Mengenai kekuranghati-hatian, Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat melihat ke depan suatu akibat, tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi
berbahaya yang dilakukan menurut keahliannya yang dapat melihat ke depan adanya kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Disini, perbuatan tersebut masih dapat
dipetanggungjawabkan. Jadi, untuk dipandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain daripada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos
ialah masih harus ada unsur kedua yaitu kurang hati-hati.
81
Perbuatan Karena Kealpaan, Kealpaan Culpa : seseorang yang melakukan perbuatan atas dasar kealpaan, dimana ia tidak mengindahkan adanya larangan.
82
Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa
83
: 1.
Tidak adanya kehati-hatian. 2.
Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin. Pasal-pasal yang mengatur tentang Perbutan Pidana di bidang Perpajakan karena
kelalaian antara lain, Pasal 38, Pasal 41 ayat 1 Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, yang dimaksud Kelalaian menurut penjelasan dalam Pasal 38, berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan
tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Terdapat ketentuan untuk memenuhi unsur kelalaian dalam Pasal 38 UU KUP, yaitu
perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang pertama kali. Artinya telah terjadi beberapa kali bahkan berulang kali dilakukan barulah dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
Pidana yang dilakukan dengan kelalaian.
c. Kemampuan Bertanggung Jawab
81
H.B Vos dalam Jur Andi Hamzah, Ibid., Hlm 169.
82
Teguh Prasetyo, Ibid, Hlm. 106.
83
Ibid, Hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
Secara Yuridis Formal, tidak terdapat rumusan dalam KUHP yang memberi batasan tentang Kemampuan Bertanggung Jawab. Persoalan yang berkaitan dengan kemampuan
bertanggung jawab diserahkan kepada doktrin.
84
Secara doktriner, untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada dua hal, yaitu :
85
1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak. 2.
Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut..
Menurut ketentuan dalam KUHP, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena dua alasan, yaitu :
86
1. jiwanya cacat dalam tumbuhnya
2. jiwanya terganggu karena penyakit
Menurut Memorie
Van Toelichting
MvT, seseorang
tidak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya karena :
87
a. Ia tidak menginsyafimenyadari akan perbuatan yang dilakukan
b. Ia tidak bebas menentukan perbuatannya.
d. Tidak adanya Alasan Pemaaf
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi :
1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
84
Ibid., Hlm. 75.
85
Ibid., Hlm. 75-76.
86
Ibid., Hlm. 76.
87
C.S.T Kansil dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 79.
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana.
3. Alasan Penghapus Penuntutan, di sini persoalannya bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa
atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum.
Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh, Pasal 53 kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan
niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.
88
Alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana dalam kepustakaan disebut dengan Alasan Pembenar, sedangkan alasan yang menghapuskan kesalahan disebut
dengan Alasan Pemaaf.
89
Dalam pertanggung jawaban Pidana, terdapat alasan pemaaf dan alasan pembenar yang dapat menghapus pidana, antara lain :
Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Bahkan Wilson mengatakan terdapat moral force yang berbeda pada
kedua defense tersebut. Adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada
pemaafan sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.
90
Dalam pertanggungjawaban pidana, hanya dianut alasan pemaaf. Sebab dalam teori alasan pembenar menghapus sifat melawan hukum dan perbuatan dalam KUHP yang
88
Moeljatno, Op. Cit., Hlm 148.
89
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan
Jakarta : Kencana, 2006, Hlm 121.
90
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dilarang, maka perbuatan yang semula melawan hukum menjadi dapat dibenarkan dengan demikian pelakunya tidak dipidana.
Dasar Pemaaf atau fait d’excuse, sifat melanggar hukum dari dari semua unsur tindak
pidana tetap
ada. Tetapi,
hal-hal khusus
menjadikan pelaku
tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, dihapuskan kesalahannya. Termasuk dasar pemaaf adalah penyakit, kekurangan daya pikir, daya paksa overmacht, bela paksa, lampau
batas noorweerexes, dan perintah jabatan yang tidak sah. Alasan Pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban
seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan Pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa
hal. Alasan Pemaaf ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan pidana
dalam keadaan : 1.
Tidak dipertanggungjawabkan ontoerekeningsvaatbaar 2.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer excess 3.
Daya paksa overmacht.
91
Tanggung jawab terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan dapat diuraikan sebagai berikut :
1 Tanggung Jawab Pidana Bagi Wajib Pajak Perorangan Yang Melakukan Tindak Pidana
Perpajakan. Wajib pajak yang bertanggung jawab atas suatu tindak pidana berarti secara sah dapat
dikenakan pidana atas tindakan yang telah dilakukannya itu. Suatu pidana dapat dikenakan secara sah, apabila tindakan tersebut telah ada aturannya dalam suatu undang-undang yang
berlaku atas tindakan yang dilakukannya.
91
Teguh Prasetyo,Op. Cit., Hlm 126-127.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan pidana merupakan tindakan yang diarahkan kepada suatu tujuan, yang tidak lain, untuk memperbaiki atau memberi sanksi kepada pelanggar hukum agar ia menjadi
orang baik dan memperhatikan ketentuan-ketentuan pidana dalam bidang perpajakan, sehingga orang yang mengadili juga mengetahui arti dari apa yang dilakukannya itu. Dengan
demikian, pertanggungjawaban pidana adalah keputusan dalam keadaan konkret yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana.
Pengertian subjek pidana meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana pelaku tindak pidana dan siapa yang
dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab perorangan merupakan tanggung jawab yang sangat mendasar, yang melekat bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tindak pidana di
bidang perpajakan.
92
2 Tanggung Jawab Pidana Bagi PegawaiPejabat Direktorat Jenderal Perpajakan Yang
Melakukan Tindak Pidana Perpajakan Tanggung jawab melekat pada pegawaipejabat yang melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan di lingkungan direktorat jenderal perpajakan, yang meliputi : a. Kantor Pelayanan Pajak disingkat KPP sebagai tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat Pengusaha
Kena Pajak dikukuhkan, danatau tempat objek pajak terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16MK.032011 Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 35, baik di tingkat kantor Pratama pada tingkat KabupatenKota Setempat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DJP tingkat provinsi,
maupun Kantor Direktorat Jenderal Pajak pada tingkat Pusat dibawah naungan Menteri Keuangan Republik Indonesia di jakarta; dan b Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
disingkat KPPN, yakni instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Direktorat Jendel
92
Ibid, Hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
Perbendaharaan, yang menjadi mitra kerja KPP Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16MK.032011.
93
Pelaksanaan kegiatan sebagai peneliti, Verifikasi, Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan BUPER, Penyidikan
Tindak Pidana di bidang Perpajakan, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda disingkat P3B sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksana Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 162, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268 yang secara prinsip mengatur tata cara penerimaan pembayaran Wajib Pajak, harus sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya.
94
Ketika dalam kegiatan pemungutan kewajiban Wajib Pajak yang diterima pegawaipejabat perpajakan yang tidak sesuai dengan seharusnya, maka pegawaipejabat
yang bertugas yang paling bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut. Pejabat yang dimaksud, pejabat fungsional dan penerima setoran uang Wajib Pajak
atau kepala seksi penghitungan setoran uang Wajib Pajak, karena tugas mereka adalah melayani dan meneliti setiap penerimaan uang Wajib Pajak, baik pembayaran Wajib Pajak
perorangan atau Badan Hukum yang telah disetorkan dengan bukti setoran Wajib Pajak berupa Surat Setoran Pajak SSP, Surat Tagihan Pajak STP, Surat Pemberitahuan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Badan PPh Badan, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPNbm,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan SKPKBT, Surat Keputusan Keberatan SKK.
3 Tanggung Jawab Pidana Pihak Ketiga Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan.
93
Simon Nahak, Ibid. Hlm 102-103.
94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan terhadap pihak ketiga dirumuskan dalam UU KUP sebagai berikut :
Pasal 35 ayat 1 dan 2 UU KUP menentukan : 1.
Apabila dalam menjalankan ketentuan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor
adminsitrasi, danatau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atai penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, atas perminataan tertulis dari Direktorat Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diterima.
2. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terikat oleh kewajiban
merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali
untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
3. Tata Cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh
kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Sedangkan dalam Pasal 35A Ayat 1 dan 2 UU KUP ditentukan bahwa : 1.
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2.
2. Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mencukupi,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan
Universitas Sumatera Utara
penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2.
Syarat utama untuk menjatuhkan pidana kepada perseorangan adalah adanya unsur kesalahan Kesengajaan atau Kelalaian. Disamping, penting memperhatikan kemampuan
bertanggung jawab serta apakah terdapat alasan pemaaf. Pada umumnya Pasal-pasal yang mengatur ketentuan Pidana Mengarah pada Perseorangan sebagai Subjek Hukumnya. Namun
tidak menutup kemungkinan Korporasi turut mempertanggungjawabkannya.
2. Badan HukumKorporasi Recht Persoon