Analisis Forecasting Ketersediaan Daging Sapi Di Sumatera Utara Tahun 2020

(1)

ANALISIS FORECASTING KETERSEDIAAN DAGING SAPI

DI SUMATERA UTARA TAHUN 2020

SKRIPSI

OLEH :

YULI HARIANI SIREGAR

110304002

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS FORECASTING KETERSEDIAAN DAGING SAPI

DI SUMATERA UTARA TAHUN 2020

SKRIPSI

OLEH :

YULI HARIANI SIREGAR

110304002

AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec)

NIP : 19630402 1997 03 1 001 NIP :19721118 1998 02 2 001 (Emalisa, SP, M.Si)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Yuli Hariani Siregar (110304002) “Analisis Forecasting Ketersediaan Daging Sapi di Sumatera Utara Tahun 2020” penelitian ini dilakukan pada tahun 2015. Penelitian ini dibimbing oleh Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai ketua komisi pembimbing dan Emalisa, S.P, M.Si. sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan daging sapi di Sumatera Utara pada tahun 2020 dan konsumsi daging sapi di Sumatera Utara tahun 2020 dengan menggunakan data sekunder ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi tahun 1999-2013 yang berasal dari Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif untuk forecasting dengan menggunakan metode kuadrat terkecil sehingga dapat dilihat trend ketersediaan dan konsumsi daging sapi yang terjadi pada tahun 2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan dan konsumsi daging sapi di Sumatera Utara tahun 2020 mengalami trend kenaikan dan perbandingan ketersediaan dengan konsumsi daging sapi Sumatera Utara 2020 menunjukkan rasio ketersediaan daging sapi lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging sapi.

Kata Kunci : Analisis Forecasting, Trend, Ketersediaan Daging Sapi, Konsumsi Daging Sapi


(4)

RIWAYAT HIDUP

YULI HARIANI SIREGAR, dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 26 Juli 1992 dari Ayahanda H. Kali Maulana Siregar, S.T dan Ibunda Hj. Faridah Rangkuti, S.Pd. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisyiah Bustanul Athfal Padangsidimpuan tahun 1999, SD Negeri 26 Padangsidimpuan tahun 2005, SMP Swasta Nurul ‘Ilmi Padangsidimpuan tahun 2008, SMA Negeri 4 Padangsidimpuan tahun 2011. Tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universetas Sumatera Utara melalui jalur Undangan.

Penulis selama menjadi mahasiswi di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan seperti IMASEP-USU (Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian) dan UKM Fotografi USU.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Karang Gading Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat pada bulan Agustus hingga September 2014. Penulis melaksanakan penelitian skripsi di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi penulis.

Judul dari skripsi ini adalah “Analisis Forecasting Ketersediaan Daging Sapi di Sumatera Utara Tahun 2020” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dosen Pembimbimbing Akademik dan sekaligus selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, FP-USU.

2. Ibu Emalisa, SP.,M.Si, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

3. Ayahanda tercinta H. Kali Maulana Siregar, S.T. dan Ibunda tercinta Hj. Faridah Rangkuti, S.Pd. yang telah memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dan kesabaran yang tiada batas kepada penulis.

4. Saudara tersayang Juni Arnita Siregar, S.Farm., Apt., Hasan Basri Siregar, S.T dan saudara kembar yang penulis sayangi Yuli Hariati Siregar, Amk. yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materil dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.


(6)

5. Seluruh Dosen Departemen Agribisnis, Pegawai Tata Usaha dan Pegawai Perpustakaan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

6. Yang penulis sayangi Chandra Saputra Rambe, S.Com, Annisa Azzahra, Denti Juli Irawati, Risa Januarti, Ade Silvana, Ade Rezkika, Maya Anggraini, Dwi Utari, Mutiara Sani, Prasetyo T.W, M. Sidik Pramono, Syari Syafrina, Alief Ya Hutomo, dan M. Idris Alfath.

7. Teman-teman AGB 2011 dan PKP 2011 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

8. Abang Kakak Senior yang telah banyak membantu 2008, 2009, dan 2010 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

9. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan selama penulis menempuh pendidikan dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang bersangkutan.

Medan, April 2015


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

RIWAYAT HIDUP ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Identifikasi Masalah...4

1.3 Tujuan Penelitian ...4

1.4 Manfaat Penelitian ...5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ...6

2.2 Landasan Teori ...9

2.2.1 Forecasting ...9

2.2.2 Data Deret Waktu (Time Series) ...11

2.2.3 Teori Produksi ...12

2.2.4 Teori Konsumsi ...15

2.3 Penelitian Terdahulu ...17

2.4 Kerangka Pemikiran ...18

2.5 Hipotesis Penelitian ...19

III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data ...21

3.2 Metode Analisis Data ...21

3.3 Definisi dan Batasan Operasional ...24

3.3.1 Definisi ...24

3.3.2 Batasan Operasional ...24

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Topografi dan Iklim ...25

4.1.1 Letak Topografi ...25

4.1.2 Iklim ...25

4.2 Keadaan Penduduk ...26

4.3 Karakteristik Sampel Penelitian ...29


(8)

4.3.2 Konsumsi Daging Sapi ...31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perbandingan Produksi dan Konsumsi Daging sapi 1999-2013...33

5.2 Analisis Forecasting ...40

5.2.1 Analisis ForecastingKetersediaan Daging Sapi ...40

5.2.2 Analisis Forecasting Konsumsi Daging Sapi ...43

5.2.3Perbandingan Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi 2020 ..46

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...51

6.2 Saran ...51 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Keterangan Hal

1 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2009-2013 28

2 Jumlah Produksi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun

1999-2013 (Ton) 30

3 Jumlah Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun

1999-2013 (Ton) 31

4 Perbandingan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Provinsi

Sumatera Utara Tahun 1999-2013 (Ton) 34

5 Total Ketersediaan Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2014-2020 42

6 Total Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2014-2020 45

7 Hasil Analisis Forecasting Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020 47


(10)

DAFTAR GAMBAR

Tabel Keterangan Hal

1 Skema Kerangka Pemikiran 19

2 Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi Sumatera Utara

Tahun 1999-2013 38

3 Total Ketersediaan Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 1999-2020 41

4 Total Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 1999-2020 44

5 Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi Sumatera Utara


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Keterangan

1 Total Produksi, Cadangan, Dan Impor Daging Sapi Sumatera Utara Tahun 1999-2013

2 Proyeksi Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara 3 Proyeksi Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

Hingga Tahun 2020

4 Total Konsumsi Daging Sapi Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013 (Ton)

5 Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

6 Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Hingga Tahun 2020

7 Pertumbuhan Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

8 Pertumbuhan Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

9 Rasio Ketersediaan Dan Konsumsi Daging Sapi Sumatera Utara Tahun 2014-2020


(12)

ABSTRAK

Yuli Hariani Siregar (110304002) “Analisis Forecasting Ketersediaan Daging Sapi di Sumatera Utara Tahun 2020” penelitian ini dilakukan pada tahun 2015. Penelitian ini dibimbing oleh Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai ketua komisi pembimbing dan Emalisa, S.P, M.Si. sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan daging sapi di Sumatera Utara pada tahun 2020 dan konsumsi daging sapi di Sumatera Utara tahun 2020 dengan menggunakan data sekunder ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi tahun 1999-2013 yang berasal dari Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif untuk forecasting dengan menggunakan metode kuadrat terkecil sehingga dapat dilihat trend ketersediaan dan konsumsi daging sapi yang terjadi pada tahun 2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan dan konsumsi daging sapi di Sumatera Utara tahun 2020 mengalami trend kenaikan dan perbandingan ketersediaan dengan konsumsi daging sapi Sumatera Utara 2020 menunjukkan rasio ketersediaan daging sapi lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging sapi.

Kata Kunci : Analisis Forecasting, Trend, Ketersediaan Daging Sapi, Konsumsi Daging Sapi


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ketersediaan daging sapi berpengaruh penting terhadap program swasembada daging sapi yang di canangkan oleh pemerintah. Dengan tersedianya jumlah daging sapi di Indonesia maka program pemerintah tersebut akan terlaksana dengan baik. Tetapi untuk saat ini program tersebut belum dapat di capai karena beberapa hal seperti impor daging sapi yang masih tinggi di Indonesia.

Departemen Pertanian menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014. Menteri Pertanian Suswono mengatakan, upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Program swasembada daging sapi telah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada 2005, kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Selama periode 2005-2009, Indonesia masih mengimpor 40 persen total kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton (Anonimus, 2009).

Meskipun populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga tahun 2009 meningkat sebanyak 4,4 persen per tahun, populasi sapi potong dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Dari berbagai kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, Departemen Pertanian menargetkan hasil sebanyak 50.000 sapi dalam lima tahun. Di bidang pemanfaatan lahan potensial, integrasi perkebunan sawit


(14)

dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun (Anonimus, 2009).

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Joni Liano, pembatasan terhadap daging impor perlu diperketat. Pasalnya, bila daging impor menyerbu pasar dalam negeri, otomatis harga daging stabil dan program swasembada daging terancam gagal. Akibat importir daging yang semakin membengkak, harga daging sapi dalam negeri semakin merosot. Pada tahun 2010 lalu, jumlah impor daging mencapai 120.000 ton melampaui target yang dipatok pemerintah sebanyak 76.000 ton. Hal ini menurut Joni bisa membahayakan peternak sapi lokal yang terpaksa menurunkan harga. Joni menguraikan dari tahun ke tahun jumlah impor daging sapi semakin merosot (Laoli, 2011).

Menurut Anonimus (2014), Indonesia perlu belajar dari kegagalan program swasembada daging sapi. 3 kali swasembada, 3 kali gagal. Pemerintah dan masyarakat sejak lama bermimpi mengulang sukses sebagai negara pengekspor sapi seperti pada era tahun 1970-an. Pada tahun 1972 Indonesia ekspor 15 ribu sapi ke Singapura dan Hongkong. Maka dicanangkanlah program berikut:

a. 2001-2005: Program Kecukupan Daging Sapi

Program kecukupan daging sapi diartikan tersedianya secara cukup daging sapi sampai tingkat rumah tangga. Program ini gagal, maka program percepatan pencapaian swasembada daging sapi sebagai penggantinya.

b. 2008-2010: Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)


(15)

Presiden SBY tanggal 11 Juni 2005 mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Salah satu amanat revitalisasi adalah program swasembada daging sapi. Revitalisasi ini gagal maka khusus untuk daging sapi diperkenalkan Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2008-2010. Program gagal lagi. Mantan Pertanian Anton Apriyantono mengatakan P2SDS yang menjadi tanggung jawabnya gagal karena laju pertambahan populasi kalah cepat dibandingkan dengan konsumsi.

c. 2010-2014: Program Swasembada Daging Sapi(PSDS)

Sesudah dua kali gagal mencapai swasembada daging sapi, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010-2014. PSDS 2010-2014 adalah bagian kontrak kerja Menteri Pertanian Suswono kepada Presiden RI SBY. Banyak pihak berpandangan PSDS 2010-2014 adalah retorika politik.

Seiring pertambahan jumlah penduduk dalam negeri dan peningkatan daya beli masyarakat, dipastikan penjualan daging sapi dalam negeri juga ikut meningkat. Sayangnya, tingginya permintaan daging sapi tersebut tidak diiringi dengan meningkatnya produktivitas sapi dalam negeri (Rahmat dan Bagus,2012).


(16)

Menurut Santosa, et al(2012) proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2000 dan 2010 adalah sebagai berikut :

Tahun Proyeksi

2000 - Penduduk 206 juta orang

- Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun

- Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun

- Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun

2010 - Penduduk 242,4 juta orang

- Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun

- Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun

- Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Utara tahun 1999-2013?

2. Bilamana ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi 2020 berdasarkan analisis forecasting di Provinsi Sumatera Utara terhadap swasembada daging sapi serta perbandingan antara ketersediaan daging sapi 2020 dengan konsumsi daging sapi 2020 di Provinsi Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui perbandingan antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi tahun 1999-2013.


(17)

2. Menganalisis ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi 2020 berdasarkan analisis forecasting di Provinsi Sumatera Utara dan mengetahui perbandingan antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan informasi mengenai forecasting ketersediaan daging sapi tahun 2020 di Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Pustaka

Sapi merupakan hewan ruminansia yang pada umumnya herbivora atau pemakan tanaman, sehingga sebagian besar makananya adalah selulose, hemiselulose, dan bahkan lignin yang semuanya dikategorikan sebagai serat kasar. Hewan ini disebut juga hewan berlambung jamak atau polygastic animal, karena

lambungnya terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Sembiring, 2010).

Menurut Siregar (2013), ada dua golongan jenis sapi, yaitu: 1. Sapi Lokal

Jenis-jenis sapi lokal di Indonesia cukup beragam. Namun, sapi-sapi tersebut memang sudah lama ada di Indonesia dan telah berkembang secara turun-temurun untuk digemukkan. Jenis-jenis sapi lokal yaitu :

a. Sapi bali

Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar atau disebut banteng (Bos sondaicus) yang telah mengalami proses domestikasi selama ratusan tahun.

b. Sapi madura

Sapi madura diperkirakan merupakan hasil persilangan sapi Bali dengan sapi India (Bos Indicus).


(19)

c. Sapi ongole (sumba ongole)

Sapi ongole bukanlah sapi asli Indonesia, melainkan India. Sapi ini dimasukkan ke Indonesia pada awal abad ke-20 dan diternakkan secara murni di pulau Sumba sehingga lebih dikenal dengan nama sapi sumba ongole.

d. Sapi peranakan ongole

Program “ongolisasi” yang telah dilakukan di Pulau Jawa dan Sumatera telah berhasil meng-upgrade sapi-sapi setempat dengan sapi ongole. Dari hasil upgradetersebut, terciptalah sapi yang disebut “peranakan

ongole”(PO). e. Sapi aceh

Sapi aceh juga merupakan turunan dari grading-up sapi ongole dengan sapi setempat.

f. Sapi perah jantan

Selain dari jenis-jenis sapi lokal yang telah diuraikan, terdapat jenis sapi lokal lainnya yang dapat digunakan sebagai bakalan untuk penggemukan. Sapi tersebut adalah sapi perah jantan yang sudah tidak digunakan lagi sebagai pejantan kawin atau pemacek.

2. Sapi Impor

Selain sapi-sapi lokal, sapi untuk bakalan dalam usaha penggemukan dapat pula dipilih dari sapi jenis impor. Banyak jenis sapi di luar negeri yang khusus dipelihara sebagai penghasil daging dan dapat dijadikan sebagai bakalan untuk penggemukan. Beberapa jenis sapi impor yang bisa dijadikan bakalan antara lain:


(20)

a. Sapi hereford

b. Sapi shorthorn

c. Sapi aberdeen angus

d. Sapi charolais

e. Sapi brahman

Dari beberapa jenis sapi lokal Indonesia yang layak dijadikan sumber pedaging seperti sapi bali, sapi PO dan sapi madura kebutuhan akan daging sapi setiap tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2011, jumlah kebutuhan daging sapi sebesar 449.000 ton. Sementara itu, pada tahun 2012 kebutuhan daging sapi diperkirakan meningkat hingga 484.00 ton. Peningkatan kebutuhan tersebut telah mempertimbangkan peningkatan pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,49% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6% (Fikar dan Dadi, 2012).

Seiring pertambahan jumlah penduduk dalam negeri dan peningkatan daya beli masyarakat, dipastikan penjualan daging sapi dalam negeri juga ikut meningkat. Sayangnya, tingginya permintaan daging sapi tersebut tidak diiringi dengan meningkatnya produktivitas sapi dalam negeri. Serapan pasar belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh peternak (Rahmat dan Bagus,2012).

Menurut perhitungan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Indonesia pada tahun 2011 masih mengalami dafisit daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor. Sementara itu, pada tahun 2012, jumlah sapi yang dapat dipotong diperkirakan mencapai 2,3 juta ekor dari populasi sapi sebanyak 14,8 juta ekor. Pemotongan setiap bulan sekitar


(21)

185.000-200.000 ekor sapi. Rata-rata satu ekor sapi dewasa menghasilkan 163,7 kg daging sapi sehingga total produksi kebutuhan daging sapi 2012 sebanyak 448.800 ton, maka masih ada kekurangan 72.290 ton daging atar setara dengan 441.600 ekor sapi (Santosa et al, 2012).

2.2Landasan Teori 2.2.1 Forecasting

Menurut Santoso (2009) definisi forecasting sebenarnya beragam, yaitu:

a. Perkiraan munculnya sebuah kejadian di masa depan, berdasarkan data yang ada di masa lampau.

b. Proses menganalisis data historis dan data saat ini untuk menentukan trend

di masa mendatang.

c. Proses estimasi dalam situasi yang tidak diketahui. d. Pernyataan yang dibuat tentang masa depan.

e. Penggunaan ilmu dan teknologi untuk memperkirakan situasi di masa depan.

f. Upaya sistematis untuk mengantisipasi kejadian atau kondisi di masa depan.

Jenis peramalan dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu, ruang lingkup, dan metode yang digunakan. Berdasarkan jangka waktunya, peramalan dibedakan menjadi peramalan jangka panjang dan jangka pendek. Peramalan jangka panjang biasanya dilakukan oleh para pimpinan puncak suatu perusahaan dan bersifat umum. Peramalan jangka pendek biasanya dilakukan pimpinan pada tingkat menengah maupun bawah dan lebih bersifat operasional. Dalam hal ini,


(22)

peramalan jangka panjang berfungsi sebagai dasar untuk membuat peramalan jangka pendek. Perlu diketahui, bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai panjang atau pendeknya waktu tersebut. Berdasarkan ruang lingkupnya, peramalan dibedakan menjadi peramalan mikro dan makro, contohnya adalah peramalan kondisi perekonomian dalam lima tahun yang akan datang (sebagai makro) dan peramalan kondisi perusahaan dalam lima tahun yang akan datang (sebagai mikro). Perlu diketahui juga bahwa batasan mengenai mikro dan makro itu adalah relatif.

Kegiatan penerapan model yang telah dikembangkan pada waktu yang akan datang dinamakan peramalan. Sehubungan dengan itu, sebelum model yang dikembangkan digunakan untuk peramalan, model itu seyogyanya diuji terlebih dahulu pada kegiatan proyeksi untuk mengetahui apakah model itu cukup tepat untuk digunakan atau tidak. Hal itu berlaku untuk metode-metode peramalan kuantitatif, yaitu metode yang didasarkan pada data yang telah ada. Apabila data mengenai kondisi pada waktu yang lalu tidak tersedia, maka metode peramalan yang digunakan adalah metode kualitatif dan dalam metode ini tidak dilakukan pengujian model(Aritonang, 2009).

Data kualitatif adalah data yang sifatnya hanya menggolongkan saja. Termasuk dalam klasifikasi data kualitatif adalah data yang berskala ukur nominal dan ordinal. Sebagai contoh data kualitatif adalah jenis pekerjaan seseorang, motivasi karyawan, dan jabatan di perusahaan. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah data berskala ukur interval dan


(23)

rasio. Selain data kualitatif dan juga data kuantitatif terdapat data time series dan

cross section.

2.2.2 Data Deret Waktu (Time Series)

Seringkali seorang manajer ingin membuat keputusan berdasarkan data yang dihimpun menurut periode waktu. Sebagai contoh dari data yang terkait dengan periode waktu adalah tingkat persediaan dari waktu ke waktu, penjualan tahunan,

output mingguan, biaya bulanan dan sebagainya. Nilai-nilai yang disusun dari waktu ke waktu tersebut disebut dengan deret waktu (time series). Di dunia bisnis, data deret waktu diperlukan sebagai bahan acuan pembuatan keputusan sekarang, untuk proyeksi, perlu diketahui beberapa asumsi yang penting. Pertama adanya ketergantungan kejadian masa yang akan datang dengan masa sebelumnya. Kedua aktivitas di masa yang akan datang mengikuti pola yang terjadi di masa yang lalu, dan ketiga, hubungan atau keterkaitan masa lalu dapat ditentukan dengan observasi atau penelitian (Sugiarto dan Harijono, 2000).

Data time series atau data deret waktu merupakan data yang dikumpulkan dari beberapa tahapan waktu secara kronologis. Pada umumnya data ini merupakan kumpulan dari fenomena tertentu yang didapat dalam interval waktu tertentu, misalnya dalam waktu mingguan, bulanan atau tahunan. Data cross section adalah data yang dikumpulkan pada waktu dan tempat tertentu saja. Data cross section

pada umumnya mencerminkan sesuatu fenomena dalam satu kurun waktu tertentu, misalnya data hasil pengisian kuisioner tentang perilaku pembelian suatu produk komestik oleh sekelompok responden pada bulan Januari 1998 (Sugiarto dan Harijono,2000).


(24)

Tujuan dari time series ini mencakup meneliti pola data yang digunakan untuk meramalkan dan melakukan ekstrapolasi ke masa mendatang. Tahapan yang penting dalam pemilihan metode time series yang tepat yaitu membuat asumsi terhadap jenis bentuk data dan metode yang paling tepat tersebut diuji terhadap bentuk data tersebut. Bentuk data dapoat diklasifikasikan kedalam empat jenis yaitu : horisontal atau stationer, musiman, skilis dan trend. Bentuk data horisontal terjadi bila nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Bentuk data musiman terjadi bila seriesnya dipengaruhi oleh faktor musiman (contoh : bulanan, mingguan, dan tahunan). Bentuk data siklis terjadi bila data dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi yang panjang seperti dihubungkan dengan siklis bisnis (Bussiness Cycle). Bentuk data trend terjadi bila penurunan dan kenaikan data yang terjadi berkepanjangan (Manurung,1998).

2.2.3 Teori Produksi

Menurut Boediono (2000) tidak semua kebutuhan akan terpenuhi. Kebutuhan seseorang dikatakan terpenuhi apabila ia mengkonsumsi barang/jasa yang ia butuhkan. Tetapi barang/jasa akan tersedia (untuk konsumsi) apabila diproduksikan.dan kemampuan setiap masyarakat untuk memenuhi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh semua warganya selalu mempunyai batas. Sebab proses produksi memerlukan sumber-sumber ekonomi yang tersedia selalu terbatas jumlahnya. Sumber-sumber ekonomi ini bisa digolongkan menjadi :

a. Sumber-sumber alam (tanah, minyak bumi, hasil tambang lain, air, udara dan sebagainya).


(25)

b. Sumber ekonomi yang berupa manusia dan tenaga manusia (termasuk bukan hanya kemampuan fisik manusia, tetapi juga kemampuan mental, keterampilan dan keahlian).

c. Sumber-sumber ekonomi buatan manusia (termasuk mesin-mesin, gedung-gedung, jalan-jalan dan sebagainya). Sering disebut dengan istilah barang-barang modal atau kapital.

Tersedianya ketiga sumber ekonomi tersebut tidaklah menjamin timbulnya kegiatan produksi. Kegiatan produksi tidak akan terjadi dengan sendirinya, meskipun ketiga sumber ekonomi tersebut tersedia berlimpah. Harus ada pihak-pihak yang berinisiatif menggabungkan dan mengorganisir ketiga sumber ekonomi tersebut sedemikian rupa hingga menghasilkan barang/jasa yang dibutuhkan (Boediono, 2000).

Produktivitas adalah jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam satu jam kerja. Di negara-negara di mana para pekerjanya dapat menghasilkan barang dan jasa lebih banyak persatuan waktu tertentu, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar penduduk negara-negara itu menikmati standar hidup yang lebih tinggi, semikian pula sebaliknya, di negara-negara yang produktivitasnya lebih rendah, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduknya juga terpaksa hidup dengan standar yang relatif rendah pula. Tingkat pertumbuhan produktivitas di suatu negara akan menentukan cepat atau lambatnya laju pertumbuhan pendapatan rata-rata penduduknya secara keseluruhan (Mankiw,2003).


(26)

Menurut Rosyidi (2005) produksi tentu saja tidak akan dapat dilakukan kalau tiada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Semua unsur itu disebut faktor-faktor produksi (factors of production). Jadi semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Seperti yang baru saja disebutkan, faktor-faktor produksi itu terdiri atas :

1. Tanah

Hal yang dimaksud dengan istilah land atau tanah di sni bukanlah sekadar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula di dalamnya segala sumber daya alam (natural resource). Itulah sebabnya faktor produksi yang pertama ini sering kali pula disebut dengan sebutan natural resources disamping juga sering disebut land. Dengan demikian, istilah tanah atau land ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa menjadi faktor produksi dan berasal dan ataua tersedia di alam ini tanpa usaha manusia.

2. Tenaga Kerja

Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labour) bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan segala kegiatan fisik lainnya. Hal yang dimaksudkan di sini memanglah bukan sekedar tenaga kerja saja.


(27)

3. Modal

Barang-barang modal riil (real capital goods) adalah sebutan bagi modal, yang meliputi semua jenis barang yang di buat untuk menunjang kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa.

4. Kecakapan Tata Laksana

Ketiga faktor produksi yang telah disebutkan adalah faktor-faktor produksi yang dapat diraba (tangible), faktor produksi yang keempat ini merupakan faktor produksi yang sifatnya tidak dapat diraba (intangible). Lazimnya, kecakapan (skill) merupakan sesuatu yang peranannya tidak sah lagi, tetapi sangat menentukan.

2.2.4 Teori Konsumsi

Teori konsumsi diturunkan kepada teori permintaan. Konsumen mau “meminta” (dalam pengertian ekononim” suatu barang pada harga tertentu karena barang tersebut dianggap berguna baginya. Makin rendah harga suatu barang maka konsumen cenderung untuk membelinya dalam jumlah yang lebih besar. Besarnya permintaan tergantung kepada manfaat yang akan diperoleh konsumen atau manfaat dalam menghasilkan barang-barang lain (Hanafie, 2010).

Permintaan adalah keinginan yang disertai dengan kesediaan serta kemampuan untuk membeli barang yang bersangkutan. Setiap orang boleh saja ingin kepada apapun yang diinginkannya, tetapi jika keinginannya itu tidak ditunjang oleh kesediaan serta kemampuan untuk membeli, keinginannya itu pun hanya akan tinggal keinginan. Permintaan merupakan sederatan angka yang menunjukkan


(28)

banyaknya satuan barang yang diminta pada berbagai tingkat harga (Rosyidi, 2005).

Dalam mempelajari perilaku konsumen, kita mengenal adanya teori kardinal dan teori ordinal. Terori kardinal ini beranggapan bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang/jasa dapat diukur/dinyatakan dalam angka-angka kardinal. Sedangkan teori ordinal beranggapan bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang tidak dapat diukur dengan angka-angka numerik tetapi hanya dapat dibandingkan, mana yang lebih tinggio dan mana yang lebih rendah (Aziz, 2003).

Menurut Rosyidi (2005) selain barang itu sendiri barang yang diminta akan berubah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Tingkat pendapatan per kapita (per capita income) masyarakat; b. Cita rasa atau selera (taste) konsumen terhadap barang itu;

c. Harga barang lain (prices of related goods), terutama barang pelengkap (complementary goods) dan barang pengganti (substitution goods); dan

d. Harapan atau perkiraan konsumen (consumer expactation) terhadap harga barang yang bersangkutan.

Hukum permintaan menyatakan bahwa apabila harga suatu barang naik, maka kuantitas/jumlah barang yang diminta/dibeli oleh konsumen akan menurun, dan sebaliknya jika hrag turun maka jumlah permintaan terhadap barang tersebut akan naik dengan asumsi faktor-faktor lain yang dianggap tetap (ceteris paribus) per unit waktu (Aziz, 2003).


(29)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain harga barang itu sendiri ada faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah permintaan atas suatu barang. Faktor-faktor lain tersebut dapat diukur secara kuantitatif besar pengaruhnya terhadap permintaab atas suatu barang. Dua faktor diantaranya adalah harga barang lain, dan pendapatan masyarakat. Untuk mengukur besarnya perubahan jumlah permintaan atas suatu barang yang diakibatkan oleh perubahan perubahan harga barang lain disebut elastisitas silang (cross elasticity). Sedangkan mengukur besarnya perubahan permintaan akibat berubahnya pendapatan masyarakat, disebut elastisitas pendapatan (income elasticity) (Bangun, 2007).

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berjudul “Analisis Forecasting Ketersediaan Pangan 2015 Dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara” oleh Selfia (2013) menganalisis bagaimana keadaan ketersediaan ketahanan pangan dan konsumsi pangan pada tahun 2015 di Provinsi Sumatera Utara dengan komoditi yang terdiri dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, daging sapi dan telur ayam. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data kuantitatif untuk forecasting

dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Adapun hasil dari analisis

forecasting adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan daging sapi pada tahun 2015 mengalami trend kenaikan sedangkan ketersediaan beras dan telur ayam mengalami trend penurunan.

2. Konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, daging sapi, dan telur ayam pada tahun 2015 mengalami trend kenaikan.


(30)

2.4 Kerangka Pemikiran

Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki peranan penting dalam menentukan ketersediaan pangan di dalam masyarakat dalam suatu daerah. Analisis forecasting ketersediaan daging sapi merupakan analisis untuk mengetahui berapakah ketersediaan daging sapi tahun tertentu, analisis meramalkan ketersediaan daging sapi dipengaruhi oleh produksi daging sapi dan impor daging sapi.

Untuk mengetahui berapa ketersediaan dan berapa konsumsi daging sapi pada tahun 2020, maka dapat dianalisis melalui data ketersediaan daging sapi pada tahun 1999-2013. Dimana ketersediaan daging sapi dilihat dari dua faktor yaitu produksi daging sapi pada tahun 1999-2013 dan impor daging sapi dari tahun 1999-2013. Dengan data dan perhitungan forecasting pada tahun 1999-2013 tersebut maka akan diketahui konsumsi daging sapi pada tahun 2020 dan ketersediaan daing sapi tahun 2020.


(31)

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.Skema Kerangka Pemikiran Keterangan :

: Menyatakan mempengaruhi : Menyatakan ada hubungan

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Konsumsi daging sapi tahun 1999-2013 lebih tinggi dibandingkan produksi daging sapi tahun 1999-2013 di Provinsi Sumatera Utara.

2. Ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi tahun 2020 di Provinsi Sumatera Utara meningkat sehingga dapat dilaksanakan swasembada

KETERSEDIAAN DAGING SAPI TAHUN 1999-2013 : a. Produksi Daging Sapi b. Konsumsi Daging Sapi c Impor Daging Sapi

KETERSEDIAAN DAGING SAPI TAHUN 2020 KONSUMSI DAGING SAPI

TAHUN 2020


(32)

daging sapi serta ketersediaan daging sapi 2020 lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi 2020 di Provinsi Sumatera Utara.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara. Daerah penelitian ini dipilih secara

purposive atau sengaja yaitu ditentukan agar dapat mendukung ketersediaan data untuk penelitian.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan dokumentasi. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti dan buku-buku yang bersangkutan dengan yang sedang diteliti. Sedangkan dokumentasi dilakukan dengan cara mendokumentasikan data-data yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal-jurnal menganai konsumsi dan produksi sapi dalam angka terbitan BPS dan Dinas Peternakan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data tahun 1999-2013.

3.2 Metode Analisis Data

Untuk masalah 1 dapat menggunakan metode deskriptif dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik sehingga dapat dilihat perbandingan antara produksi daging sapi, konsumsi daging sapi dan impor daging sapi pada tahun 1999-2013.


(34)

Untuk menganalisis masalah 2 dan 3 akan menggunakan analisis data kuantitatif untuk forecasting dengan menggunanakan metode kuadrat terkecil, dengan data yang diperoleh adalah data linier sehingga diperoleh trend linier. Trend linier merupakan model persamaan garis lurus yang terbentuk berdasarkan titik-titik diagram pencar dari data selama kurun waktu tertentu. Adapun bentuk umum dari model trend linier untuk ketersediaan daging sapi 2020 dan konsumsi daging sapi 2020 ini dinyatan dengan persamaan:

Y = a + bX Dimana :

Y = Ketersediaan daging sapi dan konsumsi (ton) X = waktu (tahun)

a dan b = konstanta Supranto (1993).

Menurut Supranto (1993) untuk mencari garis trend berarti mencari nilai a dan b. Dan apabila a dan b sudah diketahui, maka garis trend tersebut dapat dipergunakan untuk meramalkan Y. Untuk mengadakan perhitungan, maka diperlukan nilai tertentu pada perubahan waktu (X), sedemikian rupa sehingga jumlah nilai perubahan waktu = 0,

� ��

=

� �=�

Jika diperhatikan garis trend dimaksudkan untuk mewakili suatu scatter diagram. Tidak semua titik koordinat yang membentuk scatter diagram tersebut terletak tepat pada garis trend tetapi ada yang di atas ada juga yang di bawahnya.Metode jumlah kuadrat terkecil (least square method) untuk mencari garis trend,


(35)

dimaksudkan suatu perkiraan atau taksiran mengenai nilai a dan b dari persamaan Y = a + bX yang didasarkan atas data hasil observasi, sedemikian rupa sehingga jumlah kesalahan kuadrat terkecil (minimum). Jadi persamaan garis trend asal tidak membingungkan dapat di tulis Y = a +bX. Perlu diperhatikan, bahwa sebetulnya ada dua macam nilai Y.

Rumus :

a = Y – bX ,

Y = 1/n

∑ �

i

= rata-rata Y

X = 1/n Xi

= rata-rata X

Sehingga untuk garis trend yang garis lurus, rumusnya sederhana menjadi, karena

ΣXi = 0 danX = 1/n ΣXi = 1/n (0) = 0, dengan demikian untuk garis trend yang

lurus rumusnya menjadi :

Dimana :

Xi = Waktu dalam bentuk bilangan (Tahun, Bulan, Minggu, Hari) Yi = Data berkala

Untuk masalah 4 dapat menggunakan metode deskriptif dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik sehingga dapat dilihat perbandingan antara ketersediaan dengan konsumsi daging sapi Sumatera Utara 2020.

nΣX

i

Y

i

ΣX

i

Y

i

b =

nΣX

2i –

Xi)

2

a = Y

ΣX

iYi

b =


(36)

3.3 Definisi dan Batasan Operasional 3.3.1. Definisi

1. Ketersediaan daging sapi adalah ketersediaan daging sapi yang dilihat dari tiap tahunnya yang dihitung melalui data produksi, konsumsi dan impor daging sapi.

2. Produksi daging sapi dalam negeri adalah jumlah daging sapi yang diproduksi di Sumatera Utara di lihat tiap tahunnya dalam satuan ton.

3. Impor daging sapi adalah jumlah daging sapi yang diperoleh dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi di Sumatera Utara

4. Konsumsi daging sapi adalah jumlah daging sapi yang di konsumsi di Sumatera Utara dalam satuan ton/tahun.

5. Ketersediaan daging sapi 2020 adalah jumlah ketersediaan daging sapi yang diperoleh dari hasil analisis forecasting.

3.3.2 Batasan Operasional 1. Penelitian diadakan tahun 2015


(37)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Topografi dan Iklim 4.1.1 Letak Topografi

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 1o -4o Lintang Utara dan 98o-100o Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan daerah perairan dan laut serta dua provinsi lainnya:

a. Sebelah Utara : Provinsi Aceh

b. Sebelah Timur : Negara Malaysia di Selat Malaka c. Sebelah Selatan : Provinsi Riau dan Sumatera Barat d. Sebelah Barat : Samudera Hindia

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, serta beberapa Pulau-pulau kecil, baik di bagian barat maupun bagian timur pantai pulau Sumatera. Provinsi Sumatera Utara secara administratif terbagi dalam 25 kabupaten, 8 kota dengan 421 kecamatan yang meliputi 653 kelurahan dan 5.175 desa.

4.1.2 Iklim

Karena terletak dekat garis khatulistiwa, provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 30,10C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi


(38)

berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 21,4oC. Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan Maret dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan April sampai dengan bulan September, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.

4.2 Keadaan Penduduk

Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, kemudian dari hasil SP2000, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Selanjutnya dari hasil Sensus Penduduk pada bulan Mei 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa.

Kepadatan penduduk pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km2 kemudian pada tahun 2000 meningkat menjadi 161 jiwa per km2 dan selanjutnya pada tahun 2010 menjadi 188 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun, dan pada tahun 2000-2010 menjadi 1,22 persen per tahun.

Pada tahun 2013 penduduk Sumatera Utara berjumlah 13.326.307 jiwa yang terdiri dari 6.648.190 jiwa penduduk laki-laki dan 6.678.117 jiwa perempuan atau dengan ratio jenis kelamin/sex ratio sebesar 99,55. Pada tahun 2013 penduduk Sumatera Utara lebih banyak tinggal di daerah pedesaan dibanding daerah


(39)

perkotaan. Jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan adalah 6,77 juta jiwa (51,83%) dan yang tinggal di daerah perkotaan sebesar 6,55 juta jiwa (49,17%).

Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami perubahan dari tahun 1999-2010. Akibat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, penduduk miskin pada tahun 1999 meningkat tajam menjadi 1,97 jiwa atau 16,74 persen dari total penduduk Sumatera Utara. Pada tahun 2003 terjadi penurunan penduduk miskin secara absolut maupun secara persentase, yaitu menjadi 1,89 juta jiwa atau 15,89 persen, sedangkan tahun 2004 jumlah dan persentase turun menjadi sebanyak 1,80 juta jiwa atau 14,93 persen, kemudian pada tahun 2005 penduduk miskin turun menjadi 1,84 juta jiwa (14,68 %), namun akibat dampak kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 penduduk miskin tahun 2006 meningkat menjadi 1,98 juta jiwa (15,66%).

Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1,77 juta atau 13,90 persen. Angka ini menurun pada tahun 2008 menjadi 1,61 juta jiwa atau 12,55 persen. Pada tahun 2009 angka kemiskinan ini kembali turun menjadi 1,50 juta jiwa atau 11,51 persen. Selanjutnya pada bulan September 2013 jumlah penduduk miskin menjadi 1,39 juta jiwa atau 10,39 persen.

Jumlah penduduk yang merupakan angkatan kerja pada Agustus 2013 sebanyak 6,31 juta jiwa yang terdiri dari 5,90 juta jiwa terkategori bekerja dan sebesar 412,20 ribu jiwa terkategori pengangguran. Penduduk yang bekerja ini sebagian besar bekerja pada sektor pertanian yaitu 43,45 persen. Sektor kedua terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 18,94 persen.


(40)

Tabel. 1 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013

No. Kabupaten/ Regency 2009 2010 2011 2012 2013

1 Nias 444.502 131.377 132.605 132.860 133.388

2 Mandailing Natal 429.889 404.945 408.731 410.031 413.475 3 Tapanuli Selatan 265.855 263.815 266.282 268.095 268.824 4 Tapanuli Tengah 323.563 311.232 314.142 318.908 324.006 5 Tapanuli Utara 271.474 279.257 281.868 283.871 286.118 6 Toba Samosir 174.453 173.129 174.748 174.865 175.069 7 Labuhan Batu 417.584 415.110 418.992 424.644 430.718

8 Asahan 700.606 668.272 674.521 677.876 681.794

9 Simalungun 859.879 817.720 825.366 830.986 833.251

10 Dairi 273.851 270.053 272.578 273.394 276.238

11 Karo 370.619 350.960 354.242 358.853 363.755

12 Deli Serdang 1.788.351 1.790.431 1.807.173 1.845.615 1.886.388 13 Langkat 1.057.768 967.535 976.582 976.885 978.734 14 Nias Selatan 273.851 289.708 292.417 294.069 295.968 15 Humbang

Hasundutan 158.070 171.650 173.255 174.765 176.429 16 Pakpak Bharat 42.814 40.505 40.884 41.492 42.144 17 Samosir 132.023 119.653 120.772 121.594 121.924 18 Serdang Bedagai 642.983 594.383 599.941 604.026 605.583 19 Batu Bara 389.510 375.885 379.400 381.023 382.960 20 Padang Lawas

Utara 194.774 223.531 225.621 229.064 232.746

21 Padang Lawas 186.643 225.259 227.365 232.166 237.259 22 Labuhanbatu

Selatan 280.562 277.673 280.269 284.809 289.655 23 Labuhanbatu Utara 351.620 330.701 333.793 335.459 337.404

24 Nias Utara - 127.244 128.434 128.533 129.053

25 Nias Barat - 81.807 82.572 82.701 82.854

Kota/ City

26 Sibolga 96.034 84.481 85.271 85.852 85.981

27 Tanjung Balai 167.500 154.445 155.889 157.175 158.599 28 Pematang Siantar 240.939 234.698 236.893 236.947 237.434 29 Tebing Tinggi 142.717 145.248 146.606 147.771 149.065 30 Medan 2.121.053 2.097.610 2.117.224 2.122.804 2.123.210 31 Binjai 257.105 246.154 248.456 250.252 252.263 32 Padangsidimpuan 191.912 191.531 193.322 198.809 204.615 33 Gunungsitoli 0 126.202 127.382 128.337 129.403 Jumlah/Total 13.248.386 12.982.204 13.103.596 13.215.401 13.326.307


(41)

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar -2,01 persen, pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 0,94 persen, pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 0,85 persen, dan pada tahun pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 0,84 persen. Ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara mengalami fluktuasi. Dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan merupakan kota dengan jumlah penduduk paling tinggi, sedangkan daerah yang memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit adalah kabupaten Pakpak Bharat.

4.3 Karakteristik Sampel Penelitian 4.3.1 Produksi Daging Sapi

Keadaan produksi daging sapi di Provinsi Sumatera Utara tidak stabil. Dapat dilihat bahwa produksi yang naik turun setiap tahunnya. Produksi daging sapi yang diharapkan adalah produksi yang selalu meningkat agar dapat mendukung rencana swasembada daging sapi tahun berikutnya. Jumlah penduduk yang terus meningkat juga selalu membayangi ketersediaan daging sapi, agar ketersediaan daging sapi mampu mengimbangi jumlah penduduk serta permintaan akan daging sapi maka produksi daging sapi sebagai salah satu komoditas pangan harus ditingkatkan.


(42)

Tabel 2. Jumlah Produksi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013 (Ton)

No. Tahun

Total Produksi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 1999 6.637,42

2 2000 6.822,91

3 2001 6.827,44

4 2002 6.836,09

5 2003 6.894,36

6 2004 6.981,69

7 2005 9.883,73

8 2006 10.131,68

9 2007 9.569,07

10 2008 12.957,74

11 2009 13.633,07

12 2010 15.707,60

13 2011 18.299,35

14 2012 24.546,61

15 2013 18.436,60

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000, 2010, dan 2014

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produksi daging sapi tiap tahunnya tidak stabil. Pada tahun 1999-2006 total produksi daging sapi mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah produksi daging sapi di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1999-2006. Terdapat penurunan produksi pada tahun 2007 sebesar 9.569,07 Ton yang diakibatkan oleh terjadinya penurunan produksi daging sapi dibeberapa daerah dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2008-2012 produksi daging sapi mengalami peningkatan yangh diakibatkan oleh meningkatnya produksi daging sapi di bebrapa daerah seperti kota Sibolga yang tahun sebelumnya tidak memproduksi daging sapi tetapi pada tahun 2008 mulai memproduksi daging sapi. Pada tahun 2013 mengalami penurunan akibat bebrapa kabupaten/kota mengalami penurunan produksi daging


(43)

sapi dan juga populasi ternak pada tahun 2013 mengalami penurunan. Tetapi produksi terbesar daging sapi di Sumatera Utara terdapat pada tahun 2012 yaitu sebesar 24.546,61 Ton.

4.3.2 Konsumsi Daging Sapi

Keadaan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumatera Utara tidak stabil. Dapat dilihat bahwa konsumsi yang naik turun setiap tahunnya. Konsumsi daging sapi yang diharapkan adalah konsumsi yang selalu menurun agar dapat mendukung peningkatan ketersediaan daging sapi pada tahun berikutnya. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat maka diharapkan produksi daging sapi juga meningkat untuk mengimbangi konsumsi daging sapi yang tinggi.

Tabel 3. Jumlah Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013 (Ton)

No. Tahun

Total Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 1999 6.695,02400

2 2000 6.793,24407

3 2001 6.872,29522

4 2002 6.834,43174

5 2003 6.955,29736

6 2004 7.031,54880

7 2005 9.614,80884

8 2006 10.367,66508

9 2007 9.625,77825

10 2008 12.911,89383

11 2009 13.645,83758

12 2010 15.708,46684

13 2011 18.213,99844

14 2012 24.448,49185

15 2013 18.390,30366

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000, 2010, dan 2014


(44)

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa konsumsi daging sapi tiap tahunnya tidak stabil. Pada tahun 1999-2006 terjadi peningkatan konsumsi daging sapi yang diakibatkan oleh jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara tinggi dan juga produksi daging sapi yang tinggi pula. Terdapat penurunan konsumsi pada tahun 2007 sebesar 9.625,77825 Ton yang diakibatkan oleh menurunnya produksi pada tahun tersebut. Pada tahun 2008-2012 terjadi peningkatan konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya produksi daging sapi daan juga jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara yang tinggi. Pada tahun 2013 terjadi penurunan konsumsi daging sapi yang disebabkan oleh produksi daging sapi yang menurun juga. Tetapi konsumsi terbesar daging sapi di Sumatera Utara terdapat pada tahun 2012 yaitu sebesar 24.448,49185 Ton.


(45)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perbandingan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi 1999-2013

Untuk mengetahui ketersediaan daging sapi, maka akan diperoleh dengan analisis

forecasting yaitu dengan menggunkan data produksi, konsumsi, impor dan stok daging sapi. Untuk menghasilkan program pemerintah seperti swasembada dan ketahanan pangan, maka dibutuhkan jumlah ketersediaan daging sapi harus mampu mengimbangi jumlah kebutuhan daging sapi masyarakat dengan mutu yang baik dan harga yang terjangkau sehingga kebutuhan akan daging sapi terpenuhi.

Untuk melihat ketersediaan daging sapi tahun 2020, maka dapat dilihat dari data produksi, konsumsi, stok dan impor daging sapi tahu 1999-2013. Untuk melihat konsumsi daging sapi tersebut, maka dilakukan perbandingan antara produksi, konsumsi dan impor daging sapi tahun 1999-2013.


(46)

Tabel 4. Perbandingan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013

No. Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Rasio

1 1999 6.637,42 6.695,02 0,99

2 2000 6.822,91 6.793,24 1,00

3 2001 6.827,44 6.872,30 0,99

4 2002 6.836,09 6.834,43 1,00

5 2003 6.894,36 6.955,30 0,99

6 2004 6.981,69 7.031,55 0,99

7 2005 9.883,73 9.614,81 1,03

8 2006 10.131,68 10.367,67 0,98

9 2007 9.569,07 9.625,78 0,99

10 2008 12.957,74 12.911,90 1,00

11 2009 13.633,07 13.645,84 1,00

12 2010 15.707,60 15.708,47 1,00

13 2011 18.299,35 18.214,00 1,00

14 2012 24.546,61 24.448,49 1,00

15 2013 18.436,60 18.390,30 1,00

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000, 2010, dan 2014

Keterangan :

Rasio < 1 = Konsumsi lebih tinggi dibandingkan produksi Rasio ≥ 1 = Produksi lebih tinggi dibandingkan konsumsi

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 1999 nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi pada tahun 1999. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 57,6 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0,99 atau < 1 ini menunjukkan bahwa pada tahun 1999 tidak tercapainya peningkatan ketersediaan daging sapi. Dalam hal ini produksi daging sapi dalam negeri perlu lebih ditingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 1999 lebih tinggi di bandingkan dengan produksi daging sapi 1999 berarti hipotesis pertama diterima.


(47)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2000 nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 29,67 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan peningkatan produksi daging sapi semakin membaik di tahun 2000. Keadaan produksi daging sapi 2000 lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi 2000 berarti hipotesis pertama ditolak.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2001, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 44,86 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0,99 atau rasio < 1. Ini menunjukkan peningkatan produksi daging sapi lokal perlu diperbaiki lagi untuk dapat meningkatkan ketersediaan daging sapi di Sumatera Utara. Keadaan konsumsi daging sapi 2001 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daging sapi 2001 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2002, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 1,66 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2002 produksi daging sapi meningkat dari tahun sebelumnya. Keadaan produksi daging sapi 2002 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2002 berarti hipotesis petama ditolak.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi


(48)

sebesar 60,94 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0.99 atau rasio < 1, ini menunjukkan bahwa pada tahun 2003 produksi daging sapi lokal menurun dan sebaiknya ditingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 2003 lebih tinggi dibandingkan produksi daging sapi 2003 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2004, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 49,86 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0.99 atau rasio <1, ini menunjukkan bahwa pada tahun 2004 produksi daging sapi lokal sebaiknya ditingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 2004 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daging sapi 2004 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2005, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 268,92 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,03 atau rasio ≥ 1, ini menunjukkan bahwa pada tahun 2005 produksi daging sapi lokal semakin meningkat. Keadaan produksi daging sapi 2005 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2005 berarti hipotesis pertama ditolak.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2006, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 235,99 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0,98 atau rasio < 1, ini menunjukkan bahwa pada


(49)

tahun 2006 produksi daging sapi lokal sebaiknya di tingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 2006 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daging sapi 2006 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2007, nilai dari konsumsi daging sapi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 56,71 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 0,99 atau rasio < 1, ini menunjukkan bahwa pada tahun 2007 produksi daging sapi lokal sebaiknya di tingkatkan untuk dapat menambah nilai ketersediaan daging sapi. Keadaan konsumsi daging sapi 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi daging sapi 2007 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2008, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 45,84 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2008 produksi daging sapi semakin meningkat. Keadaan produksi daging sapi 2008 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2008 berarti hipotesis pertama ditolak.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2009, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 12,77 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009 produksi daging sapi lokal harus lebih ditingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 2009


(50)

lebih tinggi dibandingkan produksi daging sapi 2009 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, nilai dari konsumsi lebih besar dibandingkan nilai dari produksi daging sapi. Besar defisit produksi daging sapi sebesar 0,87 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 produksi daging sapi lokal harus lebih ditingkatkan. Keadaan konsumsi daging sapi 2010 lebih tinggi dibandingkan produksi daging sapi 2010 berarti hipotesis pertama diterima.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2011, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 85,35 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2011 produksi daging sapi semakin meningkat. Keadaan produksi daging sapi 2011 lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi 2011 berarti hipotesis pertama ditolak.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2012, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 98,12 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2012 produksi daging sapi semakin meningkat. Keadaan produksi daging sapi 2012 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2012 berarti hipotesis pertama ditolak.


(51)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada tahun 2013, nilai dari produksi lebih besar dibandingkan nilai dari konsumsi daging sapi. Besar defisit konsumsi daging sapi sebesar 46,30 Ton dengan rasio antara produksi daging sapi dan konsumsi daging sapi adalah sebesar 1,00 ini menunjukkan bahwa pada tahun 2013 produksi daging sapi semakin meningkat. Keadaan produksi daging sapi 2013 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2013 berarti hipotesis pertama ditolak.

Gambar 2. Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi Sumatera Utara Tahun 1999-2013

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging dapi dari tahun 1999 – 2020 memiliki data yang fluktuatif. Keadaan ini

0,00 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 30.000,00

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Konsumsi (Ton) Produksi (Ton)


(52)

menunjukkan bahwa ketahanan pangan pada tahun 1999-2013 belum dapat dikatakan baik, karena ketersediaan daging sapi belum bisa mengimbangi kebutuhan akan daging sapi setiap tahunnya. Dari Gambar 2 dapat dilihat terdapat tahun tertentu yang memiliki nilai produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi, tetapi tidak dapat dipertahankan pada tahun selanjutnya.

Dilihat dari Gambar 2 bahwa pada tahun 1999-2007, belum dapat dikatakan bahwa ketersediaan daging sapi di Sumatera Utara dapat tercapai, karena terjadinya naik turun produksi dan konsumsi terhadap daging sapi. Pada tahun 2008-2013 dapat dikatakan ketersediaan daging sapi meningkat, karena konsumsi daging sapi lebih rendah dibandingkan produksi daging sapi. Dalam menghadapi masalah ini, pemerintah seharusnya melakukan kebijakan yang cepat dan tepat sehingga masalah ini dapat diselesaikan untuk dapat menaikkan nilai atau jumlah ketersediaan daging sapi.

5.2 Analisis Forecasting

5.2.1 Analisis Forecasting Ketersediaan Daging Sapi

Ketersediaan daging sapi hingga tahun 2020 diperoleh dengan analisis forecasting

menggunakan data ketersediaan daging sapi dari tahun 1999-2013, data tersebut diolah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Sehingga diperoleh persamaan trend linier:

Y = 9.925,14 + 1.120,13X

Dari persamaan yang diperoleh maka dapat diketahui ketersediaan daging sapi untuk tahun 2014 – 2020 dengan menggantikan nilai x di persamaan dengan nilai x yang telah ditentukan untuk tahun tersebut. Persamaan yang diperoleh


(53)

menunjukkan adanya trend meningkat, setiap tahun terjadi peningkatan ketersediaan daging sapi secara rata-rata yaitu sebesar 1.120,13 Ton.

Gambar 3. Total Ketersediaan Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999 – 2020

Ketersediaan daging sapi diperoleh dari hasil penjumlahan produksi daging sapi dalam negeri, cadangan sapi dan impor daging sapi. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa ketersediaan daging sapi Provinsi Sumatera Utara tidak stabil dengan rata-rata ketersediaan daging sapi per tahun sebesar 15.531,48 Ton. Dari Gambar 3 dapat dilihat ketersediaan daging sapi pada tahun 1999-2004 mengalami peningkatan yang sangat rendah yaitu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6833,32 Ton. Pada tahun 2005-2006 mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 10.007,71 Ton dan turun pada tahun 2007 dengan jumlah ketersediaannya sebesar 9.569,07 Ton. Pada tahun selanjutnya yaitu tahun 2008-2012 mengalami peningkatan dengan rata-rata

0,00 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 30.000,00

1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025


(54)

pertumbuhan sebesar 17.028,87 Ton. Tahun 2013 kembali menurun yaitu dengan jumlah ketersediaan sebesar 18.436,60 Ton dan terjadi peningkatan di tahun selanjutnya yaitu tahun 2014-2020 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 23.932,45 Ton. Dengan meningkatnya ketersediaan daging sapi dari tahun 2014-2020 diuji melalui forecasting, dapat terlaksananya swasembada daging sapi. Peningkatan ketersediaan daging sapi pada tahun 2014-2020 disebabkan oleh meingkatnya jumlah produksi daging ditiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dimana peningkatan yang paling tinggi adalah pada tahun 2012 sebesar 24.546,61 Ton. Jika dibandingkan dengan hasil peramalan ketersediaan daging sapi, maka peningkatan yang paling tinggi adalah pada tahun 2020 yaitu sebesar 27.292,844.

Tabel 5. Total Proyeksi Ketersediaan Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

No. Tahun X

Total Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 2014 8 20.572,064

2 2015 9 21.692,194

3 2016 10 22.812,324

4 2017 11 23.932,454

5 2018 12 25.052,584

6 2019 13 26.172,714

7 2020 14 27.292,844

Sumber : Lampiran 2

Dari hasil proyeksi ketersediaan daging sapi didapat ketersediaan daging sapi pada tahun 2020 adalah sebesar 27.292,844 Ton. Dari Gambar 3 menunjukkan bahwa ketersediaan daging sapi dari tahun 2014-2020 meningkat seiring bertambahnya tahun dan dapat terlaksananya swasembada daging sapi. Hasil


(55)

analisis forecasting ketersediaan daging sapi tahun 2020 yang meningkat berarti hipotesis kedua diterima.

5.2.2 Analisis Forecasting Konsumsi Daging Sapi

Konsumsi daging sapi hingga tahun 2020 diperoleh dengan analisis forecasting

menggunakan data konsumsi daging sapi dari tahun 1999-2013, data tersebut diolah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Sehingga diperoleh persamaan trend linier:

Y = 11.607,27 + 1.113,74X

Dari persamaan yang diperoleh maka dapat diketahui konsumsi daging sapi untuk tahun 2014 – 2020 dengan menggantikan nilai x di persamaan dengan nilai x yang telah ditentukan untuk tahun tersebut. Persamaan yang diperoleh menunjukkan adanya trend meningkat, setiap tahun terjadi peningkatan konsumsi daging sapi secara rata-rata yaitu sebesar 1.113,74 Ton.


(56)

Gambar 4. Total Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2020

Konsumsi daging sapi diperoleh dari hasil pengalian total jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara (jiwa) dengan konsumsi daging Provinsi Sumatera Utara (kg/kap/tahun) dibagi dengan 1000 untuk mendapatkan nilai konsumsi dalam satuan ton. Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa konsumsi daging sapi di provinsi Sumatera Utara tidak stabil dengan rata-rata konsumsi per tahun sebesar 15.505,36 Ton. Dari tahun 1999-2006 konsumsi daging sapi meningkat, tetapi terlihat pada tahun 1999 – 2004 mengalami peningkatan yang sangat kecil yaitu rata-rata konsumsi mencapai 6.863,64 Ton per tahun. Sedangkan pada tahun 2004-2005 mengalami peningkatan konsumsi yang cukup tinggi yaitu rata-rata konsumsi per tahun mencapai 8.323,18 Ton. Peningkatan konsumsi daging sapi terjadi pada tahun 1999-2006, tahun 2007 terjadi penurunan konsumsi daging sapi yaitu sebesar 9.625,78 dari tahun 2006 sebesar 10.367,67 dengan selisih kedua

0,00 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 30.000,00

1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025


(57)

tahunnya sebesar 741,89 Ton. Pada tahun 2008-2012 konsumsi daging sapi mengalami peningkatan dengan rata-rata konsumsi sebesar 16.985,74 Ton per tahun, dan tahun yang memiliki nilai konsumsi yang paling tinggi adalah tahun 2012 yaitu dengan jumlah konsumsi daging sapi sebesar 24.448,49 Ton per tahun. Terjadi penurunan jumlah konsumsi daging sapi pada tahun 2013, dengan jumlah konsumsi daging sapi 18.390,30 Ton per tahun dengan selisih 6.058,19 Ton per tahun dari tahun sebelumnya. dengan peramalan maka di ramalkan konsumsi pada tahun selanjutnya yaitu tahun 2014-2020 mengalami peningkat. Konsumsi daging sapi pada tahun 2014-2020 mengalami peningkatan disebabkan oleh meningkatnya produksi daging sapi pada tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka jumlah konsumsi daging sapi paling tinggi terjadi pada tahun 2020 yaitu sebesar 27.199,63 Ton per tahun.

Tabel 6. Total Proyeksi Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

No. Tahun X

Total Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 2014 8 20.517,19

2 2015 9 21.630,93

3 2016 10 22.744,67

4 2017 11 23.858,41

5 2018 12 24.972,15

6 2019 13 26.085,89

7 2020 14 27.199,63

Sumber : Lampiran 6

Dari hasil proyeksi konsumsi daging sapi didapatkan konsumsi daging sapi pada tahun 2020 sebesar 27.199,63 Ton. Dari Gambar 4 menunjukkan bahwa konsumsi dari tahun 2014-2020 meningkat seiring bertambahnya tahun. Hasil analisis


(58)

forecasting konsumsi daging sapi tahun 2020 yang meningkat berarti hipotesis kedua diterima.

5.2.3 Perbandingan Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi 2020

Ketersediaan daging sapi harus dikelola dengan baik, untuk dapat memenuhi kebutuhan daging sapi bagi masyarakat. Volume pangan bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Untuk menjaga serta meningkatkan ketersediaan daging sapi tergolong sulit, dan untuk mengadakan swasembada sapi juga tergolong sulit karena beberapa faktor yang mengakibatkan masalah seperti konsumsi yang tinggi, produksi yang tergolong rendah, stok akan daging sapi lokal masih tidak memadai dan juga jumlah impor sapi dalam bentuk hewan hidup masih tinngi.

Untuk mendapatkan nilai ketersediaan daging sapi lebih tinggi maka dibutuhkan produksi daging lokal dan stok daging sapi yang tinggi pula, serta nilai konsumsi lebih rendah dibandingkan dengan nilai produksi daging sapi. Dengan hal ini maka akan tercapai program peningkatakan ketersediaan daging sapi untuk swasembada daging sapi.

Meramalkan ketersediaan daging sapi untuk beberapa tahun ke depan perlu dilakukan untuk mengetahui keadaan permintaan atau produksi daging sapi kedepannya sehingga dapat diatur strategi untuk mengatasi hal-hal yang mungkin saja akan terjadi. Dalam hal ini meramalkan ketersediaan saja tidaklah cukup, perlu juga diketahui forecasting konsumsi daging sapi sehingga dapat dibandingkan antara ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi. Apakah


(59)

ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi, atau malas sebaliknya.

Tabel 7. Hasil Analisis Forecasting Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

No. Tahun Ketersediaan (Ton) Konsumsi (Ton) Rasio

1 2014 20.572,06 20.517,19 1,00

2 2015 21.692,19 21.630,93 1,00

3 2016 22.812,32 22.744,67 1,00

4 2017 23.932,45 23.858,41 1,00

5 2018 25.052,58 24.972,15 1,00

6 2019 26.172,71 26.085,89 1,00

7 2020 27.292,84 27.199,63 1,00

Sumber : Lampiran 7,8 dan 9

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2014 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 54,87 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat menambah stok daging sapi lokal.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2015 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 61,26 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat


(60)

meningkatkan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaat bahwa ketersediaan pada tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan tahun 2014.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2016 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 67,65 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat mengurangi kekurangan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaat bahwa ketersediaan pada tahun 2016 lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2017 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 74,04 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat mengurangi kekurangan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaat bahwa ketersediaan pada tahun 2017 lebih tinggi dibandingkan tahun 2016.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2018 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 80,43 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal


(61)

ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat mengurangi kekurangan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaa bahwa ketersediaan pada tahun 2018 lebih tinggi dibandingkan tahun 2017.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2019 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 86,82 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat mengurangi kekurangan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaa bahwa ketersediaan pada tahun 2019 lebih tinggi dibandingkan tahun 2018.

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada tahun 2020 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi dengan rasio sebesar 1, selisih antara ketersediaan daging sapi dengan konsumsi daging sapi sebesar 93,21 Ton. Ketersediaan daging sapi semakin meningkat diakibatkan oleh produksi daging sapi semakin meningkat ditiap kabupaten atau kota di tahun tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ketersediaan dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk dapat mengurangi kekurangan stok daging sapi lokal dan dapat dilihaa bahwa ketersediaan pada tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. keadaan ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging sapi 2020 berarti hipotesis kedua diterima.


(62)

Gambar 5. Total Ketersediaan dan Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa dari tahun 2014-2020 ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi. Selain itu, ketersediaan daging sapi semakin meningkat setiap tahunnya. Tetapi seiring pertambahan ketersediaan daging sapi, perbadingan antara konsumsi dan juga ketersediaan daging sapi tipis. Sehingga pada tahun 2020 ketersediaan daging sapi mengalami surplus walaupun masih dalam kuantitas yang sedikit. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan dalam komoditi sapi dari tahun ke tahun semakin membaik. pada tahun ini yang mana diketahui bahwa ketersediaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging sapi, maka dapat dilaksanakan swasembada daging sapi pada tahun yang telah diramalkan.

0,00 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 30.000,00

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Konsumsi (Ton) Ketersediaan (Ton)


(63)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Perbandingan produksi dengan konsumsi daging sapi Sumatera Utara dari tahun 1999-2013 menunjukkan data yang fluktuatif. Pada tahun 1999, 2001, 2003, 2004, 2006, dan 2007 memiliki rasio sebesar < 1 yang artinya nilai konsumsi lebih besar dibanding produksi. Pada tahun 2000, 2002, 2005, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 memiliki rasio sebesar ≥ 1 yang artinya produksi lebih besar dibandingkan konsumsi.

2. Hasil analisis forecasting menunjukkan bahwa ketersediaan daging sapi dan konsumsi daging sapi pada tahun 2020 mengalami trend kenaikan serta perbandingan ketersediaan dengan konsumsi daging sapi Sumatera Utara 2020 menunjukkan rasio ketersediaan daging sapi lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging sapi sehingga dapat terlaksananya swasembada daging sapi.

6.2 Saran

1. Kepada pemerintah diharapkan membuat suatu kebijakan yang dapat menenjamin ketersediaan daging sapi yaitu dengan meningkatkan produksi daging.

2. Diharapkan kepada peternak sapi untuk dapat meningkatkan produksi daging sapi untuk dapat mendukung ketersediaan daging sapi.


(64)

3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti bagaimana ketersediaan daging sapi dalam mendukung swasembada daging sapi pada tahun berikutnya. Agar dapat diketahui bagaimana ketersediaan daging sapi Provinsi Sumatera Utara selanjutnya dalam rangka program swasembada daging sapi


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2009. Swasembada Daging Sapi 2014. Yogyakarta : Kompas.

Anonimus. 2014. Swasembada Daging Sapi 3 Kali Gagal dan Revolusi Mental. Jakarta : Kompas.

Aritonang, L. R. 2009. PeramalanBisnis. Bogor:Ghalia Indonesia.

Aziz, N. 2003. Pengantar Mikro Ekonomi Aplikasi dan Manajemen. Malang: Bayumedia Publishing.

Bangun, W. 2007. Teori Ekonomi Mikro. Bandung : Refika Aditama.

Badan Pusat Statistik (BPS). 1999. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 1999. ,2000. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2000.

, 2001. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2001. , 2002. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2002. , 2003. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2003. , 2004. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2004. , 2005. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2005. , 2006. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2006. , 2007. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2007. , 2008. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2008. , 2009. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2009. , 2010. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2010. , 2011. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2011. , 2012. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2012. , 2013. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2013. Boediono. 2000. Ekonomi Mikro. Yogyakarta : BPFE.


(66)

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara. 2000. Statistik Peternakan 2000.

, 2010. Statistik Peternakan 2010.

, 2014. Statistik Peternakan 2014.

Fikar dan Dadi,R. 2012. Penggemukan Sapi 4 BulanPanen. Jakarta : Agromedia. Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta : Andi.

Laoli, N. 2011. Swasembada Daging Terancam. Jakarta : Kompas.

Mankiw, N.G. 2003. Pengantar Ekonomi. Edisi Kedua Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Manurung, A.H. 1998. Teknik Peramalan Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Rineka

Cipta.

Rahmat dan Bagus. 2012. 3 Jurus Sukses Menggemukkan Sapi Potong. Jakarta : Agromedia.

Rosyidi, S. 2005. Pengantar Teori Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta : Rajawali Pers. Santosa, et al. 2012. Bisnis Penggemukan Sapi. Jakarta : Agromedia.

Santoso, S. 2009. Business Forecasting Metode Peramalan Bisnis Masa Kini dengan MINITAB dan SPSS. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Selfia, R.P.S. 2013. Analisis Forecasting Ketersediaan Pangan 2015 Dalam

Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sembiring, P. 2010. Pengantar Ruminologi. Medan : Usu Press.

Siregar, S.B. 2013. Bisnis Penggemukan Sapi. Jakarta : Penebar Swadaya. Sugiarto dan Harijono, 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia.

Supranto, J. 1993. Metode Ramalan Kuantitatif Untuk Perencanaan Ekonomi dan Bisnis. Jakarta : Rineka Cipta.


(67)

(68)

Lampiran 1. Total Produksi, Cadangan, dan Impor Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013

No. Tahun

Total Produksi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara (Ton) Total Cadangan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara (Ton) Total Impor Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara (Ton)

1 1999 6.637,42 0 0

2 2000 6.822,91 0 0

3 2001 6.827,44 0 0

4 2002 6.836,09 0 0

5 2003 6.894,36 0 0

6 2004 6.981,69 0 0

7 2005 9.883,73 0 0

8 2006 10.131,68 0 0

9 2007 9.569,07 0 0

10 2008 12.957,74 0 0

11 2009 13.633,07 0 0

12 2010 15.707,60 0 0

13 2011 18.299,35 0 0

14 2012 24.546,61 0 0


(1)

Lampiran 3. Proyeksi Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Hingga Tahun 2020

No. Tahun X

Total Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 1999 -7 3.770,11

2 2000 -6 4.890,24

3 2001 -5 6.010,37

4 2002 -4 7.130,50

5 2003 -3 8.250,63

6 2004 -2 9.370,76

7 2005 -1 10.490,89

8 2006 0 11.611,02

9 2007 1 12.731,15

10 2008 2 13.851,28

11 2009 3 14.971,41

12 2010 4 16.091,54

13 2011 5 17.211,67

14 2012 6 18.331,80

15 2013 7 19.451,93

16 2014 8 20.572,06

17 2015 9 21.692,19

18 2016 10 22.812,32

19 2017 11 23.932,45

20 2018 12 25.052,58

21 2019 13 26.172,71


(2)

Lampiran 4. Total Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2013 (Ton)

No. Tahun

Konsumsi Daging Sapi

Provinsi Sumatera Utara (Kg/Kap/Tahun)

Jumlah Penduduk

Provinsi Sumatera Utara

(Jiwa)

Total Konsumsi Daging Sapi Provinsi

Sumatera Utara (Ton)

1 1999 0,56 11.955.400 6.695,02

2 2000 0,59 11.513.973 6.793,24

3 2001 0,59 11.647.958 6.872,30

4 2002 0,58 11.783.503 6.834,43

5 2003 0,58 11.991.892 6.955,30

6 2004 0,58 12.123.360 7.031,55

7 2005 0,78 12.326.678 9.614,81

8 2006 0,82 12.643.494 10.367,67

9 2007 0,75 12.834.371 9.625,78

10 2008 0,99 13.042.317 12.911,90

11 2009 1,03 13.248.386 13.645,84

12 2010 1,21 12.982.204 15.708,47

13 2011 1,39 13.103.596 18.214,00

14 2012 1,85 13.215.401 24.448,49


(3)

Lampiran 5. Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara

No. Tahun X Y (Ton) XY X2

1 1999 -7 6.695,02 -46.865,14 49

2 2000 -6 6.793,24 -40.759,44 36

3 2001 -5 6.872,30 -34.361,50 25

4 2002 -4 6.834,43 -27.337,72 16

5 2003 -3 6.955,30 -20.865,90 9

6 2004 -2 7.031,55 -14.063,10 4

7 2005 -1 9.614,81 -9.614,81 1

8 2006 0 10.367,67 0 0

9 2007 1 9.625,78 9.625,78 1

10 2008 2 12.911,90 25.823,78 4

11 2009 3 13.645,84 40.937,52 9

12 2010 4 15.708,47 62.833,88 16

13 2011 5 18.214,00 91.070,00 25

14 2012 6 24.448,49 146.690,94 36

15 2013 7 18.390,30 128.732,10 49

Jumlah 174.109,09 311.846,39 280

Rata-rata 11.607,27 Y = 11.607,27 + 1.113,74X


(4)

Lampiran 6. Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Hingga Tahun 2020

No. Tahun X

Total Konsumsi Daging sapi Provinsi Sumatera Utara

(Ton)

1 1999 -7 6.695,02

2 2000 -6 6.793,24

3 2001 -5 6.872,30

4 2002 -4 6.834,43

5 2003 -3 6.955,30

6 2004 -2 7.031,55

7 2005 -1 9.614,81

8 2006 0 10.367,67

9 2007 1 9.625,78

10 2008 2 12.911,90

11 2009 3 13.645,84

12 2010 4 15.708,47

13 2011 5 18.214,00

14 2012 6 24.448,49

15 2013 7 18.390,30

16 2014 8 20.517,19

17 2015 9 21.630,93

18 2016 10 22.744,67

19 2017 11 23.858,41

20 2018 12 24.972,15

21 2019 13 26.085,89


(5)

Lampiran 7. Pertumbuhan Ketersediaan Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

No. Tahun Ketersediaan Daging Sapi (Ton)

1 2014 20.572,06

2 2015 21.692,19

3 2016 22.812,32

4 2017 23.932,45

5 2018 25.052,58

6 2019 26.172,71

7 2020 27.292,84


(6)

Lampiran 8. Pertumbuhan Konsumsi Daging Sapi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2020

No. Tahun Konsumsi Daging Sapi (Ton)

1 2014 20.517,19

2 2015 21.630,93

3 2016 22.744,67

4 2017 23.858,41

5 2018 24.972,15

6 2019 26.085,89

7 2020 27.199,63