56
BAB V ANALISIS DATA
5.1. Pengantar
Melalui wawancara dan observasi, peneliti berhasil mengumpulkan data mengenai kontribusi buruh aron perempuan terhadap kehidupan sosial ekonomi
keluarga. Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1.
Penelitian dilakukan atau diawali dengan melakukan observasi ke lokasi penelitian. Adapun lokasi yang telah diobservasi peneliti adalah di Desa
Beganding Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. 2.
Melakukan wawancara mendalam dengan 10 informan kunci yaitu buruh aron perempuan, dan 10 informan utama yaitu suami dari buruh aron perempuan.
3. Studi kepustakaan library research yaitu pengumpulan data atau informasi
menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku serta tulisan yang ada kaitannya terhadap masalah yang diteliti.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan diperoleh berbagai data. Untuk melihat gambaran yang lebih jelas dan rinci, maka peneliti mencoba menguraikan
petikan wawancara dengan informan serta narasi penulis tentang data-data tersebut, diteliti, ditelaah, maka selanjutnya adalah mengadakan kategorisasi perbandingan-
perbandingan sebelum akhirnya menarik kesimpulan.
5.2. Hasil Temuan
Informan Kunci I
Ibu Suryani Br. Perangin-Angin berusia 34 tahun dan beragama muslim, mengenyam bangku pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Ibu
Universitas Sumatera Utara
57
Suryani memiliki tiga orang anak, dimana ketiga anaknya tersebut sedang mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar SD di Desa Beganding. Suami
ibu Suryani memiliki pekerjaan yang sama dengan beliau, yaitu sebagai aron. Keluarga ibu Suryani sudah tinggal di Desa Beganding selama 7 tahun dan sudah
bekerja sebagai aron selama 5 tahun sejak tahun 2010. Sebelum menjadi aron, ibu Suryani hanya mengelola lahan ladang yang tidak
begitu luas yang dimiliki mertuanya di desa Kandibata. Setelah pindah ke Desa Beganding dan menjadi penduduk tetap di desa itu, Ibu Suryani akhirnya
memutuskan untuk bekerja sebagai aron karena hanya itu yang menjadi satu-satunya lapangan pekerjaan bagi dirinya. Selain itu, ibu Suryani juga mengatakan alasan lain
mengapa beliau menjadi aron, yaitu karena beliau hanya mengenyam bangku pendidikan sampai tingkat SMA dan merasa tidak punya kemampuan untuk
mengerjakan hal lain. Beliau juga menyebutkan bahwa keluarga mereka tidak mempunyai modal untuk membuka usaha kecil-kecilan.
“Dulu bibik tinggal di Kandibata sama mertua bibik. Setelah pindah ke Beganding ini ya cuma jadi aron lah yang bisa bibik kerjakan. Tidak ada
kerjaan yang lain. Lagian bibik kan cuma lulus SMA. Bisa kerja apalah nak kalau enggak jadi aron. Nanti kalau enggak kerja ya enggak ada gaji
bibik, enggak bisa nambah penghasilan kami. Mau buka usaha, mau jualan ya bibik mana ada modal. Mau pinjam uang untuk modal ya takut
enggak bisa ngembalikan”
Dalam sehari ibu Suryani bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam seminggu beliau bisa bekerja setiap hari jika sedang ada lahan yang dikerjakan.
Sistem pemberian upah yang diterima oleh ibu Suryani diberikan per hari sejumlah
Universitas Sumatera Utara
58
Rp. 70.000, dan dalam satu bulan pendapatan yang beliau terima dari pekerjaannya sebagai aron sekitar Rp.1.400.000
– Rp. 1.600.000. Menurut ibu Suryani, pendapatan yang beliau terima belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka
karena harga bahan-bahan pokok semakin hari semakin mahal. “Bibik berangkat kerja jam 8 pagi. Jam 9 lah itu mulai kerja di ladang.
Jam 12 sampai jam 1 itu istirahat, baru mulai lah lagi kerja sampai jam 5 sore lah bibik siap kerja. Kadang-kadang juga jam-jam 6 bibik
baru siap. Kalau upahnya ya Rp. 70.000 satu hari nak. Kalau dihitung- hitung sebulan ya Rp. 1400.000 lah sampai Rp. 1.600.000 gitu. Kalau
dibilang banyak, ya enggak banyak lah nak. Apalagi sekarang semua- semua serba mahal. Kalau cuma ngandalkan yang Rp. 70.000 per hari
itu aja yaa enggak bisa lah keluarga bibik ini bertahan.”
Selain bekerja sebagai aron, untuk menambah pendapatan demi memenuhi kebutuhan keluarganya, ibu Suryani juga melakukan pekerjaan lain yaitu menjadi
seorang tukang urut. Pekerjaan ini ia lakukan di malam hari sepulangnya beliau dari berladang. Namun, ketika sedang tidak ada panggilan untuk mengerjakan lahan
perladangan, ia melakukan pekerjaan sebagai tukang urut itu mulai dari siang hari sampai malam hari. Beliau mengerjakan pekerjaan sampingan ini dengan datang ke
rumah-rumah warga yang memintanya untuk mengurut. Pendapatan yang ia terima sebagai tukang urut ini tidak begitu besar. Beliau
menetapkan upah untuk jasa urut yang ia lakukan sebesar Rp. 40.000orang. Dalam satu hari beliau memperoleh sekitar Rp. 200.000 jika mendapatkan 4 sampai 5 orang
pelanggan. Namun pekerjaan ini tidak ia kerjakan setiap hari karena dalam satu hari belum tentu ada yang memintanya untuk mengurut.
Universitas Sumatera Utara
59
Selain bekerja sebagai aron dan melakukan pekerjaan sampingan sebagai tukang urut, untuk menambah pendapatan dan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, ibu Suryani mengikuti kegiatan jula-jula yang dilakukan oleh sekelompok ibu rumah tangga di Desa Beganding. Ibu Suryani bergabung dengan
dua kelompok jula-jula. Kelompok jula-jula yang pertama memiliki anggota 21 orang dengan iuran Rp. 20.000 per minggunya dan akan dilakukan penarikan sekali
dalam seminggu. Kelompok jula-jula yang kedua memiliki anggota 24 orang dengan iuran Rp. 5000 per harinya dan akan dilakukan penarikan sekali dalam 10 hari.
Menurut ibu Suryani, kegiatan ini beliau anggap sebagai kegiatan menabung. Namun ketika ibu Suryani mengalami kesulitan keuangan dalam keluarganya, dimana
pendapatannya benar-benar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, atau terdapat pengeluaran tertentu yang cukup besar, ibu Suryani biasanya
melakukan peminjaman uang pada sanak saudara mereka. “Ya namanya penghasilan bibik enggak seberapa ya, kerja-kerja yang
bisa dikerjakan lah nak. Kebetulan bibik bisa ngurut, yaa jadi tukang urut lah malam-malam. Keliling-keliling ke rumah-rumah, kadang ada
juga yang nelefon bibik suruh ke rumahnya ngurut. Tapi ya enggak tiap hari lah dapat pelanggan gitu. Kalau lagi gak banyak, ya paling satu
orang itu pun enggak tiap hari ya nak. Kalau lagi rame mau kadang satu hari itu 4 orang, 5 orang gitu. Tapi kalau udah rame gitu ya pas gak ke
ladang lah bibik bisa ngurutnya. Bayarannya ya Rp. 40.000 lah satu orang. Bibik pun ikut jula-jula juga nakku. Ya hitung-hitung nabung lah
biar ada simpanan keluarga bibik.”
Dalam memenuhi kebutuhan akan pakaian, ibu Suryani dan keluarga lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai yang dijual di pasar atau sering disebut
Universitas Sumatera Utara
60
dengan istilah “monja”. Mereka hanya membeli pakaian baru pada saat lebaran. Hal itu juga mereka lakukan ketika pendapatan mereka dirasa cukup untuk membeli
pakaian baru untuk keluarga mereka. Dalam setahun tidak jarang keluarga ibu Suryani tidak membeli pakaian. Selain membeli pakaian, keluarga ibu Suryani juga
mendapat pemberian pakaian bekas layak pakai dari sanak saudara mereka. “Kalau beli baju ya seringan beli monja lah nak. Mana ada lah uang
kami beli baju baru sering-sering. Paling kalau mau lebaran aja beli baju baru, itupun kalau ada uang ya. Kalau enggak ada ya baju
lebarannya baju monja juga lah tapi yang agak bagus gitu.”
Kebutuhan pangan keluarga ibu Suryani dibeli dengan biaya sendiri. Beberapa kali ketika lahan yang beliau kerjakan sedang panen, beliau juga
mendapatkan sayur-sayuran atau buah-buahan dari pemilik lahan. Ibu Suryani dan suami lebih sering makan dua kali dalam sehari, yaitu siang dan malam saja. Namun
anak-anak mereka harus makan tiga kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam. Pola konsumsi keluarga ibu Suryani masih tergolong baik, yaitu mengkonsumsi ikan,
sayur-sayuran, telur, dan sesekali mengkonsumsi buah-buahan. Namun keluarga ibu Suryani sangat jarang mengkonsumsi daging. Ibu Suryani menyebutkan bahwa
keluarga ibu Suryani bisa mengkonsumsi daging jika mendapat undangan pesta di Desa Beganding atau di luar Desa Beganding.
“Kalau untuk makan sehari-hari ya bibik beli sendiri lah semua, beras, sayur, ikan. Kadang-kadang kalau ladang yang bibik kerjakan itu
panen, mau juga bibik di kasih sayur, di kasih jeruk sama yang punya ladang. Ya lumayan nak untuk makan berapa hari. Kalau makan
Universitas Sumatera Utara
61
daging ya jarang kali lah nak. Harga daging aja udah berapa. Kalau ad
a pesta lah baru kami makan daging.”
Rumah yang ditempati oleh keluarga ibu Suryani di Desa Beganding bukan merupakan rumah milik keluarga mereka sendiri melainkan rumah yang dikontrak.
Rumah ini sudah dikontrak oleh keluarga ibu Suryani sejak mereka pindah dan mulai menetap di Desa Beganding 7 tahun yang lalu. Rumah ibu Suryani hanya memiliki 3
ruangan, yaitu ruangan depan sebagai ruang tamu, ruangan dapur, dan ruangan yang digunakan sebagai gudang. Keadaan bangunan rumah yang mereka tempati ini
tergolong kurang layak. Rumah tersebut tidak permanen melainkan masih berdindingkan papan dan triplek. Rumah tersebut tidak memiliki kamar dan tidak
memiliki langit-langit. Di dalam rumah tersebut juga hanya terdapat satu lemari pakaian dan satu tempat tidur tanpa matras, dan tidak terdapat barang-barang
elektronik seperti televisi, kulkas, dan lain sebagainya. Bagian dapur dari rumah tersebut hanya berlantaikan tanah, dan tidak
terdapat fasilitas MCK. Keluarga ibu Suryani menggunakan kamar mandi umum untuk keperluan mandi dan mencuci serta memanfaatkan mata air yang sudah
dikelola warga desa untuk memenuhi kebutuhan air keluarga mereka. Ibu Suryani juga memiliki pekarangan rumah yang cukup lebar yang beliau manfaatkan untuk
ditanami tanaman cabai. Jika cabai yang ditanamnya sudah panen, maka sebagian besar hasil panennya beliau jual langsung pada warga Desa Beganding, dan sebagian
kecil lainnya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Ibu Suryani menyebutkan bahwa hal ini ia lakukan untuk menambah penghasilannya walaupun hanya sedikit.
Dalam hal kesehatan, ibu Suryani menyebutkan bahwa keluarga beliau jarang mengalami sakit dan tidak ada anggota keluarga beliau yang mempunyai riwayat
Universitas Sumatera Utara
62
penyakit yang berat. Keluhan penyakit yang biasa mereka alami hanya keluhan penyakit-penyakit ringan seperti demam, flu, batuk, kepala pusing, dan lain
sebagainya. Jika keluarga ibu Suryani mengalami sakit, mereka melakukan pengobatan di Balai Puskesmas Desa atau hanya melakukan pengobatan tradisional.
Frekwensi keluarga ibu Suryani dalam melakukan pemeriksaan kesehatan sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah. Ibu Suryani sendiri tidak menyisihkan atau
menyediakan biaya khusus untuk kesehatan. Keluarga ibu Suryani juga tidak memiliki asuransi kesehatan, namun mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah
yaitu Karti Indonesia Sehat KIS. Ibu Suryani memiliki 3 orang anak laki-laki. Ketiga anak beliau sedang
duduk di bangku Sekolah Dasar SD di Desa Beganding. Anak pertama berada di kelas VI, anak kedua berada di kelas IV, dan anak ketiga berada di kelas I. Dalam hal
belajar, ibu Suryani dan suaminya selalu membimbing anak-anak mereka. Setiap malam mereka diwajibkan untuk belajar walaupun sedang tidak ada tugas. Keluarga
ibu Suryani juga tidak menyediakan biaya khusus untuk pendidikan, karena anak- anak mereka membayar uang sekolah dan biaya untuk buku pelajaran gratis. Ibu
Suryani menyebutkan bahwa ia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk seragam sekolah dan alat-alat tulis saja.
“Anak bibik tiga-tiganya sekolah nak, masih SD. Ya walaupun kita miskin tapi anak-anak kita janganlah sampai bodoh, janganlah sampai
enggak sekolah. Lagian kan uang sekolah juga enggak bayar nya, jadi tinggal belajar ajanya anak-anak itu. Tiap malam pun bibik wajibkan
anak-anak bibik belajar walaupun enggak ada tugasnya dari sekolah. Bibik periksain buku-buku nya, bibik lihat belajar apa orang itu, terus
bibik tanya-tanya lah pelajarannya itu. Alhamdulillah anak bibik baik-
Universitas Sumatera Utara
63
baik pulak semua, disuruh belajar ya belajar. Tiap malam gantian bibik sama bapak ngajarinya. Yang masih kelas satu ini nya yang agak
susah.”
Keluarga ibu Suryani memiliki interaksi yang baik, antara istri dengan suami dan antara anak dengan orangtua. Dalam hal pengambilan keputusan-keputusan
penting dalam keluarga mereka, ibu Suryani mengaku bahwa beliau selalu dilibatkan oleh suami. Sebelum keputusan-keputusan itu diambil, suami beliau selalu
mengajaknya untuk berdiskusi terlebih dahulu. Di masyarakat juga terdapat interaksi yang cukup baik antara keluarga ibu Suryani dengan warga Desa Beganding.
Keluarga ibu Suryani hampir tidak pernah mengalami konflik yang serius dengan warga desa. Mereka juga cukup sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang
ada di Desa Beganding, seperti melakukan gotong royong, membantu warga desa yang sedang mengadakan acara besar atau pesta adat, juga ikut membantu warga
desa yang sedang mengalami musibah atau berdukacita. Keadaan ekonomi keluarga ibu Suryani tidak membuat mereka dipandang rendah oleh masyarakat Desa
Beganding.
Informan Kunci II
Ibu Dewi Br. Karo, berusia 30 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam bangku pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama
SMP. Ibu Dewi memiliki 2 orang anak perempuan berusia 7 tahun dan 4 tahun, dan memiliki suami yang juga bekerja sebagai aron. Keluarga ibu Dewi sudah tinggal di
Desa Beganding selama 7 tahun dan beliau sudah bekerja sebagai aron selama 4 tahun.
Universitas Sumatera Utara
64
Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Dewi bekerja mengelola ladang kopi milik keluarganya. Pada awalnya hanya suami dari ibu Dewi lah yang bekerja sebagai aron.
Merasa pendapatan dari hasil ladang kopi dan dari pendapatan yang diperoleh suami beliau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka, ibu
Dewi akhirnya juga ikut bekerja sebagai aron. Ibu Dewi juga menyebutkan alasan lain mengapa beliau memilih aron sebagai pekerjaannya, yaitu karena beliau
mengenyam bangku pendidikan hanya sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP dan beliau merasa tidak punya kemampuan atau keterampilan khusus
untuk bekerja di bidang lain selain bertani atau berladang. Dalam satu hari, ibu Dewi bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu
minggu ibu Dewi bekerja selama 5 sampai 6 hari. Sistem pemberian upah yang diterima oleh ibu Dewi diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Menurut ibu
Dewi upah yang diterimanya ini sangat pas-pasan bahkan dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Ibu Dewi menyebutkan bahwa beliau
harus mengelola keuangannya dengan sangat hati-hati agar kebutuhan keluarga mereka setiap hari bisa terpenuhi.
Ladang kopi yang dimiliki oleh keluarga ibu Dewi masih tetap beliau kelola. Pekerjaan ini beliau lakukan setiap akhir pekan. Pendapatan yang beliau peroleh dari
hasil panen ladang kopi yang luasnya sekitar 135 meter persegi ini adalah rata-rata Rp. 400.000 untuk sekali panennya. Ibu Dewi menyebutkan bahwa pendapatan yang
beliau terima dari bekerja sebagai aron tidak besar, maka ia tetap mengelola ladang kopi milik keluarganya tersebut.
“Dulunya suami bibik aja yang jadi aron, bibik cuma berladang di ladang kopi punya keluarga bibik. Penghasilan aron kan gak banyak
Universitas Sumatera Utara
65
nak, penghasilan bibik dari ladang kopi pun gak banyak. Kalau cuma ngandalkan itu aja ya pas-pasan kali lah uang kita nak, sementara
kebutuhan kita kan banyak, gak cuma makan aja. Jadi ya bibik ikut juga lah jadi aron. Tapi ladang kopi itu juga masih bibik kerjakan.
Biar tambah pemasukan. Bibik pun cuma tamat SMP nya, jadi ya enggak apa-apalah jadi aron aja.
Selain memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai aron dan mengelola ladang kopi milik keluarganya, untuk membantu keuangan keluarganya
ibu Dewi bergabung menjadi anggota sebuah koperasi yang ada di Desa Beganding, yaitu CU. Rudang Mayang. Satu kali dalam sebulan ibu Dewi membayar Rp. 30.000
sebagai iuran wajib. Selain untuk menabung, ibu Dewi juga dapat melakukan peminjaman uang jika sewaktu-waktu keluarga beliau tidak mempunyai dana yang
cukup besar untuk pengeluaran tertentu. “Bibik ikut gabung jadi anggota CU nak, CU. Rudang Mayang. Iuran
wajibnya Rp. 30.000 per bulan. Ya bisa dibilang nabung lah itu ya, untuk jaga-jaga siapa tau ada keperluan mendadak, butuh biaya besar.
Di CU pun kan bibik jadi bisa juga minjam uang.”
Dalam hal memenuhi kebutuhan keluarganya akan sandang pakaian, ibu Dewi lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai dari pada membeli pakaian
baru. Ibu Dewi menyebutkan bahwa pembelian pakaian tergantung pada keadaan keuangan keluarga mereka. Dalam satu tahun keluarga ibu Dewi hanya satu kali
membeli pakaian baru, yaitu pada saat mendekati natal atau tahun baru. Namun beberapa kali mereka juga tidak melakukan pembelian pakaian dalam setahun.
Universitas Sumatera Utara
66
Kebutuhan pangan keluarga ibu Dewi dibeli dengan biaya sendiri dari penghasilan yang mereka peroleh. Jika lahan yang dikerjakan ibu Dewi sedang panen,
beberapa kali beliau mendapatkan sayur-sayuran yang diberikan oleh pemilik lahan. Meskipun menurut ibu Dewi penghasilan mereka tidak besar, keluarga mereka masih
bisa makan sesuai kebutuhan yaitu 3 kali dalam sehari. Pola konsumsi keluarga ibu Dewi juga cukup baik, yaitu mengkonsumsi ikan, sayur-sayuran, telur, dan sesekali
mengkonsumsi buah-buahan, meskipun mereka sangat jarang mengkonsumsi daging. “Kalau beli baju, lebih sering lah beli baju bekas nak. Taip yang agak
bagus-bagus lah bibik pilih. Kalau beli baju baru, paling kalau udah dekat natal atau udah dekat tahun baru aja lah. Itupun setahun sekali
belum tentu kami beli baju nak. Kalau bajunya masih cantik, masih bagus bibik rasa, ya enggak usah lah beli baju baru lagi. Sayang
uangnya nak, mending di simpan. Kalau untuk makan keluarga bibik ya dibeli sendiri lah nak beras-berasnya, ikan-ikannya, sayurnya, semua
lah bibik beli sendiri. Kadang kalau lagi panen ya mau juga yang punya ladang itu ngasih sedikit, entah sayur gitu.”
Keluarga ibu Dewi tinggal di sebuah rumah yang bukan merupakan rumah yang biasa disebut oleh masyarakat Karo “Si Sepuluh Dua Jabu”, dimana di dalam
satu rumah tersebut ditinggali oleh 12 kepala keluarga. Bagian rumah yang ditinggali oleh keluarga ibu Dewi bukan merupakan milik keluarga beliau sendiri melainkan
masih mengontrak atau sewa. Keluarga beliau sudah tinggal dirumah tersebut selama 7 tahun, yaitu semenjak keluarga beliau pindah dan mulai menetap di Desa
Beganding. Bangunan rumah tersebut berdinding dan berlantaikan papan. Keadaan bangunan rumah keluarga ibu Dewi sangat sederhana. Bagian rumah yang ditinggali
oleh keluarga beliau memiliki satu kamar tidur. Tidak ada perabot di dalam rumah
Universitas Sumatera Utara
67
itu, seperti kursisofa, meja, tempat tidur, dan lain sebagainya. Hanya ada dua buah lemari pakaian. Si Sepuluh Dua Jabu tidak memiliki dapur, namun kegiatan
memasak tetap dilakukan di dalam rumah dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Tidak tersedia fasilitas MCK kamar mandi di rumah ibu Dewi. Keluarga
mereka menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan mencuci. Beliau juga memanfaatkan mata air yang sudah di kelola warga desa untuk memenuhi kebutuhan
keluarga mereka akan air. Rumah keluarga ibu Dewi sudah dialiri listrik. Dalam hal kesehatan, ibu Dewi menyebutkan bahwa keluarga beliau tidak
mempunyai biaya khusus yang mereka sisihkan dari penghasilan mereka. Hal ini karena keluarga beliau jarang mengalami sakit. Keluhan penyakit yang pada
umumnya mereka alami hanya keluhan penyakit-penyakit ringan, seperti demam, flu, batuk, sakit kepala, dan lain sebagainya. Dalam keluarga mereka juga tidak ada yang
mempunya riwayat penyakit berat. Selain itu, keluarga ibu Dewi jarang bahkan hampir tidak pernaah melakukan pemeriksaan kesehatan. Apabila kelurga beliau
sakit, beliau melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Keluarga ibu Dewi mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Sehat KIS.
Ibu Dewi memiliki 2 orang anak perempuan, yaitu berusia 7 tahun kelas 2 SD dan berusia 4 tahun. Dalam hal pendidikan, ibu Dewi hanya menyisihkan
penghasilannya untuk membeli peralatan sekolah anak beliau, seperti alat tulis. Ibu Dewi tidak perlu membayar uang sekolah dan biaya buku pelajaran gratis. Dalam
hal belajar, ibu Dewi menyebutkan bahwa beliau cukup sering memantau, membantu, dan membimbing anaknya dalam belajar. Karena masih berada di kelas dua sekolah
dasar, ibu Dewi tidak begitu mengalami kesulitan dalam membantu anak beliau saat belajar.
Universitas Sumatera Utara
68
“Untuk biaya pendidikan enggak ada nak bibik siapkan khusus gitu. Karena kan sekolah juga enggak bayar, buku juga enggak bayar.
Paling biaya keluar cuma untuk buku-buku tulisnya, alat-alat tulisnya gitu lah. Seragam sama sepatu, kalau masih muat, masih bagus ya
enggak tiap naik kelas bibik beli. Kalau belajar yaa bibik bantu lah anak bibik ini. Lagian kan masih kelas 2 SD nya jadi enggak banyak
kali yang mau diajarkan sama dia. Enggak susah lah ngajarinya.”
Keluarga ibu Dewi memiliki interaksi dan komunikasi yang baik antara anggota keluarga. Dalam hal pengambilan keputusan, suami ibu Dewi sering
melibatkan beliau dan sering mengajak beliau berdiskusi tentang hal-hal penting yang menyangkut kehidupan keluarga mereka. Begitu juga interaksi dan komunikasi
keluarga ibu Dewi dengan warga yang lainnya. Ibu Dewi menyebutkan bahwa beliau cukup sering berkumpul dengan beberapa ibu-ibu lainnya di rumah beliau maupun di
rumah ibu-ibu yang lain pada malam hari untuk sekedar berbincang-bincang. Di Desa Beganding sendiri, keluarga ibu Dewi tidak ikut bergabung dalam organisasi
sosial, namun ibu Dewi menyebutkan bahwa sebisa mungkin mereka ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang dilaksanakan di Desa Beganding. Dalam
pengambilan keputusan dalam masyarakat, ibu Dewi dan keluarga tidak terlalu sering melibatkan diri. Ibu Dewi menyebutkan bahwa alasan mereka tidak terlalu
sering melibatkan diri dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adalah karena keluarga beliau hanya masyarakat biasa dan tidak memiliki jabatan serta
peran yang cukup penting dalam masyarakat di Desa Beganding. “Bibik sering gitu nak, kumpul-kumpul sama bibik yang lain malam-
malam. Cerita-cerita gitu, buang suntuk lah karena udah capek kerja kan. Sama bapak di rumah pun juga sering nya bibik ngobrol-ngobrol,
Universitas Sumatera Utara
69
tentang kerjaan, tentang ladang, pokoknya semua lah yang penting- penting yang a
da hubungannya sama keluarga bibik.”
Informan Kunci III
Ibu Piyama Br. Tarigan, berusia 50 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Ibu
Piyama memiliki 3 orang anak, yaitu 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki- laki. Anak pertama beliau saat ini bekerja di bagian elektronik di negara Malaysia,
anak kedua beliau masih menganggur, dan anak ketiga beliau sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas SMA dan berada di kelas XII. Suami beliau
bekerja mengelola lahan sawah warisan keluarga. Keluarga ibu Piyama sudah tinggal di Desa Beganding selama lebih kurang 22 tahun dan sudah bekerja sebagai aron
selama lebih kurang 10 tahun. Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Piyama bekerja sebagai penjahit pakaian.
Pendapatan yang beliau peroleh sangat rendah dan tidak setiap hari beliau menerima jahitan dan mendapatkan pemasukan. Ibu Piyama menyebutkan bahwa pendapatan
dari menjahit saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Oleh karena itu, akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan pekerjaan lain, yaitu
menjadi aron. Dalam sehari ibu Piyama bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu
minggu beliau bekerja selama 6 hari. Sistem pemberian upah yang diterima oleh ibu Piyama diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Menurut ibu Piyama pendapatan
yang beliau terima dari pekerjaannya sebagai aron sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Meskipun salah satu anak beliau sudah bekerja di
Universitas Sumatera Utara
70
Malaysia, beliau mengatakan bahwa tidak setiap bulan anak beliau memberikan kiriman uang untuk keluarga beliau karena ia juga harus memenuhi kebutuhan
hidupnya di Malaysia. Maka untuk menambah penghasilannya, ibu Piyama masih tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai penjahit pakaian. Menjahit menjadi
pekerjaan sampingannya setelah menjadi aron. Jika sedang mendapatkan jahitan ibu Piyama melakukannya dari sore hari sampai malam hari. Pendapatan yang beliau
terima dari menjahit pakaian ini adalah Rp. 60.000- Rp. 120.000 untuk 1 pakaian. Ibu Piyama menyebutkan bahwa hal ini dapat membantu keuangan beliau.
“Berapalah pendapatan dari jahit nak.Untuk makan pun bibik rasa enggak cukup, karena kan enggak tiap hari bibik dapat bayaran dari
jahitan. Tunggu siap bajunya ya baru dibayar. Paling enggak 2 minggu dulu, baru siap. Kadang sebulan baru siap. Terus pun kadang ada yang
nyicil. Jadi gak tentu dia. Jadi ya bibik cari kerja yang bisa dapat pemasukan tiap hari lah, tapi menjahitnya tetap bibik kerjakan. Memang
ada anak bibik yang udah kerja di Malaysia. Cuma kan ya enggak pula dia tiap bulan ngirim uang sama kami. Biaya hidup dia disana kan juga
harus dipikiri. Ya lebih baik kerja aja lah bibik.”
Selain bekerja sebagai aron dan sebagai penjahit, untuk membantu keuangan keluarga mereka, ibu Piyama ikut bergabung menjadi anggota sebuah CU di Desa
Beganding, yaitu CU. Perkeleng. Setiap bulannya ibu Piyama membayar Rp. 30.000 sebagai iuran wajib. Hal ini dianggap beliau sebagai kegiatan menabung. Selain itu,
ibu Piyama juga bisa melakukan peminjaman uang jika sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk keperluan tertentu. Ibu Piyama juga ikut bergabung dengan
kelompok jula-jula yang dibentuk oleh beberapa ibu rumah tangga di Desa Beganding. Kelompok jula-jula yang beliau ikuti beranggotakan 24 orang dengan
Universitas Sumatera Utara
71
bayaran per harinya adalah Rp. 5.000. Penarikan jula-jula akan dilakukan satu kali setiap 10 hari.
Dalam hal memenuhi kebutuhan sandang pakaian, keluarga ibu Piyama lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai dan sesekali membeli pakaian baru.
Pembelian pakaian baru biasanya dilakukan pada saat mendekati natal atau tahun baru. Pada saat itu, keluarga ibu Piyama selalu mendapat kiriman uang dari anak
beliau yang bekerja di Malaysia, sehingga mereka bisa membeli pakaian baru, baik untuk keperluan perayaan natal atau tahun baru maupun untuk keperluan pakaian
sehari-hari. Keluarga ibu Piyama juga pernah mendapatkan pakain bekas layak pakai dari sanak keluarga dan sanak saudara mereka.
“Kalau udah bulan 12 nak, biasanya anak bibik yang di Malaysia itu ngirim uang. Katanya biar ada beli baju natal mamak sama bapak, sama
baju adek-adeknya. Kalau enggak gitu, ya enggak beli baju baru lah kami. Dari mana uang nak, beli baju bibik, baju bapak lagi, baju anak-
anak bibik lagi. Banyak biaya habis ke situ aja. Beli monja lah jadi nya.”
Kebutuhan pangan keluarga ibu Piyama dibeli dengan biaya sendiri dari penghasilan beliau. Pada saat lahan yang beliau kerjakan sedang panen, ibu Piyama
beberapa kali mendapatkan sayur-sayuran dari pemilik lahan. Selain itu, ibu Piyama juga mendapat bantuan Raskin dari pemerintah. Pola konsumsi keluarga ibu Piyama
bisa dikatakan baik, yaitu dengan mengkonsumsi ikan, sayur-sayuran, telur, tahu, tempe, namun sangat jarang mengkonsumsi daging.
Keluarga ibu Piyama tinggal di Si Sepuluh Dua Jabu. Bagian rumah yang dimiliki keluarga beliau yaitu 2 kamar adalah warisan dari orang tua ibu Piyama.
Rumah tersebut sudah diisi dengan perabot, seperti kursi, lemari, dan tempat tidur.
Universitas Sumatera Utara
72
Ibu Piyama juga memiliki barang elektronik di rumah beliau yaitu televisi dan rice cooker
alat pemasak nasi. Rumah ibu Piyama tidak memiliki fasilitas MCK kamar mandi. Keluarga beliau menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan
mencuci. Untuk memenuhi kebutuhan air, keluarga ibu Piyama memanfaatkan mata air yang sudah dikelola oleh warga Desa Beganding. Rumah keluarga ibu Piyama
sendiri sudah dialiri oleh listrik. Dalam hal kesehatan, ibu Piyama mengaku sering mengalami keluhan sakit,
yaitu sesak nafas. Penyakit ini sudah diderita ibu Piyama selama 4 tahun. Namun selain ibu Piyama, anggota keluarga yang lain tidak ada yang memiliki penyakit yang
berat. Keluhan penyakit yang pada umumnya dialami adalah keluhan penyakit- penyakit ringan, seperti flu, demam, batuk, kepala pusing, dan sebagainya. Ketika
penyakit ibu Piyama kambuh, beliau melakukan pengobatan di Rumah Sakit Umum di kota Kabanjahe. Namun jika hanya penyakit ringan, keluarga ibu Piyama sendiri
melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Ibu Piyama sesekali melakukan pemeriksaan kesehatan, baik di Puskesmas desa maupun di Rumah Sakit Umum
mengingat penyakit sesak nafas yang beliau miliki. Keluargaa ibu Piyama juga mendapatkan bantuan kesehatan dari Pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Sehat KIS.
Hal ini sangat membantu keluarga beliau dalam hal biaya pengobatan. “Bibik ada sakit nak, sesak nafas udah 4 tahun. Tapi bapak sama anak-
anak bibik enggak ada penyakitnya. Sakit pun jarang lah gitu. Cuma sakit-sakit demam, pilek, batuk, gitu-gitu lah. Kalau sakit bibik kambuh,
terus agak parah bibik rasa, bibik ke Rumah Sakit Umum nak di Kabanjahe. Kalau ke Puskesmas, nanti di suruhnya kesana juga nya.
Kalau untuk sakit- sakit ringan ya di puskesmas aja berobatnya.”
Universitas Sumatera Utara
73
Ibu Piyama mempunyai 3 orang anak, dan ketiga anak beliau mengenyam bangku pendidikan. Dua orang anak beliau bersekolah sampai pada tingkat Sekolah
Menengah Atas, dan anak bungsu beliau juga sedang bersekolah di tingkat SMA, pada saat ini berada di kelas XII. Ibu Piyama menyebutkan bahwa beliau sangat
jarang membantu dan membimbing anak mereka dalam hal belajar. Beliau beralasan bahwa pengetahuan anak beliau lebih banyak dibandingkan pengetahuan beliau,
mengingat beliau hanya bersekolah sampai pada tingkat SMP. Namun ibu Piyama selalu mendukung anak beliau dalam hal sekolah atau pendidikan. Bahkan beliau
menyebutkan bahwa beliau menginginkan anaknya tersebut untuk melanjutkan pendidikannya sampai tingkat perguruan tinggi.
Keluarga ibu Piyama memiliki komunikasi yang baik antara anggota keluarganya, bahkan dengan anak beliau yang berada di Malaysia. Suami beliau
sering berdiskusi dengan beliau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keluarga mereka. Tidak jarang mereka juga melibatkan anak-anak mereka. Sama
halnya dengan pengambilan keputusan dalam keluarga, dimana suami ibu Piyama selalu melibatkan beliau dan tidak mengambil keputusan secara sepihak.
Di dalam masyarakat, keluarga ibu Piyama juga memiliki interaksi yang cukup baik. Hanya saja, ibu Piyama menyebutkan bahwa beliau cukup jarang
berinteraksi dengan warga lainnya. Tidak seperti beberapa ibu rumah tangga yang sering berkumpul di salah satu rumah untuk berbincang-bincang, ibu Piyama jarang
sekali bergabung. Hal ini dikarenakan ibu Piyama masih harus mengerjakan pekerjaan rumah sepulangnya beliau dari mengerjakan lahan perladangan, kemudian
beliau masih harus mengerjakan jahitan-jahitan. Ibu Piyama juga menyebutkan bahwa karena usia beliau yang sudah menginjak 50 tahun, beliau lebih memilih
memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Namun komunikasi dan hubungan beliau
Universitas Sumatera Utara
74
dengan warga lainnya tetap baik. Keluarga ibu Piyama tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat dikarenakan keluarga beliau juga tidak
terlalu sering melibatkan dirinya didalam hal-hal yang menyangkut Desa Beganding. “Bibik jarang nak, malam-malam gitu kumpul-kumpul, cerita-cerita.
Mungkin karena udah tua itu bibik, jadi pulang kerja,beres-beres rumah, masak, nyuci, terus menjahit lagi, jadi capek bibik rasa ya mending
istirahat lah bibik, tidur. Besoknya kan harus kerja lagi, biar ada tenaga.”
Informan Kunci IV
Ibu Verawita Br. Milala, berusia 45 tahun dan beragama Kristen Khatolik. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Beliau
memiliki 3 orang anak dan memiliki suami yang bekerja sebagai petani. Keluarga ibu Verawita sudah tinggal di Desa Beganding selama 20 tahun, dan beliau sudah
menggeluti profesinya sebagai aron selama 13 tahun. Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Verawita bekerja mengelola ladang yang
dimiliki keluarga beliau. Beliau menyebutkan bahwa pendapatan yang beliau peroleh dari hasil ladang mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
beliau. Pendapatan dari hasil ladang itu juga tidak bisa setiap hari beliau peroleh melainkan hanya pada masa panen. Akhirnya ibu Verawita memutuskan untuk
mencari pekerjaan lain demi memperbaiki keadaan ekonomi keluarga beliau. Ibu Verawita hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA. Beliau menyebutkan
bahwa hal ini menghambat beliau mendapatkan pekerjaan yang cukup baik, dan hal ini juga menyebabkan ibu Verawati tidak memiliki keberanian untuk pergi merantau
Universitas Sumatera Utara
75
pada waktu itu. Akhirnya beliau memutuskan untuk bekerja menjadi seorang aron supaya beliau juga bisa mengurus keluarga.
Dalam satu hari ibu Verawita bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam seminggu beliau bekerja selama 5 hari. Sistem pemberian upah yang diterima oleh
ibu Verawita diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Ibu Verawita mengatakan bahwa bagi dirinya penghasilan yang beliau terima dari pekerjaan ini sangat pas-
pasan dalam memenuhi kebutuhan keluarga beliau. Beberapa kali keluarga ibu Verawita bahkan mengalami kesulitan dalam keuangan sehingga harus melakukan
pinjaman. Ditambah lagi beliau tidak memiliki pekerjaan lain atau pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan beliau.
Demi mambantu keadaan ekonomi keluarga agar bisa memenuhi kebutuhan hidup, Ibu Verawita bergabung dengan salah satu CU yang ada di desa Begandinng,
yaitu CU. Merdeka. Setiap bulannya beliau membayar Rp. 20.000 sebagai iuran wajib. Hal ini dianggap ibu Verawita sebagai kegiatan menabung untuk membantu
keadaan ekonomi keluarga beliau yang tergolong rendah. Beliau juga mengatakan bahwa bergabung dengan CU. Merdeka ini keluarga beliau bisa mendapatkan
pinjaman uang jika sedang membutuhkan dana yang besar untuk keperluan tertentu. “Bibik Cuma kerja jadi aron nak, enggak ada kerjaan lain, kerjaan
sampingan gitu. Jadi ya harus hati-hati lah menggunakan uang dari penghasilan bibik sama dari penghasilan bapak biar bisa makan, bisa
cukup kebutuhan sehari-hari. Bibik pun ikut CU nak, CU. Merdeka biar bisa nabung, terus kalau lagi betul-betul enggak punya uang bibik bisa
minjam ke CU itu. Kadang-kadang juga bibik minjam ke keluarga kalau enggak besar-
besar kali yang mau dipinjam.”
Universitas Sumatera Utara
76
Dalam memenuhi kebutuhan akan sandang pakaian, keluarga ibu Verawita lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai yang harganya jauh lebih murah
dibandingkan pakaian baru. Dengan begitu beliau dapat cukup sering membeli pakaian. Namun bukan berarti keluarga beliau tidak pernah membeli pakaian baru.
Ibu Verawita menyebutkan, membeli pakaian baru biasanya dilakukan keluarga beliau pada saat mendekati natal atau tahun baru.
Bahan-bahan pangan keluarga Ibu Verawati dibeli dengan biaya sendiri yaitu dari penghasilan beliau bekerja sebagai aron dan dari penghasilan suami beliau dari
bertani. Pola konsumsi keluarga ibu Verawita sama dengan pola konsumsi pada umumnya, yaitu mengkonsumsi nasi, ikan, sayur-sayuran, telur, tahu dan tempe, dan
lain-lain. Ibu Verawati menyebutkan bahwa keluarga beliau jarang mengkonsumsi daging karena harganya yang relatif mahal. Beliau menyebutkan bahwa biaya untuk
membeli daging lebih baik digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain, misalnya membeli persediaan ikan untuk beberapa hari.
Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga ibu Verawita adalah rumah orang tua daru suami beliau. Mertua ibu Verawita masih hidup dan tinggal bersama
dengan mereka di rumah tersebut. Bangunan rumah tersebut masih berdinding dan berlantai papan namun sudah dalam keadaan bersih dan baik. Rumah tersebut sudah
diisi dengan beberapa perabot, seperti kursi, meja, lemari, tempat tidur, dan lain-lain. Terdapat ruangan utama ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur, dan fasilitas MCK atau
kamar mandi di rumah beliau. Namun untuk kegiatan mandi dan mencuci, keluarga beliau lebih melakukannya di kamar mandi umum, karena kamar mandi di urmah
tersebut hanya bisa digunakan untuk buang air. Rumah ibu Verawita memiliki sumber penerangan dari listrik yang dialiri langsung dari PLN atau tidak menumpang
dari tetangga.
Universitas Sumatera Utara
77
Dalam hal kesehatan, keluarga ibu Verawita jarang mengalami sakit. Keluhan penyakit yang biasa keluarga beliau alami pada umumnya hanya keluahan penyakit-
penyakit ringan, seperti sakit kepala, flu, demam, batuk, dan lain-lain. Namun, ibu mertua beliau mengalami struk dan sudah lumpuh. Ketika sakit, keluarga ibu
Verawita biasanya melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Namun ketika sakit yang dialami dirasa cukup parah dan membutuhkan penanganan medis yang
lebih baik, beliau menyebutkan bahwa keluarga beliau melakukan pengobatan di Rumah Sakit Umum yang ada di kota Kabanjahe. Keluarga beliau juga mendapat
bantuan kesehatan dari pemerintah berupa Kartu Indonesia Sehat. Ibu Verwita memiliki 3 orang anak. Dua orang anak beliau sudah lulus dari
pendidikan Sekolah Menengah Atas SMA, dan anak bungsu beliau juga sedang mengenyam pendidikan di tingkat SMA dan berada di kelas XI. Anak pertama beliau
belum memiliki pekerjaan, sementara anak kedua beliau ikut bekerja sebagai aron bersama dengan beliau. Beliau menyebutkan bahwa anak sulung beliau sedang
mencari pekerjaan, namun sangat susah mendapatkannya karena hanya lulus SMA. Sementara itu, anak sulung beliau tidak ingin bekerja sebagai aron mengikuti ibu
Verawita. “Anak bibik yang sekolah tinggal satu, di SMA. Dua lagi udah lulus, tapi
yang sulung belum kerja. Ini lah lagi nyari-nyari kerja tapi enggak dapat-dapat. Susah katanya nyari kerja cuma tamat SMA. Bibik suruh
ikut jadi aron aja, dia enggak mau. Anak kedua bibik lah yang sekarang juga jadi aron sama bibik.”
Keluarga ibu Verawita memiliki interaksi yang baik antar anggota keluarganya. Beliau sering melakukan diskusi-diskusi ringan dengan anggota
Universitas Sumatera Utara
78
keluarganya, atau hanya sekedar berbincang-bincang ketika semua anggota keluarga berada di rumah. Hal-hal penting yang menyangkut kehidupan keluarga mereka juga
sering beliau diskusikan dengan suami dan anak-anak mereka. Beliau menyebutkan bahwa suami beliau tidak pernah mengambil keputusan apapun tanpa melibatkan
beliau. Dalam masyarakat, keluarga ibu Verawita juga memiliki interaksi dan komunikasi yang baik dengan warga desa yang lainnya. Ibu Verawita menyebutkan
bahwa beliau sesekali ikut berkumpul dengan ibu-ibu rumah tangga yang lain untuk berbincang-bincang. Apabila terdapat warga desa yang sedang mengadakan acara
adat pernikahan, duka cita, dll, ibu Verawita bersama ibu-ibu yang lain sering ikut membantu. Hal ini disebutkan ibu Verawita sebagai cara untuk menjaga rasa dan
hubungan kekeluargaan beliau dengan warga desa yang lain tetap baik.
Informan Kunci V
Ibu Herita Br. Tarigan, berusia 38 tahun dan beragama muslim. Beliau mengenyam pendidikan hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar SD. Beliau
memiliki 3 orang anak yang masih bersekolah. Suami ibu Herita juga menggelutipekerjaan yang sama dengan beliau, yaitu sebagai aron. Ibu Herita sudah
menjadi penduduk di Desa Beganding sejak beliau masih kecil, begitu juga dengan suami beliau. Ibu Herita sudah menggeluti pekerjaannya sebagai aron selama 14
tahun. Sebelum menjadi aron, ibu Herita tidak memiliki pekerjaan. Beliau menjadi
aron atas kemauan beliau sendiri. Ibu Herita memilih aron menjadi pekerjaannya karena pendidikan beliau yang sangat rendah. Beliau menyebutkan bahwa dirinya
tidak mempunyai kemampuan, keahlian, atau keterampilan tertentu yang bisa beliau
Universitas Sumatera Utara
79
lakukan untuk memberinya penghasilan. Aron menjadi satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan ibu Herita untuk mempunyai penghasilan demi memenuhi kebutuhan
hidup beliau dan keluarganya. Dalam satu hari, ibu Herita bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu
minggu beliau bekerja selama 5 hari. Pendapatan yang beliau terima dari pekerjaannya sebagai aron diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Ibu Herita
menyebutkan bahwa penghasilannya tersebut rendah dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga beliau. Di tambah lagi untuk memenuhi kebutuhan
sekolah ketiga anak beliau. Untuk membantu keuangan kelaurga beliau, selain bekerja sebagai aron, ibu Herita juga mengelola ladang milik keluarga mereka.
Pekerjaan ini beliau lakukan setiap akhir pekan. Tanaman yang beliau budidayakan adalah kopi. Penghasilan yang beliau dapatkan dari hasil panen kopi hanya sebesar
Rp. 200.000 – Rp. 300.000 setiap panen. Masa panen kopi dua kali dalam satu bulan.
Beliau menyebutkan bahwa meskipun pendapata dari kopi tidak besar, namun itu sangat dibutuhkan untuk sedikit membantu keadaan keuangan keluarga beliau.
“Selain jadi aron, bibik kerja juga di ladang kopi punya orang tua bibik. Lumayan lah nak buat nambah-nambah penghasilan. Lagian kan kalau
ke ladang kopi cuma sekali seminggu, jadi enggak terganggu kerja aronnya. Bibik dapat Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 lah kalau lagi
panen. Dua minggu sekali itu biasanya panen. Kalau cuma penghasilan dari aron aja, ya enggak bisa makanlah keluarga bibik nak.”
Selain bekerja sebagai aron dan mengelola ladang kopi milik keluarga, untuk membantu ekonomi keluarga beliau bergabung dengan kelompok jula-jula yang
dibentuk oleh sekelompok ibu rumah tangga yang ada di Desa Beganding. Kelompok
Universitas Sumatera Utara
80
jula-jula yang diikuti oleh ibu Herita memiliki anggota 40 orang. Iuran untuk jula- jula tersebut adalah sebesar Rp. 10.000 per minggu. Penarikan jula-jula akan
dilakukan sekali dalam seminggu. Ibu Herita juga bergabung menjadi anggota sebuah CU di Desa Beganding, yaitu CU. Kopdit Merdeka. Setiap bulannya beliau
membayar sebesar Rp. 20.000 sebagai iuran wajib. Ibu Herita menyebutkan bahwa hal ini beliau lakukan sebagai kegiatan menabung untuk mengantisipasi apabila
keluarga beliau membutuhkan dana besar untuk keperluan tertentu. Dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga ibu Herita akan sandang pakaian,
ibu Herita membeli pakaian baru dan juga pakaian bekas layak pakai. Namun, ibu Herita menyebutkan bahwa beliau lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai
yang harganya jauh lebih murah dibanding pakaian baru. Membeli pakaian baru dilakukan satu kali dalam setahun, yaitu hanya pada saat menjelang lebaran. Hal ini
pun beliau lakukan dengan cara menyicil. Keluarga ibu Herita juga pernah mendapatkan pemberian pakaian, baik pakaian baru ataupun pakaian bekas layak
pakai dari saudara-saudara beliau. “Kami lebih sering beli baju monja nak. Baju monja pun banyak kok
yang bagus-bagus. Tapi kalau udah mau lebaran ya disitulah baru beli baju baru. Itu pun bibik nyicil bayarnya, karena udah langganan itu.
Kalau bayar langsung lunas enggak sanggup lah bibik nak. Karena enggak cuma satu baju yang di beli. Baju bibik, baju bapak, baju anak-
anak lagi. Pasti agak banyak habis uang kalau langsung dilunasi semua.”
Kebutuhan pangan keluarga ibu Herita dibeli dengan biaya dari penghasilan keluarga beliau sendiri. Beliau juga menyebutkan bahwa keluarga mereka beberapa
kali mendapatkan pemberian bahan-bahan pangan dari tetangga yang sedang panen,
Universitas Sumatera Utara
81
atau dari sanak saudara beliau. Ibu Herita juga mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah, yaitu Raskin. Pola konsumsi keluarga ibu Herita sudah tergolong baik,
yaitu mengkonsumsi sayur-sayuran, ikan, telur, tahu dan tempe, dan lain-lain. Rumah yang menjadi tempat tinggal ibu Herita dan keluarganya bukan rumah
milik mereka sendiri melainkan rumah kontrak. Rumah tersebut sudah mereka kontrak selama 7 tahun. Bangunan rumah tersebut semi permanen dan sudah diisi
dengan beberapa perabot, seperti lemari, tampat tidur, meja, kursi, dan televisi. Rumah ibu Herita memiliki ruangan utama ruang tamu, sebuah kamar tidur, dan
dapur. Rumah beliau juga sudah dilengkapi dengan fasilitas MCK atau kamar mandi. Keperluan mandi dan mencuci tidak mereka lakukan di kamar mandi umum. Sumber
air di rumah ibu Herita berasal dari penampungan mata air yang dikelola warga desa. Sementara sumeber penerangan yang digunakan oleh keluarga ibu Herita adala listrik
yang diambil menumpang dari rumah tetangga beliau. Dalam hal kesehatan, ibu Herita menyebutkan bahwa keluarga beliau jarang
mengalami sakit. Keluhan penyakit yang pada umumnya dialami hanya keluhan penyakit-penyakit ringan, seperti sakit kepala, batuk, flu, demam, dan lain-lain.
Ketika sakit, keluarga ibu Herita melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Namun, beliau juga menyebutkan bahwa tidak jarang keluarga beliau menggunakan
pengobatan dan obat-obatan tradisonal, bahkan hanya beristirahat saja tanpa melakukan pengobatan jika sakit yang dialami dirasa tidak begitu parah. Keluarga
ibu Herita mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah, yaitu berupa Kartu Indonesia Sehat KIS.
Ibu Herita memiliki 3 orang anak. Ketiga anak ibu Herita sedang mengenyam pendidikan di tingkat SMP dan SD. Dalam hal belajar, ibu Herita menyebutkan
Universitas Sumatera Utara
82
bahwa beliau sangat jarang membimbing atau membantu anak-anaknya dalam belajar. Beliau merasa dirinya tidak mampu membantu anak-anaknya dalam belajar
karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mengingat beliau hanya lulus dari Sekolah Dasar. Anak sulung beliau lah yang selalu membantu adik-
adiknya dalam belajar. “Anak-anak bibik kalau belajar ya belajar sendiri nak. Kadang belajar
sama teman-temannya gitu. Bibik jarang kali lah ngajarin anak-anak bibik. Bibik cuma tamat SD ya mana bisa bibik ngajarin anak SMP.
Nanti anak bibik yang paling besar lah yang ngajarin adeknya.”
Keluarga ibu Herita memiliki interaksi dan komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Dalam hal pengambilan keputusan-keputusan penting dalam
keluarga mereka, ibu Herita selalu dilibatkan oleh suami. Sebelum keputusan- keputusan itu diambil, suami beliau selalu mengajaknya untuk berdiskusi terlebih
dahulu. Di masyarakat juga terdapat interaksi yang cukup baik antara keluarga ibu Herita dengan warga Desa Beganding. Mereka juga cukup sering terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sosial yang ada di Desa Beganding, seperti melakukan gotong royong, membantu warga desa yang sedang mengadakan acara besar atau pesta adat,
juga ikut membantu warga desa yang sedang mengalami musibah atau berdukacita. Ibu Herita juga bergabung dengan sebuah kelompok perwiritan. Keadaan ekonomi
keluarga ibu Herita tidak membuat mereka dipandang rendah oleh masyarakat Desa Beganding. Dalam hal pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan
Desa Beganding, keluarga ibu Herita jarang dilibatkan, bahkan hampir tidak pernah. Beliau menyebutkan bahwa hal-hal seperti itu biasanya hanya dilakukan oleh
perangkat-perangkat desa saja.
Universitas Sumatera Utara
83
Informan Kunci VI
Ibu Asyanta Br. Tarigan, berusi 42 tahun dan beragama Kristen Katholik. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas SMA.
Ibu Asyanta memiliki 3 orang anak. Ketiga anak beliau sedang bersekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP dan Sekolah Dasar SD. Suami ibu Asyanta
bekerja mengelola ladang milik keluarga beliau sendiri. Keluarga ibu Asyanta sudah menjadi penduduk tetap di Desa Beganding selama 17 tahun, dan beliau sudah
menggeluti pekerjaan sebagai aron selama 10 tahun. Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Asyanta pernah menggeluti beberapa
pekerjaan. Beliau pernah bekerja sebagai seorang kasir di sebuah hotel di kota Berastagi. Profesi tersebut beliau jalani hanya selama 1 tahun. Beliau terpaksa
berhenti dari pekerjaannya tersebut karena hotel tempat beliau beerja mengalami kebangkrutan dan ditutup. Kemudian, ibu Asyanta mencoba membuka usaha. Beliau
membuka toko pakaian di pasar Kabanjahe. Namun pekerjaan beliau berdagang pakaian ini juga tidak berjalan lancar dan tidak bertahan lama. Keuntungan dari toko
pakaian beliau semakin lama semakin menurun. Akhirnya ibu Asyanta menutup toko pakaian tersebut dan mencoba mencari pekerjaan lain dan akhirnya bekerja sebagai
aron. Ibu Asyanta bekerja sebagai aron atas saran dari keluarga dan ajakan dari teman-teman beliau di Desa Beganding.
“Sebelum jadi aron, dulu bibik pernah kerja jadi kasir di hotel di Berastagi. Tapi cuma setahun aja bibik kerja disitu. Hotelnya tutup nak,
bangkrut. Terus bibik nyoba jualan baju di pajak Kabanjahe. Itu pun juga enggak lancar nak, makin lama makin sedikit untung bibik, lama-
lama enggak balik modal. Jadi bibik tutup lah. Ya terakhirnya jadi aron
Universitas Sumatera Utara
84
lah, disuruh sama keluarga bibik, sama tetangga-tetangga juga diajak dari pada enggak ada kerja.”
Dalam satu hari, ibu Asyanta bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang beliau peroleh dari pekerjaannya
sebagai aron diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Menurut beliau, penghasilanya dari pekerjaan ini sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga beliau. Bahkan beliau menyebutkan bahwa keluarga beliau cukup sering mengalami kesulitan keuangan. Hal ini dikarenakan karena kebutuhan yang semakin
meningkat sedangkan harga dari kebutuhan-kebutuhan tersebut juga semakin mahal. Ditambah lagi kebutuhan sekolah anak-anak beliau. Oleh karena itu, untuk
membantu keadaan ekonomi keluarga, ibu Asyanti dan suami beliau memutuskan untuk kembali membuka usaha kecil-kecilan.
Usaha kecil-kecilan yang keluarga beliau jalankan adalah rental playstation. Usaha ini sudah dijalankan oleh keluarga beliau selama 2 tahun. Ibu Asyanta
menyebutkan bahwa modal untuk membuka usaha ini beliau pinjam dari orang tua beliau. Pendapatan yang diperoleh dari usaha ini adalah Rp. 80.000- Rp. 100.000 per
hari. Selain usaha rental playstation, ibu Asyanta juga berdagang kecil-kecilan. Beliau menjual makanan seperti pisang goreng, tahu dan tempe goreng, bakso goreng,
dan lain sebagainya. Beliau berdagang di depan rumah beliau, dan kegiatannya ini beliau kerjakan sepulangnya beliau bekerja aron. Berdagang makanan ini sudah
beliau lakukan selama satu tahun. Dalam satu hari, ibu Asyanta memperoleh Rp. 80.000
– Rp. 90.000 dari hasil dagangannya. Ibu Asyanta menyebutkan bahwa usaha-usaha yang beliau kerjakan ini cukup membantu keluarga beliau dalam
menangani masalah ekonomi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
85
“Bibik buka rental playstation ini modalnya minjam dari orang tua bibik. Di Beganding ini kan enggak ada tempat-tempat permainan
anak-anak gitu. Itu bibik jadikan peluang lah. Ternyata setelah di buka lumayan laris juga. Sehari dapat Rp. 80.000 sampai Rp. 100.000 lah
dari sini. Terus bibik juga jualan gorengan ini, udah ada lah satu tahun nak. Lumayan kali lah nak untuk nambah-nambah pemasukan.
Sekarang kan apa-apa serba mahal. Kalau penghasilan cuma Rp. 70.000 mau bagaimana kebutuhan kita bisa terpenuhi. Jadi bibik cari-
cari cara lah buat nambah- nambah uang masuk.”
Dalam mengatur keuangan keluarga, ibu Asyanta menyebutkan bahwa beliau menyisihkan sebagian dari pendapatan keluarga beliau untuk ditabung. Ibu Asyanta
menabung satu kali dalam satu bulan. Beliau menabung sebagian dari penghasilan keluarganya tersebut di Yayasan Sari Asih Nusantara. Ibu Asyanta menyebutkan
bahwa beliau harus menabung untuk keperluan keluarga mereka di waktu mendatang. Tabungan ini juga akan membantu beliau untuk membiayai biaya sekolah anak-anak
beliau yang masih harus menjalankan dan akan melanjutkan pendidikan. “Walaupun enggak banyak penghasilan bibik sama penghasilan bapak,
ya bibik tetap nabung lah nak, untuk jaga-jaga mana tau suatu saat kita butuh biaya. Tabungan ini pun untuk sekolah anak-anak bibik juga nya.
Enggak ada untuk yang lain-lain, karena kan anak bibik masih SD, masih SMP. Masih panjang lagi perjalanannya. Siapa tau nanti bisa
kuliah paling enggak satu orang.”
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga ibu Asyanta akan sandang pakaian, beliau lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai. Pembelian pakaian baru
Universitas Sumatera Utara
86
hanya dilakukan keluarga beliau pada saat menjelang tahun baru dan pada saat menjelang perayaan pesta tahunan Desa Beganding. Pembelian pakaian baru ini
beliau lakukan dengan cara menyicil. Beliau menyebutkan bahwa cukup berat bagi beliau untuk langsung membayar lunas pakaian-pakaian baru tersebut karena
biayanya yang besar. Beliau juga menyebutkan bahwa keluarga beliau juga menerima pemberian pakaian bekas layak pakai dari saudara-saudara beliau pada
saat tahun baru, ketika saudara-saudara beliau berkumpul dirumah keluarga beliau. Bahan-bahan pangan keluarga ibu Asyanta dibeli dengan biaya dari
penghasilan yang diperoleh keluarga beliau. Ibu Asyanta juga memanfaatkan pekarangan di sekitar tempat tinggalnya untuk ditanami tanaman cabe dan sayur
jipang. Ibu Asyanta menyebutkan bahwa ketika panen, sebagian besar dari hasil panen tersebut beliau titipkan di warung-warung yang ada di Desa Beganding untuk
dijual. Sebagian kecil lainnya beliau ambil dan digunakan untuk kebutuhan konsumsi keluarga beliau sendiri. Pola konsumsi keluarga ibu Asyanta tergolong baik, yaitu
mengkonsumsi nasi, sayur-sayuran, ikan, telur, tahu dan tempe, buah-buahan dan lain-lain.
“Ini lah nak, pekarangan belakang rumah ini lah bibik tanami cabe sama jipang. Walaupun enggak lebar-lebar kali pekarangan bibik ini
tapi ya lumayan lah untuk dimakan sendiri, kalau banyak ya bibik titip ke warung-warung gitu biar di jual. Nambah-
nambah uang saku.”
Keluarga ibu Asyanta tinggal bersama dengan orang tua beliau di rumah milik orang tua beliau. Keadaan bangunan rumah yang beliau tempati tersebut belum
dalam keadaan permanen, melainkan masih berdindingkan papan. Rumah tersebut memiliki ruang tamu, dua kamar tidur, dan dapur. Rumah tersebut juga sudah diisi
Universitas Sumatera Utara
87
dengan beberapa perabot, seperti kursi, meja, lemari, dan tempat tidur. Namun rumah beliau tidak memiliki fasilitas MCK atau kamar mandi. Keluarga beliau
menggunakan kamar mandi umum untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Keluarga beliau juga memanfaatkan sumber mata air yang sudah ditampung dan dikelola
warga desa untuk memnuhi kebutuhan air. Rumah keluarga ibu Asyanta sudah dialiri listrik.
Dalam hal kesehatan, ibu Asyanta menyebutkan bahwa keluarga beliau jarang mengalami sakit, baik sakit ringan maupun sakit parah. Keluhan penyakit
yang pada umumnya keluarga beliau alami juga hanya keluhan penyakit-penyakit ringan, seperti flu, batuk, sakit kepala, demam, dan keluhan penyakit ringan lainnya.
Apabila mengalami sakit, keluarga ibu Asyanta biasa melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Keluarga beliau juga sangat jarang melakukan pemeriksaan
kesehatan. Tidak ada bantuan kesehatan dari pemerintah yang diterima oleh keluarga beliau.
Ibu Asyanta memiliki 3 orang anak dan ketiga anak beliau sedang mengenyam penndidikan. Anak pertama mengenyam pendidkan di tingkat Sekolah
Menengah Pertama SMP dan berada di kelas VIII, anak kedua dan ketiga mengenyam pendidikan di tingkat Sekolah Dasar SD dan berada di kelas VI dan V.
Dalam hal pendidikan, ibu Asyanta menyebutkan bahwa beliau memiliki tabungan untuk keperluan pendidikan anak-anak beliau. Dalam hal belajar, beliau
menyebutkan bahwa beliau tidak terlalu sering membantu dan membimbing anak- anak beliau dalam belajar. Anak pertama ibu Asyanta lebih sering belajar dengan
teman-temannya, sementara anak kedua dan ketiga beliau lebih sering dibantu dalam belajar oleh anak pertama.
Universitas Sumatera Utara
88
Ibu Asyanta memiliki interaksi yang cukup baik antara anggota keluarga beliau. Namun, beliau menyebutkan bahwa beliau kurang berkomunikasi dengan
suami beliau. Ibu Asyanta menyebutkan bahwa suami beliau sering pergi ke warung kopi yang ada di Desa Beganding dari mulai petang sampai tengah malam. Selesai
bekerja, suami beliau hanya pulang ke rumah untuk mandi dan makan, kemudian pergi. Namun hal ini tidak membuat hubungan ibu Asyanta dengan suami beliau
tidak baik. Dalam hal-hal penggambilan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka, ibu Asyanta selalu dilibatkan oleh suami beliau.
“Kalau komunikasi kami sekeluarga, ya bagaimana lah bibik bilang ya. Bapak kalau udah pulang kerja, pulang ke rumah cuma untuk mandi
sama makan aja, habis itu pergi ke warung kopi sampai tengah malam. Hampir tiap hari lah bapak kayak gitu. Jadi mau ngobrol-ngobrol pun
sama bapak kadang susah. Tapi hubungan kami ya tetap baik lah nak. Kalau ada yang penting gitu yang harus dibicarakan, ya bapak
bicarakan sama bibik, enggak pernah langsung bapak bertindak sendiri tanpa nanya ke bibik dulu.”
Dalam masyarakat, keluarga ibu Asyanta mengikuti perkumpulan arisan marga. Arisan ini diadakan satu kali dalam sebulan. Perkumpulan ini diikuti oleh
keluarga beliau untuk menjaga dan mempererat tali silaturahmi mereka dengan keluarga yang lainnya dalam kumpulan marga mereka. Selain itu ibu Asyanta juga
memiliki interaksi dan komunikasi yang baik dengan warga yang lainnya. Ibu Asyanta menyebutkan bahwa beliau cukup sering berkumpul dengan beberapa ibu-
ibu rumah tangga lainnya di rumah beliau maupun di rumah ibu-ibu yang lain pada malam hari untuk sekedar berbincang-bincang atau berdiskusi.
Universitas Sumatera Utara
89
Informan Kunci VII
Ibu Wanti Br. Ginting, berusia 42 tahun dan beragama Muslim. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Ibu
Wanti memiliki 2 orang anak, yaitu berusia 7 tahun dan 5 tahun. Suami beliau memiliki pekerjaan yang sama dengan beliau, yaitu sebagai aron. Selain itu suami
ibu Wanti juga bekerja megelola ladang warisan keluarga. Keluarga ibu Wanti sudah menjadi penduduk di Desa Beganding dan menetap disana selama 13 tahun dan
beliau sudah menggeluti pekerjaannya sebagai aron selama 10 tahun. Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Wanti pergi merantau ke Jakarta. Di
Jakarta beliau bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu. Ibu Wanti menyebutkan bahwa upah yang beliau terima dari pekerjaannya ini tidak sebanding
dengan jam kerja beliau. Penghasilan beliau juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota besar seperti Jakarta karena biaya hidup di Jakarta besar.
Akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke kampung halaman beliau. Setelah menetap di Desa Beganding, ibu Wanti tidak
memiliki pekerjaan sampai beliau menikah. Beliau menyebutkan, setelah satu tahun menikah ibu Wanti merasa bahwa penghasilan suami beliau saja tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga beliau. Akhirnya ibu Wanti memutuskan untuk bekerja. Ibu Wanti menyebutkan beliau memilih aron menjadi pekerjaannya karena
hanya itu lapangan pekerjaan yang tersedia di desa itu. Keluarga beliau tidak memiliki modal untuk membuka usaha.
“Dulu bibik merantau ke Jakarta, terus kerja jadi buruh di pabrik sepatu. Ya, biaya hidup di jakarta kan besar, semua-semua mahal,
sedangkan gaji bibik enggak seberapa. Ya kalau mau bertahan terus di
Universitas Sumatera Utara
90
Jakarta ya enggak sanggup lah bibik nak. Jadi bibik pulang kampung lah. Selama di kampung bibik enggak kerja sampai bibik nikah. Karena
kan balik lagi jadi tanggungan keluarga. Tapi setelah nikah lah, kan udah punya rumah tangga sendiri jadi enggak mungkin lah minta-minta
lagi sama orang tua. Jadi bibik kerja lah jadi aron. Penghasilan suami bibik juga enggak besar-besar kali nak, jadi bibik ikut bantu-bantu lah
nyari uan g.”
Dalam satu hari, ibu Wanti bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang beliau peroleh dari pekerjaannya
sebagai aron ini diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Beliau menyebutkan bahwa penghasilannya tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga beliau. Ditambah dengan penghasilan suami beliau dari pekerjaannya juga masih pas-pasan. Beliau menyebutkan bahwa ekonomi keluarga mereka berada pada
keadaan yang sulit, karena kebutuhan hidup semakin lama semkin meningkat dan harga-harga semakin lama semakin mahal. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
jika suatu saat nanti keluarga ibu Wanti mengalami kesulitan dalam keuangan, beliau bergabung menjadi anggota sebuah CU di Desa Beganding, yaitu CU. Rudang
Mayang. Setiap bulannya, ibu Wanti membayar sebesar Rp. 30.000 sebagai iuran wajib. Beliau menyebutkan bahwa hal ini beliau lakukan sebagai kegiatan menabung.
Dengan bergabung menjadi anggota CU ini, keluarga beliau juga bisa melakukan pinjaman uang jika keadaan keuangan keluarga beliau sedang sulit.
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga ibu Wanti akan pakaian, beliau dan keluarga lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai yang dijual di pasar dengan
harga yang jauh lebih murah dibanding dengan pakaian baru. Keluarga beliau hanya membeli pakaian baru pada saat lebaran. Hal itu juga mereka lakukan ketika
Universitas Sumatera Utara
91
pendapatan mereka dirasa cukup untuk membeli pakaian baru untuk keluarga mereka. Dalam setahun tidak jarang keluarga ibu Wanti tidak membeli pakaian. Selain
membeli pakaian, keluarga ibu Suryani juga beberapa kali mendapat pemberian pakaian bekas layak pakai dari sanak saudara mereka.
Kebutuhan pangan keluarga ibu Wanti dibeli dengan biaya dari penghasilan keluarga beliau sendiri. Beberapa kali ketika lahan yang beliau kerjakan sedang
panen, beliau juga mendapatkan sayur-sayuran atau buah-buahan dari pemilik lahan. Ibu Wanti dan suami lebih sering makan dua kali dalam sehari, yaitu siang dan
malam saja. Namun anak-anak mereka harus makan tiga kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam. Pola konsumsi keluarga ibu Suryani masih tergolong baik, yaitu
mengkonsumsi ikan, sayur-sayuran, telur, dan sesekali mengkonsumsi buah-buahan. Namun keluarga ibu Suryani sangat jarang mengkonsumsi daging karena harganya
yang relatif mahal. Keluarga beliau juga mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah yaitu berupa Raskin.
Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga ibu Wanti adalah Si Sepuluh Dua Jabu. Bagian rumah yang ditinggali oleh keluarga beliau bukan merupakan
milik keluarga beliau melainkan mengontrak. Rumah tersebut sudah mereka kontrak selama 13 tahun, yaitu sejak ibu Wanti dan suami beliau menikah. Bangunan rumah
tersebut tidak dalam keadaan permanen melainkan masih berdinding dan berlantai papan.. Bagian rumah yang dimiliki keluarga beliau adalah satu kamar tidur. Namun
sudah terdapat beberapa perabot di dalam rumah itu, seperti kursi, lemari, tempat tidur, dan lain sebagainya. Rumah tersebut tidak memiliki dapura namun kegiatan
memasak tetap dilakukan di dalam rumah dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Tidak tersedia fasilitas MCK kamar mandi di rumah ibu Wanti. Keluarga
beliau menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan mencuci. Beliau juga
Universitas Sumatera Utara
92
memanfaatkan mata air yang di tampung dan sudah di kelola warga desa untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka akan air. Rumah ibu Wanti sudah dialiri
listrik. Dalam hal kesehatan, keluarga ibu Wanti jarang mengalami sakit. Keluhan
penyakit yang pada umumnya dialami oleh keluarga beliau adalah keluhan penyakit- penyakit ringan, seperti flu, batuk, sakit kepala, demam, dan keluhan penyakit ringan
lainnya. Apabila mengalami sakit, keluaga beliau melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa, dan juga melakukan pengobatan tradisional. Ibu Wanti
menyebutkan bahwa keluarga beliau sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan, kecuali jika kesehatan beliau dan keluarga beliau
dirasa mulai kurang baik. Keluarga ibu Wanti mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah, yaitu berupa Kartu Indonesia Sehat KIS.
Ibu Wanti memiliki 2 orang anak. Kedua anak ibu Wanti sedang mengenyam pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP dan Sekolah Dasar SD.
Dalam hal pendidikan, ibu Wanti menyebutkan bahwa beliau tidak menyediakan biaya khusus karena keterbatasan keuangan. Namun kebutuhan sekolah anak-anak
beliau tetap bisa beliau penuhi. Dalam hal belajar, beliau lebih memperhatikan dan lebih sering membntu dan membimbing anak beliau yang sedang bersekolah di
tingkat SD. Beliau menyebutkan bahwa anak beliau yang sedang bersekolah di tingkat SMP lebih sering belajar bersama dengan teman-temannya setiap malam.
“Keuangan kita kan terbatas nak, jadi enggak perlu lah rasa bibik menyediakan biaya khusus untuk pendidikan. Tapi ya kebutuhan-
kebutuhan sekolah tetap bibik penuhi lah. Paling yang SMP aja agak
Universitas Sumatera Utara
93
banyak biayanya, karena udah pakai ongkos. Kalau yang SD, sekolah sama buku kan gratis jadi enggak banyak-
banyak kali biaya.”
Keluarga ibu Wanti memiliki interaksi dan komunikasi yang baik antara anggota keluarga. Dalam hal pengambilan keputusan, suami ibu Wanti sering
melibatkan beliau dan sering mengajak beliau berdiskusi tentang hal-hal penting yang menyangkut kehidupan keluarga mereka. Begitu juga interaksi dan komunikasi
keluarga ibu Wanti dengan warga yang lainnya. Ibu Wanti menyebutkan bahwa beliau cukup sering berkumpul dengan beberapa ibu-ibu rumah tangga lainnya pada
malam hari untuk sekedar berbincang-bincang. Di Desa Beganding sendiri, keluarga ibu Wanti tidak ikut bergabung dalam organisasi sosial, namun ibu Wanti
menyebutkan bahwa sebisa mungkin mereka ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang dilaksanakan di Desa Beganding. Dalam pengambilan keputusan dalam
masyarakat, ibu Wanti dan keluarga tidak terlalu sering melibatkan diri. Ibu Wanti menyebutkan bahwa alasan mereka tidak terlalu sering melibatkan diri dalam
pengambilan keputusan dalam masyarakat adalah karena keluarga beliau tidak memiliki jabatan serta peran yang cukup penting dalam masyarakat di Desa
Beganding.
Informan Kunci VIII
Ibu Masrita, berusia 40 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam penndidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP.
Sekolah memiliki 3 orang anak, dimana dua dari anak beliau masih bersekolah di ringkat SMP dan SD. Beliau memiliki beliau yang sudah tidak bekerja lagi setelah
terserang penyakit struk. Keluarga ibu Masrita sudah menjadi penduduk Desa
Universitas Sumatera Utara
94
Beganding selama 15 tahun, dan beliau juga sudah meggeluti pekerjaan sebagai aron selama 15 tahun.
Sebelum menjadi aron, ibu Masrita hanya melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Tidak pekerjaan lain yang beliau lakukan. Latar belakang ekonomi
keluarga beliau lah yang akhirnya menuntut beliau untuk bekerja. Beliau memilih aron menjadi pekerjaannya karena pendidikan beliau yang rendah. Beliau
menyebutkan bahwa hanya aron lah pekerjaan yang bisa beliau lakukan dengan latar belakang pendidikan hanya lulus dari Sekolah Menengah Pertama SMP.
Setiap harinya, ibu Masrita bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang beliau peroleh dari pekerjaannya
tersebut diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Beliau menyebutkan bahwa pendapatan beliau tersebut sangat rendah dan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga mereka. Ditambah lagi, pada saat ini hanya Ibu Masrita lah yang bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Suami beliau terkena struk dan
sudah lumpuh. Beliau juga menyebutkan, bahkan ketika suami beliau masih sehat dan bekerja sebagai supir angkot, keadaan ekonomi keluarga beliau masih tergolong
rendah. Namun ibu Masrita sudah memiliki tabungan sejak awal beliau bekerja sebagai aron dan suami beliau masih bisa bekerja.
“Dulu bapak juga kerja nak, jadi supir angkot. Tapi sekarang udah kena struk, jalan aja udah susah. Bisa dibilang udah lumpuh lah bapak
ini, jadi yang jadi tulang punggung keluarga ya bibik lah, mau bagaimana lagi. Kalau enggak gitu enggak makan lah keluarga bibik
nak. Untunglah dari sejak awal bibik kerja, terus bapak juga masih
Universitas Sumatera Utara
95
kerja bibik udah nabung, jadi ada pegangan bibik. Kalau dulu enggak nabung sulit kali lah keuangan kami sekarang.”
Meskipun keluarga beliau memiliki keadaan keuangan yang sulit, ibu Masrita berusaha mengatur keungan keluarganya dengan baik. Beliau masih bisa
menyisihkan sedikit dari penghasilannya untuk disimpan dan ditabung. Salah satu cara ibu Masrita dalam menabung adalah dengan mengikuti kelompok jula-jula yang
dibentuk sekelompok ibu rumah tangga di Desa Beganding. Kelompok jula-jula tersebut memiliki anggota 24 orang. Iuran yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp.
20.000 setiap minggunya. Penarikan jula-jula jug dilakukan satu kali dalam seminggu, yaitu setiap akhir pekan. Beliau menyebutkan bahwa uang yang beliau
dapatkan dari jula-jula ini sangat membantu keuangan keluarga beliau. Selain mengikuti jula-jula, ibu Masrita juga bergabung menjadi anggota dari sebuah CU
yang ada di Desa Beganding, yaitu CU Kopdit Merdeka. Setiap bulannya, beliau membayar Rp. 20.000 sebagai iurn wajib. Selain melakukan penyimpanan uang, ibu
Masrita juga bisa melakukan peminjaman uang apabila terdapat keperluan keluarga eliau yang membutuhkan dana yang besar.
Ibu Masrita memanfaatka pekarangan rumah beliau untuk ditanami bawang merah. Beliau menyebutkan bahwa beliau bisa memperoleh 5kg-7kg bawang pada
saat panen. Hasil panen ini beliau jual langsung pada warga Desa Beganding dengan cara mendatangi rumah-rumah warga. Dari hasil penjualan bawang, beliau bisa
memperoleh Rp. 100.000 – Rp. 140.000. Hal ini dilakukan ibu Masrita juga untuk
sedikit menambah penghasilannya.
Universitas Sumatera Utara
96
“Bibik ada nanam bawang di belakang rumah. Lumayan lah nak, bisa bibik jual kan buat nambah-nambah uang saku. Biasanya bisa dapat
5kg sampai 7kg itu. Kalau dijual ya lebih juga Rp.100.000.”
Dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga beliau akan sandang pakaian, ibu Masrita hanya melakukan pembelian pakaian sekali dalam setahun, baik pakaian
baru, maupun pakaian bekas layak pakai. Pembelian pakaian biasa dilakukan beliau pada saat menjelang perayaan natal. Beliau menyebutkan bahwa untuk pembelian
pakaian baru beliau lakukan dengan cara menyicil karena keuangan beliau tidak memungkinkan untuk membelinya secara lunas. Keluarga beliau juga pernah
mendapatkan pemberian pakaian, baik pakaian baru maupun pakaian bekas layak pakai dari sanak saudara.
Kebutuhan pangan keluarga ibu Masrita dibeli dengan biaya sendiri dari penghasilan yang beliau peroleh. Jika lahan yang dikerjakan ibu Masrita sedang
panen, beberapa kali beliau mendapatkan sayur-syuran yaang diberikan oleh pemilik lahan. Meskipun menurut ibu Masrita penghasilan beliau tidak besar, keluarga beliau
masih bisa makan sesuai kebutuhan yaitu 3 kali dalam sehari. Pola konsumsi keluarga ibu Masrita juga cukup baik, yaitu mengkonsumsi nasi, ikan, sayur-sayuran,
telur, dan sesekali mengkonsumsi buah-buahan, meskipun mereka sangat jarang mengkonsumsi daging. Keluarga ibu Mesrita juga mendapatkan bantuan pangan dari
pemerintah, yaitu bantuan raskin. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga ibu Masrita bukan merupakan
rumah keluarga beliau sendiri, melainkan rumah kontrak. Rumah tersebut sudah dikontrak keluarga beliau selama 15 tahun. Bangunan rumah tersebut semi permanen,
memiliki beberapa perabot, seperti meja, lemari, kursi, dan terdapat televisi, namun
Universitas Sumatera Utara
97
tidak memiliki langit-langit. Rumah tersebut hanya memiliki dua bagian, yaitu bagian ruang tamu dan bagian dapur. Tidak terdapat kamar di rumah tersebut dan
juga tidak tersedia fasilitas MCK atau kamar mandi. Keluarga ibu Mesrita menggunakan kamar mandi umum untuk keperluan mandi dan mencuci, serta
memanfaatkan sumber mata air yang sudah ditampung dan dikelola oleh warga Desa Beganding. Sumber penerangan yang ada di rumah ibu Mesrita adalah listrik yang
menumpang dari rumah tetangga beliau. Dalam hal kesehatan, selain dari suami beliau yang sudah menderita penyakit
struk selama 4 tahun, tidak ada anggota keluarga ibu Mesrita yang lain yang mengalami penyakit yang berat. Namun, ibu Mesrita mengaku bahwa beliau sering
mengalami keluhan sakit kepala. Walaupun hanya keluhan penyakit ringan, ibu Mesrita mengaku bahwa sakit kepala ini hampir setiap hari beliau alami. Namun
beliau belum pernah pergi ke rumah sakit untuk memeriksakannya. Pada saat mengalami sakit, keluarga ibu Mesrita lebih sering melakukan pengobatan
tradisional dibandingkan pengobatan di puskesmas atau rumah sakit, kecuali pada saat suami beliau terserang struk. Keluarga ibu Mesrita mendapatkan bantuan
kesehatan dari pemerintah, yaitu berupa Kartu Indonesia Sehat KIS. Ibu Mesrita memiliki 3 orang anak, dua diantaranya sedang bersekolah pada
tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP dan Sekolah Dasar SD. Namun, anak sulung beliau harus memutuskan pendidikannya pada tingkat SMP. Ibu Mesrita
menyebutkan bahwa pada saat itu keadaan keuangan keluarga beliau sangat sulit sehingga beliau tidak bisa membiayai uang sekolah dan kebutuhan-kebutuhan
sekolah anak sulungnya. Saat ini, anak sulung dan anak kedua beliau tinggal bersama orangtua beliau di desa Kinepen Kecamatan Munthe. Anak sulung ibu Mesrita
membantu orantua beliau mengerjakan ladang, dan anak kedua bersekolah disana.
Universitas Sumatera Utara
98
Anak bungsu ibu Mesrita lah yang tinggal bersama dengan beliau dan suaminya. Pada saat ini, anak bungsu beliau sedang bersekolah di Sekolah Dasar SD yang ada
di Desa Beganding, dan duduk di kelas V. Dalam hal belajar, ibu Mesrita menyebutkan bahwa beliau cukup sering membimbing dan membantu anak
bungsunya tersebut. Beliau juga menyebutkan bahwa anak bungsu beliau juga sering belajar bersama dengan teman-teman sekelasnya, baik di rumah beliau maupun di
rumah teman-temannya. “Anak bibik tinggal 2 lagi yang sekolah. Anak bibik paling besar putus
sekolah karena waktu itu memang lagi sulit kali keuangan keluarga jadi bibik enggak ada biaya buat nyekolahkan. Awalnya enggak mau juga
dia kalau enggak sekolah lagi. Tapi akhirnya dia mau ngerti. Sekarang dia tinggal di rumah orang tua bibik di Munthe. Anak bibik yang kedua
pun di Munthe juga, sekolah di sana. Tinggal yang SD ini lah yang tinggal sama kami.”
Keluarga ibu Mesrita memiliki interaksi dan komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Dalam hal pengambilan keputusan-keputusan penting yang
menyangkut keluarga beliau, ibu Mesrita selalu berdiskusi terlebih dahulu dengan suami beliau. Di masyarakat juga terdapat interaksi yang cukup baik antara keluarga
ibu Mesrita dengan warga Desa Beganding lainnya. Beliau juga merupakan anggota Dewan Diakonia di gereja. Mereka cukup sering melakukan kegiatan-kegiatan sosial
yang ada di Desa Beganding, seperti melakukan gotong royong, membantu warga desa yang sedang mengadakan acara besar atau pesta adat, juga ikut membantu
warga desa yang sedang mengalami musibah atau berdukacita.
Universitas Sumatera Utara
99
Informan Kunci IX
Ibu Nani Br. Siregar, berusia 38 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas SMA.
Beliau memiliki 3 orang anak, dimana dua diantaranya sedang bersekolah di Sekolah Dasar SD di Desa Beganding. Suami dari ibu Nani bekerja mengelola ladang kopi
milik suami beliau sendiri yang merupaka warisan dari orang tua suami beliau. Keluarga ibu Nani sudah tinggal di Desa Beganding selama 13 tahun, dan beliau
sudah menjalani pekerjaannya sebagai aron selama 10 tahun, Sebelum bekerja sebagai aron, ibu Nani hanya melakukan pekerjaan sebagai
seorang ibu rumah tangga. Beliau menjadi aron atas kemauan beliau sendiri. Ibu Nani mengaku bahwa jika tidak bekerja dan hanya mengandalkan penghasilan suami
beliau, maka kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka tidak bisa terpenuhi. Beliau juga menyebutkan bahwa dirinya merasa bosan hanya berada di rumah saja. Oleh karena
itu beliau memutuskan untuk bekerja, selain untuk mengisi waktu ibu Nani juga bisa membantu keuangan keluarga beliau. Bekerja menjadi aron dipilih ibu Nani dengan
alasan beliau tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dan keluarga beliau tidak mempuyai modal untumembuka usaha.
“Bibik ikut kerja ya karena penghasilan suami bibik pas-pasan kali lah nak untuk kebutuhan keluarga. Lagian kebutuhan kita kan enggak cuma
makan aja. Ada aja pasti kebutuhan yang lain-lain yang perlu biaya kan. Terus bibik pun bosan lah di rumah aja, enggak ada kerjaan lain.
Kalau kerjaan-kerjaan rumah sebentar aja bisa siap. Jadi sekalian ngisi waktu juga lah terus bisa dapat penghasilan, kan lumayan bibik
bisa bantu bapak nyari uang.”
Universitas Sumatera Utara
100
Dalam satu hari ibu Nani bekerja selama rata-rata 7 jam, dan dalam seminggu beliau bekerja selama 6 hari. Sistem pemberian upah yang diterima oleh ibu
Verawita diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000. Ibu Nani mengatakan bahwa bagi dirinya penghasilan yang beliau terima dari pekerjaan ini sangat pas-pasan
dalam memenuhi kebutuhan keluarga beliau. Demi mambantu keadaan ekonomi keluarga agar bisa memenuhi kebutuhan hidup, Ibu Nani bergabung dengan salah
satu CU yang ada di desa Begandinng, yaitu CU. Merdeka. Setiap bulannya beliau membayar Rp. 20.000 sebagai iuran wajib. Hal ini dianggap ibu Nani sebagai
kegiatan menabung untuk membantu keadaan ekonomi keluarga beliau yang tergolong rendah. Beliau juga mengatakan bahwa bergabung dengan CU. Merdeka
ini keluarga beliau bisa mendapatkan pinjaman uang jika suatu saat membutuhkan dana yang besar untuk keperluan tertentu. Selain itu ibu Nani mengikuti kegiatan
jula-jula yang dilakukan oleh sekelompok ibu rumah tangga di Desa Beganding. Kelompok jula-jula yang diikuti oleh ibu Nani memiliki anggota 21 orang dengan
iuran Rp. 20.000 per minggunya dan akan dilakukan penarikan sekali dalam seminggu. Ibu Nani mengaku kegiatan jula-jula ini juga sebagai kegiatan menabung
untuk membantu keuangan keluarga beliau. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga ibu Nani akan sandang pakaian,
beliau lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai. Pembelian pakaian baru hanya dilakukan keluarga beliau pada saat menjelang perayaan Natal atau tahun baru
dan pada saat menjelang perayaan pesta tahunan Desa Beganding. Pembelian pakaian baru ini beliau lakukan dengan cara menyicil. Beliau menyebutkan bahwa
cukup berat bagi beliau untuk langsung membayar lunas pakaian-pakaian baru tersebut karena biayanya yang besar.
Universitas Sumatera Utara
101
“Kami lebih sering lah beli baju monja nak dari pada baju baru. Harga satu baju baru udah bisa bikin beli 3 sampai 4 baju monja. Tapi ya,
kami biasanya beli baju baru pas mau pesta tahunan lah, sama waktu menjelang natal atau tahun baru gitu. Itu juga bibik nyicil biar gak
terasa kali langsung habis uang bibik buat biaya pakaia n aja.”
Kebutuhan pangan keluarga ibu Nani dibeli dengan biaya sendiri dari penghasilan yang diperoleh beliau dan suaminya. Jika lahan yang dikerjakan ibu
Nani sedang panen, beberapa kali beliau mendapatkan sayur-syuran atau buah- buahan yaang diberikan oleh pemilik lahan. Meskipun menurut ibu Dewi
penghasilan mereka tidak besar, beliau menyebutkan keluarga mereka masih bisa makan sesuai kebutuhan yaitu 3 kali dalam sehari. Pola konsumsi keluarga ibu Dewi
juga cukup baik, yaitu mengkonsumsi nasi, ikan, sayur-sayuran, telur, dan sesekali mengkonsumsi buah-buahan, meskipun mereka sangat jarang mengkonsumsi daging.
Rumah yang menjadi tempat tinggal ibu Nani dan keluarganya bukan rumah milik mereka sendiri melainkan rumah kontrak. Rumah tersebut sudah mereka
kontrak selama 13 tahun. Bangunan rumah tersebut semi permanen dan sudah diisi dengan beberapa perabot, seperti lemari, tampat tidur, meja, kursi, peralatan
memasak, dan lain-lain. Rumah ibu Nani sangat sederhana dengan hanya memiliki dua ruangan, yaitu ruangan bagian depan dan sebuah ruangan yang dijadikan gudang,
dan tidak ada dapur. Keluarga beliau tidur dan memasak di dalam satu ruangan tersebut. Rumah beliau juga tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK atau kamar
mandi. Keperluan mandi dan mencuci mereka lakukan di kamar mandi umum. Kebutuhan air keluarga ibu Nani diambil dari penampungan mata air yang dikelola
warga desa. Rumah keluarga ibu Nani dialiri listrik yang menumpang dengan tetangga beliau.
Universitas Sumatera Utara
102
“Ya, begini lah rumah bibik nak, cuma satu petak ini aja,enggak ada kamar, enggak ada dapur, enggak ada kamar mandi. Namanya juga
ngontrak, mau diperbaiki ya kita enggak ada uang. Kami tidur di ruangan ini, masak pun di ruangan ini juga. Untunglah agak lebar jadi
bisa agak jauh jaraknya kompor sama tempat tidur, sama pakaian- pakaian. Kalau mandi sama nyuci ya di kamar mandi umumlah.
Ngambil air juga dari pet. Tapi masih bersyukurlah kami masih bisa ngontrak.”
Dalam hal kesehatan, keluarga ibu Nani jarang mengalami sakit dan tidak ada anggota keluarga mereka yang mempunyai riwayat penyakit yang berat. Keluhan
penyakit yang biasa mereka alami hanya keluhan penyakit-penyakit ringan seperti demam, flu, batuk, kepala pusing, dan lain sebagainya. Jika keluarga ibu Nani
mengalami sakit, mereka melakukan pengobatan di Balai Puskesmas Desa atau hanya melakukan pengobatan tradisional. Frekwensi keluarga ibu Nani dalam
melakukan pemeriksaan kesehatan sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah. Ibu Nani sendiri tidak menyisihkan atau menyediakan biaya khusus untuk kesehatan.
Keluarga ibu Nani juga tidak memiliki asuransi kesehatan, namun mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah yaitu Karti Indonesia Sehat KIS.
Ibu Nani memiliki 3 orang anak. Dua diantaranya sedang bersekolah di Sekolah Dasar SD yang ada di Desa Beganding, sementara anak sulung beliau tidak
lagi bersekolah. Ibu Nani menyebutkan bahwa anak sulung beliau tidak memiliki kemauan lagi untuk sekolah. Beliau mengaku sudah membujuknya berkali-kali
namun anak sulung beliau tetap tidak mau melanjutkan sekolahnya. Saat ini anak sulung beliau tinggal bersama dengan orang tua ibu Nani. Dalam hal belajar, beliau
menyebutkan bahwa beliau tidak terlalu sering membantu dan membimbing anak-
Universitas Sumatera Utara
103
anak beliau dalam belajar. Ibu Nani menyebutkan bahwa anak-anak beliau lebih sering dan lebih senang belajar dan mengerjakan tugas bersama dengan teman-teman
sekelas mereka. Namun, ibu Nani mengaku selalu memantau bagaimana anak-anak beliau belajar di sekolah, dan memantau perkembangan belajar mereka.
“Anak bibik dua lagi lah ini yang sekolah. Abangnya enggak mau lagi sekolah, udah malas katanya. Udah capek bibik sama bapak membujuk,
bapak pun juga udah marah-marah, tapi ya memang dia udah enggak mau lagi. Mau di paksa pakai cara apapun udah enggak mempan bibik
rasa. Jadi ya terakhirnya bibik biarkan aja. Kalau yang dua lagi, kalau belajar lebih suka sama kawan-kawan sekelasnya. Kadang di rumah
kawannya, kadang juga di rumah bibik. Jadi bibik pun ya jarang lah ngajarin. Paling cuma bibik tanya-tanya aja ada tugas atau enggak,
pelajarannya udah sampai dimana, gitu- gitu aja lah.”
Ibu Nani memiliki interaksi yang cukup baik antara anggota keluarga beliau. Namun, beliau menyebutkan bahwa beliau kurang berkomunikasi dengan suami
beliau. Ibu Nani menyebutkan bahwa suami beliau sering pergi ke warung kopi yang ada di Desa Beganding dari mulai petang sampai tengah malam. Selesai bekerja,
suami beliau hanya pulang ke rumah untuk mandi dan makan, kemudian pergi. Hal ini menyebabkan ibu Nani juga sering pergi berkumpul dan berbincang-bincang
dengan tetangga atau ibu rumah tangga yang lain. Namun hal ini tidak membuat hubungan ibu Nani dengan suami beliau tidak baik. Dalam hal-hal pengambilan
keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka, ibu Nani mengaku selalu diajak berdiskusi dan dilibatkan oleh suami beliau.
Universitas Sumatera Utara
104
“Suami bibik hampir tiap malam ke warung kopi. Pulang kerja, mandi, makan, terus langsung pergi. Bibik pun juga jadi malas lah di rumah
sendirian, jadi bibik pun pergi juga lah ngumpul-ngumpul sama tetangga gitu, ngobrol-ngobrol. Jadi kadang bibik komunikasinya
kurang gitu sama bapak. Tapi hubungan kami ya tetap baik lah. Enggak sampai enggak cakapan.”
Di Desa Beganding sendiri, keluarga ibu Nani tidak ikut bergabung dalam organisasi sosial, namun ibu Nani menyebutkan bahwa sebisa mungkin mereka ikut
berpartisipasi jika ada kegiatan sosial yang dilaksanakan di Desa Beganding. Dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat, ibu Nani dan keluarga juga tidak terlalu
sering melibatkan diri. Ibu Nani menyebutkan bahwa alasan mereka tidak terlalu sering melibatkan diri dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adalah
karena keluarga beliau tidak memiliki jabatan serta peran yang cukup penting dalam masyarakat di Desa Beganding. Lagi pula, ibu Nani menyebutkan bahwa hal-hal
semacam itu biasanya hanya dilakukan oleh aparat desa saja.
Informan Kunci X
Ibu Rohanna Br. Sinulingga, berusia 40 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Dasar. Ibu
Rohanna memiliki 6 orang anak, yaitu 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. 5 dari 6 anak beliau masih bersekolah, 1 orang di tingkat Sekolah Menengah Pertama
SMP dan 4 orang di tingkat Sekolah Dasar SD. Ibu Rohanna memiliki suami yang menggeluti pekerjaan sama seperti beliau, yaitu menjad aron. Ibu Rohanna
sudah tinggal di Desa Beganding sejak beliau masih gadis belum menikah,
Universitas Sumatera Utara
105
sedangkan suami beliau menjadi penduduk Desa Beganding sejak menikah dengan ibu Rohanna. Ibu Rohanna sudah menggeluti pekerjaannya sebagai aron selama 20
tahun, sejak beliau mulai berumah tangga. Ibu Rohanna menyebutkan bahwa keputusan beliau untuk ikut bekerja
mencari nafkah sudah beliau diskusikan dengan suami. Keinginan ibu Rohanna untuk bekerja adalah kemauan beliau sendiri karena keadaan ekonomi keluarga
mereka yang tergolong susah. Ibu Rohanna mengaku bahwa jika hanya mengandalkan penghasilan dari suami, maka nantinya keluarga mereka tidak bisa
terpenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Bahkan untuk kebutuhan makan saja, ibu Rohanna khawatir jika penghasilan suami beliau tidak mencukupi. Ditambah lagi,
saat ini suami beliau mengalami sakit ginjal dan sudah diderita selama 5 tahun, sehingga menyebabkan suami beliau tidak bisa bekerja setiap hari dan tidak bisa
melakukan pekerjaan berat. “Ya memang kemauan bibik sendiri untuk bekerja nak, karena ya kita
bukan orang kaya. Kalau cuma bapak aja yang kerja, ya enggak bisa lah kita makan, enggak bisa beli kebutuhan-kebutuhan yang lain. Dari
mana uang kita. Makanya bibik pun kerja juga lah. Biar bantu-bantu bapak, bantu-bantu ekonomi kita. Apalagi sekarang bapak itu sudah
kena ginjal, jadi sudah jarang lah kerja. Paling kerja yang ringan- ringan aja, kayak nyusun buah, nyusun sayur, gitu-
gitu lah.“
Dalam satu hari ibu Rohanna bekerja selama 7 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang diterima ibu Rohanna diberikan per hari,
yaitu sebesar Rp. 70.000. Ibu Rohanna menyebutkan bahwa penghasilan yang beliau terima dari pekerjaannya tersebut tidak besar. Beliau mengaku penghasilannya
Universitas Sumatera Utara
106
tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, di tambah lagi dengan kebutuhan sekolah 5 anak beliau. Jika digabungkan dengan penghasilan
suami, keadaan ekonomi keluarga beliau juga masih pas-pasan. Demi menambah penghasilan, ibu Rohanna juga melakukan pekerjaan lain selain menjadi aron. Beliau
bekerja sebagai pegawai di salah satu usaha Cathering di kota Kabanjahe. Beliau menyebutkan, jika usaha Cathering tersebut sedang mendapat pesanan, ibu Rohanna
bisa mendapatkan upah sekitar Rp. 200.000. Meski tidak bisa mendapatkan penghasilan setiap hari seperti ketika beliau bekerja sebagai aron, beliau mengaku
bahwa penghasilannya dari pekerjaan sampingan beliau ini bisa sedikit membantu keuangan beliau.
“Kalau kerja aron aja kan sedikit upahnya nak, jadi bibik kerja juga di tempat Cathering di Kabanjahe. Kalau lagi ada pesanan, ya upah bibik
Rp. 170.000, Rp. 200.000 gitu lah. Tergantung berapa piring pesanan. Tapi ya enggak pula tiap hari atau tiap minggu ada. Paling sebulan
sekali lah, atau dua kali gitu. Tapi ya lumayan juga lah nak uangnya buat nambah-nambah beli beras, nambah-nambah uang saku. Kadang
juga bibik simpan.”
Selain bekerja sebagai aron dan menjadi pegawai di sebuah usaha Cathering, untuk membantu ekonomi keluarga dan mengantisipasi jika terjadi kesulitan
keuangan, ibu Rohanna menyisihkan pendapatannya untuk disimpan atau ditabung. Beliau bergabung menjadi anggota sebuah CU di Desa Beganding, yaitu CU. Rudang
Mayang. Setiap bulannya beliau membayar Rp. 30.000 sebagai iuran wajib. Beliau mengaku bahwa bergabung dengan CU ini, selain untuk menabung beliau juga bisa
melakukan peminjaman uang jika sedang membutuhkan biaya untuk keperluan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
107
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga beliau akan sandang pakaian, ibu Rohanna mengaku lebih sering membeli pakaian bekas layak pakai dibandingkan
pakaian baru. Pembelian pakaian baru hanya dilakukan keluarga beliau satu kali saja dalam setahun, yaitu pada saat menjelang Hari Raya Natal atau menjelang tahun baru.
Pembelian pakaian baru ini juga beliau lakukan dengan cara menyicil, karena beliau mengaku bahwa biaya pakaian baru untuk keenam anaknya saja sangat besar
sehingga dengan cara menyicil maka beliau merasa lebih ringan untuk membayar. Keluarga beliau, khususnya anak-anak beliau juga cukup sering mendapatkan
pemberian pakaian bekas yang masih layak pakai dari sanak saudara beliau. “Kalau beli baju ya seringan monja lah nak karena jauh lah lebih
murah dari baju baru, jadi bisa beli 4 potong, 5 potong gitu paling enggak 2 bulan sekali, apalagi untuk ank-anak ini. Kalau beli baju baru
ya pas mau Natal aja lah. Anak-anak ini susah kalau enggak baju baru. Kalau bibik sama bapak enggak baju baru pun enggak apa-apa. Anak-
anak bibik pun lumayan sering juga dikasih baju bekas abang- abangnya, kakak-kakaknya yang udah enggak muat lagi. Lumayan lah
buat baju hari- hari kan.”
Kebutuhan pangan keluarga ibu Rohanna dibeli sendiri dari penghasilan yang diperoleh beliau dan suami. Ibu Rohanna juga menyebutkan bahwa jika ladang yang
beliau kerjakan sedang panen, beliau juga mendapatkan sayur-sayuran atau buah- buahan dari pemilik ladang. Pola konsumsi keluarga ibu Rohanna sama dengan pola
konsumsi pada umumnya, yaitu mengkonsumsi nasi, ikan, sayur-sayuran, telur, tahu dan tempe, dan lain-lain. Ibu Verawati menyebutkan bahwa keluarga beliau jarang
mengkonsumsi daging karena harganya yang mahal. Beliau menyebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
108
biaya untuk membeli daging lebih baik digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain.
Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga ibu Rohanna adalah rumah warisan dari orang tua beliau. Rumah itu sudah beliau tempati selama 15 tahun.
Rumah tersebut belum dalam keadaan permanen, melainkan masih berdinding papan dan triplek. Rumah beliau sangat sederhana, memiliki ruang tamu, dua kamar tidur,
namun tidak memiliki dapur. Kegiatan memasak beliau lakukan di luar rumah dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Rumah ibu Rohanna sudah diisi
dengan beberapa perabotan, seperti kursi, meja, lemari pakaian, dan tempat tidur. Rumah beliau tidak memiliki fasilitas MCK atau kamar mandi, sehingga untuk
keperluan mandi dan mencuci mereka lakukan di kamar mandi umum. Dalam memenuhi kebutuhan air, keluarga ibu Rohanna memanfaatkan mata air yang sudah
ditampung dan dikelola oleh warga Desa Beganding. Sumber listrik yang ada di rumah beliau dialiri langsung dari PLN, tidak menumpang dengan tetangga.
Suami ibu Rohanna menderita penyakit ginjal sudah 5 tahun belakangan ini. Selain suami beliau, ibu Rohanna mengaku bahwa beliau dan anak-anak beliau
jarang mengalami sakit. Pada umumnya penyakit yang mereka alami hanya penyakit- penyakit ringan, seperti flu, batuk, demam, sakit kepala, dan lain-lain. Jika sedang
sakit, keluarga ibu Rohanna biasanya melakukan pengobatan di balai Puskesmas desa. Ibu Rohanna mengaku bahwa keluarga beliau jarang sekali melakukan
pemeriksaan kesehatan, kecuali jika sedang sakit. Keluarga ibu Rohanna mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah, yaitu berupa Kartu Indonesia Sehat
KIS.
Universitas Sumatera Utara
109
“Cuma bapak lah yang sakitnya berat di keluarga bibik. Bapak itu udah 5 tahun kena ginjal jadi kerja pun udah jarang. Paling kalau ada
panggilan nyusun-nyusun jeruk, atau nyusun-nyusun sayur baru kerja bapak itu, karena kalau kerja yang berat-berat udah enggak sanggup
lagi. Kalau bibik sama anak-anak jarang sakit. Paling ya flu, pilek, demam lah paling parah. Kalau periksa kesehatan jarang nak, hampir
enggak pernah pun. Kalau enggak sakit ya enggak periksa. Kan sekarang kalau cek-cek kesehatan pun kan bayar. Ya biayanya untuk
berobat bapak aja lah.”
Ibu Rohanna memiliki 6 orang anak, dimana 5 diantaranya sedang mengenyam bangku pendidikan, yaitu di tingkat SMP dan SD. Anak sulung ibu
Rohanna sendiri sudah menamatkan sekolahnya dari tingkat SMP, namun tidak melanjutkannya lagi ke tingkat yang lebih tinggi karena permasalahan biaya. Saat ini
anak sulung ibu Rohanna juga ikut bekerja menjadi aron, mengikuti pekerjaan beliau. Dalam hal belajar, ibu Rohanna menyebutkan bahwa beliau tidak terlalu sering
membantu dan mendampingi anak-anak beliau. Beliau mengaku tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membantu anak-anak beliau dalam belajar karena
beliau hanya mengenyam pendidikan sampai SD saja. Anak-anak beliau lebih sering belajar sendiri, atau belajar bersama-sama dengan teman-teman mereka.
“Anak bibik enam. Yang paling besar udah tamat SMP tapi enggak lanjut lagi dia SMA. Waktu itu bibik sama bapak enggak ada biaya buat
nyekolahkan dia, belum lagi adek-adeknya kan juga sekolah. Jadi ngalah lah yang paling besar. Sekarang dia ya ikut bibik jadi aron juga.
Dari pada di rumah aja enggak ada kerjanya, mending ikut bibik kan bisa dapat uang. Kalau anak-anak belajar bibik jarang nak ngajarin,
Universitas Sumatera Utara
110
atau bantuin gitu. Bibik aja Cuma tamat SD kekmana mau ngajarin? Apalah yang mau bibik ajarkan pelajaran sekolah sama anak-anak.
Biasanya anak-anak itu belajar sama teman-temannya, kadang dirumah bibik, kadang di rumah temannya. Kalau masih gampang
pelajarannya kadang yang belajar sendiri. Kakaknya ngajarin adek- adeknya, gitu.”
Keluarga ibu Rohanna memiliki interaksi yang baik, antara istri dengan suami dan antara anak dengan orangtua. Dalam hal pengambilan keputusan-keputusan
penting dalam keluarga mereka, ibu Rohanna mengaku bahwa beliau selalu dilibatkan oleh suami. Sebelum keputusan-keputusan itu diambil, suami beliau selalu
mengajaknya untuk berdiskusi terlebih dahulu. Di masyarakat juga terdapat interaksi yang cukup baik antara keluarga ibu Rohanna dengan warga Desa Beganding. Ibu
Rohanna mengaku bahwa keluarga ibu Rohanna tidak pernah mengalami konflik yang serius dengan warga desa. Ibu Rohanna juga cukup sering berkumpul bersama
tetangga untuuk berbincang-bincang. Mereka juga cukup sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang ada di Desa Beganding, seperti melakukan gotong
royong, membantu warga desa yang sedang mengadakan acara besar atau pesta adat, juga ikut membantu warga desa yang sedang mengalami musibah atau berdukacita.
Dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat, ibu Rohanna menyebutkan bahwa keluarga mereka jarang terlibat. Beliau menyebutkan bahwa hal ini biasanya hanya
dilakukan oleh aparat desa dengan warga yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
111
Informan Utama I
Bapak Perdana Ginting, adalah suami dari Ibu Suryani Br. Perangin-Angin. Bapak Perdana berusia 40 tahun dan bergama muslim. Beliau mengenyam
pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Sama halnya dengan ibu Suryani, bapak Perdana juga menggeluti pekerjaan sebagai aron. Beliau
sudah melakukan pekerjaan ini sejak beliau lulus dari SMA. Dalam satu hari, bapak Perdana bekerja selama 9 jam sampai 10 jam. Beliau
juga menyebutkan bahwa tidak jarang beliau bekerja sampai malam hari. Hal itu dilakukan bapak Perdana untuk menambah penghasilan beliau. Dalam satu minggu,
beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang beliau terima dari pekerjaannya tersebut diberikan per hari. Beliau menyebutkan bahwa jika tidak lembur, beliau memperoleh
upah Rp. 100.000, dan padaa saat lembur beliau memperoleh upah Rp. 150.000 – Rp.
200.000 per harinya. Bapak Perdana menyebutkan bahwa kebutuhan hidup keluarga beliau tidak akan bisa tercukupi jika hanya mengandalkan penghasilan beliau saja.
Hal ini lah yang akhirnya mendorong ibu Suryani untuk bekerja juga demi membantu suami beliau dan memperbaiki perekonomian keluarga mereka.
Pada awalnya, bapak Perdana tidak menyetujui keinginan istri beliau untuk bekerja. Namun, beliau menyebutkan bahwa semakin hari kebutuhan keluarga
mereka semakin meningkat dan harga kebutuhan-kebutuhan hidup semakin lama semakin mahal. Selain kebutuhan hidup sehari-hari, beliau juga harus memenuhi
kebutuhan sekolah anak-anak beliau. Akhirnya bapak Perdana memutuskan untuk menyetujui keinginan istri beliau untuk bekerja, dan beliau mendukung pekerjaan ibu
Suryani sebagai aron.
Universitas Sumatera Utara
112
“Ya awalnya bapak enggak setuju nak bibik ikut cari uang. Ya bapak rasa masih bisa bapak penuhi kalau kebutuhan sehari-har ajai. Tapi
makin lama harga-harga semua makin mahal, kebutuhan keluarga juga makin banyak. Belum lagi anak-anak sekolah. Jadi mau enggak mau ya
bapak izinkan lah bibik kerja juga.”
Selain melakukan pekerjaan sebagai aron, istri bapak Perdana juga mempunya pekerjaan sampingan, yaitu sebagai tukang urut tukang pijat. Pekerjaan
ini dilakukan istri beliau pada malam hari, sepulangnya beliau bekerja sebagai aron. Bapak Perdana menyebutkan bahwa beliau juga mengizinkan istri beliau untuk
melakukan pekerjaan ini dengan alasan untuk menambah penghasilan istri beliau. Lagi pula, tidak setiap hari pekerjaan ini dilakukan, sehingga istri beliau masih
memiliki waktu untuk keluarga mereka. Melihat situasi dimana istri dari bapak Perdana juga ikut bekerja demi
mambantu keadaan ekonomi keluarga, beliau menyebutkan bahwa meskipun demikian istri beliau tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Beliau menyebutkan bahwa setiap hari, baik sebelum berangkat bekerja maupun sesudah pulang bekerja, istri beliau selalu melakukan pekerjaannya sebagai ibu
rumah tangga, seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus anak-anak, dan lain sebagainya.
“Ya walaupun bibik juga udah kerja dari pagi sampai sore, tetap di kerjakan lah pekerjaan-pekerjaan rumah. Kalau pagi masak dulu biar
ada sarapan sama bekal makan siang di ladang, beres-beres rumah dulu sebelum pergi kerja. Anak-anak juga di bantu siap-siap mau ke
Universitas Sumatera Utara
113
sekolah. Pulang kerja pun gitu juga, masak untuk makan malam gitu lah. Tetap diurus lah anak-
anak.”
Setelah ibu Suryani ikut bekerja, bapak Perdana mengaku bahwa perekonomian keluarga mereka menjadi lebih baik. Di tambah lagi dengan inisiatif-
inisiatif yang dilakukan ibu Suryani dalam membantu keuangan keluarga mereka, seperti mengikuti jula-jula dan menjadi tukang urut atau tukang pijat. Meskipun
keluarga mereka masih hidup sederhana, namun kebutuhan hidup keluarga mereka bisa terpenuhi dengan penghasilan yang diperoleh bapak Perdana dan istri beliau.
“Sekarang kalau dipikir-pikir ya untung juga bibik ikut kerja. Jadi bisa membantu keuangan kita lah. Belum lagi bibik juga ikut jula-jula, kalau
tiba giliran narik kita jadi punya uang agak lebih. Pendapatan dari ngurut juga bisa nambah uang saku bibik. Ya walaupun masih serba
pas-pasan tapi ya sangat membantu lah dengan bibik juga punya penghasilan.”
Informan Utama II
Bapak Hesron Pandia, adalah suami dari ibu Dewi Br. Karo. Beliau berusia 35 tahun dan beragama muslim. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama SMP. Beliau menggeluti pekerjaan yang sama dengan ibu Dewi, yaitu sebagai aron. Pekerjaan ini sudah beliau lakukan selama 10 tahun.
Dalam satu hari, bapak Hesron Pandia bekerja selama 8 jam sampai 9 jam. Dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang diterima bapak Hesron
Pandia dari pekerjaannya tersebut diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 80.000.
Universitas Sumatera Utara
114
Beliau menyebutkan, jika beliau lembur upah yang beliau terima adalah sebesar Rp. 100.000 sampai Rp. 150.000. Bapak Hesron menyebutkan bahwa penghasilan beliau
ini sangat rendah. Jika hanya mengandalkan penghasilan yang beliau dapatkan, maka kebutuhan hidup keluarga beliau tidak bisa terpenuhi.
Sama halnya dengan bapak Hesron, istri beliau juga menjalani pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga. Bapak Hesron menyebutkan bahwa keinginan istri
beliau untuk ikut bekerja sudah mereka diskusikan terlebih dahulu, dan bapak Hesron mengizinkan serta mendukung keinginan istri beliau tersebut. Melihat
keadaan ekonomi keluarga, beliau tidak memiliki alasan yang kuat untuk menolak keinginan istrinya tersebut. Tetap mengelola ladang kopi milik keluarga juga
dikerjakan oleh istri beliau dan beliau juga mengizinkan hal tersebut. Bapak Hesron menyebutkan bahwa selama pekerjaan yang dilakukan istri beliau masih merupakan
pekerjaan yang wajar dan halal, serta tidak membuat istri beliau tidak memiliki waktu untuk anak-anak dan keluarga, beliau akan memberi izin dan mendukungnya.
“Kalau cuma dari penghasilan bapak aja ya enggak bisa kebutuhan- kebutuhan kita terpenuhi. Kalau makan sehari-hari bisa lah, tapi
kebutuhan yang lain bagaimana? Ya saya mengizinkan aja istri saya bekerja. Toh dia bekerja untuk keluarga juga bukan untuk dia sendiri.
Selama pekerjaannya baik, halal, terus juga dia masih punya waktu untuk ngurus keluarga ya saya
izinkan.”
Melihat situaasi dimana bapak Hesron dan istrinya sama-sama bekerja, beliau menyebutkan bahwa istri beliau tetap bisa mengatur waktunya untuk mengurus
keluarga. Ibu Dewi tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Bapak Hesron menyebutkan bahwa setiap pagi istri beliau selalu menyelesaikan
Universitas Sumatera Utara
115
terlebih dahulu pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, menyediakan bekal makan siang untuk mereka, membantu anak mereka bersiap-siap
untuk pergi ke sekolah, dan lain sebagainya sebelum berangkat bekerja. Begitu juga sepulangnya istri beliau dari bekerja. Situasi seperti ini juga tidak membuat interaksi
dan komunikasi antar anggota keluarga menjadi tidak baik. Bapak Hesron mengaku bahwa setiap malam, sebelum beristirahat beliau dan istrinya sering berbincang-
bincang. Begitu juga halnya dengan pengabilan keputusan dalam keluarga. Beliau menyebutkan bahwa semua hal-hal penting yang berkaitan dengan keluarga mereka
beliau diskusikan dengan istri beliau dan melibatkannya dalam mengambil keputusan. “Ya sebelum pergi kerja ya harus disiapkan dulu lah pekerjaan-
pekerjaan rumahnya, harus masak untuk sarapan sama untuk bekal makan siang di ladang. Anak-anak pun kan juga harus makan siang
setelah pulang sekolah. Pulang kerja pun gitu juga. Kalau sampai rumah sama anak-anak enggak terurus, pulang kerja enggak nyiapkan
makan malam ya saya suruh enggak usah kerja lagi ajalah. Tapi untungnya tetap dikerjakan.”
Setelah ibu Dewi ikut bekerja, bapak Hesron mengaku bahwa penghasilan yang diperoleh oleh istri beliau dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dapat
membantu perekonomian keluarga beliau. Bapak Hesron juga menyebutkan bahwa istri beliau dapat mengatur keuangan keluarga denga cukup baik. Meskipun dengan
penghasilan yang pas-pasan, kebutuhan keluarga mereka dapat terpenuhi walaupun mereka hidup sederhana.
“Ya setelah bibik bekerja, keuangan ya lebih baik lah nak. Ya meskipun tetap pas-pasan hidup kita cuma lebih baik lah dari sebelum bibik
Universitas Sumatera Utara
116
enggak kerja. Pendapatan dari ladang kopinya pun sangat membantu keuangan kita lah jadi ada yang bisa kita tabung sikit-
sikit.”
Informan Utama III
Bapak Willem Sitepu adalah suami dari ibu Piyama Br. Tarigan. Beliau berusia 54 tahun dan bergama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan
hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar SD. Pekerjaan yang digeluti oleh bapak Willem adalah petani. Beliau mengelola lahan pertanian sawah yang merupakan
warisan dari keluarga beliau. Pekerjaan sebagai petani ini sudah beliau lakukan sejak beliau masih muda belum menikah. Bapak Willem menyebutkan bahwa rendahnya
pendidikan yang beliau miliki membuat beliau tidak memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan lain selain bertani.
Dalam satu hari, bapak Willem bekerja selama 7 jam sampai 8 jam. Dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Jika sawah panen, penghasilan yang beliau
peroleh adalah sekitar Rp. 1.000.000 sampai Rp. 1.300.000. Beliau menyebutkan bahwa penghasilan dari hasil panen padi tersebut sangat tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Lagi pula, masa panen padi hanya 1 kali dalam 6 bulan. Jika hanya mengandalkan penghasilan dari panen padi, beliau
menyebutkan bahwa keluarga mereka tidak akan mampu dan tidak akan bisa tercukupi kebutuhan hidupnya. Sama halnya dengan pernyataan yang diungkapkan
oleh ibu Piyama, beliau juga menyebutkan meskipun anak mereka sudah ada yang bekerja di Malaysia, namun ia tidak setiap bulan memberikan uang kiriman untuk
keluarga mereka.
Universitas Sumatera Utara
117
Sejak awal ibu Piyama mempunyai keinginan untuk mengerjakan pekerjaan lain selain menjahit demi sedikit membantu keadaan ekonomi keluarga mereka,
bapak Willem tidak menghalangi atau tidak mendukung keinginan istrinya tersebut. Beliau mengaku bahwa dirinya justru senang jika istri beliau ikut bekerja dari pada
hanya menjahit di rumah. Bapak Willem menyebutkan bahwa penghasilan dari menjahit tidak bisa diperoleh setiap hari. Sementara penghasilan dari pekerjaan ibu
Piyama sebagai aron bisa diterima setiap hari. Meskipun jumlah penghasilannya tidak besar, beliau menyebutkan bahwa paling tidak keluarga mereka tidak perlu
khawatir akan biaya untuk makan keluarga mereka setiap harinya. “Penghasilan bapak kan enggak tiap hari atau tiap bulan ada bapak
terima. Sekali 6 bulan baru padi panen, itu juga enggak banyak kali hasil dari panen padi itu. Kalau penghasilan bapak aja yang dipakai
untuk kebutuhan hidup yang enggak bisa lah nak. Untuk makan aja kurang. Terus kalau bibik enggak kerja sulit lah keuangan kita. Anak
memang ada yang udah kerja di Malaysia. Tapi kan gak tiap bulan pula dia bisa ngirim uang. Disana pun kan dia butuh juga untuk sehari-
harinya. Jadi enggak ada lah alasan bapak enggak ngasih izin bibik untuk kerja. Kalau menjahit memang udah dari dulu itu kerjaannya jadi
enggak lah bapak larang.”
Meskipun ibu Piyama sudah disibukkan dengan pekerjaan yang beliau lakukan dari pagi hingga sore hari sebagai aron, dan sebagai penjahit dari mulai
petang hingga malam hari, bapak Willem menyebutkan bahwa istri beliau tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Istri beliau tidak pernah
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, dan lain sebagainya, baik sebelum berangkat bekerja maupun setelah puang
Universitas Sumatera Utara
118
bekerja. Kesibukan bapak Willem dan istri beliau dalam bekerja juga tidak membuat interaksi dan komunikasi dalam keluarga mereka menjadi tidak baik. Bapak Willem
menyebutkan bahwa setiap hal yang berkaitan dengan keluarga beliau harus didiskusikan bersama dengan istri dan anak-anak beliau.
Semenjak ibu Piyama juga ikut mencari nafkah untuk keluarga, bapak Willem mengaku bahwa keadaan ekonomi keluarga mereka lebih baik dari
sebelumnya. Meskipun tetap hidup dalam kondisi yang sederhana, penghasilan dari pekerjaan beliau dan penghasilan dari pekerjaan istri beliau cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga mereka. Bapak Willem juga menyebutkan bahwa istri beliau mengatur keuangan keluarga mereka dengan cukup baik, sehingga keluarga
mereka bisa makan setiap hari, dan bisa memenuhi kebutuhan yang lainnya. “Kalau mengatur keuangan yang udah bagus lah bibik nagturnya.
Pendapatan yang enggak seberapa lah kita bilang, bisa dibikin buat biaya makan, buat kebutuhan-kebutuhan yang lain juga, bisa nabung
juga sedikit-sedikit, bisa ikut jula- jula pula.”
Informan Utama IV
Bapak Kokna Sitepu, merupakan suami dari ibu Verawita Br. Milala. Beliau berusia 44 tahun dan beragama Kristen Katholik. Beliau mengenyam pendidikan
sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP. Bapak Kokna memiliki profesi sebagai petani. Namun, lahan sawah yang beliau kelola bukan merupakan
lahan milik beliau atau milik keluarga beliau. Bapak Kokna hanya sebagai pekerja di lahan sawah tersebut. Beliau bekerja sebagai petani sudah 10 tahun. Sebelum
menjadi petani, beliau pernah bekerja sebagai supir angkutan umum jalur Desa Beganding
– Kabanjahe dan sebaliknya. Pekerjaan ini beliau lakukan selama 4 tahun.
Universitas Sumatera Utara
119
Namun beliau akhirnya berhenti dari pekerjaannya tersebut karena beliau menyebutkan bahwa semakin lama setoran yang wajib beliau berikan pada
pengusaha angkot semakin naik dan beliau merasa tidak mampu untuk memenuhi setoran tersebut.
Dalam satu hari, bapak Kokna bekerja selama 8 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Beliau menyebutkan bahwa penghasilan yang beliau
terima dari pekerjaan tersebut adalah sebesar Rp. 800.000 sampai Rp. 900.000 per bulannya. Bapak Kokna menyebutkan bahwa penghasilan beliau ini rendah, bahkan
untuk kebutuhan pangan keluarga beliau selama sebulan saja tidak akan cukup jika hanya mengandalkan penghasilan beliau tersebut. Namun, karena istri beliau juga
bekerja, beliau mengaku bahwa keuangan keluarga mereka lebih terbantu. Sejak awal ibu Verawita memutuskan untuk bekerja, bapak Kokna
menyetujui keputusan istri beliau tersebut. Beliau menyadari keadaan ekonomi keluarga beliau yang sulit sehingga menurut beliau jalan yang paling baik adalah
beliau dan istri beliau harus sama-sama mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka. Semenjak ibu Verawita bekerja, bapak Kokna mengaku bahwa keadaan
ekonomi keluarga beliau lebih baik dari sebelum istri beliau bekerja. Meskipun mereka hidup dengan sederhana, bapak Kokna menyebutkan bahwa penghasilan istri
beliau, meskipun tidak besar, sangat dibutuhkan dan sangat membantu keluarga mereka.
“Kita kan bukan keluarga berada nak. Keuangan pun pas-pasan lah. Kalau enggak dua-duanya kerja ya enggak bisa lah kita mencukupi
kebutuhan hidup keluarga kita. Ya saya pun ngasih izin aja kalau istri saya bekerja. Memang itu lah jalan terbaik biar kita bisa makan tiap
Universitas Sumatera Utara
120
hari. Karena istri saya juga bekerja lah makanya keuangan keluarga kita terbantu. Kalau enggak begitu, ya bapak rasa sulit kali lah
keuangan kita. Belum lagi nenek udah struk, udah lumpuh, uang untuk obat-obatnya mau dari mana kita cari kalau enggak dari penghasilan
kita.”
Melihat situasi dimana istri bapak Kokna ikut bekerja mencari nafkah bagi keluarga mereka, beliau menyebutkan bahwa istri beliau tetap menjalankan perannya
sebagai istri dan sebagai ibu rumah tangga. Sebelum mereka berangkat bekerja, istri beliau sudah terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti
memasak, membersihkan rumah, menyiapkan bekal untuk dibawa ke tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Begitu juga halnya setelah istri beliau pulang dari
bekerja. Ibu dari bapak Kokna yang sudah mengalami struk dan sudah lumpuh pun diurus dan dirawat sendiri oleh istri beliau. Situasi ini juga tidak membuat
komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga mereka menjadi tidak baik. Sama halnya dengan pernyataan ibu Verawita, bapak Kokna juga menyebutkan bahwa
mereka cukup sering melakukan diskusi-diskusi ringan, atau haya sekedar berbincang-bincang ketika semua anggota keluarga sudah selesai dengan
aktivitasnya masing-masing, biasanya pada petang atau malam hari sebelum istirahat. Bapak Kokna juga mengaku bahwa istri beliau bisa mengatur penghasilan mereka
yang tidak besar itu dengan baik, dan kebutuhan keluarga mereka bisa cukup terpenuhi.
“Udah kerja pun istri bapak, ya tetap juga nya ada waktu untuk ngurus rumah tangga. Ya tiap pagi sama tiap pulang kerja ya masak,
bersihkan rumah, nyuci, ngurus nenek yang struk pun istri bapak sendiri. Enggak ada dia nyewa-nyewa atau nyuruh-nyuruh orang lain
Universitas Sumatera Utara
121
untuk ngurus nenek. Sebelum pergi kerja disiapkannya dulu semua kebutuhan nenek di samping tempat tidurnya. Makannya, minumnya,
obat-obatnya, sebelum kerja di mandikan dulu nenek, pulang kerja pun gitu juga. Jadi tetap terurus lah semuanya.”
Informan Utama V
Bapak Taufik Bangun, adalah suami dari ibu Herita Br. Tarigan. Beliau berusia 54 tahun dan bergama muslim. Beliau mengenyam pendidikan sampai pada
tingkat SMA. Sama hal nya dengan istri beliau, bapak Taufik menggeluti pekerjaan sebagai aron. Pekerjaan ini sudah beliau lakukan sejak usia beliau 30 tahun. Beliau
tidak pernah mencoba melakukan pekerjaan lain, selain dari aron ini. Beliau menyebutkan bahwa sejak masih sekolah beliau sudah membantu orangtua bekerja di
ladang, sehingga sampai saat ini bapak Taufik sudah merasa sangat nyaman dengan pekerjaan berladang
Dalam satu hari bapak Taufik bekerja selama 8 jam. Pada saat panen beliau biasanya bekerja sampai malam lembur karena beliau ikut menyusun hasil panen.
Dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Sama hal nya dengan istri beliau, upah yang diterima bapak Taufik diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 80.000 jika
tidak lembur dan Rp. 100.000 sampai Rp. 120.000 jika beliau lembur. Bagi bapak Taufik, penghasilan beliau ini tidak besar. Jika istri beliau tidak ikut bekerja dan
hanya mengandalkan penghasilan beliau, maka kebutuhan hidup mereka tidak dapat terpenuhi. Sejak awal beliau berumah tangga, beliau menyebutkan bahwa memang
istri beliau sudah memutuskan untuk ikut mencari nafkah. Bapak Taufik mengaku
Universitas Sumatera Utara
122
sangat menghargai keputusan istri beliau tersebutdan merasa sangat terbantu dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
“Dari awal kami berumah tangga pun bibik udah bilang mau kerja aja. Sebenarnya enggak langsung bapak iyakan. Bapak mikir-mikir,
bagaimana nanti dia ngurus rumah sama ngurus anak-anak. Tapi karena itu keputusan dia sendiri, berarti kan bibik udah tau bagaimana
harus ngatur waktunya antara kerjaan sama ngurus rumah tangga, ngurus anak-anak. Jadi ya saya izinkan. Terus dia ngerjakan ladang
kopi juga saya izinkan, asalkan itu tadi lah, jangan sampai pula dia enggak ada waktu buat ngurus keluarga kan.”
Melihat situasi dimana istri dari bapak Taufik juga ikut bekerja demi mambantu keadaan ekonomi keluarga, beliau menyebutkan bahwa meskipun
demikian istri beliau tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Beliau menyebutkan bahwa setiap pagi istri beliau selalu menyelesaikan terlebih
dahulu pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, menyediakan bekal makan siang untuk mereka, membantu anak mereka bersiap-siap
untuk pergi ke sekolah, dan lain sebagainya sebelum berangkat bekerja. Begitu juga sepulangnya istri beliau dari bekerja. Bapak Taufik juga mengaku bahwa interaksi
dan komunikasi di keluarga mereka juga tetap baik, karena mereka masih memiliki waktu untuk keluarga.
Setelah ibu Herita ikut bekerja, bapak Taufik mengaku bahwa perekonomian keluarga mereka menjadi cukup baik. Di tambah lagi dengan inisiatif-inisiatif yang
dilakukan ibu Herita dalam mengatur keuangan keluarga mereka, seperti mengikuti jula-jula. Meskipun keluarga mereka masih hidup sederhana, namun kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
123
hidup keluarga mereka bisa terpenuhi dengan penghasilan yang diperoleh bapak Taufik dan istri beliau.
“Keadaan keuangan keluarga kita ya sudah pasti lebih terbantu lah. Cuma ya enggak pula kita hidup mewah-mewah kali. Tetap juga nya
pas-pasan. Tapi kebutuhan-kebutuhan jadi lebih mudah lah untuk di penuhi karena istri juga udah punya penghasilan.”
Informan Utama VI
Bapak Albertius Kembaren, adalah suami dari ibu Asyanta Br. Tarigan. Beliau berusia 48 tahun dan beragama Kristen Katholik. Beliau mengenyam
pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Bapak Albertius bekerja mengelola ladang milik beliau sendiri. Pekerjaan ini sudah beliau lakukan
selama 10 tahun. Ladang yang beliau kelola adalah ladang warisan dari orang tua beliau, dimana yang ditanam di ladang tersebut adalah sayur Kol.
Dalam satu hari bapak Albertius bekerja selama 7 jam sampai 8 jam, dalam satu minggu beliau bekerja setia hari. Penghasilan yang beliau peroleh dari hasil
panen ladang beliau adalah Rp. 800.000 sampai Rp. 1.000.000, dengan masa panen satu kali dalam 2 bulan. Maka, penghasilan yang beliau peroleh setiap bulannya
adalah Rp. 400.000 sampai Rp. 500.000. Bapak Albertius menyebutkan bahwa penghasilan beliau ini sanga rendah, bahkan hanya untuk kebutuhan pangan keluarga
beliau selama sebulan saja tidak akan cukup jika hanya mengandalkan penghasilan beliau tersebut. Namun, karena ibu Asyanta juga ikut bekerja mencari nafkah, beliau
mengaku bahwa beliau merasa sangat terbantu.
Universitas Sumatera Utara
124
“Ya penghasilan per bulan bapak ada nak, Rp. 500.000 lah per bulannya. Tapi yang Rp. 500.000 itu bapak rasa cuma bisa di pakai
buat makan aja lah. Itu pun kurang bapak rasa. Terus kebutuhan kita pun kan banyak, bayar listrik, bayar uang sekolah anak, bayar uang
buku-bukunya lagi, ongkosnya, jajannya, bayar ini bayar itu, ya banyak lah. Mana bisa cukup yang Rp. 500.000 itu. Jadi ya memang harus
kerja lah bapak sama bibik juga. Kalau enggak gitu ya enggak bisa lah kita makan, anak-anak enggak bisa lanjut sekolah, ngutang sana sini
lah. Jadi ya karena kerja lah bibik makanya bisa kita bertahan, bisa juga punya modal sedikit buat jualan gorengan ini. Ya intinya
terbantulah keluarga karena bibik pun ikut kerja gitu.”
Bapak Albertius menyebutkan bahwa untuk membantu keadaan ekonomi keluarga, istri beliau tidak hanya melakukan satu pekerjaan saja. Istri beliau juga
melakukan usaha-usaha lain demi memperbaiki perekonomian keluarga mereka, seperti berdagang makanan, membuka rental playstation, dan memanfaatkan
pekarangan rumah mereka untuk ditanami sayur-sayuran yang juga mereka jual. Bapak Albertius mengaku bahwa beliau sangat mendukung usaha-usaha yang
dilakukan oleh istri beliau tersebut. Dengan usaha-usaha yang istri beliau lakukan tersebut, perekonomian keluarga mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Melihat situasi dimana bapak Albertius dan istri beliau disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing, bapak Albertius mengaku bahwa komunikasi
beliau dengan anggota keluarga yang lain, khususnya dengan istri beliau menjadi sedikit kurang baik. Bapak Albertius mengaku bahwa dirinya sering pergi ke warung
kopi dari petang sampai larut malam. Beliau juga menyebutkan bahwa istri beliau sering berkumpul dan berbincang-bincang dengan tetangga pada malam hari selesai
Universitas Sumatera Utara
125
melakukan pekerjaannya. Hal ini lah yang membuat mereka tidak memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi, atau sekedar berbincang-bincang dan bertukar pikiran.
Namun tidak berarti hubungan bapak Albertius dengan istri beliau tidak baik. Dalam hal-hal penggambilan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka,
bapak Albertius mengaku selalu membicarakannya terlebih dahulu dengan istrinya dan tidak pernah mengambil keputusan sendiri.
“Memang bapak sering pula ke warung kopi sore-sore gitu sampai malam. Jadi jarang bapak cerita-cerita sama bibik di rumah. Ya bibik
pun mungkin jadi bosan juga di rumah karena enggak ada kawannya cerita-cerita, jadi dia pun sering juga bapak lihat ngumpul-ngumpul
sama bibik-bibik disini kalau malam. Ya makan sirih, cerita-cerita gitu. Bapak pun karena suntuk juga habis pulang kerja kan, makanya jumpa
kawan lah di warung kopi. Tapi kalau ada sesuatu yang penting tentang keluarga gitu, ya bapak selalu cerita ke bibik. Bibik pun gitu.
Jadi untuk masalah keluarga tetap dibicarakan sama- sama.”
Meskipun ibu Asyanta sudah disibukkan dengan pekerjaan yang beliau lakukan dari pagi hingga sore hari sebagai aron, dan berdagang makanan dari mulai
petang hingga malam hari, bapak Albertius menyebutkan bahwa istri beliau tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Istri beliau tidak pernah
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, dan lain sebagainya, baik sebelum berangkat bekerja maupun setelah pulang
bekerja. Bapak Albertius juga menyebutkan bahwa istri beliau sudah mengatur keuangan dengan baik. Istri beliau selalu menyisihkan sebagian dari penghasilan
keluarga mereka untuk ditabung untuk keperluan keluarga mereka di waktu mendatang.
Universitas Sumatera Utara
126
Informan Utama VII
Bapak Proklamasi Pandia, adalah suami dari ibu Wanti Br. Ginting. Beliau berusia 44 tahun dan beragama Muslim. Beliau mengenyam pendidikan hanya
sampai pada tingkat Sekolah Dasar SD. Bapak Proklamasi menggeluti pekerjaan yang sama dengan istri beliau, yaitu sebagai aron. Pekerjaan sebagai aron ini sudah
beliau lakukan selama 13 tahun. Selain menjadi aron, bapak Proklamasi menyebutkan bahwa beliau juga bekerja mengelola ladang kopi milik beliau. Ladang
kopi tersebut merupakan warisan dari keluarga. Berladang kopi ini sudah terlebih dahulu beliau kerjakan sebelum menjadi aron bahkan sebelum ladang kopi tersebut
diwariskan kepada beliau masih milik orang tua. Dalam satu hari, bapak Proklamasi menjalankan pekerjaannya sebagai aron
selama 8 jam, dan dalam satu minggu beliau bekerja selama 6 hari. Upah yang beliau terima dari pekerjaannya sebagai aron diberikan per hari, yaitu sebesar Rp. 70.000.
Bekerja di ladang kopi dilakukan bapak Proklamasi hanya sekali dalam seminggu. Masa panen kopi adalah 2 kali dalam sebulan. Penghasilan yang beliau terima dari
hasil panen kopi adalah sebesar Rp. 300.000 untuk satu kali panen. Maka dalam satu bulan beliau mendapatkan penghasilan Rp. 600.000 dari hasil panen kopi. Beliau
menyebutkan bahwa ladang kopi yang beliau miliki ini tidak luas, dan hanya menghasilkan 25 kg sampai 30 kg jika panen.
Bagi bapak Proklamasi, penghasilan yang beliau dapatkan baik dari pekerjaan beliau sebagai aron maupun dari hasil panen ladang kopi, belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka. Beliau juga menyebutkan bahwa untuk memenuhi biaya makan keluarga mereka saja penghasilan beliau tersebut
sangat pas-pasan. Hal ini lah yang menjadi alasan istri beliau memutuskan untuk ikut
Universitas Sumatera Utara
127
bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga. Bapak Proklamasi mengaku bahwa awalnya beliau sangat berat untuk menyetujui keinginan istri beliau tersebut karena
beliau takut ibu Wanti tidak memiliki waktu untuk mengurus anak-anak. Namun, karena tingkat ekonomi keluarga mereka yang rendah, akhirnya beliau setuju dan
memberikan izin kepada istri beliau untuk bekerja. “Awalnya bapak enggak mengizinkan istri bapak ikut kerja. Ya, bapak
takutnya nanti enggak bisa pula dia ngurus rumah, ngurus anak-anak. Tapi ya keadaan ekonomi lah yang menuntut memang harus kerja dua-
duanya. Kalau enggak, ya enggak bisa bibik beli susu anak-anak, beli popoknya, enggak bisa lah kebutuhan-kebutuhan kami tercukupi gitu.
Jadi ya terpaksalah bapak izinkan bibik kerja. Itu pun harus bisalah dia ngatur waktu kan, jangan sampai pula anak-
anak jadi enggak terurus.”
Melihat situasi dimana bapak Proklamasi dan istrinya sama-sama bekerja, beliau menyebutkan bahwa istri beliau tetap bisa mengatur waktunya untuk
mengurus anak-anak dan keluarga. Ibu Wanti tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Bapak Proklamasi menyebutkan bahwa setiap pagi istri
beliau selalu menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, menyediakan bekal makan siang untuk mereka,
membantu anak mereka bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, dan lain sebagainya sebelum berangkat bekerja. Begitu juga sepulangnya istri beliau dari bekerja. Situasi
seperti ini juga tidak membuat interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga menjadi tidak baik. Bpapak Proklamasi mengaku bahwa hal-hal penting yang
berkaitan dengan keluarga mereka beliau diskusikan dengan istri beliau dan melibatkannya dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi keluarga
mereka.
Universitas Sumatera Utara
128
Keputusan ibu Wanti untuk ikut bekerja membawa dampak yang cukup baik bagi keluarga bapak Proklamasi. Meskipun keadaan ekonomi keluarga mereka masih
berada pada tingkat yang rendah, namun beliau mengaku bahwa penghasilan yang diperoleh istri beliau membantu dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Bapak Proklamasi juga menyebutkan bahwa penghasilan mereka berdua yang tergolong tidak banyak itu sudah diatur dengan cukup baik oleh istri beliau sehingga
kebutuhan keluarga mereka setiap hari bisa terpenuhi.
Informan Utama VIII
Bapak Wardani Sembiring, adalah suami dari ibu Masrita Br. Sitepu. Beliau berusia 42 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan
hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar SD. Saat ini bapak Wardani tidak lagi bekerja. Beliau terkena penyakit struk dan sudah lumpuh selama 4 tahun. Namun
sebelum terkena struk, bapak Wardani bekerja sebagai supir angkot di kota Kabanjahe. Pekerjaan sebagai supir angkot ini beliau lakukan selama 6 tahun.
Bapak Wardani menyebutkan, ketika beliau masih menjadi supir angkot, setiap harinya beliau bekerja dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 18.00 sore.
Penghasilan yang beliau terima adalah sekitar Rp. 150.000 sampai Rp. 170.000 setiap harinya. Bapak Wardani menyebutkan bahwa penghasilan yang beliau terima
ketika bekerja sebagai supir angkot ini sangat rendah, dan sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarga mereka. Namun karena istri beliau
akhirnya juga bekerja, bapak Wardani merasa terbantu dalam mencari nafkah. Bapak Wardani mengaku bahwa istri beliau bekerja bukan karena suruhan beliau, namun
karena memang keadaan ekonomi keluarga mereka yang sulit. Ditambah lagi dengan
Universitas Sumatera Utara
129
kondisi bapak Wardani saat ini. Bapak Wardani menyebutkan bahwa jika istri beliau tetap bisa mengatur waktunya untuk bekerja dan untuk mengurus keluarga, serta
pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang wajar, baik, dan halal, maka beliau selalu mendukung apapun yang menjadi pekerjaan istri beliau.
“Dulu waktu masih jadi supir angkot, ya tiap hari lah bapak kerja biar ada uang untuk beli beras, untuk makan. Itu pun kadang kurang juga
penghasilan bapak itu, karena cuma Rp.170.000 lah sehari bisa bapak dapat beda dari setoran. Paling banyak lah itu Rp. 200.000, itu pun
jarang kali. Kalau cuma ngandalkan penghasilan bapak itu, ya cuma bisa dibuat makan aja lah itu nak, buat bayar yang lain-lain enggak
mungkin lah cukup. Terus bibik pun kan kerja. Sebelum nikah pun bibik udah jadi aron, ya jadi ya enggak apa-apalah diteruskan kerjaannya itu.
Karena uang bapak kan enggak banyak. Biar terbantulah keuangan keluarga kita, jadi bapak pun enggak keberatan bibik kerja. Sekarang
malah bibik lah yang jadi tulang punggung. Bapak udah kena struk gini, enggak bisa lagi kerja.”
Melihat situasi dimana istri dari bapak Wardani sudah menjadi tulang punggung keluarga demi mambantu keadaan ekonomi keluarga mereka, beliau
menyebutkan bahwa meskipun demikian istri beliau tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Beliau menyebutkan bahwa setiap hari, baik
sebelum berangkat bekerja maupun sesudah pulang bekerja, istri beliau selalu melakukan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga terlebih dahulu, seperti memasak,
mencuci, membereskan rumah, mengurus anak, dan juga menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bapak Wardani ketika istri beliau bekerja, karena bapak Wardani
sudah sangat terbatas untuk melakukan sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
130
Komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga bapak Wardani tetap baik meskipun istri beliau sudah bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Bapak
Wardani menyebutkan bahwa mereka jadi memiliki lebih banyak waktu untuk berbincang-bincang, dan untuk berdiskusi karena bapak Wardani hanya bisa berada
di rumah. Keadaan ini juga membuat istri beliau lebih memilih untuk lebih sering berada di rumah setelah pulang bekerja, menemani dan mengurus beliau dan anak
mereka. Bapak Wardani menyebutkan bahwa beliau sudah mempercayakan semua hal yang berhubungan dengan keluarga mereka kepada istri beliau. Namun meskipun
begitu, bapak Wardani mengaku bahwa istri beliau tidak pernah mengambil keputusan dalam keluarga mereka sebelum mendiskusikan dan menanyakan
pendapat beliau, meskipun peran sebagai tulang punggung keluarga sudah berpindah pada istri beliau.
“Komunikasi bapak, sama istri, sama anak-anak ya bagus-bagus aja lah. Karena bapak udah enggak bisa lagi ngapa-ngapain, cuma di
rumah aja, ya bibik pun jadi lebih sering juga di rumah, ngawani bapak cerita-cerita, ngurus bapak. Ya bapak udah menyerahkan
semuanya lah sama bibik, biar bibik yang ngatur karena sekarang bibik yang nyari nafkah kan. Tapi selalu nya bibik diskusi-diskusi sama
bapak kalau tentang keluarga. Enggak pernah langsung ngambil keputusan sendiri.”
Keadaan ekonomi keluarga bapak Wardani memang sangat sulit semenjak beliau jatuh sakit. Namun beliau menyebutkan bahwa dengan istri beliau bekerja,
keluarga mereka tetap bisa hidup. Bapak Wardani juga mengaku bahwa keuangan keluarga mereka sudah diatur dengan sangat baik oleh istri beliau. Meskipun
Universitas Sumatera Utara
131
penghasilan istri beliau tidak besar, penghasilan tersebut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Informan Utama IX
Bapak Ihwanto Sitepu adalah suami dari ibu Nani Br. Siregar. Beliau berusia 50 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan di Sekolah
Guru Olahraga Kabanjahe. Bapak ihwanto bekerja mengelola ladang kopi milik beliau sendiri, yang merupakan warisan dari keluarga beliau. Pekerjaan ini sudah
beliau lakukan selama 15 tahun. Dalam seminggu, bapak Ihwanto hanya bekerja satu sampai dua hari saja, dan
salam satu hari beliau bekerja selama 7 jam. Bapak Ihwanto mengaku bahwa ladang yang beliau miliki tidak terlalu besar. Jika masa panen tiba, ladang beliau hanya
menghasilkan 25kg sampai 30kg saja. Penghasilan yang beliau dapatkan dari hasil panen kopi adalah sebesar Rp. 500.000 sampai Rp. 600.000 untuk satu kali panen,
dimana masa panen kopi adalah dua kali dalam sebulan. Bapak Ihwanto menyebutkan bahwa penghasilan beliau ini tidak terlalu besar. Jika hanya
mengandalkan penghasilan sebesar Rp. 1.000.000 sampai Rp. 1.200.000 per bulannya, beliau menyebutkan bahwa untuk biaya makan sehari-hari memang cukup.
Namun beliau menyebutkan bahwa untuk keperluan-keperluan keluarga mereka yang lain beliau tidak bisa menjamin penghasilan bulanan beliau akan cukup untuk
memenuhinya. Belum lagi untuk memenuhi keperluan sekolah anak-ank beliau. “Kalau penghasilan bapak setiap bulan ada lah Rp. 1.200.000. Cukup
lah itu untuk ngasih makan keluarga. Tapi untuk yang lain-lain ya enggak bisa jamin bapak bisa terpenuhi. Sekarang semua kan serba
Universitas Sumatera Utara
132
mahal, kebutuhan kita kan juga enggak makan aja. Banyak kebutuhan yang lain-lain juga. Anak-anak pun kan sekolah. Jadi ya pas-pasan lah
bapak bilang penghasilan bapak itu.”
Istri bapak Ihwanto, yaitu ibu Nani, tidak hanya melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, namun istri beliau juga ikut bekerja membantu bapak Ihwanto
mencari nafkah untuk keluarga mereka, yaitu sebagai aron. Bapak Ihwanto menyebutkan bahwa keputusan ibu Nani untuk bekerja sebelumnya sudah mereka
diskusikan. Bapak Ihwanto menyetujui dan mendukung keputusan istri beliau tersebut. Beliau mengatakan bahwa istri beliau merasa bosan jika hanya berada di
rumah saja. Maka beliau mengizinkan istri beliau bekerja, selain untuk mengisi waktu istri beliau juga bisa membantu keuangan keluarga mereka. Bapak Ihwanto
juga menyebutkan bahwa keadaan ekonomi keluarga beliau masih sulit dan kebutuhan keluarga beliau bukan hanya kebutuhan untuk makan saja. Oleh karena itu,
bagi beliau adalah keputusan yang tepat untuk mengizinkan istri beliau ikut bekerja. “Ya istri bekerja kan sah-sah saja. Ya bapak pun ngasih-ngasih aja
bibik ikut kerja. Lagian bibik bilang dia bosan di rumah aja, enggak ada kerjaannya yang lain. Jadi ya udah lah, dia bilang mau ikut jadi
aron ya bapak izinkan aja. Ya biar ngisi waktunya, terus juga bisa dapat penghasilan. Kan bapak pun tebantu juga, keuangan kita pun
terbantu juga. Ya enggak usah munafik ya kita memang orang susah, jadi ya memang harus kerja dua-dua lah biar bisa makan, biar bisa
nyekolahkan anak, biar bisa bayar uang kontrakan, uang listrik, bayar yang lain-
lain.”
Universitas Sumatera Utara
133
Melihat situasi dimana istri bapak Ihwanto ikut bekerja mencari nafkah bagi keluarga mereka, beliau menyebutkan bahwa istri beliau tetap menjalankan perannya
sebagai istri dan sebagai ibu rumah tangga. Sebelum mereka berangkat bekerja, istri beliau sudah terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti
memasak, membersihkan rumah, menyiapkan bekal untuk dibawa ke tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Begitu juga halnya setelah istri beliau pulang dari
bekerja. Namun, bapak Ihwanto menyebutkan bahwa komunikasi beliau dengan istri dan anak-anak beliau sedikit kurang baik. Beliau mengaku bahwa beliau sering pergi
ke warung kopi dari petang hingga malam hari untuk berbincang-bincang dengan teman-teman beliau, dan istri beliau juga sering pergi berkumpul dan berbincang-
bincang dengan teman-temannya. Kadang-kadang mereka hanya memiliki waktu sebelum istirahat malam untuk sedikit berbincang-bincang seputar pekerjaan, dan
hal-hal lainnya. Namun, bapak Ihwanto menyebutkan bahwa hubungan beliau dengan istri dan anak-anak beliau tetap baik. Keputusan-keputusan penting yang
harus diambil dalam keluarga mereka selalu beliau diskusikan terlebih dahulu dengan istri beliau.
“Komunikasi bapak sama bibik sebenarnya baik-baik aja. Ya kerja pun bapak sama bibik, tetap juga nya berkomunikasi. Tapi ya memang agak
jarang pula bapak ngobrol-ngobrol sama bibik. Karena bapak pulang kerja, ya istirahat sebentar di rumah, makan, mandi, duduk-duduk,
terus pergi ke warung kopi lah cerita-cerita sama kawan. Bibik pun jadi sering juga keluar malam-malam ke rumah tetangga-tetangga gitu
cerita-cerita karena enggak ada kawannya di rumah. Cuma ya hubungan itu tetap baik lah. Enggak pula berantam kami gara-
gara itu.”
Universitas Sumatera Utara
134
Setelah istri bapak Ihwanto ikut mencari nafkah, keadaan ekonomi keluarga beliau menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bapak Ihwanto menyebutkan, meskipun
masih hidup dengan keadaan yang pas-pasan, namun dengan istri beliau bekerja sangat membantu beliau dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarga
mereka. Bapak Ihwanto juga menyebutkan bahwa keuangan keluarga mereka sudah diatur dengan baik oleh istri beliau. Meskipun penghasilan bapak Ihwanto dan istri
beliau tidak besar, penghasilan tersebut dapat diatur sedemikian rupa oleh istri beliau untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Informan Utama X
Bapak Cio Pandia, adalah suami dari ibu Rohanna Br. Sinulingga. Beliau berusia 43 tahun dan beragama Kristen Protestan. Beliau mengenyam pendidikan
sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP. Bapak Cio menggeluti pekerjaan yang sama dengan ibu Rohanna, yaitu sebagai aron. Pekerjaan ini sudah
beliau kerjakan selama 20 tahun, sejak beliau mulai berumah tangga. Hanya saja dalam 5 tahun belakangan ini, bapak Cio tidak bisa lagi bekerja setiap hari dan lebih
memilih-milih pekerjaan. Beliau mengaku, karena sakit ginjal yang beliau alami beliau hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ringan saja, seperti
menyusun buah atau menyusun sayur. Sebelum menderita penyakit ginjal, dalam seminggu bapak Cio bekerja
selama 6 hari, dan dalam satu hari beliau bekerja selama 8 sampai 9 jam. Namun setelah menderita sakit ginjal, beliau hanya bekerja satu hari sampai dua hari, dan
dalam satu hari beliau bekerja selama 8 jam. Bapak Cio menyebutkan bahwa setelah menderita penyakit ginjal tersebut, tidak setiap minggu beliau bisa bekerja, bahkan
Universitas Sumatera Utara
135
terkadang beliau hanya bekerja satu kali dalam sebulan. Hal ini sangat berdampak pada ekonomi keluarga mereka.
Dari pekerjaan yang dilakukan oleh bapak Cio, beliau menyebutkan bahwa beliau mendapatkan upah sebesar Rp. 150.000 sampai Rp. 200.000 per hari nya.
Namun karena tidak bisa bekerja setiap hari, pendapatan ini diakui beliau sangat kurang untuk dipakai memenuhi kebutuhan hidup keluarga beliau. Jika hanya
mengandalkan penghasilan beliau saja, bapak Cio mengaku bahwa anak-anaknya tidak akan bisa sekolah. Bahkan untuk makan saja beliau mengaku bahwa
penghasilannya saja tidak akan cukup. “Kalau bapak dapat panggilan, entah nyusun jeruk atau nyusun sayur
gitu ya satu hari itu bapak dibayar Rp. 150.000 lah, paling besar ya Rp. 200.000. Cuma kan bapak enggak pula kerja tiap hari. Sudah enggak
sanggup lagi badan bapak, karena bapak kan udah kenak ginjal. Jadi ya paling satu bulan cuma bisa dapat Rp. 500.000 lah. Kalau dihitung-
hitung, gaji bapak itu dengan mahal-mahalnya harga kebutuhan sekarang ya enggak cukup kali lah nak. Anak bapak pun udah enam.
Kalau cuma dari gaji bapak itu nya ya enggak sekolah lah yang enam itu. Untuk makan kami aja pun bapak rasa enggak cukup Rp. 500.000
sebulan.”
Bapak Cio mengaku bahwa sejak awal beliau menikah dengan ibu Rohanna, mereka berdua sudah sepakat untuk sama-sama bekerja mencari nafkah untuk
keluarga. Bapak Cio mengaku tidak melarang istri beliau untuk melakukan pekerjaan apapun selama pekerjaan tersebut masih wajar dilakukan oleh wanita, tidak bekerja
sampai malam, dan halal. Ketika ibu Rohanna memutuskan untuk bekerja sebagai
Universitas Sumatera Utara
136
aron, bapak Cio menyetujui dan mendukung keputusan istri beliau tersebut, karena bapak Cio juga menyadari rendahnya pendidikan istri beliau tidak membuka
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari aron. “Bapak kan sebagai kepala rumah tangga ya memang harus lah kerja.
Tapi kalau bibik, dari awal kami nikah langsung pula dibilangnya dia juga mau kerja. Ya bapak pun sebenarnya sempat kaget gitu, cuma ya
enggak bapak larang. Mau kerja apapun ya silahkan tapi ya jangan pula kerja sampai malam, terus harus halal lah pekerjaannya. Rupanya
jadi aron juga bibik ini. Ya udah lah gapapa bapak pikir. Karena bibik pun kan Cuma tamat SD, bapak Cuma tamat SMP, ya Cuma bisa jadi
aron lah dari pada enggak kerja.”
Melihat situaasi dimana istri bapak Cio juga bekerja, beliau menyebutkan bahwa istri beliau tetap bisa mengatur waktunya untuk mengurus keluarga. Ibu
Rohanna tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Bapak Cio menyebutkan bahwa setiap pagi istri beliau selalu menyelesaikan terlebih dahulu
pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, menyediakan bekal makan siang untuk mereka, membantu anak mereka bersiap-siap untuk pergi
ke sekolah, dan lain sebagainya sebelum berangkat bekerja. Begitu juga sepulangnya istri beliau dari bekerja. Namun bapak Cio juga mengaku bahwa terkadang istri
beliau pulang bekerja terlalu sore sehingga pekerjaan rumah dikerjakan oleh anak- anak beliau, tetapi hal ini masih dimaklumi oleh bapak Cio. Situasi seperti ini juga
tidak membuat interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga menjadi tidak baik. Bapak Cio mengaku bahwa jika istri beliau sudah pulang bekerja, beliau dan istrinya
sering berbincang-bincang. Begitu juga halnya dengan pengabilan keputusan dalam keluarga. Beliau menyebutkan bahwa semua hal-hal penting yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
137
keluarga mereka beliau diskusikan dengan istri beliau dan melibatkannya dalam mengambil keputusan.
“Ya namanya bibik itu kan istri, juga ibu rumah tangga, ya kalau pun ada pekerjaannya ya sebelum berangkat harus dikerjakan dulu lah
pekerjaannya di rumah. Masak, bersihkan rumah, semualah harus diselesaikannya dulu baru berangkat kerja. Kan itu udah tanggung
jawab istri. Anak-anak pun di siapkan juga mau berangkat sekolah. Kalau udah pulang pun gitu. Bibik masak, nyuci baju, bereskan rumah.
Tapi kadang-kadang bibik ini kesorean pulangnya, jadi ya anak bapak yang perempuan lah yang nyuci piring, nyuci pakaian, beres-beres
rumah gitu. Tapi ya enggak apa-apa, hitung-hitung belajar jadi ibu rumah tangga. Kalau komunikasi kami sama bibik ya baik-baik aja nak.
Kan bibik juga masih ada waktunya untuk keluarga walaupun dia kerja. Jadi masih sering kami cakap-cakap di rumah, diskusi-diskusi gitu. Ya
namanya juga berumah tangga, kalau enggak diskusi, engga sering ngobrol ya payah lah pula. ”
Setelah istri bapak Cio ikut bekerja mencari nafkah, beliau mengaku bahwa keadaan keuangan keluarga mereka menjadi sangat terbantu. Di tambah lagi ibu
Rohanna juga memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi aron. Mengingat keadaan bapak Cio yang sudah tidak bisa lagi bekerja setiap hari, beliau
menyebutkan bahwa dengan istri beliau bekerja kebutuhan keluarga mereka bisa tercukupi. Meskipun mereka masih hidup dalam keadaan yang pas-pasan, bapak Cio
mengaku sangat bersyukur karena beliau merasa sudah dibantu dan diringankan bebannya oleh istri beliau.
Universitas Sumatera Utara
138
“Memang kita hidup pun pas-pasan nak. Cuma kalau enggak kerja lah bibik ini, enggak pula kita bisa makan. Apalagi bapak pun udah jarang
kerja. Kalau bibik enggak punya penghasilan ya susah kali lah hidup kita ini. Karena bibik kerja lah, anak-anak itu bisa sekolah, bisa beli
baju walaupun monja, anak-anak itu bisa jajan. Kalau enggak mau dari mana uang kita. Ya bapak pun bersyukurlah bibik ini enggak
banyak mengeluhnya karena bapak. Bibik ini pun bagus ngatur keuangan. Walaupun enggak banyak uang kita, tapi enggak pula kita
sering kehabisan uang sampai habis kali gitu. Paling kalau memang butuh dana besar lah baru terpaksa kita minjam. Kalau enggak ya
cukup lah kita makan sehari- hari, ada pula sisa sedikit untuk disimpan.”
5.3. Analisis Data Kontribusi Buruh Aron Perempuan Terhadap Kehidupan