Saran Sanksi Pidana Perpajakan

2. Bahwa perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa telah memenuhi rumusan pasal serta unsur-unsur Tindak Pidana Perpajakan, yaitu dengan sengaja melakukan pemalsuan surat pemberitahuan dengan menyampaikan surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Mengenai pertanggung jawaban pidana, dalam putusannya Mahkamah Agung telah mempertimbangakan kerugian keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit sehingga memutuskan turut menghukum pertanggung jawaban korporasi untuk membayar denda dengan menerapkan teori Corporate Liability. Namun, Mahkamah Agung kurang mengindahkan Dakwaan Penuntut Umum yang tidak mencantumkan hal tersebut dalam surat dakwaannya.

B. Saran

1. Formulasi mengenai perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam tindak pidana perpajakan perlu disempurnakan mengikuti perkembangan zaman khususnya perkembangan teknologi dan informasi agar tidak terdapat celah hukum untuk melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Sehingga kerugian keuangan negara dari hasil Tindak Pidana Perpajakan dapat diminimalisir bahkan menjadi mustahil. 2. Dibutuhkan pengawasan ketat dalam upaya pemungutan pajak meskipun berlaku Sistem Self Assesment, guna mengantisipasi terjadinya penghindaran pajak khususnya oleh wajib pajak badan serta mencegah adanya praktik pemerasan oleh pegawai DJP ataupun penyuapan oleh wajib pajak. Serta penting bagi Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak untuk mempertimbangkan penetapan target pemungutan pajak secara realistis relevan dengan situasi perekonomian masyarakat. 3. Formulasi kebijakan terhadap tindak pidana perpajakan dipandang perlu untuk mengatur Sanksi Pidana denda atau memberlakukan Sanksi Administrasi yang Universitas Sumatera Utara berorientasi pada konsep pengembalian kerugian pada pendapatan penerimaan negara. Karena yang menjadi sasaran dalam penegakan hukum di bidang perpajakan adalah pengembalian danatau pelunasan utang pajak oleh Wajib Pajak. Sehingga, lebih bermanfaat bagi pengembalian kerugian negara dan meningkatkan pendapatan penerimaan dan devisa bagi negara. Dengan demikian, Sanksi Pidana tetap merupakan Ultimum Remedium dalam proses penegakan hukum terutama di bidang perpajakan. Universitas Sumatera Utara BAB II FORMULASI PERBUATAN PIDANA DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

A. Perbuatan Pidana dalam Lingkup Perpajakan

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagaimana dinamakan “Perbuatan Pidana” juga disebut orang dengan “delik”. Menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang antisosial. 43 Dalam literatur Hukum Pajak belum dilahirkan secara tegas definisi dari Tindak Pidana Perpajakan baik oleh para ahli maupun akademisi dan dalam undang-undang pajak sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perpajakan. Berikut pendapat beberapa ahli tentang definisi Pajak dan Hukum Pajak : Menurut Rochmat Sumitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik kontraprestasi, yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 44 Menurut P.J.A. Adriani, Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam mengatakan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai 43 Bachtiar Agus Salim dalam Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia Yogyakarta, Liberty, 1988, Hlm. 107. 44 Simon Nahak, Op. Cit, hlm 6. Universitas Sumatera Utara pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara harus menyelenggarakan pemerintahan. 45 Tindak Pidana Perpajakan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Lex Specialis 46 . Segala bentuk pelanggaran ataupun kejahatan yang termasuk delik 47 perpajakan harus diadili berdasarkan undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku serta peraturan terkait lainnya. Tindak Pidana Pajak adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan, yang pelakunya dapat dikenakan Hukum Pidana sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Biasanya, kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti : Penggelapan, Penipuan, Pemalsuan, Pencurian dan sebagainya. 48 Dalam UU Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud Tindak Pidana pajak, namun demikian dalam kepustakaan hukum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana delict adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Apabila ketentuan yang dilanggar berkaitan dengan Undang-undang perpajakan, disebut dengan tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana termasuk yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata pamungkas terakhir atau Ultimum Remedium yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai penegakan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh 45 Boediono. B, Op. Cit., hlm 8. 46 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Hlm. 8. 47 Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. 48 Rochim, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan, Op. Cit, hlm 43 Universitas Sumatera Utara karenanya, tidak heran apabila dalam undang-undang perpajakan juga mengatur masalah ketentuan pidana. 49 Undang-undang Penanaman Modal pula yang mengatur tentang pengertian Tindak Pidana Perpajakan secara parsial. Dalam Penjelasan Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi Tindak Pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan. 50 Kapan seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana pajak? Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu baru dapat diketahui bila telah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh pemeriksa pajak dan diperoleh bukti-bukti bahwa Wajib Pajak benar melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 38 yang memuat unsur subjektif berupa karena keaalpaan, unsur objektifnya : tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau menyampaikan surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, merugikan keuangan negara dan Pasal 39 yang memuat unsur subjektif yaitu dengan sengaja, dan unusr objektifnya : tidak mendaftarkan diri atau tidak melaporkan usaha, menyalahgunakan NPWP, tidak menyampaikan Surat pemberitahuan, menyampaikan Surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, menolak dilakukan pemeriksaan, tidak menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, tidak menyimpan buku atau catatan pembukuan yang dikelola secara elektronik, tidak menyetorkan pajak, dan merugikan keuangan negara. 51 49 Wirawan B Ilyas Richard Burton, Hukum Pajak Jakarta : Salemba empat, 2004, Hlm 73-74. 50 Pasal 33 Ayat 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. 51 Wirawan B Ilyas Richard burton, Op. Cit., Hlm 68. Universitas Sumatera Utara Tindak Pidana 52 di bidang Perpajakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak pada umumnya berupa penghindaran terhadap pemungutan atau manipulasi atas laporan pajak yang melanggar ketentuan hukum pajak danatau undang-undang perpajakan . Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana Perpajakan dalam lingkup perpajakan, meliputi : 1. Tindak Pidana oleh Aparat Pajak Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh pihak fiskus dan diancam dengan sanksi pidana terdapat dalam : a. Pasal 34 UU KUP, ketentuan ini memuat larangan bagi pejabat memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya guna menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Larangan tersebut juga berlaku bagi tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pelanggaran terharap ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 41 UU KUP yang menyatakan bahwa Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan dendea paling banyak Rp 4.000.000. pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 10.000.000 tetapi, pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, maupun pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dikecualikan dari ketentuan ini. Delik yang ini merupakan delik aduan. b. Pasal 36 KUP, apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan UU Perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka 52 Pompe, Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tata tertib hukum yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. Universitas Sumatera Utara petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. 2. Tindak pidana oleh Wajib Pajak dan Penanggung Pajak Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dan diancam dengan sanksi pidana dapat dilihat dalam : a. Pasal 38 UU KUP, pasal ini mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh orang, yang karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan , tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian negara. Ancaman pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana tersebut adalah ancaman pidana penjara paling lama satu tahun danatau denda paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. b. Pasal 39 UU KUP, Pasal ini mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang dengan sengaja : 1. Tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau 2. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau 3. menyampaikan surat pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau 4. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau 5. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau 6. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku catatan, atau dokumen lainnya; atau 7. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atai dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian keuangan pada pendapatan negara. Universitas Sumatera Utara Ancaman pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas adalah ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ancaman pidana tersebut dilipat duakan apabila seseorang mengulangi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak pidana penjara yang dijatuhkan selesai dijalani. Setiap orang yang mencoba untuk menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama dia tahun dan denda paling banyak empat kali jumlah restitusi yang dimohon danatau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak. c. Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001, UU ini memuat tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkaitan dengan pasal ini , tindak pidana yang dimaksud adalah jika seseorang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atai tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Tindakan ini dikenakan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 5 tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000. d. Pasal 24-26 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 2 Tahun 1994, Pasal-pasal ini mengatur mengenai tindak pidana berkaitan dengan pajak bumi dan bangunan. Pasal Universitas Sumatera Utara 24 menyatakan bahwa tindak pidana terjadi ketika suatu pihak yang karena kealpaannya tidak mengembalikanmenyampaikan SPOP Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak atau menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap danatau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana tersebut adalah ancaman pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling tinggi sebesar dua kali pajak yang terutang. e. Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 13 Tahun 1985, Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 13 Tahun 1985 mengatur tentang Bea Materai. Dalam pasal 13 UU tersebut dinyatakan bahwa sanksi pidana dapat dikenakan pada orang yang : 1. meniru atau memalsukan materai tempel dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mengesahkan materai. 2. dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk mengedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan, atai yang dibuat dengan melawan hak. 3. dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau memasukkan ke Negara Indonesia materai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya, atau tanda waktunya telah dihilangkan, seolah-olah materai itu belum dipakai danatau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak. 4. menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda materai. 5. Keempat hal tersebut merupakan ketentuan yang didasarkan pada KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana. f. KUHP, di dalam KUHP ditentukan mengenai tindak pidana yang dapat berkaitan dengan pajak, seperti penyuapan petugas pajak Pasal 209, melawan perintah pejabat yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan Pasal 216, memberi keterangan lisan atau tertulis di bawah sumpah palsu Pasal 242, memalsukan materai tempel Pasal Universitas Sumatera Utara 253, menggunakan materai tempel yang telah digunakan Pasal 260, membuka rahasia jabatan Pasal 322, dan sebagainya. 3. Tindak Pidana Oleh Pihak ke-3 Selain tindak pidana yang dapat dilakukan oleh aparat pemerintah selaku fiskus dan anggota masyarakat selaku wajib pajak ataupun penanggung pajak, terdapat kemungkinan tindak pidana dilakukan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai pihak ketiga adalah pihak selain fiskus dan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Beberapa tindak pidana yang dilakukan dapat dilakukan oleh pihak ketiga tersebut antara lain meliputi : a. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 41a jo. Pasal 35 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan. Menurut ketentuan tersebut, apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. Setiap orang yang menurut ketentuan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas waji memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yan gtiadk benar dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000. apabila Wajib Pajak mempunyai simpanan uang di bank dalam bentuk giro atau deposito, yang datanya diperlukan oleh aparat pajak dalam rangka pemeriksaan, maka pihak bank diwajibkan untuk memberitahukan kepada aparat yang bersangkutan. b.Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 41b Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menurut ketentuan tersebut, setiap orang yang dengan sengaja Universitas Sumatera Utara menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000. tindakan menghalangi penyidikan dapat dilakukan, baik oleh Wajib Pajak maupun pihak ketiga. c. Selain kedua tindak pidana tersebut masih terdapat tindak pidana di bidang pajak yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, khususnya berkaitan dengan ketentuan bea materai. Misalnya meniru atau memalsukan materai tempel dan kertas materai, dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk mengedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia berupa materai yang mereknya , capnya, tanda tangannya, tanda sahnya, atau tanda waktu mempergunakannya telah dihilangkan seolah-olah materai itu belum dipakai danatau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak atau menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya dapat digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda materai. Perbuatan Pidana dibagi dalam dua bentuk. Yakni Pelanggaran dan Kejahatan. Pelanggaran yaitu perbuatan pelaku tindak pidana perpajakan tanpa sengaja. Sedangkan, kejahatan yaitu perbuatan pelaku tindak pidana perpajakan dengan sengaja. Selain dari sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa 53 : 1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja 2. Jika menghadapi kejahatan, maka bentuk kesalahan kesengajaan atau kealpaan yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh Jaksa. Sedangkan jika menghadapi Pelanggaran, pembuktian tersebut tidak diperlukan. Berhubung dengan itu, kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa. 53 Moeljatno dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan Malang : Setara Press, 2014, Hlm 66. Universitas Sumatera Utara 3. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana Pasal 54 KUHP. Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana Pasal 60 KUHP. 4. Tenggang kadaluarsa, baik untuk hak menentuakan maupun hak penjalanan pidana bagi pelaggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut. Masing-masing adalah satu dan dua tahun. 5. Dalam hal perbarengan concursus, cara pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat Pasal 65, 66, 70. Pasal 38 huruf a dan b UU KUP menentukan, bahwa setiap orang yang karena kealpaanya : a. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau b. Menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A, didenda paling sedikit 1 satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau dipidana kurungan paling singkat 3 tiga bulan atau paling lama satu tahun. Pasal 39 ayat 1 huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, ayat 2 dan 2 menentukan : 1. Setiap orang dengan sengaja : a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; Universitas Sumatera Utara d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 11; atau i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dpidana dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 6enam tahun dan denda paling sedikit 2 dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan denda paling banyak 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambahkan 1 satu kali menjadi 2 dua kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. 3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d, dalam rangka mengajukan Universitas Sumatera Utara permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 2 dua tahun dan denda paling sedikit 2 dua kali jumlah restitusi yang dimohonkan danatau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 empat kali jumlah resitusi yang dimohonkan danatau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. Sedangkan, tentang faktur pajak Pasal 39A huruf a dan b menentukan : Setiap orang yang dengan sengaja : a. Menerbitkan danatau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, atau b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dipidana dengan penjara paling sedikit 2 dua tahun dan paling lama 6 enam tahun serta denda paling sedikit dua dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak danatau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak. Berdasarkan ketentuan pidana perpajakan tersebut, maka uraian pasal 38 mengatur tentang kealpaan Culpa yang terkait dengan Surat Pajak Tahunan SPT, yang berhubungan dengan Pasasl 13A UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan UU KUP. Pasal 39 berkaitan dengan kesengajaan Dolus SPT, Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP, Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak NPKP, Pemeriksaan, Pembukuan, Penyetoran Pajak, dan Pasal 39 ayat 2 terkait dengan Tindak Pidana Pengulangan menentukan pidana akan ditambahkan 1 satu kali menjadi 2 dua kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 satu tahun, Universitas Sumatera Utara terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 39 ayat 3 terkait dengan Tindak Pidana Percobaan, Pasal 39A terkait dengan Tindak Pidana Faktur Pajak.

1. Subjek Hukum Pidana

Menurut Riduan Syahrani, subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban manusia, yaitu manusia dan badan hukum. 54 Yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum disebut “subyek hukum” legal subject, yang menurut pendapat Jimly Asshidiqie, adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang-perorangan natuurlijk persoon atau menselijk persoon , dan bukan orang Recht Persoon. 55 Tindak Pidana Perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak yang perbuatannya merupakan Delik Pajak dan memenuhi unsur pidana perpajakan. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 56 Wajib Pajak terdiri dari Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak Badan, Badan adalah sekumpulan orang danatau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 57 Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum, dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia memberikan perlindungan terhadap 54 Riduan Syahrani dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 78. 55 Jimly Asshiddiqie dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 78. 56 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 57 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdewawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm 33. Universitas Sumatera Utara manusia. Konstruksi yang demikian itu disebut Badan Hukum. Bagaimanapun juga, perluasan fiktif tersebut tentulah dimaksud untuk mencapai tujuan tertentu dan dalam rangka itulah hukum menciptakan suatu kepribadian yang baru tersebut. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum. 58 Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah natural person tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan, baik merupakan badan hukum legal person maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana corporate criminal dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana crimes for corporation. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana corporate criminal responsibility. 59 Subjek hukum pidana korporasi, perumusannya lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum. Muladi memberikan contoh : firma dan CV Perseroan Komanditer merupakan bentuk badan usaha yang bukan badan hukum. Suatu perkumpulan yang bukan badan hukum, tidak memerlukan syarat pengesahan akta pendirian oleh pemerintah. Tidak semua badan usaha berbadan hukum, badan usaha yang 58 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana Medan : USU Press, 2013, Hlm 24. 59 Ibid,. Hlm 25. Universitas Sumatera Utara dikategorikan sebagai badan hukum adalah : PT, Yayasan, Koperasi, BUMN dan bentuk badan usaha lain yang anggaran dasarnya disahkan oleh Menteri dan diumumkan dalam berita negara, sedangkan UD, PD, Firma dan CV adalah badan usaha yang bukan badan hukum. 60 Recht persoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W. Opzoomer, A.N Houwing, dan Langemeyer. Oleh karena itu, badan hukum adalah hanya fiksi hukum, dan pendapat ini disebut teori fiktif atau teori fiksi. 61 . Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan perubahan ketiga atas UU No. 16 Tahun 1983 menyatakan adanya beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi tindak pidana di bidang perpajakan meliputi 62 : a. Wajib pajak orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan Pasal 1 ayat 2, Pasal 13A, 38, 39, 39A, 40. b. Pegawai Pejabat Pasal 34, 36A ayat 3 dan ayat 4, 41 ayat 1 dan ayat 2. c. Badan, sekumpulan orangmodal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseoran terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak invetasi kolektif dan bentuk usaha tetap Pasal 1 ayat 3, dan Pasal 32, 38, 39, 39A. 60 Ibid,. Hlm 26. 61 Ibid. 62 Simon Nahak, Op. Cit., Hlm 99-100. Universitas Sumatera Utara d. Pihak ketiga meliputi bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, instansi pemerintah, lembaga asosiasi Pasal 35 dan 35A e. Setiap orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda.. Pasal 41B. Dalam lingkup tindak pidana di bidang perpajakan, yang berposisi sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana adalah Wajib Pajak, baik seseorang maupun badan hukumkorporasi yang di dalamnya terdapat subyek hukum orang dan subyek hukum badan hukum. Akan tetapi yang diwajibkan untuk dibuktikan unsur kesalahan kepada pelakunya hanyalah subjek hukum orang yang memiliki akal untuk menentukan kehendaknya.

2. Unsur Perbuatan Pidana

Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhi pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat : Perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian, rumusan pengertian Perbuatan Pidana menjadi jelas : suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. 63 Perbuatan Manusia : bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan, dapat dipidana. Yang juga dianggap perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Dalam lingkup rumusan delik, semua unsur rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi. Bersifat Melawan Hukum : Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis misalnya, sengaja membunuh orang lain tidak dapat dipidana kalau tidak 63 I Made Widyana, Asas-asas Hukum Pidana Jakarta : Fikahati Aneska, 2010, Hlm 55. Universitas Sumatera Utara bersifat melawan hukum misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang. Dapat Dicela : Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik. Inilah yang dinamakan unsur di luar undang-undang. Antara petindak dan suatu tindakan yang terjadi harus ada hubungan kejiwaan psychologisch, selain daripada penggunaan salah satu bagian tubuh, panca-indera atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan. Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa, dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apakah dilakukannya atau dihindarinya, dapat pula menginsyafi ketercelaan tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela. Bentuk hubungan kejiwaan itu dalam istilah hukum pidana disebut kesengajaan atau kealpaan. Selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut. Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umummasyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku, dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana belum daluarsa, dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. Dengan perkataan lain suatu tindakan Universitas Sumatera Utara yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia. Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat dan keadaan WTK ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal sangat penting. Karena tanpa kejelasan WTK dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum karena samar dan kabur, sama dengan unsur-unsur lain yang harus terbukti. Dari uraian tersebut diatas, secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur tindak pidana yaitu : 64 1. Subjek 2. Kesalahan 3. Bersifat melawan hukum Dari Tindakan 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undangperundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana 5. Waktu, tempat dan keadaan unsur objektif lainnya. Y. Sri Pudyatmoko berpendapat, berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka dapat dipahami unsur-unsur dari tindak pidana perpajakan itu, yaitu : 65 1. Tidak dilaksanakannya perbuatan yang diwajibkan, seperti tidak menyampaikan SPT, atau adanya perbuatan yang dilarang seperti memperlihatkan pembukuan palsu. 2. Berada dalam kaitannya dengan masalah pajak 3. Dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja 4. Secara melawan hukum : tidak memenuhi kewajiban hukum ataupun melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. 64 E.Y Kanter dan S.R Sianturi,Op. Cit., Hlm 211. 65 Y. Sri Pudyatmoko dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan Malang : Setara Press, 2014, Hlm 117-118. Universitas Sumatera Utara 5. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Azis syamsuddin menulis bahwa, Unsur-unsur Tindak Pidana Perpajakan berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah 1 siapa saja, baik orang pribadi maupun badan yang 2 melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban perpajakan, dan 3 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. 66 Berikut uraian unsur-unsur dari rumusan Pasal Undang-undang Tindak Pidana Perpajakan beserta perubahannya :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 38 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Barang Siapa b. Karena kealpaannya Unsur Objektif : a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar c. Dapat menimbulkan kerugian pada Keuangan Negara Pasal 39 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Barang Siapa b. Dengan sengaja Unsur Objektif : a. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak 66 Azis Syamsuddin dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan Malang : Setara Press, 2014, Hlm 118. Universitas Sumatera Utara b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; danatau c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; danatau d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah olah benar; danatau e. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lainnya;danatau f. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut; g. Dapat menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Pasal 41 Ayat 1 a. Pejabat yang karena kealpaannya b. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 41 Ayat 2 a. Pejabat yang dengan sengaja b. Tidak memenuhi kewajiban atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. 2. UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 38 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Setiap orang b. karena kealpaannya Unsur Objektif : a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pasal 39 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Unsur Subjektif : a. Setiap orang b. Dengan sengaja. Unsur Objektif : a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau b. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pasal 41 Ayat 1 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Pejabat b. Karena kealpaannya c. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 41 Ayat 2 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Pejabat b. Dengan sengaja c. Tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 41A Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang, yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini b. Wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta Universitas Sumatera Utara c. dengan sengaja d. Tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, Pasal 41B Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang b. dengan sengaja c. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. 3. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 38 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Setiap orang b. Karena kealpaannya Unsur Objektif : a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara d. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali. Pasal 39 ayat 1 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Setiap orang b. Dengan Sengaja Unsur Objektif : Universitas Sumatera Utara a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 11; atau i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut j. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pasal 39A Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif : a. Setiap orang b. Dengan sengaja Unsur Objektif : a. Menerbitkan danatau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat 2 a. Pejabat b. Dengan sengaja Universitas Sumatera Utara c. Tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 41 Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Ayat 1 a. Pejabat b. Karena kealpaanya c. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 41A Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang b. Wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 c. tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar. Pasal 41B Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang b. Dengan sengaja c. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 41C Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : Ayat 1 a. Setiap orang b. Dengan sengaja c. Tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat 1. Ayat 2 a. Setiap orang b. Dengan sengaja Universitas Sumatera Utara c. Menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat 1. Ayat 3 a. Setiap orang b. Dengan sengaja c. Tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat 2. Ayat 4 a. Setiap orang b. Dengan sengaja c. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan d. Menimbulkan kerugian kepada negara. Unsur Objektif : a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar b. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara c. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.

B. Pertanggung Jawaban Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan

Pertanggung jawaban pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan, terdiri dari dua subjek hukum yang dapat dimintai pertanggung jawaban yaitu Manusia Natuurlijk Persoon dan Badan Hukum Recht Persoon. Untuk meminta Pertanggung Jawaban terhadap Manusia, perlu memperhatikan hal mendasar yaitu Kesalahan meliputi Kesengajaan atau kelalaian, selanjutnya apakah terdapat Alasan Pemaaf dan bagaimana kemampuan bertanggung jawab daripada si pelaku. Sedangkan pertanggung jawaban terhadap Badan Hukum Recht Persoon berpedoman pada tiga teori yang mengesampingkan kesalahan atau meniadakan asas Korporasi tidak dapat dipidana Universitas Delinquere Non Potest yaitu Identification Theory Teori Universitas Sumatera Utara Identifikasi, Strict Liablity Tanggung Jawab Langsung, Vicarious Liability Tanggung Jawab Pengganti. Ketiga teori ini meniadakan unsur kesalahan sehingga korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya.

1. Orang-Perorangan Natuurlijk Persoon a. Kesalahan

Secara doktriner, Kesalahan diartikan sebagai keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. 67 Kesalahan tidak mungkin ada tanpa melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain, kesalahan tidak mungkin ada tanpa perbuatan pidana. 68 Van Hammel mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik berhubungan dengan aspek psikologis, dimana ada hubungan antara keadaan jiwa sipembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum schuld is de verantwoordelijkheid rechtens. Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan, sifat melawan hukum biasanya merupakan segi luarnya, dimana yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Sedangkan, yang bertalian dengan kehendak dari dalam si pembuat adalah kesalahan. 69 Vos, dengan pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dengan kesalahan dengan unsurnya masing-masing pandangan dualistis, menyatakan pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus, yaitu : 1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan toerekeningsvatbaarheid van de dader 67 Moeljatno, Op. Cit., Hlm. 63. 68 Bambang Poernomo, Op. Cit., Hlm 150. 69 Made Sadhi Astuti dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan Malang : Setara Press, 2014, Hlm 77-78. Universitas Sumatera Utara 2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan dan kealpaan. 3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu. Simons mengatakan bahwa “kesalahan” adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang demikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tersebut. 70 Menurut Roeslan Saleh, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan “perbuatan pidana”, dilihat dari segi masyarakat, ia dapat dicela oleh karenanya sebab dapat dianggap berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian. “dilihat dari segi masyarakat” ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui, mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psikologis. Demikan misalnya pandangan dari pembentuk W.v.S tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya perbuatan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada kesalahan atau tidak ada. 71 Bachtiar Agus Salim menyatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang itu. Maka haruslah dipenuhi beberapa syarat : 72 1. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum 2. Mampu bertanggung jawab 3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaanya 4. Tidak adanya alasan pemaaf. 70 Roeslan Saleh dalam Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia Yogyakarta, Liberty, 1988, Hlm. 106. 71 Ibid. 72 Bachtiar Agus Salim dalam Djoko Prakoso, Ibid., Hlm. 106-107. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengertian kesalahan tersebut tersimpul, bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan perbuatantindak pidana, yaitu : 1. Adanya keadaan psychis batin yang tertentu 2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam masyarakat. Syarat pertama mengandung arti, bahwa keadaan batin pelaku haruslah sedemikian rupa, hingga pelaku mengerti makna dari perbuatannya, misalnya pelaku telah dewasa. Syarat kedua mengandung arti, bahwa antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan haruslah sedemikian rupa, sehingga atas perbuatannya itu ia patut dicela, misalnya jiwanya itu normal atau sehat, dengan keadaan batin seperti itulah pelaku mestinya insyaf atau sadar terhadap perbuatannya. Syarat kedua inilah yang secara teoritis sering disebut dengan istilah “kemampuan bertanggung jawab”. Hanya terhadap orang-orang yang jiwanya normal inilah, dapat harapkan tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat, sehingga terhadap pelanggarnya dapat dicelakan padanya. 73 Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut. 74 73 Moeljatno dalam A Fuad Usfa Tongat, Pengantar Hukum Pidana Malang : UMM Press, 2004, Hlm. 75. 74 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia Bandung : Utomo, 2004 Hlm, 30-31. Universitas Sumatera Utara Sudarto juga menyatakan ha l yang sama, yaitu “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang- undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih ada syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjektive guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. 75 Pertanggungjawaban dalam hukum pidana berkaitan dengan apakah dalam melakukan perbuatannya, pelaku mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab, dalam hukum pidana, berlaku asas geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea, dimana seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan. 76 Kesalahan terbagi atas dua bentuk, yaitu kesalahan yang dilakukan berdasarkan kealpaan dan kesalahan yang dilakukan karena kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Kesengajaan

Pertanggungjawaban pidan a ditentukan dari adanya “sifat melanggar hukum” dalam suatu perbuatan. Sifat melanggar hukum merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Apabila sifat melanggar hukum dihubungkan dengan keadaan psikis jiwa pelaku tindak pidana, maka perbuatannya dapa t berupa “kesengajaan” opzet atau “kelalaian” culpa. Akan tetapi, kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Dalam teori hukum pidana di Indonesia, kesengajaan terbagi atas tiga macam, yaitu 77 : 75 Sudarto dalam Dwidja Priyatno, Op. Cit., Hlm, 31. 76 Moeljatno, Op. Cit., Hlm 165. 77 Simon Nahak, Ibid. Hlm. 96-97. Universitas Sumatera Utara 1. kesengajaan yang bersifat tujuan, dalam hal ini si pelaku dapat dikenai pertanggungjawaban karena kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana, sehingga pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diberikannya ancaman hukuman. 2. kesengajaan secara keinsyafan kepastian, kesengajaan ini ada apabila si pelaku dalam perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. 3. kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan, kesengajaan ini yang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat perbuatan yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Menurut penjelasan MvT Memorie van Toelichting, bahwa sengaja Opzet berarti bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff. kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Menur ut penjelasan tersebut “sengaja” Opzet sama dengan willen en wetens dikehendaki dan diketahui. Hal ini dibantah oleh Van Hattum yang mengatakan bahwa willen tidak sama dengan weten . Jadi, dengan sengaja dan willen dan wetens tidak sama. Seseorang yang willen hendak berbuat sesuatu belum tentu menghendaki juga akibat yang pada akhirnya sungguh- sungguh terjadi karena perbuatan tersebut. Menurut praktek katanya, hakim sangat sering mempersamakan dua pengertian “dikehendaki” dan “diketahui” yang tidak sama itu, yaitu “dengan sengaja” meliputi pula “mengetahui” bahwa perbuatan yang dilakukan adalah suatu pelanggaran hukum. Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh van hattum ini, perlu diingat bahwa sebagian besar penulis hukum pidana mengatakan bahwa “sengaja” itu sesuatu pengertian yang tidak berwarna, artinya tidak perlu pembuat mengetahui bahwa perbuatannya itu Universitas Sumatera Utara dilarang oleh undang-undang. Menurut jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan atas pengabaian natalen mengenai apa yang oleh undang-undang tentukan sebagai dapat dipidana. Tidak perlu dibuktikan bahwa pelanggar mengetahui dapatnya dipidana perbuatannya atau pengabaiannya, juga tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang atau tidak bermoral. Perbuatan Karena Kesengajaan Dolus 78 , adalah perbuatan yang didasari oleh kehendak dan keinsyafan atas akibat yang akan terjadi karena perbuatannya. 79 Pada umumnya, Perbuatan Pidana seringkali dilakukan dengan sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tertentu, salah satunya mendapatkan keuntungan. Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sendiri lebih banyak Pasal yang memuat unsur kesengajaan daripada kelalaian dalam melakukan tindak pidana diantaranya Pasal 39 ayat 1, Pasal 39A, Pasal 41A huruf c, Pasal 41B, Pasal 41C Ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4. Salah satunya dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang KUP yang rumusannya mengatur tentang perbuatan pidana yang didasari atas unsur kesengajaan, perbuatan berupa manipulasi laporan pajak yang dapat merugikan keuangan negara. Kelalaian Kelalaian atau culpa menurut MvT Memorie van Toelichting terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga, culpa itu dipandang lebih ringan dengan sengaja. Oleh karena itu, Hazwinkel – suringa mengatakan delik culpa itu merupakan delik semu quasidelict, sehingga diadakan pengurangan pidana. Dalam memori jawaban pemerintah MwA, mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti 78 Willens en Watens menghendaki, menginsyafi atau mengetahui 79 Teguh Presetyo, Ibid, Hlm. 96. Universitas Sumatera Utara mempergunakan salah kemampuannya, sedangkan siapa karena salahnya culpa, melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan. 80 Van Hamel membagi culpa atas dua jenis : 1. Kurang melihat ke depan yang perlu 2. Kurang hati-hati yang perlu. Yang pertama terjadi jika Terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan, yang kedua misalnya, ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya padahal ada. Vos mengeritik pembagian Van Hamel mengenai culpa schuld ini dengan mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antar kedua bagian tersebut. Ketidakhati-hatian itu sering timbul karena kurang melihat ke depan. Oleh karena itu, Vos membuat bagian juga, yaitu kalau Van Hamel membedakan dua jenis culpa maka Vos membedakan dua unsur element culpa itu. Yang pertama ialah Terdakwa dapat melihat ke depan apa yang akan terjadi. Yang kedua, ketidakhati-hatian tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan atau pengabaian atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau tidak dengan cara demikian dilakukan. Menurut Vos selanjutnya, dapat melihat ke depan suatu akibat merupakan syarat subjektif pembuat harus dapat melihat ke depan. Misalnya seorang anak kecil yang memindahkan wisel rel kereta api sehingga kereta api keluar rel, tidaklah ia bersalah culpa jika ia tidak tahu apakah wisel rel kereta api itu. Tetapi culpa itu ada pula segi objektifnya, yaitu sesudah dilakukan perbuatan, dikatakan pembuat dapat melihat ke depan akibatnya jika seharusnya ia telah perkirakan. Ia sebagai orang normal dari sekelompok orang yang dapat melihat ke depan akibatnya itu. Jadi, seorang profesional dipandang lebih dapat melihat ke depan dibanding orang awam. 80 Hazwinkel – Suringa dalam Jur Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya Jakarta : Softmedia, 2012. Hlm 168. Universitas Sumatera Utara Mengenai kekuranghati-hatian, Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat melihat ke depan suatu akibat, tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi berbahaya yang dilakukan menurut keahliannya yang dapat melihat ke depan adanya kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Disini, perbuatan tersebut masih dapat dipetanggungjawabkan. Jadi, untuk dipandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain daripada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos ialah masih harus ada unsur kedua yaitu kurang hati-hati. 81 Perbuatan Karena Kealpaan, Kealpaan Culpa : seseorang yang melakukan perbuatan atas dasar kealpaan, dimana ia tidak mengindahkan adanya larangan. 82 Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa 83 : 1. Tidak adanya kehati-hatian. 2. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin. Pasal-pasal yang mengatur tentang Perbutan Pidana di bidang Perpajakan karena kelalaian antara lain, Pasal 38, Pasal 41 ayat 1 Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud Kelalaian menurut penjelasan dalam Pasal 38, berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Terdapat ketentuan untuk memenuhi unsur kelalaian dalam Pasal 38 UU KUP, yaitu perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang pertama kali. Artinya telah terjadi beberapa kali bahkan berulang kali dilakukan barulah dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Pidana yang dilakukan dengan kelalaian.

c. Kemampuan Bertanggung Jawab

81 H.B Vos dalam Jur Andi Hamzah, Ibid., Hlm 169. 82 Teguh Prasetyo, Ibid, Hlm. 106. 83 Ibid, Hlm. 107. Universitas Sumatera Utara Secara Yuridis Formal, tidak terdapat rumusan dalam KUHP yang memberi batasan tentang Kemampuan Bertanggung Jawab. Persoalan yang berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab diserahkan kepada doktrin. 84 Secara doktriner, untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada dua hal, yaitu : 85 1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak. 2. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.. Menurut ketentuan dalam KUHP, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena dua alasan, yaitu : 86 1. jiwanya cacat dalam tumbuhnya 2. jiwanya terganggu karena penyakit Menurut Memorie Van Toelichting MvT, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena : 87 a. Ia tidak menginsyafimenyadari akan perbuatan yang dilakukan b. Ia tidak bebas menentukan perbuatannya.

d. Tidak adanya Alasan Pemaaf

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi : 1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 84 Ibid., Hlm. 75. 85 Ibid., Hlm. 75-76. 86 Ibid., Hlm. 76. 87 C.S.T Kansil dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 79. Universitas Sumatera Utara 2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana. 3. Alasan Penghapus Penuntutan, di sini persoalannya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh, Pasal 53 kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan. 88 Alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana dalam kepustakaan disebut dengan Alasan Pembenar, sedangkan alasan yang menghapuskan kesalahan disebut dengan Alasan Pemaaf. 89 Dalam pertanggung jawaban Pidana, terdapat alasan pemaaf dan alasan pembenar yang dapat menghapus pidana, antara lain : Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Bahkan Wilson mengatakan terdapat moral force yang berbeda pada kedua defense tersebut. Adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. 90 Dalam pertanggungjawaban pidana, hanya dianut alasan pemaaf. Sebab dalam teori alasan pembenar menghapus sifat melawan hukum dan perbuatan dalam KUHP yang 88 Moeljatno, Op. Cit., Hlm 148. 89 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan Jakarta : Kencana, 2006, Hlm 121. 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara dilarang, maka perbuatan yang semula melawan hukum menjadi dapat dibenarkan dengan demikian pelakunya tidak dipidana. Dasar Pemaaf atau fait d’excuse, sifat melanggar hukum dari dari semua unsur tindak pidana tetap ada. Tetapi, hal-hal khusus menjadikan pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, dihapuskan kesalahannya. Termasuk dasar pemaaf adalah penyakit, kekurangan daya pikir, daya paksa overmacht, bela paksa, lampau batas noorweerexes, dan perintah jabatan yang tidak sah. Alasan Pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan Pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan Pemaaf ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan pidana dalam keadaan : 1. Tidak dipertanggungjawabkan ontoerekeningsvaatbaar 2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer excess 3. Daya paksa overmacht. 91 Tanggung jawab terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan dapat diuraikan sebagai berikut : 1 Tanggung Jawab Pidana Bagi Wajib Pajak Perorangan Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan. Wajib pajak yang bertanggung jawab atas suatu tindak pidana berarti secara sah dapat dikenakan pidana atas tindakan yang telah dilakukannya itu. Suatu pidana dapat dikenakan secara sah, apabila tindakan tersebut telah ada aturannya dalam suatu undang-undang yang berlaku atas tindakan yang dilakukannya. 91 Teguh Prasetyo,Op. Cit., Hlm 126-127. Universitas Sumatera Utara Penerapan pidana merupakan tindakan yang diarahkan kepada suatu tujuan, yang tidak lain, untuk memperbaiki atau memberi sanksi kepada pelanggar hukum agar ia menjadi orang baik dan memperhatikan ketentuan-ketentuan pidana dalam bidang perpajakan, sehingga orang yang mengadili juga mengetahui arti dari apa yang dilakukannya itu. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana adalah keputusan dalam keadaan konkret yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana. Pengertian subjek pidana meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana pelaku tindak pidana dan siapa yang dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab perorangan merupakan tanggung jawab yang sangat mendasar, yang melekat bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan. 92 2 Tanggung Jawab Pidana Bagi PegawaiPejabat Direktorat Jenderal Perpajakan Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan Tanggung jawab melekat pada pegawaipejabat yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan di lingkungan direktorat jenderal perpajakan, yang meliputi : a. Kantor Pelayanan Pajak disingkat KPP sebagai tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, danatau tempat objek pajak terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16MK.032011 Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 35, baik di tingkat kantor Pratama pada tingkat KabupatenKota Setempat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DJP tingkat provinsi, maupun Kantor Direktorat Jenderal Pajak pada tingkat Pusat dibawah naungan Menteri Keuangan Republik Indonesia di jakarta; dan b Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara disingkat KPPN, yakni instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Direktorat Jendel 92 Ibid, Hlm. 84. Universitas Sumatera Utara Perbendaharaan, yang menjadi mitra kerja KPP Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16MK.032011. 93 Pelaksanaan kegiatan sebagai peneliti, Verifikasi, Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan BUPER, Penyidikan Tindak Pidana di bidang Perpajakan, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda disingkat P3B sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksana Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268 yang secara prinsip mengatur tata cara penerimaan pembayaran Wajib Pajak, harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. 94 Ketika dalam kegiatan pemungutan kewajiban Wajib Pajak yang diterima pegawaipejabat perpajakan yang tidak sesuai dengan seharusnya, maka pegawaipejabat yang bertugas yang paling bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut. Pejabat yang dimaksud, pejabat fungsional dan penerima setoran uang Wajib Pajak atau kepala seksi penghitungan setoran uang Wajib Pajak, karena tugas mereka adalah melayani dan meneliti setiap penerimaan uang Wajib Pajak, baik pembayaran Wajib Pajak perorangan atau Badan Hukum yang telah disetorkan dengan bukti setoran Wajib Pajak berupa Surat Setoran Pajak SSP, Surat Tagihan Pajak STP, Surat Pemberitahuan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan PPh Badan, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPNbm, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan SKPKBT, Surat Keputusan Keberatan SKK. 3 Tanggung Jawab Pidana Pihak Ketiga Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan. 93 Simon Nahak, Ibid. Hlm 102-103. 94 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan terhadap pihak ketiga dirumuskan dalam UU KUP sebagai berikut : Pasal 35 ayat 1 dan 2 UU KUP menentukan : 1. Apabila dalam menjalankan ketentuan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor adminsitrasi, danatau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atai penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas perminataan tertulis dari Direktorat Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diterima. 2. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. 3. Tata Cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Sedangkan dalam Pasal 35A Ayat 1 dan 2 UU KUP ditentukan bahwa : 1. Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2. 2. Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan Universitas Sumatera Utara penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2. Syarat utama untuk menjatuhkan pidana kepada perseorangan adalah adanya unsur kesalahan Kesengajaan atau Kelalaian. Disamping, penting memperhatikan kemampuan bertanggung jawab serta apakah terdapat alasan pemaaf. Pada umumnya Pasal-pasal yang mengatur ketentuan Pidana Mengarah pada Perseorangan sebagai Subjek Hukumnya. Namun tidak menutup kemungkinan Korporasi turut mempertanggungjawabkannya.

2. Badan HukumKorporasi Recht Persoon

Badan, adalah sekumpulan orangmodal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseoran terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak invetasi kolektif dan bentuk usaha tetap Pasal 1 ayat 3, dan Pasal 32, 38, 39, 39A UU KUP. Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukakannya. Yaitu, badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan pada pengurusnya. Selain dari itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena harus menanggungnya dengan kekayaannya. Karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman Universitas Sumatera Utara denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui kemampuannya. 95 Van bemmelen dan Remmelink, menyatakan mengenai kesalahan yang terdapat pada korporasi, yaitu bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. Dalam hal pertanggung jawaban oleh wajib pajak badan hukum, yakni perusahaan atau korporasi, dimana dalam teori pertanggung jawaban pidana korporasi. Awalnya dikenal ada dua macam doktrin, yaitu doktrin Strict Liability Tanggung Jawab Mutlak dan Vicarious Liability Tanggung Jawab Pengganti. Namun karena persoalan pertanggung jawaban korporasi sedapat mungkin harus mempertimbangkan unsur kesalahan, maka sebagaimana dijelaskan oleh Muladi 96 , muncul teori baru yang diperkenalkan oleh Viscount Haldane yang dikenal dengan “Theory of Primary Corporate Criminal Liability” yang kemudian terkenal dengan sebutan “Identification Theory”. Ada tiga doktrin pertanggungjawaban korporasi yang masing-masing memiliki ciri dan pandangan yang berbeda, sebagai berikut : 1. Identification Theory Doktrin ini memandang bahwa perbuatandelik dan kesalahan sikap batin pejabat senior dipandang sebagai perbuatan dan dikumpulkan dari perbuatan dari sikap batin dari beberapa pejabat senior. 97 Hal itu senada dengan yang dikemukakan oleh Peter Gillies yang menulis bahwa, “more specifically, the criminal act and state of mind of the senior officer may be terated as being the company’s own act or mind, so as to create criminal liability in 95 Suprapto dalam Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia Bandung : Utomo, 2004 Hlm, 66. 96 Muladi dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm. 80. 97 Ibid. Universitas Sumatera Utara the company. The element of an offence may be collected from the conduct and mental states of several of its senior officers, in appropriate cirmcumstances. secara lebih spesifik, tindak pidana dan keadaan pikiran dari pejabat senior dapat diperlakukan sebagai pikiran atau tindakan perusahaan , sehingga tercipta tanggung jawab pidana di perusahaan. Unsur pelanggaran dapat dikumpulkan dari perilaku dan mental beberapa pejabat senior, dalam keadaan telah sesuai. . 98 Berdasarkan teori identifikasi tersebut, maka semua tindakan atau tindak pidana yang dilakukan orang-orang yang dapat diidentifikasikan dengan organisasikorporasi atau mereka yang disebut “who constitute its directing mind will of the corporation” yaitu individu- individu seperti para pejabat atau pegawai yang mempunyai tingkatan manager, yang tugasnya tidak dibawah perintah atau arahan atasan dalam organisasi, dapati diidentifikasikan sebagai perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi tidak didasarkan atas konsep pertanggungjawaban pengganti vicarious liability. 2. Doktrin Vicarious Liability Doktrin ini dapat diartikan bahwa seseorang yang tidak memiliki kesalah pribadi, bertanggung jawab atas tindakan orang lain, atau dalam beberapa sumber sering disingkat dengan sebutan “pertanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjawaban seperti ini hampir semuanya ditujukan pada delik dalam undang-undang Statutory Offences. 99 Barda nawawi arief menulis bahwa doktrin Vicarious Liability diartikan bahwa pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another , sehingga menurut doktrin ini, majikan employer adalah pertanggungjawaban utama dari perbuatan-perbuatan para buruhkaryawan yang melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugaspekerjaannya. Hal 98 Peter Gillies dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 81. 99 Yudi Wibowo Sukinto dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm. 81 Universitas Sumatera Utara itu didasarkan pada “emploe-ment principle” yang menyatakan bahwa “the servant’s act is the master’s act in law”. 100 3. Doktrin Strict Liability Menurut Romli Atmasasmita, dalam doktrin Strict Liability, Pertanggungjawaban tidak harus mempertimbangkan adanya kesalahan. Karena dalam pertanggungjawaban korporasi, asas kesalahan tidaklah mutlak berlaku. Seseorang sudah dapat dipertanggjungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan mens rea. Strict Liablity hampir sama dengan Vicarius Liability, karena kedua doktrin ini tidak mensyaratkan adanya mens rea atau kesalahan dari si pembuatnya. Namun, bedanya terletak pada pengenaan pertanggungjawaban pidana, dimana pada Strict Liability pertanggungjawaban pidana bersifat langsung sedangkan pada Vicarious Liability pertanggungjawabannya tidak langsung. 101 Dalam bahasa hukum, korporasi dan negara dipersonifikasikan. Mereka adalah Juristic Persoon sebagai lawan dari Natural Persoon. Ketika suatu sanksi dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki komunitas hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik sebagai organ komunitas tersebut, maka sanksi ini disebut sebagai pertanggungjawaban kolektif yang merupakan elemen karakteristik hukum primitif. Pertanggungjawaban individu terjadi pada saat sanksi dikenakan hanya pada delinquent. 102 Pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan mengingat fakta, bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya independen. Bahkan dikatakan bahwa mempertentangkan antara individu dan komunitas adalah dalil ideologis dari sistem liberal, yang harus ditempatkan sama dengan dalil-dalil ideologi dari sistem liberal, yang harus ditempatkan sama dengan dalil-dalil ideologis komunitas. Ketika sanksi tidak ditetapkan kepada delinquent, tetapi kepada individu yang memiliki hubungan 100 Barda Nawawi Arief dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm.81 101 Romli Atmasasmita dalam Simon Nahak, Ibid.Hlm 82. 102 Jimly Asshiddiqie dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 94. Universitas Sumatera Utara hukum dengan delinquent, maka pertanggungjawaban individu tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban absolut. 103 Berdasarkan Penjelasan dalam angka 126 lampiran 1 UU No, 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 menentukan bahwa “tindak pidana dilakukan oleh orang perorang atau korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada : a. Badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan atau korporasi danatau b. Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana. Secara sederhana dapat digambarkan mengenai tiga model pertanggungjawaban terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yaitu : a. Pengurus sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab c. Korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab. 104 Pertanggungjawaban pidana dalam uraian ketentuan tersebut, apabila dikaitkan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dengan teori pertanggungjawban pidana criminal liability baik dalam perspektif Identification Theory, Vicarious Liability maupun Strict Liability, maka terdapat beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawban pidana, baik pimpinan perusahaan korporasi factual dader dan pemberi perintah instrumention giver. Keduanya dapat dikenakan sanksi secara bersamaan. Sanksi pidana tersebut bukan karena perbuatan fisik, akan tetapi berdasarkan jabatan yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Menurut Teori Identifikasi, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perbuatan perusahaan korporasi itu sendiri. Keadaan demikian, 103 Ibid. 104 Chaidir Ali dalam Simon Nahak, Ibid., Hlm 90. Universitas Sumatera Utara perbuatan itu tidak dipandang sebagai pengganti sehingga pertanggungjawaban perusahaan korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Pemikiran doktrin identifikasi ini, berpendapat bahwa perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, sehingga ia dapat bertindak melalui agennya. Agen tersebut dipandang sebagai directing mind atau alter ego. Perbuatan individu yang dikaitkan dengan perusahaan, yaitu bila seseorang individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan perusahaan, sehingga mens rea seseorangindividu merupakan mens rea dari perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut, Michael Allen berpendapat “The Corporation will only be liable where the person identified with it was acting within the scope of his office; it will not be liable for acts which he did in his personal capacity ”. 105 Korporasi hanya bertanggung jawab dimana seseorang itu diidentifikasikan dengan perbuatan perusahaan, yang bertindak dalam ruang lingkup jabatannya, korporasi tidak bertanggung jawab jika perbuatan itu dilakukan dalam kapasittas pribadinya. Peraturan perundang-undangan sekarang ini, telah mengakui bahwasanya perbuatan dan sikap batin dari orang-orang tertentu yang berhubungan erat dengan korporasi di dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi. Perbuatan orang-orang tertentu, disebut sebagai senior officer dari perusahaan. Pada umumnya, para pejabat senior yang dimaksud adalah para pengendali perusahaan yaitu Direktur dan Manager. Menentukan apakah seseorang bertindak sebagai perusahaan atau hanya sebagai karyawan atau agen, dibedakan antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dan mereka yang mewakili tangannya. Bahwa sebuah perusahaan korporasi dalam banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan korporasi memiliki otak dan pusat saraf yang 105 Michael J Allen dalam Mahmud Mulyadi Feri Antoni Surbakti. Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi Jakarta. : Softmedia, 2010 Hlm, 57. Universitas Sumatera Utara mengendalikan apa yang dilakukannya. Memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf itu. Beberapa orang di lingkungan perusahaan itu ada karyawan dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam melakukan sebuah pekerjaan sedangkan di pihak lain ada direktur dan manager yang mewakili sikap batin yang mengawahkan dan mewakili kehendak perusahaan serta mengendalikan apa yang dilakukan. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perbuatan perusahaan korporasi itu sendiri. Keadaan demikian, perbuatan itu tidak dipandang sebagai pengganti sehingga pertanggungjawaban perusahaan korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Pemikiran doktrin identifikasi ini, berpendapat bahwa perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, sehingga ia dapat bertindak melalui agennya. Agen tersebut dipandang sebagai directing mind atau alter ego. Perbuatan individu yang dikaitkan dengan perusahaan, yaitu bila seseorang individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan perusahaan, sehingga mens rea seseorangindividu merupakan mens rea dari perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut, Michael Allen berpendapat “The Corporation will only be liable where the person identified with it was acting within the scope of his office; it will not be liable for acts which he did in his personal capacity ”. 106 Korporasi hanya bertanggung jawab dimana seseorang itu diidentifikasikan dengan perbuatan perusahaan, yang bertindak dalam ruang lingkup jabatannya, korporasi tidak bertanggung jawab jika perbuatan itu dilakukan dalam kapasittas pribadinya. Peraturan perundang-undangan sekarang ini, telah mengakui bahwasanya perbuatan dan sikap batin dari orang-orang tertentu yang berhubungan erat dengan korporasi di dalam 106 Ibid. Universitas Sumatera Utara menjalankan kegiatan bisnisnya, dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi. Perbuatan orang-orang tertentu, disebut sebagai senior officer dari perusahaan. Pada umumnya, para pejabat senior yang dimaksud adalah para pengendali perusahaan yaitu Direktur dan Manajer. Menentukan apakah seseorang bertindak sebagai perusahaan atau hanya sebagai karyawan atau agen, dibedakan antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dan mereka yang mewakili tangannya. Bahwa sebuah perusahaan korporasi dalam banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan korporasi memiliki otak dan pusat saraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf itu. Beberapa orang di lingkungan perusahaan itu ada karyawan dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam melakukan sebuah pekerjaan sedangkan di pihak lain ada direktur dan manager yang mewakili sikap batin yang mengawahkan dan mewakili kehendak perusahaan serta mengendalikan apa yang dilakukan. Namun, terdapat perbedaan pandangan terhadap Teori Identifikasi ini. Menurut literatur yang berjudul Hukum Pidana Perpajakan, menyatakan bahwa Berdasarkan teori identifikasi Identification Theory, penguruslah yang harus bertanggung jawab ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana, berlaku asas societasuniversitas delinquere non potest . artinya, korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, karena tidak bisa dipersalahkan atas perbuatan tercela dari pengurus atau karyawannya. jadi, teori ini tidak diakui dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana di bidang perpajakan Indonesia. 107 Dalam model Vicarious Liability, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Maka, yang dipandang sebagai korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadi tindak pidana itu adalah “onpersoonlijk”. Orang yang memimpin 107 Simon Nahak., Op. Cit., Hlm 99-100. Universitas Sumatera Utara korporasi bertanggungjawab secara pidana, terlepas apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Model ini sudah tidak mempertimbangkan adanya kesalahan mens rea dalam perbuatan pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus suatu korporasi Vicarious Liability. Apabila terjadi pelaku tindak pidana perpajakan, model pertanggungjawaban ini dapat berlaku, khususnya pada bentuk Tindak Pidana Perpajakan yang diatur dalam Pasal 38, 39, 39A, 40 dan 41 UU KUP. Sedangkan, menurut teori Strict Liability, korporasi yang berbuat dan korporasi yang bertanggung jawab. Jika pengurusnya saja yang dapat dipidana, maka hal itu tidak cukup. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk memidanakan korporasi dan pengurus sekaligus. Model pertanggungjawaban ini secara jelas dianut dalam kebijakan pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Jadi, tidak hanya perorangan pengurus perusahaan saja yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana, tetapi perusahaan pun dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana. 108 Strict Liability digunakan juga karena didasarkan pada pandangan, bahwa secara tegas, perusahaan adalah pelaku fungsional dan menerima keuntungan dari dilakukannya tindak pidana perpajakan, yang berupa penghindaran perpajakan. Sehingga, apabila tanggung jawab pidana diberikan kepada korporasi saja, maka terhadap pelaku pengurus tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi, akan terjadi kekosongan pemidanaan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban dilakukan secara bersama tanggung renteng. 109 Bagi korporasi yang menjadi pelaku dalam tindak pidana perpajakan, pertanggungjawaban pidananya berupa pertanggungjawaban individual dan kolektif, sesuai nama-nama pengurus dan direksi dalam perusahaankorporasi yang bersangkutan. Hal ini bisa dilihat pada akta notaris, SIUP, TDP, serta orang yang bertanda tangan dan bertanggung jawab pada semua peberitahuan Nomor Pokok Wajib Pajak badan hukum sesuai bentuk 108 Ibid., Hlm 101. 109 Ibid. Universitas Sumatera Utara perusahaankorporasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP, yaitu pidana denda dan kurungan. 110 Teori yang dapat diterapkan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap badankorporasi yang menghapus keharusan adanya unsur kesalahan dalam suatu Tindak Pidana tidak terkecuali Tindak Pidana Perpajakan adalah Teori Identifikasi meskipun terdapat pandangan yang menyatakan bahwa teori ini tidak dapat digunakan dalam tindak pidana di bidang perpajakan karena menganut asas Universitas Delinquere Non Potest. Namun pendapat lain memberi ruang untuk meminta pertanggungjawaban terhadap korporasi. Vicarious Liability Pertanggung Jawaban Pengganti, Strict Liability Tanggung Jawab LangsungMutlak. Pertanggungjawaban berdasarkan teori Strict Liability di Indonesia, sudah dimasukan dalam rumusan peraturan yakni dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rancangan KUHP 2006, Pasal 38 ayat 1 yang menyatakan “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan. 111

C. Sanksi Pidana Perpajakan

Formulasi kebijakan terhadap tindak pidana perpajakan dipandang perlu untuk mengatur sanksi pidana denda yang berorientasi pada konsep pengembalian kerugian pada 110 Ibid., Hlm 94-95. 111 Mahmud Mulyadi Feri Antoni Surbakti, Op. Cit., Hlm 60. Universitas Sumatera Utara pendapatan penerimaan negara, sehingga lebih bermanfaat bagi pengembalian kerugian negara 112 dan meningkatkan pendapatan penerimaan dan devisa bagi negara. 113 Kejahatan dalam lingkup perpajakan, diancam dengan sanksi pidana paling lama 6 tahun danatau denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Kata danatau berarti bahwa hakim mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi yang kumulatif, artinya di samping sanksi penjara atau kurungan masih dapat juga dijatuhi hukuman denda, dengan mengingat batas maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Denda pidana berbeda dengan denda administratif. Denda administratif dijatuhkan oleh administrasi pajak, sedangkan denda pidana adalah wewenang Hakim Pidana. Bagi wajib pajak yang dikenakan denda pidana oleh Hakim pidana, masih terbuka kemungkinan untuk dikenakan denda administrasi oleh administrasi pajak. Namun ini adalah wewenang Menteri Keuangan yang kewenangannya dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dapat menganggap lebih bijaksana untuk tidak mengenakan denda administrasi dengan alasan bahwa wajib pajak sudah dipidana. 114 Dalam undang-undang perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak. Namun demikian dalam hal kepustakaan hukum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana delict adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Apabila ketentuan yang dilanggar berkaitan dengan undang- undang perpajakan, disebut sebagai tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk yang akhir atau ultimum remedium yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapat tujuan 112 Lihat Pasal 1 ayat 22 UU No. 1 Tahun 2004, Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat Perbuatan Melawan Hukum baik Sengaja maupun Lalai. 113 Simon Nahak, Op. Cit., Hlm 38. 114 Bohari, Pengantar Hukum Pajak Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999 Hlm. 161. Universitas Sumatera Utara penegakan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran bila dalam undang-undang perpajakan juga mengatur masalah ketentuan pidana. 115 Beberapa undang-undang yang mencantumkan adanya sanksi pidana perpajakan adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 yang diatur dalam pasal 38-43. 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25. 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea dan Materai, yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14. 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam Pasal 37-40. 116 Heri prabowo, seorang narapidana penggelepan pajak, menulis tentang ada lima 5 penyebab mengapa mafia pajak masih di indonesia 117 : 1. Kekuasaan yang besar, dimana lingkup kekuasaan Direktorat Jenderal Pajak disingkat DJP tidak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita aset Wajib Pajak WP, memblokir rekening bank, menyidik Tindak Pidana Pajak, meminta pencekalan WP sampai menahan WP penyanderaan. Dalam kondisi ini, ungkapan “kekuasaan cenderung korup” berlaku mutlak. 115 Wirawan dan Richard burton, Hukum Pajak Jakarta : Salemba Empat, 2001, Hlm 65. 116 Ibid., Hlm 67. 117 Heri prabowo dalam Simon Nahak, Op. Cit., Hlm 45-46. Universitas Sumatera Utara 2. Banyaknya hubungan kekerabatan antar sesama karyawan di DJP ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan yang sulit dideteksi. 3. Lemahnya pengawasan di internal DJP. Dalam hal ini, kasus gayus menjadi bukti. Jangankan investigasi, DJP saja baru menskors Gayus setelah kasusnya mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP 41966 tentang pemberhentian PNS sementara, Gayus harusnya diskors sejak jadi tersangka dalam kasus pertama saat dia divonis bebas. 4. Rendahnya target pajak. Dalam RAPBN 2012, rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen. 5. Adanya wilayah abu-abu. Sesuai pasal 23A UUD 1945, semua pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur dengan undang- undang. Namun, dalam undang-undang pajak, selain objek pajak pun ditentukan. Asal tahu saja, transaksi di luar obyek dan non-obyek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi... apalagi, ada seloroh bahwa undang-undang pajak di Indonesia paling tipis di dunia. Mafia pajak seharusnya menjadi sejarah jika reformasi birokrasi DJP berhasil. Banyak pihak berharap kinerja aparat pajak bagus agar pendapatan meningkat. Bayangkan, jika nisbah pajak Indonesia mencapai 20 persen. Kita tak perlu bingung dengan subsidi BBM. Semoga DJP bisa memperbaiki diri. Berdasarkan uraian pendapat oleh narapidana dalam kasus penggelapan pajak, pernyataan beliau hampir seluruhnya dapat kita setujui. Sebab, jika dilihat dari sudut pandang sebagai awam, memang sulit mendapat akses informasi tersebut sampai pada terungkapnya praktik korup yang dipublikasikan oleh media. hal tersebut mencerminkan Direktorat Jenderal Pajak terkesan tidak transparan. setelah terbongkarnya beberapa kasus barulah Universitas Sumatera Utara masyarakat khususnya para pengamat dapat melakukan penelitian terhadap kinerja dalam internal Direktorat Jenderal Pajak serta melakukan pengawasan dalam melanjalankan fungsi salah satunya pelaksanaan administrasi perpajakan. Sanksi yang paling tepat diberikan kepada pelaku tindak pidana di bidang perpajakan adalah penyitaan barang atau dikenakan membayar denda tiga kali lipat dari nilai hasil kejahatan atau suatu jumlah yang ditetapkan oleh hukum yang paling tepat mana saja lebih besar. Pelaku Tindak Pidana Perpajakan oleh Wajib Pajak dan pihak ketiga idealnya diberi hukuman denda paling sedikit 3 tiga kali lipat. Terhadap fiskus yang melakukan Tindak Pidana Perpajakan, seharusnya diberlakukan pidana kurungan yang lebih berat, maksimum sampai 10 Sepuluh tahun seperti di Australia. Sehingga, pelaku Tindak Pidana di bidang Perpajakan takut atau menimbulkan efek jera untuk tidak melakukan Tindak Pidana di bidang Perpajakan. 118 Ketentuan dalam KUHP tidak mengenal adanya pidana penjara paling singkat dan paling lama, serta denda paling sedikit dan paling banyak. Sanksi pidana semacam itu hanya diatur dalam ketentuan sanksi pidana diluar KUHP, sejak diberlakukan angka 95 lampiran UU No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389. Sanksi Pidana semacam itu oleh Colin Howard disebut sebagai sistem indifinite atau lebih dikenal dengan sistem tradisional-absolut. 119 Pengaturan rumusan pidana pada undang-undang tersebut mengatur pidana penjara dan pidana denda di luar KUHP, yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau gabungan kumulatif-alternatif. Pidana denda sebagai alternatif atau pengganti pidana penjara, dapat diartikan sebagai penukar derita atau nestapa terhadap pidana penjara, menjadi derita atau nestapa dengan 118 Simon Nahak, Op. Cit., Hlm 49. 119 Yesmir anwar dalam Simon Nahak, Ibid., Hlm 59. Universitas Sumatera Utara mengurangi hak kepemilikan benda atau harta pelaku Tindak Pidana sebagai hukuman. Pengalihan dari pidana penjara ke pidana denda merupakan pemidanaan yang bersifat humanis atau dapat diartikan lebih manusiawi atau berprikemanusiaan sebagai perwujudan pelaksanaan sila kedua Pancasila. 120 Dalam penerapannya, apabila suatu perbuatan telah memenuhi unsur pidana dalam rumusan Pasal Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pidana berupa denda seharusnya lebih diutamakan. Karena, oritentasi dalam Hukum Pajak adalah pengembalian kerugian keuangan negara sehingga lebih tepat menerapkan sanksi Administrasi maupun sanksi Pidana denda. Karena pidana penjara atau nestapa cenderung identik dengan tindak pidana konvensional, oleh karenanya sanksi berupa pidana penjara tidak begitu efektif dikenakan terhadap pelaku tindak pidana perpajakan. 120 Suhariyono dalam Simon Nahak. Ibid., Hlm 60. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Peranan Tes Deoxyribonucleic Acid (Dna) Dalam Pembuktian Tindak Pidana(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 626 Pid. B / 2012 / PN. SIM, Putusan Mahkamah Agung No. 704 K / Pid / 2011, Putusan Mahkamah AgungNo. 1967 K/Pid/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

2 84 105

Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.43 K/Pdt.Sus/2013)

4 75 94

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN

0 9 55

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

0 0 9

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

0 0 1

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

0 1 17

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

0 1 54

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012) Chapter III IV

0 0 34

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

0 0 4