap pra bencana, saat bencana maupun pasca bencana. Namun, dari penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut
nampaknya masih jauh dari tahapan sempurna. Kapasitas pemerintah dalam menangani bencana yang telah didasari dengan UU dan berbagai perangkat peraturan lainnya belum bisa dikatakan
maksimal. Disana sini masih banyak keluhan dan kritik atas praktek penanganan bencana. Pengelolaan resiko bencana yang efektif tergantung pada peran serta semua pemangku
kepentingan yang berwawasan. Peran kunci terletak pada praktek pertukaran informasi dan komunikasi yang bisa dijangkau dengan mudah.
Harapan korban bencana kepada pemerintah adalah fokus aspek kemanusiaan, membantu korban dan memperlakukannya secara manusiawi, sambil membangun harapan masa depan.
Pemerintahan jika dilihat sebagai entitas politik pasti melakukan politik pencitraan. Namun, politik pencitraan dalam kasus bencana bukanlah statement, pidato, kunjungan, makan bareng
pengungsi dan publikasi mengenai aksi pemerintah pusat maupun daerah. Para korban bukanlah tontonan yang perlu dikasihani, mereka adalah orang sedang membutuhkan bantuan baik fisik
maupun psikologis. Pencitraan yang sesungguhnya adalah berupa wujud nyata kegiatan, tindakanaksi cepat dan tuntas serta mampu menyelesaikan setiap persoalan.
Dalam situasi darurat atau kritis, biasanya jiwa kepemimpinan dan kemampuan dari elite politik akan teruji. Kemampuan komunikasi, koordinasi bercampur dengan kecepatan respon dan
ketegasan dalam mengambil keputusan akan mencerminkan kualitasnya sebagai pemimpin sejati. Tindakan cepat, tegas, tepat sasaran, komunikatif, persuasif dari seorang pemimpin akan mampu
mendorong bawahan atau anggota timnya bergerak cepat dalam menanggulangi korban saat terjadi bencana. Bahkan pemimpin sejati lebih mungkin muncul dalam masa krisis karena dalam
situasi krisis, kepemimpinan seseorang akan terlihat dengan jelas termasuk dengan komitmen yang bersangkutan terhadap kepentingan rakyatnya.
Para pemimpin dianggap masih lamban, ragu-ragu dan tidak tegas dalam bertindak menghadapi berbagai bencana terutama bencana erupsi Gunung Sinabung. Kritikan ini
dilontarkan mengingat sering terjadinya keterlambatan bantuan ke daerah bencana. Saling lempar tanggung jawab antar pemimpin ditambah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat
dan daerah dalam mengahadapi bencana erupsi Gunung Sinabung ini yang seharusnya membutuhkan tindakan dengan kecepatan tinggi dan tepat sasaran. Dalam situasi panik dan
Universitas Sumatera Utara
kacau saat bencana, waktu menjadi sangat berharga karena keterlambatan memberikan bantuan akan berdampak besar pada jatuhnya korban yang lebih banyak.
Berdasarkan skala waktu, kondisi sebelum, saat dan sesudah bencana merupakan rangkaian perjalanan waktu yang terhubung satu sama lain. Dilihat dari konteks sebuah kejadian,
maka hal ini merupakan sebuah siklus. Dimana saat dan setelah bencana, ada kurun waktu yang ditetapkan sebagai kondisi kritis yang dinamakan waktu tanggap darurat. Pada fase ini, keadaan
kacau balau karena banyak sistem yang mengalami kegagalan fungsi sehingga dinyatakan sebagai kondisi tanggap darurat sampai kondisi cukup membaik untuk memulai rehabilitasi dan
rekonstruksi. Mobilisasi sumber daya termasuk material dan barang perlu dilakukan dari luar wilayah bencana guna membantu kondisi darurat sampai pemulihan awal. Status Gunung
Sinabung yang tidak stabil menyebabkan penanganannya masih dalam fase tanggap darurat bencana belum sampai pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dalam situasi darurat seperti bencana kemungkinan korban tetap ada, tugas utama penanganan adalah mencegah terjadinya bencana supaya tidak meluas. Untuk situasi seperti ini
diperlukan suatu sistem, termasuk aspek komunikasi dan informasi, kepemimpinan yang kuat serta punya kewenangan cukup untuk menggerakkan dan mengalokasikan berbagai sumber daya
yang ada. Masyarakat tidak membutuhkan berbagai statement dari berbagai pihak. Mereka membutuhkan kepastian tentang apa yang dilakukan sekarang ini dan bagaimana nantinya.
Ketidakjelasan ini akan menimbulkan kesan dan posisi kondisi penanganan lapangan, dimana unsur-unsur pemerintah dan berbagai lembaga lainnya berjalan sendiri-sendiri dengan koordinasi
yang terbatas. Satu sistem juga yang perlu ditangani secara serius selain penanganan darurat bencana
tersebut adalah pusat komunikasi dan media centre. Mensuplai berbagai data, informasi, baik untuk kepentingan pengambilan keputusan bagi yang berwenang maupun bagi masyarakat yang
bersifat multi channel. Dalam situasi darurat bencana, publik khususnya korban bencana membutuhkan kepastian informasi. Ketika ada situasi dan informasi yang berubah terus, mereka
dapat memonitornya pada sumber yang bisa dipercaya. Pusat komunikasi yang terpercaya harus dikelola dan dipastikan sebagai rujukan masyarakat.
Titik simpangan yang rawan adalah ketika banyak pihak menangkap pesan bencana berdasarkan posisi dan pandangan masing-masing. Hal tersebut yang membuat respon dan
langkah bersama dalam tugas kemanusiaan menjadi kurang efektif, serampangan, tidak tepat
Universitas Sumatera Utara
sasaran, tumpang-tindih atau bahkan melebihi dari ukuran yang diperlukan. Tidak adanya kepastian serta minimnya koordinasi akan berdampak pada tidak jelasnya peran. Sistem
penanganan bencana menjadi terkesan kaku ketika sejumlah organisasi terkait belum memiliki pola kerja yang didasarkan pada komitmen dan tanggung jawab atas penyelamatan yang masih
dimungkinkan. Kondisi bencana memerlukan suatu bentuk pengelolaan informasi yang tidak hanya
membuktikan sistem koordinasi berbagai lembaga formal yang berperan, tetapi juga diupayakan sebagai cara mengundang kepedulian seluruh komponen masyarakat yang memiliki peluang
untuk berpartisipasi. Lalu lintas informasi dan berbagai pernyataan dari sejumlah sumber jangan sampai menambah kepanikan dan kebingungan massa. Tata kelola informasi tak sekedar
menyampaikan perkembangan yang sedang terjadi. Namun, dapat juga memberi petunjuk berhimpunnya segenap potensi bantuan kepada khalayak luas. Lambatnya pertolongan dalam
konteks bencana bukan disebabkan oleh karena minimnya sumber daya, melainkan belum terkelolanya sistem penanganan yang terintegrasi secara utuh.
Peran komunikasi dalam tata kelola organisasi penanganan bencana menjadi sangat penting untuk mengevakuasi korban sekaligus menyediakan informasi yang akurat bagi tindakan
strategis berikutnya. Aliran komunikasi dalam penanganan bencana dimaksudkan untuk menghindari kesimpang-siuran informasi. Informasi yang berkeliaran justru malah menambah
kepanikan masyarakat luas. Informasi dan komunikasi tidak hanya berkisar pada laporan-laporan yang menambah buruk keadaan, namun pada terciptanya atmosfer yang sehat dalam menguatkan
semua pihak untuk tetap bekerja sama. Informasi harus menjadi sumber inspirasi ditemukannya solusi yang segera dapat dilakukan secara cepat dan cermat.
Perjalanan bidang kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia berkembang cukup pesat sejak disahkannya UU No. 24 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Untuk menjalankan
undang-undang ini, pemerintah Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB untuk tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD untuk
tingkat provinsi, kabupatenkota. Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen LPND yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri.
BPBD merupakan pelaksana operasional yang seharusnya menjadi fasilitator dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. BPBD dianggap belum menguasai
Universitas Sumatera Utara
tentang penanganan bencana sehingga salah dalam menafsirkan apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara itu, keterlibatan dari organisasi baik itu dari kalangan LSM, NGO dan relawan sangat membantu dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Keterbatasan
kemampuan institusi pemerintah mampu diimbangi dan ditutupi saat melakukan penanganan bencana di lapangan. Begitu juga dengan peranan dari BANKOM, ARON perangkat desa,
BALUR sekretaris desa yang sangat berpengaruh terhadap tindakan di lapangan untuk lebih cepat dalam penanganannya.
Jadi, lembaga yang berperan untuk memberikan informasi adalah dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan PVMBG yang merupakan perwakilan dari Pemkab Karo,
termasuk juga BPBD yang merupakan lembaga pemerintah non departemen serta organisasi dari NGO, LSM dan relawan dari berbagai pihak dalam penanganan bencana erupsi ini.
4.3.2 Pesaninformasi yang dibutuhkan oleh pengungsi yang mengalami bencana