Prinsip Dasar Teori Tujuan Pemidanaan

terulangnya perbuatan itu maupun untuk mengenakan penderitaan atau untuk kedua-duanya. Sedangkan “treatment” tidak diperlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Kita memperlakukan orang itu karena kita berpendapat atau beranggapan bahwa ia akan menjadi lebih baik. Kita juga boleh mengharap atau berpikiran, bahwa orang yang dikenakan pidana akan menjadi lebih baik, tetapi bukan karena hal itu kita berbuat demikian, karena tujuan utamanya adalah melakukan pencegahan terhadap perbuatan salah dan bukan perbaikan terhadap diri si pelanggar ”. Dalam proses pemidanaan atau pemberian pidana ini peranan dari seorang hakim sangat penting, karena harus mengkonkretkan sanksi – sanksi pidana yang terdapat di dalam perundang – undangan terhadap suatu peristiwa pidana itu sendiri. Menurut Sudarto 1987: 21-22 ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim sebelum penjatuhan pidana, yaitu : a. Pertimbangan tentang fakta – fakta yaitu apakah terdakwa benar – benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; b. Pertimbangan tentang hukumnya yaitu apakah terdakwa merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah sehingga daat dijatuhi pidana. Jadi penjatuhan pidana oleh hakim merupakan suatu proses dan berakhir dengan ditetapkannya oleh hakim bagi terdakwa tentang : a. Jenis pidananya yang paling tepat strafsoort; b. Lamanya pidananya berat ringannya pidana strafmaat; c. Cara pelaksanaannya strafmodaliteit.

2.3 Prinsip Dasar Teori Tujuan Pemidanaan

Dalam pemahaman mengenai tujuan diadakannya pemidanaan sesuai dengan perkembangan teori – teori, dengan munculnya berbagai aliran di dalam hukum pidana yang mendasari tentang tujuan pemidanaan Siswanto 2007:43, diantaranya sebagai berikut : a. Teori Absolut Retributif Retributism Dalam teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Menurut Andi Hamzah 1993:26 dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia menerangkan mengenai pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Sehingga dalam teori absolut atau teori pembalasan, pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, dengan berorientasi untuk memperbaiki pelakupenjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur – unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan manfaat dari penjatuhan pidana. Menurut Kant dalam Muladi 2008:49 menyatakan bahwa bagi penganut pandangan ini, maka pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang rusak oleh kejahatan, keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan dan perbuatan baik. Adapun ciri umum tentang teori absolut retributif pembalasan menurut Rasdi 2004: 34 adalah sebagai berikut : 1. Tujuan pidana adalah semata – mata untuk sebuah pembalasan; 2. Pembalasan adalah tujuan utama, dan didalamnya mengandung sarana lain, misal untuk kesejahteraan manusia, dll; 3. Kesalahan merupakan satu- satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku pembuat; 5. Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan murni, dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik memasyarakatkan kembali si pelaku pembuat. b. Teori Relatif Teleologis Teleoligical Theory Dalam teori relatif, memidana seseorang bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Karena pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andanaes dalam bukunya Muladi 2008:25 menganggap teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat the theory of social defence ”. Maksud dari teori ini lebih mengarah kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan yang telah dilakukan, tidak terulang kembali preventif. Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya menjadikan sebagai orang yang lebih baik. Mereka yang disebut sebagai utilitarians merupakan penganut pandangan teleologis lebih baik, mereka menyatakan bahwa seorang subyek moral seharusnya memilih, sehingga perbuatannya diantara alternatif – alternatif yang mungkin dilakukan mempunyai kemanfaatan maksimum Muladi 2008:50-51. Menurut Bentham 1972:13 menyatakan bahwa pidana dapat meniadakan kejahatan yang lebih besar bilamana melalui bekerjanya isolasi, reformasi dan pencegahan, kerugian dan ketidakmampuan yang diciptakan oleh kejahatan dapat dikurangi. Adapun ciri umum dari teori relatif teleologis menurut Andi Hamzah dan Sri Rahayu 1983: 24-28 adalah sebagai berikut : 1. Tujuan pidana adalah sebuah pencegahan preventif; 2. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; 3. Hanya pelanggaran hukum yang dapt dipersalahkan kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat adanya pidana; 4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah adanya kejahatan; 5. Pidana melihat kedepan, pidana dapat mengandung pencegahan perbuatan kejahatan. c. Teori Gabungan Retributif teleologis teleological retributivist Dalam teori gabungan ini tujuan pemidanaan bersifat plural umum, karena telah menggabungkan prinsip – prinsip teleologis prinsip- prinsip utilitarian dan prinsip retributivist didalam satu kesatuan sehingga seringkali pandangan ini disebut aliran integrative. Sehingga gabungan ini dimaksudkan atas tujuan tertentu, pembalasan dan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus : “retribution” dan yang bersifat “utilitarian” misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang semuanya dilihat sebagai sasaran – sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan Muladi 2008:52. Berdasarkan hal tersebut, menurut Joko Prakoso dan Nurwachid 1984: 24 maka teori gabungan dibedakan dalam 3 tiga aliran, yaitu : 1. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum; 2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat; 3. Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dengan perlindungan kepentingan masyarakat. Menurut Stanley E. Grupp dikutip oleh Muladi 2008:52 dalam menanggapi perkembangan teori tujuan pemidanaan menyatakan bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada : 1. Anggapan – anggapan seseorang terhadap hakekat manusia; 2. Informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat; 3. Macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin dicapai; 4. Penilaian terhadap persyaratan – persyaratan untuk menerapkan teori tertentu dan kemungkinan – kemungkinan yang benar – benar dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan – persyaratan tersebut. Tujuan pemidanaan yang diterangkan didalam Konsep KUHP Nasional tahun 2012 terdapat didalam Pasal 54 ayat 1 menjelaskan bahwa pemidanaan bertujuan : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Menurut Muladi 2008: 229 menyatakan bahwa pidana bersyarat dalam kaitannya tujuan pemidanaan, maka tujuan yang paling positif yakni perbaikan terpidana merupakan tujuan yang paling penting sehingga diadakannya syarat – syarat khusus dan pengawasan khusus merupakan hal yang mutlak perlu dipertahankan. Hal ini penting untuk menjadikan lembaga pidana bersyarat berdaya guna dan tidak menimbulkan kesan merupakan pemberian kemurahan hati.

2.4 Teori Tujuan Pemidanaan yang Integratif Kemanusiaan

Dokumen yang terkait

Analisis Penilaian Hakim Atas Peranan Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan Dan Pembinaan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Di BAPAS Klas I Medan)

0 20 115

Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Balai Pemasyarakatan Klas I Medan)

0 22 135

Pelaksanaan Pengawasan Dan Pembinaan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Medan Dan...

0 27 5

PERAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung)

0 3 67

PENDAHULUAN KENDALA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I YOGYAKARTA DALAM MENJALANKAN PEMBIMBINGAN TERHADAP KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MEMPEROLEH PEMBEBASAN BERSYARAT.

0 3 10

PENUTUP KENDALA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I YOGYAKARTA DALAM MENJALANKAN PEMBIMBINGAN TERHADAP KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MEMPEROLEH PEMBEBASAN BERSYARAT.

0 2 5

PENDAHULUAN PEMBIMBINGAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI BALAI PEMASYARAKATAN KELAS I YOGYAKARTA.

0 4 16

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. (Studi Kasus di Balai Pemasyarakatan Klas I Padang).

0 4 6

Efektivitas Pembebasan Bersyarat Dalam Pembimbingan Klien Pemasyarakatan (Studi di Balai Pemasyarakatan Klas 1 Semarang).

0 0 2

BAB II PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN BAPAS (Balai Pemasyarakatan) KELAS I MEDAN. A. Pembebasan Bersyarat - Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

0 0 46