Sudarto juga menyatakan ha l yang sama, yaitu “dipidananya seseorang tidaklah cukup
apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya
syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih ada syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjektive guilt. Dengan
perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada
orang tersebut.
75
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana berkaitan dengan apakah dalam melakukan perbuatannya, pelaku mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab, dalam hukum pidana, berlaku
asas geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea, dimana seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan.
76
Kesalahan terbagi atas dua bentuk, yaitu kesalahan yang dilakukan berdasarkan kealpaan dan kesalahan yang dilakukan karena kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Kesengajaan
Pertanggungjawaban pidan a ditentukan dari adanya “sifat melanggar hukum” dalam
suatu perbuatan. Sifat melanggar hukum merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Apabila sifat melanggar hukum dihubungkan dengan keadaan psikis jiwa pelaku tindak
pidana, maka perbuatannya dapa t berupa “kesengajaan” opzet atau “kelalaian” culpa.
Akan tetapi, kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Dalam teori hukum pidana di Indonesia, kesengajaan terbagi atas tiga macam, yaitu
77
:
75
Sudarto dalam Dwidja Priyatno, Op. Cit., Hlm, 31.
76
Moeljatno, Op. Cit., Hlm 165.
77
Simon Nahak, Ibid. Hlm. 96-97.
Universitas Sumatera Utara
1. kesengajaan yang bersifat tujuan, dalam hal ini si pelaku dapat dikenai
pertanggungjawaban karena kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana, sehingga pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan
yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diberikannya ancaman hukuman.
2. kesengajaan secara keinsyafan kepastian, kesengajaan ini ada apabila si pelaku
dalam perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
3. kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan, kesengajaan ini yang tidak disertai
bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat perbuatan yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Menurut penjelasan MvT Memorie van Toelichting, bahwa sengaja Opzet berarti bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff. kehendak yang disadari yang
ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Menur ut penjelasan tersebut “sengaja” Opzet
sama dengan willen en wetens dikehendaki dan diketahui. Hal ini dibantah oleh Van Hattum yang mengatakan bahwa willen tidak sama dengan
weten . Jadi, dengan sengaja dan willen dan wetens tidak sama. Seseorang yang willen
hendak berbuat sesuatu belum tentu menghendaki juga akibat yang pada akhirnya sungguh- sungguh terjadi karena perbuatan tersebut. Menurut praktek katanya, hakim sangat sering
mempersamakan dua pengertian “dikehendaki” dan “diketahui” yang tidak sama itu, yaitu “dengan sengaja” meliputi pula “mengetahui” bahwa perbuatan yang dilakukan adalah suatu
pelanggaran hukum. Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh van hattum ini, perlu diingat bahwa
sebagian besar penulis hukum pidana mengatakan bahwa “sengaja” itu sesuatu pengertian yang tidak berwarna, artinya tidak perlu pembuat mengetahui bahwa perbuatannya itu
Universitas Sumatera Utara
dilarang oleh undang-undang. Menurut jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan atas pengabaian natalen mengenai apa yang oleh undang-undang
tentukan sebagai dapat dipidana. Tidak perlu dibuktikan bahwa pelanggar mengetahui dapatnya dipidana perbuatannya atau pengabaiannya, juga tidak tahu bahwa perbuatan
tersebut dilarang atau tidak bermoral. Perbuatan Karena Kesengajaan Dolus
78
, adalah perbuatan yang didasari oleh kehendak dan keinsyafan atas akibat yang akan terjadi karena perbuatannya.
79
Pada umumnya, Perbuatan Pidana seringkali dilakukan dengan sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan
tertentu, salah satunya mendapatkan keuntungan. Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sendiri lebih
banyak Pasal yang memuat unsur kesengajaan daripada kelalaian dalam melakukan tindak pidana diantaranya Pasal 39 ayat 1, Pasal 39A, Pasal 41A huruf c, Pasal 41B, Pasal 41C
Ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4. Salah satunya dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang KUP yang rumusannya
mengatur tentang perbuatan pidana yang didasari atas unsur kesengajaan, perbuatan berupa manipulasi laporan pajak yang dapat merugikan keuangan negara.
Kelalaian
Kelalaian atau culpa menurut MvT Memorie van Toelichting terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga, culpa itu dipandang lebih ringan dengan sengaja. Oleh
karena itu, Hazwinkel – suringa mengatakan delik culpa itu merupakan delik semu
quasidelict, sehingga diadakan pengurangan pidana. Dalam memori jawaban pemerintah MwA, mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti
78
Willens en Watens menghendaki, menginsyafi atau mengetahui
79
Teguh Presetyo, Ibid, Hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
mempergunakan salah kemampuannya, sedangkan siapa karena salahnya culpa, melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan.
80
Van Hamel membagi culpa atas dua jenis : 1.
Kurang melihat ke depan yang perlu 2.
Kurang hati-hati yang perlu. Yang pertama terjadi jika Terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama
sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan, yang kedua misalnya, ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya padahal ada.
Vos mengeritik pembagian Van Hamel mengenai culpa schuld ini dengan mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antar kedua bagian tersebut. Ketidakhati-hatian
itu sering timbul karena kurang melihat ke depan. Oleh karena itu, Vos membuat bagian juga, yaitu kalau Van Hamel membedakan dua jenis culpa maka Vos membedakan dua unsur
element culpa itu. Yang pertama ialah Terdakwa dapat melihat ke depan apa yang akan terjadi. Yang kedua, ketidakhati-hatian tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang
dilakukan atau pengabaian atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau tidak dengan cara demikian dilakukan.
Menurut Vos selanjutnya, dapat melihat ke depan suatu akibat merupakan syarat subjektif pembuat harus dapat melihat ke depan. Misalnya seorang anak kecil yang
memindahkan wisel rel kereta api sehingga kereta api keluar rel, tidaklah ia bersalah culpa jika ia tidak tahu apakah wisel rel kereta api itu. Tetapi culpa itu ada pula segi objektifnya,
yaitu sesudah dilakukan perbuatan, dikatakan pembuat dapat melihat ke depan akibatnya jika seharusnya ia telah perkirakan. Ia sebagai orang normal dari sekelompok orang yang dapat
melihat ke depan akibatnya itu. Jadi, seorang profesional dipandang lebih dapat melihat ke depan dibanding orang awam.
80
Hazwinkel – Suringa dalam Jur Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Perkembangannya Jakarta : Softmedia, 2012. Hlm 168.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai kekuranghati-hatian, Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat melihat ke depan suatu akibat, tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi
berbahaya yang dilakukan menurut keahliannya yang dapat melihat ke depan adanya kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Disini, perbuatan tersebut masih dapat
dipetanggungjawabkan. Jadi, untuk dipandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain daripada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos
ialah masih harus ada unsur kedua yaitu kurang hati-hati.
81
Perbuatan Karena Kealpaan, Kealpaan Culpa : seseorang yang melakukan perbuatan atas dasar kealpaan, dimana ia tidak mengindahkan adanya larangan.
82
Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa
83
: 1.
Tidak adanya kehati-hatian. 2.
Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin. Pasal-pasal yang mengatur tentang Perbutan Pidana di bidang Perpajakan karena
kelalaian antara lain, Pasal 38, Pasal 41 ayat 1 Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, yang dimaksud Kelalaian menurut penjelasan dalam Pasal 38, berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan
tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Terdapat ketentuan untuk memenuhi unsur kelalaian dalam Pasal 38 UU KUP, yaitu
perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang pertama kali. Artinya telah terjadi beberapa kali bahkan berulang kali dilakukan barulah dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
Pidana yang dilakukan dengan kelalaian.
c. Kemampuan Bertanggung Jawab