Analisis diksi pada bab nikah buku terjemahan kitab fat al-qarib

(1)

Disusun oleh: Novitasari Rahayu

106024000942

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

2

Disusun oleh: Novitasari Rahayu

106024000942

Dibawah Bimbingan

Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum 197912292005011004

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

4

Nama : Novitasari Rahayu

NIM : 106024000942

Jurusan : Tarjamah

Fakultas : Adab dan Humaniora Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 03 Nopember 2011 Penulis


(5)

5 Nikah Buku Terjemahan Kitab Fath al-Qarib. Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui model terjemahan yang digunakan penerjemah kitab Fath al-Qarib, dan (2) mengetahui ketepatan penerjemah memilih diksi yang sesuai dengan Bahasa Sumbernya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan mengumpulkan berbagai data dari beberapa literatur yang berhubungan erat dengan masalah yang diteliti. Sedangkan penelitian ini difokuskan hanya pada penggunaan kata bersinonim, penggunaan kata umum dan khusus, penggunaan kata abstrak dan konkrit, analisis ketepatan pilihan kata dan analisis kesesuaian pilihan kata. Penelitian ini juga hanya dibatasi pada bab Nikah saja yaitu pada buku terjemahan kitab Fath al-Qarib karya Imron Abu Amar.

Temuan penelitian sebagai berikut. adanya penggunaan kata yang tidak baku, adanya ketidaktepatan diksi, adanya penggunaan istilah asing, dan adanya kalimat yang tidak lengkap.

Sehingga penulius menyimpulkan bahwa diksi yang digunakan oleh penerjemah belum umum dipergunakan dimasyarakat Indonesia. Sebagian terjemahannya masih mengikuti bahasa sumbernya.


(6)

6 semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan segala nikmat iman dan Islam, karena atas kehendak dan kuasanyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Diksi Pada Bab Nikah

Buku Terjemahan Kitab Fath al-Qarib”. Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada kekasih Allah Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dalam aktivitas kehidupan, serta kepada para keluarga dan sahabatnya.

Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.

Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk segenap pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adan dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Akhmad Syaehudin selaku Ketua Jurusan Tarjamah Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

7 sebagai dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, memberikan waktu luang, tenaga dan pikiran untuk memberikan ilmu dan bimbingan serta pengarahan kepada penulis selama penyusunan skripsi hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Drs. H. Ikhwan Azizi, M.Ag selaku Penguji skripsi ini, yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis.

6. Seluruh Dosen Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.

7. Pimpinan dan seluruh Staf Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas berupa sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi penulis.

8. Ayahku Nimung Miang dan Ibuku Tati Haryati. Terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian, pengertian dan motivasinya baik moril maupun materil yang sangat berperan dalam hidup, semoga Bapak dan Mama selalu diberikan kesehatan, kebahagian dan umur panjang sehingga ananda diberikan kesempatan untuk menunjukkan besarnya cinta ananda kepada kalian. Kepada adikku, Nurabdillah, Ayah Aang dan Mama Aang, Papa Mama Fahira, Kakekku Bapak Miang dan Nenekku Ibu Murni, dan


(8)

8 9. Untuk Bidadari kecilku mutiara Hatiku Syafa Humaira, yang selalu menghibur Bunda dan memberikan semangat baru dalam menjalani hari-hari yang paling berat, dan untuk seseorang yang sangat berarti dalam hidup Penulis My Beh, yang telah membangunkan penulis dari keterpurukan dan selalu memberikan Motivasi, dukungan, kasih sayang yang tiada habisnya. 10. Teman-teman seangkatan Jurusan Tarjamah tetehku teman terbaikku Suti

Indrawati terima kasih atas segalanya, Melly, Wulan, Iyum, Nubzah, Fufu, yuyun, dan yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kerjasamanya selama 4 tahun lebih ini kita saling mengenal, berbagi dan menjalin persahabatan bahkan persauadaraan.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan,

penulis hanya dapat memanjatkan Do‟a kepada Allah SWT semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca semua, Amin.

Jakarta, 08 Desember 2011 Penulis,


(9)

9 Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ا T

B ظ Z

T ع „

ث Ts Gh

ج J ف F

H ق Q

خ Kh K

د D ل L

Dz م M

ر R ن N

Z و W

س S ة H

ش Sy ء `

ص S ي Y

ض D

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


(10)

10

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---ي ai a dan i

---و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي/ا---- â a dengan topi di atas

----ي î i dengan topi di atas

---و û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah

itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

syamsiyyah. Misalnya, kata ةرو لا tidak ditulis ad-darûrah melainkan


(11)

11 huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na‟t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ي ط Tarîqah

2 يماسإا م لا al-jâmi’ah al-islâmiyah

3 دوجولا ة حو wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf


(12)

x

LEMBAR PERNYATAAN ... II ABSTRAK ... III KATA PENGANTAR ... IV PEDOMAN TRANSLITERASI ... VII DAFTAR ISI... X

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II KERANGKA TEORI ... 9

A. Penerjemahan ... 9

1. Definisi Penerjemahan ... 9

2. Syarat dan Etika Penerjemahan ... 10

3. Proses Penerjemahan ... 12

4. Langkah Penerjemahan ... 15

5. Metode Penerjemahan ... 16

a. Penerjemahan Kata Demi Kata ... 16

b. Penerjemahan Harfiyah ... 17

c. Penerjemahan Setia ... 18

d. Penerjemahan Semantis ... 19

e. Penerjemahan Bebas ... 19

f. Penerjemahan Adaftasi ... 20


(13)

xi

1. Definisi Diksi ... 22

2. Masakah Pilihan Kata Dalam Penerjemahan ... 23

3. Piranti Diksi ... 24

a. Penggunaan Kata Bersinonim ... 24

b. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 25

c. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkrit ... 26

4. Ketepatan Pilihan Kata ... 27

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata ... 27

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ... 28

5. Kesesuaian Pilihan Kata ... 30

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata ... 30

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata ... 31

BAB III SEPUTAR FATH AL-QARIB, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH ... 33

a. Seputar Fath al-Qarib ... 33

b. Biografi Penulis Kitab Taqrib ... 34

c. Biografi Penulis Kitab Fath al-Qarib ... 35

d. Biografi Penerjemah ... 36

BAB IV ANALISIS DIKSI DALAM TERJEMAHAN KITAB FATH AL-QARIB ... 37

A. Analisis Piranti Diksi ... 37

1. Penggunaan Kata Bersinonim ... 37

2. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 38

3. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkrit... 40

B. Analisis Ketepatan Pilihan Kata ... 40

C. Analisis Kesesuaian Pilihan Kata ... 44

BAB V PENUTUP ... 48

A. Kesimpulan ... 48


(14)

1

A. Latar Belakang

Sebagian besar aktivitas penerjemahan terhadap al-qur‟an dan kitab-kitab berbahasa arab lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baik itu di pondok-pondok pesantren, majelis ta‟lim, dan berbagai tempat pendidikan agama, masih mengutamakan penerjemahan kata perkata. Aktivitas ini pada umumnya terjadi di pesantren-pesantren salaf, tentunya yang diterjemahkan adalah kitab-kitab Fiqh, Tasawuf, Tauhid, Tarikh, dan lain-lain.

Contoh kecilnya seperti meletakan fi‟l dan fa‟l, kebanyakan kata fi‟l diletakan sebagai subjek sedangkan fa‟il sebagai predikat. Sebagaimana kitab

fath al-Qarib yang diterjemahkan oleh Drs. Imron Abu Amar, beliau menerjemahkan kitab ini bukan dengan cara mengalihkan pesan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi mengalihkan bahasa satu ke bahasa lain dengan kata perkata, sehingga dengan cara itu menjadikan para santri melupakan struktur, susunan kata, dan penggunaan kalimat bahasa indonesia dengan baik.

Pada dasarnya, kitab-kitab klasik atau kitab kuning, banyak mempunyai ciri khusus, misalnya saja dalam penulisannya. Penulisan kitab kuning tidak mengenal tanda baca seperti koma, titik, tanda tanya, tanda seru, dan sebagainya. Kesan bahasanyapun berat dan tanpa harakat. Begitu juga dalam


(15)

formatnya yang terdiri dari 2 bagian yaitu matan dan syarah. Matan selalu diletakan dibagian pinngir sebelah kanan dan kiri, sedangkan syarah

(penjelasan) selalu diletakan di bagian tengah setiap halaman. Pergeseran sub topik dalam kitab kuning tidak menggunakan alinea baru, tetapi dengan pasal-pasal atau kode.

Dewasa ini, kitab-kitab klasik seperti kitab fiqh yang telah diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia telah banyak beredar, dan tidak sedikit dari kitab-kitab itu yang dicetak ulang beberapa kali, seperti kitab-kitab Fiqh as-Sunah karya Sayyid Sabiq yang sangat terkenal, hal ini menandakan bahwa karya-karya terjemahan sangat diminati dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Pada proses penerjemahan, kita sering menemui beberapa kesulitan dalam mengartikan kata dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Pada dasarnya, penerjemahan adalah proses linguistik yang saripatinya terangkum dalam upaya mencari padanan kata satu bahasa dengan kata-kata pada bahasa lain. Usaha menerjemahkan itu pada hakekatnya mengandung makna mereproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanannya yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa penerima, baik dari urusan arti maupun dari urusan langgam atau gaya.1 Rochayah Machali dalam bukunya berpendapat bahwa penerjemahan itu merupakan suatu tindakan komunikasi. Kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa. Dengan demikian, penerjemahan merupakan kegiatan yang melibatkan bahasa, dan dalam pembahasannya tidak dapat mengabaikan

1


(16)

pemahaman tentang konsep-konsep kebahasaan itu sendiri.2

Untuk menajamkan kepekaan dalam menyelami bahasa sumber (BSu) dan kepiawaian mengalihkannya ke dalam bahasa sasaran (BSa), seorang penerjemah harus memiliki pengetahuan terkait dengan unsur Linguistik dan unsur Non-Linguistik dalam penerjemahan. Unsur linguistik berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam penerjemahan, sementara unsur non-lingustik berkaitan dengan aspek di luar bahasa yang diperlukan pada saat menerjemahkan. Unsur linguistik dalam penerjemahan di antaranya adalah makna kamus, makna morfologis, makna sintaksis, dan makna retoris. 3

Permasalahannya adalah ketika penerjemah menemukan teks yang sulit mencarikan padanan kata yang tepat untuk diterjemahkan. Pemilihan kata dalam linguistik disebut diksi. Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).4 Menurut Groys Keraf, ” pilihan kata adalah atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosa kata bahasa itu.

Diksi bisa diartikan pilihan kata pengarang untuk menggambarkan cerita mereka. Diksi bukan hanya pilih memilih kata. Istilah diksi bukan hanya

2

Rochayah , Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 17

3

Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-„An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Tangerang: Penerbit Dikara, 2009), cet. 3, h. 17

4

Alwi dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed. 3, cet. Ke-3, h. 264


(17)

digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa. Banyak penerjemah salah memilih diksi seperti dalam hal memadankan sinonim, kesesuaian makna, bahkan ketepatannya.

Contohnya seperti pada kalimat berikut:

ا سا ش ا غ

Diartikan:

“Adapun lafadz „Talak‟ menurut arti bahasa ialah „melepaskan tali‟. Sedangkan menurut pengertian syarak ialah nama bagi suatu pelepasan pernikahan”.

Terjemahan kata „lafadz‟ tidak tepat, karena terlalu menekankan pada

Bsu, padahal kata „lafadz‟ bisa diganti dengan „kata‟. Kemudian kata „menurut pengertian syara‟, menurut penulis juga tidak sesuai, dalam kamus al-Munawwir kata

ش

berarti „peraturan‟, „undang

-

undang‟, dan

„hukum‟.

kemudian kalimat berikutnya:

ا ا ا غ

ا ص ف

. غ

”Talak syarikh yaitu talak yang tidak mengandung selain talak itu sendiri. Talak kinayah yaitu talak yang mengandung pula kepada selain talak”.

Bila dilihat dari bahsa sumbernya, terjemahan di atas memang sudah sesuai, tetapi bila dipahami dengan bahasa sasarannya akan mejadi sulit dipahami.


(18)

Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemakaian kata,

tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih sudah dapat diterima.

Sebuah kata yang tepat untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu

dapat diterima oleh para publik atau orang yang kita ajak berbicara.

Masyarakat yang diikat oleh berbagai norma, menghendaki pula agar setiap

kata yang digunakan itu cocok atau serasi dengan norma-norma masyarakat

dan sesuai dengan sotuasi yang dihadapi.5

Beranjak dari masalah di atas, penulis merasa perlu mengangkat kajian

di atas sebagai analisis dalam penelitian kali ini. Dengan judul: ”ANALISIS DIKSI PADA BAB NIKAH BUKU TERJEMAHAN FATH AL-QARIB

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, guna mempermudah proses penelitian, penulis

akan hanya membatasi pada Bab Nikah saja karena mengingat sangat

banyaknya bab dalam kitab Fath al-Qarib. Dengan melihat pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan sebagai berikut:

1. Model terjemahan apa yang digunakan oleh penerjemah kitab Fath al-Qarib?

2. Apakah pemilihan diksi yang dilakukan penerjemah ini sudah efektif

dalam menyampaikan pesan bahasa sumber?

5


(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah yang penulis kemukakan, maka yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetaui bagaimana para penerjemah terdahulu menerjemahkan kitab-kitab klasik.

Tujuan khususnya adalah:

1. Mengetahui model terjemahan yang digunakan penerjemah kitab Fath al-Qarib.

2. Mengetahui ketepatan penerjemah memilih diksi yang sesuai dengan Bahasa Sumbernya.

Manfaat dari hasil penelitian ini, bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengalaman khususnya dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik serta teks-teks lain. Sedangkan bagi jurusan Tarjamah, agar penelitian ini menjadi bahan pertimbangan bagi para peneliti berikutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang penulis teliti, ada beberapa skripsi yang sudah meneliti tentang judul ini di antaranya, pada tahun 2004, oleh Euis Maemunah dengan judul analisis diksi pada bab zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, kemudian Khairul Fajri (2006), dengan judul Analisis Diksi Pada Bab Haji Buku Terjemahan Fath al-Qarib. Muhammad Hotib (2006) menganalisis diksi pada bab Riba terjemahan buku Bulugh al-Maram”versi A. Hasan”, Rachmat Joeni

Akbar (2006) menganalisis diksi terhadap Alquran terjemahan Departemen Agama surat Al-Waqi‟ah, Elang Satya Nagara (2007) menganalisis diksi pada


(20)

bab puasa buku terjemehan Fath al-Qarib, Ana Saraswati (2008) diksi dalam terjemahan Studi Kritik Terjemahan Ar-Risalah al-Qusyairiyah Fi Ilmi Al-Tasawuf, dan Asep Saepullah (2010) Ketepatan diksi dalam terjemahan kitab

Mukhtasar Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan penulis adalah metode kualitatif dan analisis deskriptif, dengan mengumpulkan berbagai data dari berbagai literatur yang berhubungan erat dengan masalah yang akan diteliti. Serta berusaha untuk mengungkapkan masalah dan menggambarkan tentang penerjemahan, serta menganalisisnya dalam kitab Fath al-Qarib.

Dalam penelitian ini penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder seperti buku-buku tentang pembentukan kata, tentang penerjemahan, linguistik, internet, dan lain-lain.

Adapun teknis penulisan yang digunakan dalam penelitian ini, berpedoman pada buku ‟Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)‟ yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mensistematikan penelitian ini, langkah yang penulis tempuh adalah sebagai berikut:

Pada bab pertama, pendahuluan yang mencakup; latar belakang masalah yaitu berisi tentang alasan penulis mengambil judul ANALISIS DIKSI PADA


(21)

BAB NIKAH BUKU TERJEMAHAN FATH AL_QARIB, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua, penulis meletakan kerangka teori yang berisi seputar terjemahan, definisi terjemahan, proses penerjemahan, langkah penerjemahan, metode penerjemahan. Serta gambaran umum tentang diksi, definisi diksi, masalah pilihan kata dalam penerjemahan, piranti diksi, ketepatan dan kesesuaian pilihan kata yang akan menjadi landasan teori bagi penelitian.

Pada bab ketiga, penulis menguraikan seputar kitab Fath al-Qarib, biografi penulis dan penerjemah, serta karya-karyanya..

Pada bab empat, penulis menempatkan hasil penelitian yaitu tentang analisis peranti-peranti diksi, analisis ketepatan pilihan kata, dan analisis kesuaian pilihan kata pada penerjemahan kitab Fath al-Qarib.

Pada bab kelima, yaitu bab terakhir yang mencakup tentang penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran saran.


(22)

9

A. Penerjemahan

1. Difinisi Penerjemahan

Penerjemahan adalah pengalihan makna dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Menurut Larson (1984:3), pengalihan ini dilakukan dari bentuk bahasa pertama ke dalam bentuk bahasa kedua melalui struktur semantik yang dialihkan dan yang harus dipertahankan adalah makna, sementara bentuk boleh berubah.

Dalam pengertian yang lebih luas, terjemahan dapat diartikan semua kegiatan manusia dalam mengalihkan seperangkat informasi atau pesan (massage) baik verbal maupun non-verbal dari informasi sumber (source information) ke dalam informasi sasaran (target information). Seorang teknisi yang sedang memesan instrumen tertentu, seperti apa yang tertera di dalam skema pemasanganya adalah salah satu contoh kegiatan atau proses penerjemahan. Seseorang yang sedang merumuskan gagasan-gagasan yang ada pada benaknya ke dalam bahasa Matematika juga adalah merupakan contoh penerjemahan. Dengan kata lain makna penerjemahan dalam arti yang lebih luas dapat diartikan sebagai kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non-verbal, dari satu bentuk ke dalam bentuk yang lain. Sedangkan dalam pengertian dan cakupan yang lebih sempit, terjemah (translation) biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pasan yang terdapat di dalam teks bahasa pertama


(23)

atau bahasa sumber (source laguage) dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language)6.4

Usaha menerjemahkan itu pada hakekatnya mengandung makna mereproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanannya yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa penerima, baik dari urusan arti maupun dari urusan langgam atau gaya7.

Banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjemahan. Secara umum, definisi itu mengerucut pada definisi bahwa penerjemahan

adalah “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber {Bsu}; source language [SL]; al-lughah al-mutarjam minha) menjadi ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya dalam bahasa lain (bahasa sasaran [Bsa]; target language {TL}; al-lughah al-mutarjam ilaiha).” Jadi, secara singkat dapat

dikatakan bahwa penerjemahan adalah pemindahan pesan teks BSu ke BSa, bukan pemindahan strutur BSu ke BSa.

2. Syarat dan Etika Penerjemah

Untuk menjadi penerjemah yang baik, menurut Moch. Syarif Hidayatullah dalam bukunya Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, seorang penerjemah harus membekali diri dengan syarat-syarat berikut: a. Penerjemah harus menguasai BSa dan BSu. Penguasaan BSa dan BSu

di mulai dari perbendaharaan kosa kata, pola pembentuk kata, dan

6

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar Ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung : mandar maju, 1994), cet-1, h 8

7


(24)

aspek pemaknaan pada masing-masing bahasa.penerjemah yang mengandalkan kemampuannya dalam BSu, tanpa mendalami BSa, akan menghasilkan karya terjemahan yang terasa asing.

b. Penerjemah harus memahami dengan baik isi teks yang akan diterjemahkan.

c. Penerjemah harus mampu mengalihkan idea tau pesan yang terdapat pada BSu.

d. Penerjemah harus terbiasa teliti dan cermat.

e. Penerjemah harus mempunyai pengalaman dalam menafsirkan sesuatu. f. Penerjemah harus terbiasa berkomunikasi dengan penasehat ahli. g. Penerjemah harus benar-benar orang yang menguasai topic yang

hendak diterjemahkan.

h. Penerjemah harus mampu menampilkan teks dalam BSa seperti teks BSu.

i. Penerjemah harus mengetahui dengan baik karakteristik penulis.8 Selain syarat-syarat di atas, penerjemah juga harus memahami etika teks tertulis, berikut beberapa etika tersebut:

a. Tidak menerima naskah teks sumber yang tidak dikuasainya.

b. Menginformasikan hal-hal yang mungkin nengundang pro-kontra atau hal-hal yang tidak secara pasti diketahuinya kepada penyunting.

c. Memiliki pikiran terbuka terhadap pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat umum.

8


(25)

d. Tidak memenangkan pendapatnya sendiri, golongan, atau penulis yang

disenangi.

e. Merahasiakan informasi dalam naskah agar tidak disadap orang.

f. Disiplin dan tepat waktu.

g. Mengelola naskah hingga yang siap disunting oleh penyunting,

minimal dari segi bahasa.

h. Tidak mengatasnamakan hasil terjemahan orang lain sebagai hasil

penerjemah sendiri.

i. Harus bertanggung jawab secara moral dan akademik atas hasil

terjemahannya.

j. Dituntut untuk terus meningkatkan kualitas keilmuan, keahlian, dan

wawasan, sehingga hasil terjemahannya bisa dipertanggungjawabkan.

k. Harus berorientasi terhadap kualitas, bukan kuantitas.

l. Berusaha mendapat izin atas naskah yang akan diterjemahkan dari

penerbit naskah teks sumber.9

3. Proses Penerjemahan

Untuk menghasilkan pesan teks Bsa yang sesuai dengan pesan yang

terdapat pada teks Bsu, seorang penerjemah harus memperhatikan proses

penerjemahan yang dirumuskan dalam bagan berikut :

9


(26)

Bagan 1. Proses penerjemahan10

Proses penerjemahan yang harus dilalui setidaknya ada 11 proses, mulai dari struktur luar Bsu, sehingga menjadi struktur luar bahasa Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Struktur luar Bsu berarti teks masih berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apa pun.

b. Pemahaman leksikal Tsu mengharuskan penerjemah memiliki kepekaan leksikal, sehingga seorang penerjemah bisa memahami makna kosakata yang terlihat pada Tsu.

c. Pemahaman morfologis Tsu mengharuskan penerjemah memahami bentuk morfologis kosakata Tsu, sehingga penerjemah mengerti perubahan bentuk kosakata pada Tsu yang berimbas pada perubahan makna.

10

Moch., Syarif, Hidayatullah, Tarjim Al-An:Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia , (Tangerang: Penerbit Dikara, 2009) cet.3, h. 13


(27)

d. Pemahaman sintaksis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pola kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa.

e. Pemahaman semantik Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemaknaan yang berlaku pada Tsu.

f. Pemahaman pragmatis Tsu mengharuskan penerjemahan memahami pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu. g. Pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi trasportasi pada diri penerjemah

untuk kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu ke dalam pemadanan Tsa.

h. Pemadanan leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang tepat untuk tiap kata yang ditemuinya pada Tsu.

i. Pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki pengetahuan soal padanan yang tepat pada suatu kata setelah mengalami perubahan bentuk.

j. Pemadanan sintaksis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki kepekaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga dapat memilih padanan yang akurat pada setiap kalimat yang ada dihadapannya.

k. Pemadanan semantis Tsa berhubungan dengan pemadanan sintaksis Tsa.

l. Pemadanan pragmatis Tsa merupakan hasil dari pemahaman kontekstual Tsu, sehingga penerjemah dapat menerjemahkan dengan


(28)

tepat kalimat dalan konteks tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama.

m. Ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa melahirkan struktur luar Tsa yang layak dikonsumsi.

4. Langkah dalam Penerjemahan

Untuk mendapatkan pemahaman, inplikatur, dan pemadanan yang tepat, penerjemah dapat mengikuti langkah dalam penerjemahan yang terlihat dalam bagan berikut:

Bagan 2. Langkah dalam penerjemahan

Bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut

a. Pendalaman adalah menjajaki bahan yang akan diterjemahkan dengan membacanya secara berulang-ulang, sesuai kebutuhan.

b. Penganalisisan adalah mengurai satuan-satuan kalimat dan unsur-unsur dalam bagian teks yang lebih besar.

c. Pemahaman adalah memahami isi dan bentuk dalam bentuk bahasa sumber.


(29)

d. Pendiksian adalah mencari istilah dan ungkapan dalam Bsa yang tepat, cermat, dan selaras.

e. Pengolahan adalah menyusun komponen-komponen makna yang selaras dengan norma-norma dalam bahasa sasaran.

f. Pengecekan adalah memeriksa kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada penulisan kata, penggunaan tanda baca, dan struktur kalimatnya.

g. Pendiskusian berarti mendiskusikan hasil penerjemahannya, menyangkut isi maupun menyakut bahasanya, pada ahli Tsu dan penerjemah senior.

5. Metode Penerjemahan

Dalam penerjemahan terdapat jenis-jenis penerjemahan yang memiliki perbedaan antara jenis penerjemahan yang satu dengan jenis penerjemahan yang lain. diantaranya, yaitu :

a. Penerjemahan kata demi kata

Jenis penerjemahan semacam ini merupakan model penerjemahan yang paling sederhana yang dititikberatkan pada kata demi kata. Terjemahan ini biasa juga dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya dalam penerjemahan puisi atau dalam penerjemahan untuk usaha-usaha mempertunjukan perbedaan bahasa sumber dengan bahasa sasaran dalam proses belajar bahasa.11

Contohnya:

11

Suhendra yusuf. Teori Terjemah, Pengantar Ke arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), cet-1, h.28


(30)

ثاث

Artinya: Dan di sisiku tiga buku-buku.12

Umumnya terjemahan kata demi kata ini amat bermanfaat dalam beberapa hal yang pokok antara lain: bahasa aslinya tetap mendapat perhatian. Karena ragam ini berfungsi mempertahankan kemurnian produk terjemahan sesuai dengan naskah aslinya, cocok untuk hal-hal tertentu saja, seperti naskah (Suci) dan sesuai untuk naskah yang pendek.

Terdapat kelemahan dalam terjemahan jenis ini antara lain seperti makna yang dilihat dari konteksnya sering tidak tepat, terutama terhadap naskah kalimat yang lebih panjang dan kompleks. Terkadang agar hasil terjemahannya dimengerti, biasanya diberi lagi catatan atau keterangan tambahan.

b. Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan harfiah (literal translation) terletak antara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas. Penerjemahan harfiah pada awalnya dilakukan seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata dalam kalimat terjemahannya dengan bahasa sasaran. Savory (1968) menyebutkan terjemahan harfiah sebagai faithful translation. Hal ini

12


(31)

didasarkan bahwa penerjemah hendaknya berlaku setia kepada naskah aslinya.13

Kelebihan penerjemahan semacam ini terletak pada bentuk maupun struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Sebaliknya kelemahan penerjemahan semacam ini terletak pada bentuk penerjemahan yang terlalu dogmatis sehingga menghasilkan produk terjemah yang kurang luwes ketika dibaca. Penuh kekakuan dan seperti dipaksakan.

Contoh :

ا

ا

ف

ا

Artinya: Mengunjungi Gubernur kebun binatang.14

c. Penerjemahan Setia

Penerjemahan setia biasanya lebih mereproduksi makna yang

kontekstual namun terkadang masih dibatasi dengan struktur

gramatikal kata tersebut. Kata-kata yang berisikan budaya biasanya

dialihbahasakan tetapi menyimpang dari segi tata bahasa dan diksi.

Metode ini masih berpegangteguh pada maksud dan tujuan teks

sumber, sehingga hasilnyapun terasa agak kaku dan asing. Metode ini

jugatidak mementingkan kaidah teks sasaran pada saat pertama kali

pengalihan.

13

Suhendra Yusuf, h.56-57

14Rofi‟i,

Dalil Fi al-Tarjamah: Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia, (Jakarta: Persada Kemala), h.1


(32)

Contohnya:

ا

Artinya: Dia laki-laki dermawan karena banyak abunya.15

d. Penerjemahan Semantis

Penerjemahan semantik yaitu penerjemahan dengan memperhatikan kesepadanan makna serta kenetralan redaksi sehingga tidak tampak seperti terjemah.

Contoh:

اا ف

Artinya: Persatuan puncak kekuatan

Kelebihan penerjemahan semantik terletak pada kebebasan penerjemah memodifikasi hasil terjemahannya, tetapi tetap tidak menghilangkan makna aslinya. Sedangkan kelemahannya adalah penerjemahan jenis ini kadang juga bisa membuat hasil terjemahannya melenceng jauh dari makna aslinya.

e. Penerjemahan Bebas

Penerjemahan bebas merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks dalam Bsu. Biasanya metode ini berbentuk parafrasa yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini biasanya dipakai dikalangan media massa. Pada umumnya terjemahan semacam ini lebih berorientasi dan memberikan penekanan pada bahasa sasaran.

15


(33)

Terjemah bebas semacam ini oleh Savory (1968) disebut pula sebagai : ( Idiomatic Translation).16 Kelebihan penerjemahan bebas terletak pada penerjemahan bebas menyampaikan semua pesan yang ada di dalam naskah bahasa sumbernya, sehingga segala daya dan kemampuan serta kreativitas penerjemahan benar-benar teruji, sedangkan kelemahannya terletak pada pembaca tidak bisa menikmati gaya penulis aslinya dan biasanya gaya terjemahannya adalah gaya penerjemahan itu sendiri.

Contoh:

جأ

ا

ا صأ

صأ

ا أ ف

Artinya: Harta sumber malapetaka.17

f. Penerjemahan Adaptasi

Metode penerjemahan adaptasi adalah metode yang paling bebas dan paling dekat dengan Bsa. Dengan tidak mengorbankan hal-hal penting dalam Tsu, seperti tema, karakter, atau alur, metode ini sering dipergunakan untik menerjemahkan drama, puisi, dan film. Dalam metode ini terjadi proses pengalihan antara budaya teks sumber ke budaya teks sasaran.

Contohnya:

ش

ا ث

ا

ا

16

Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan. (Ende-Flores-NTT : Nusa Indah, 1986), h.58

17


(34)

Artinya:

“Dia hidup jauh dari jangkauan, di atas gemericik air sungai yang

terdengar jernih”.18

g. Penerjemahan Idiomatis

Metode penerjemahan ini mereproduksi pesan dalam teks Bsu. Dalam prosesnya sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Banyak terjadi distorsi nuansa makna sehingga hasilnyapun akan terasa lebih hidup dan lebih luwes dibaca.

Contohnya:

ا ا

Artinya:

“Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.19

h. Penerjemahan Komunikatif

Metode penerjemahan yang terahir ini mereproduksi makna konstekstual yang sedemikian rupa. Aspek kebahasaan dan aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, serta dapat memberikan variasi penerjemahan yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip komunikasi.

Contohnya:

غ ث

ث

18

Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, (Tangerang : UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 4

19


(35)

Artinya:

“Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal

daging (awam).20

B. Diksi

1. Definisi Diksi

Bahasa merupakan system tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.21 Bahasa juga merupakan satu gejala sosial yang digunakan untuk berkomunikasi antar sesam manusia. Hal itu disebabkan karena manusia yang sejak lahir berusaha untuk dapat berkomunikasi dengan lingkungannya.

Bahasa terdiri dari beberapa tataran gramatikal, di antaranya kata, frase, klausa, dan kalimat. Kata merupakan tataran terkecil, sedangkan kalimat merupakan tataran terbesar. Dalam sebuah tulisan, kata merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Oleh karena itu, sejumlah kata dalam bahasa Indonesia harus dipahami dengan baik, agar pesan yang akan disampaikan mudah dimengerti. Dalam hal ini, diksilah yang berperan.

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary

(bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice

20

Ibid

21

Kushartanti, dkk., Pesona Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet. 2, h. 3


(36)

of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi itu membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.22

Berbicara tentang diksi berarti berbicara tentang pilihan kata. Gorys Keraf menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, Diksi mencakup pengertian kata-kata yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu ide, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata atau diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu, Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.23

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan

Dalam proses penerjemahan, seringkali seorang penerjemah menemui banyak kesulitan, karena penerjemah harus menyampaikan pesan yang terdpat dalam bahasa sumber (Bsu) secara tepat dan utuh ke dalam

22

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), Cet. Ke 1, h. 75

23

Gorys Keraf , Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Utama, 2006), Cet. Ke 16, h. 25


(37)

bahasa sasaran (Bsa), kegiatan ini juga tidak hanya sebatas itu saja, seorang penerjemah harus menguasai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kebahasaan.

Menerjemahkan bukan hanya mengalihkan bahasa saja, tetapi yang terpenting adalah pesan dan amanatnya tersampaikan kepada pembaca. Diksi atau pilihan kata dalam sebuah penerjemahan adalah suatu langkah awal bagi seorang penerjemah. Suatu kesalahan besar jika seseorang menganggap bahwa persoalan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari, karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar.24

3. Piranti Diksi

a. Penggunaan Kata Bersinonim

Kata sinonim berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu Onoma

yang berarti „nama‟ dan kata Syn yang berarti „dengan‟, secara harfiyah dapat diartikan “nama lain untuk benda yang sama”.25 Sinonim adalah dua kata atau lebih yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.26

Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya sama atau hampir sama dengan bentuk lain. Dalam bahasa rab biasa disebut muradif. Mungkin tidak ada dua kata dalam perbendaharaan suatu bahasa yang

24

Gorys Keraf, h. 23

25

J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1995), Cet. Ke-20, h. 132

26

E Zaenal Arifin, Cermat Berbahasa Indonesia, (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), Cet. Ke-3, h. 147


(38)

betul-betul sama maknanya sehingga dalam setiap kalimat mana pun kedua patah kata bersinonim itu selalu dapat bersubsituasi (saling menggantikan).27 Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama. Misalnya, kata asas bersinonim dengan kata dasar, pokok, dan prinsip. Dalam penggunaan kalimat, keempat kata tersebut tidaklah semuanya dapat saling menggantikan satu sama lain.28

b. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Perbedaan ruang lingkup acuan makna suatu kata terhadap kata lain, menyebabkan lahirnya istilah kata umum dan khusus. Makin luas ruang lingkup acuan makna sebuah kata, makin umum sifatnya. Makin sempit ruang lingkup acuan maknanya, makin khusus sifatnya. Dengan kata lain, kata umum memberikan gamabaran yang kurang jelas, sedangkan kata khusus memberikan gambaran yang jelas dan tepat. Karena itu untuk mengefektifkan penuturan lebih tepat, dipakai kata khusus dari pada kata-kata umum, misalnya:

Umum Khusus

1) Ikan Mas koki, Lele, Mujair, Arwana,

Bandeng, Patin, dsb.

2) Melihat Memandang (gunung/sawah/laut)

27

J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, (Jakarta: Gramedia,1989), Cet. Ke-2, h. 51

28

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), Cet. Ke-1, h. 10


(39)

Menonton (Film/Wayang/Drama) Menengok ( Orang sakit)

Menatap ( Muka/Gambar) Menyaksikan ( Pertandingan) Meninjau (Daerah-daerah)

3) Jatuh Roboh ( Rumah/Gedung)

Rebah (Pohon Pisang/badan) Longsor (Tanah)

4) Bunga Melati, mawar, anggrek, kamboja,

dsb.29

c. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

Dalam bahasa Indonesia, ada kata yang bersifat abstrak dan konkret. Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati. Kata abstrak lebih sulit difahami daripada kata konkret. Dalam hal menulis, kata-kata yang digunakan sangat bergantung pada jenis penulisan dan tujuan penulisan. Bila sebuah tulisan yang akan dideskripsikan adalah suatu fakta, maka yang lebih banyak digunakan adalah kata-kata konkret. Akan tetapi, jika yang dikemukakan adalah klasifikasi, maka yang banyak digunakan adalah kata-kata abstrak. Seringkali, suatu uraian dimulai dengan kata

29

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Stuktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 11


(40)

abstrak (konsep tertentu), kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menggunakan kata-kata konkret.

Contoh:

- Keadaan kesehatan anak-anak di desa sangat buruk.

- Banyak yang menderita malaria, radang paru-paru, cacingan, dan kekurangan gizi.30

4. Ketepatan Pilihan Kata

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata

Masalah penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok. Pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi.31 Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.kosa kata yang banyak juga akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya. Bila kita medengar seseorang menyebut kata roti, maka tidak ada seorang pun yang berpikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari unsur-unsur: tepung, air, ragi, dan mentega yang telah dipanggang. Semua orang

30

Ida Bagus Putrayasa, Kalmat Efektif ( Diksi, Struktur, dan Logika), ( Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 14-15

31

Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka utama,2006), cet. Ke-16, h. 87


(41)

berpikir kepada esensinya yang baru, yaitu sejenis makanan, entah itu disebut roti, bread, brot, brood, pain, pains, atau apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk (rangkaian huruf) yang kita baca akan langsung mengarahkan perhatian kita pada jenis makanan itu.

Oleh karena itu, kata dapat juga dikatakan sebagai sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir tentang sesuatu hal: dan makna sebuah kata pada dasarnya diperoleh karena persetujuan informal antara sekelompok orang untuk menyatakan hal atau barang tertentu melalui rangkaian bunyi tertentu. Dengan kata lain, kata adalah persetujuan atau konvensi umum tentang interrelasi antara sebuah kata dengan referensinya (barang atau hal yang diwakilinya).32

b. Persyaratan Ketepatan Kata

Ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasanyang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. oleh karena itu, setiap penulis atau pembicara harus berusaha sebaik mungkin memilih kata-kata untuk mencapai maksud tersebut.

Gorys Keraf memberikan beberapa butir persoalan tentang ketepatan pilihan kata:

1) Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus

32


(42)

menetapkan mana makna yang akan dipergunakan untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannya, ia harus memilih kata yang denotative, kalau ia menghendaki reaksiemosional tertentu, is harus memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu.

2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Seperti telah diuraikan di atas, kata-kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. Karena itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan.

3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham. Kata-kata yang mirip dalam tulisannya itu misalnya: bahwa

– bawah – bawa, karton – kartun, preposisi – propisisi, dan sebagainya.

4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selain tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan jumlah kata baru. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap orang boleh menciptakan kata baru seenaknya.


(43)

5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. Progress – progresif, kultur – cultural, dan sebagainya.

6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis, seperti: ingat akan bukan ingat terhadap, berharap, berharap akan, mengharapkan bukan mengharap akan,

berbahaya, berbahaya bagi, membahayakan sesuatu bukan

membahayakan bagi susuatu.

7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

8) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.

9) Memperlihatkan kelangsungan pilihan kata.33

5. Kesesuaian Pilihan Kata

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata

Persoalan kedua dalam pendayagunaan kata-kata adalah kecocokan atau kesesuaian. Perbedaan antara ketepatan dan kecocokan pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam kesempatan tetentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi lain. Perbedaan antara

33


(44)

ketepatan dan kesesuaian adalah: dalam persoalan ketepatan kata, kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak akan menimbulkan interpretasi yang berlainan antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca. Sedangkan dalam persoalan kecocokan atatu kesesuaian kata, kita mempersoalkan apakah pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak merusak suasana atau menyimpang perasaan orang yang hadir.34

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata

Sesuai dengan berkembangnya zaman, maka bahasapun ikut pula berkembang. Perubahan bahasa menjadi suatu masalah yang akan terjadi di semua bahasa yang ada di dunia. Di antaranya disebabkan karena penyerapan teknologi baruyangbelum dimiliki, tingkat kontak dengan bangsa-bansa lan di dunia, kekayaan budaya asli yang dimiliki penutur bahasanya dan lain-lain.

Beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau pembicara dalam menyesuaikan pilihan kata, diantaranya adalah:

1) Menghindarkan bahasa atau unsur substandard dalam suatu situasi yang formal.

2) Menggunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum, sebaiknyapenulis mempergunakan kata-kata popular.

34


(45)

3) Menghindarkan penggunaan jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Istilah jargon memiliki beberapa pengertian, di antaranya kata-kata teknis yang digunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atatu kelompok tertentu. Kata-kata ini seringkali merupakan kata sandi/kode rahasia untuk kalangan tertentu (dokter, militer, perkumpulan rahasia). Contohnya: sikon (situasi dan kondisi), prokon (pro dan kontra), dan lain-lain.35

4) Menghindarkan pemakaian kata-kata slang. Pada waktu-waktu tertentu, banyak terdengar slang, yaitu kata-kata tidak baku yang dibentuk secara khas sebagai cetusan keinginan terhadap sesuatu yang baru. Kata-kata ini bersifat sementara, bila sudah usang, hilang, atau menjadi kata-kata biasa seperti: asoy, mana tahan, bahenol, dan sebagainya. Mungkin hanya dikenal di daerah-daerah tertentu saja.36

5) Tidak mempergunakan kata percakapan.

6) Menghindarkan ungkapan-ungkapan yang sudah usang (idiom yang mati)

7) Menjauhkan kata-kata atau bahasa yang artificial.

35

Ida Bagus Putrayasa, Kalmat Efektif ( Diksi, Struktur, dan Logika), ( Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 16

36


(46)

33

PENERJEMAH

A. Seputar Fath al-Qarib

Kitab Fath al-Qarib ditulis sebagai penjelasan dari isi sebuah kitab yang bernama Taqrib dengan tujuan agar dapat berguna bagi orang yang mempelajari cabang dari syariat Islam dan ingin mendapatkan wasilah.

Sebenarnya sebutan nama kitab ini ada dua macam, yaitu: Taqrib dan

Ghayatul Ikhtisar. Fath al-Qarib adalah syarakh dari kitab Taqrib, sedangkan al-Qaulul Mukhtar adalah syarakh dari kitab Ghayatul Ikhtisar. Kitab ini merupakan kitab fiqh yang ringkas, dan padat isinya, hukum-hukum Islam

lengkap diterangkan di dalamnya yang cukup untuk bekal hidup bagi seorang

muslim, baik mengenai ibadah, muamalat, munakahat, dan lain-lain.

Dibandingkan dengan kitab yang lain, seperti kitab Fathul Muin, Sulamut Taufik, dan lainnya, kitab ini lebih ringkas dalam pembahasan serta tidak bertele-tele dalam mengelompokan suatu kasus. Memang suatu karangan

tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihan. Kekurangan kitab ini adalah

penjelsannya kurang konkret. Sedangkan kelebihannya adalah isisnya nudah


(47)

B. Biografi Penulis kitab Taqrib

Pengarang kitab Taqrib bernama Abu Syuza. Nama lengkapnya adalah

Abu Syuja‟ Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfihani. beliau lahir pada

tahun 433 H jauh sebelum eranya Imam Nawawi maupun Rofi‟i bahkan

sebelum imam Ghozali. Beliau mendapat karunia umur panjang hingga 160 tahun, namun demikian tak satu anggota badanpnun yang mengalami gangguan. Ketika beliau ditanyai karunia yang demikian beliau menjawab:

“Aku selalu berusaha menjaga anggota badanku sejak kecil tidak pernah aku

gunakan dalam kemaksiatan. Karenanya Allah menjaganya pada saat aku

memasuki usia senja.”

Pada tahun 447 menjabat sebagai qodhi di kota Ashfihan. Dengan jabatanya beliau menebarkan keadilan dan kebenaran ke seluruh pelosok negeri hingga dikenal luas. Kesibukan dan tugasnya sebagai Qodhi tidak melupakan semangat taqorrub dan ibadahnya pada Allah SWT. Setiap hari

sebelum keluar dari rumah beliau melakukan sholat dan membaca Alqur‟an.

Begitupun dalam melaksanakan tugas dengan teguh berpegang pada kebenaran tanpa khawatir akan celaan dan cercaan orang, tiada mengenal kompromi ketika harus menegakkan kebenaran sekalipun itu harus dibayar dengan mahal dan taruhan jabatan.

Keteguhan hati beliau dalam membela kebenaran didukung oleh kelapangan sisi ekonomi. Tentang kekayaan beliau ini ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau memiliki sepuluh orang karyawan yang husus mendapat tugas untuk membagikan zakat dan shodaqohnya pada para


(48)

mustahiqqin, dimana masing-masing membagikan seribu dua puluh lima dinar. Orang-orang sholeh dan para cendikia mendapat prioritas sehingga mereka merasakan betul kemurahan Abi Syuja‟.

Kekayaannya yang demikian tidak menjadikanya lalai dan hanyut dalam kenikmatan. Dan di akhir usianya, ia memilih hidup dalam kezuhudan (melepaskan diri dari urusan dunia dan mengabdikan diri semata-mata karena Allah. Seluruh hartanya dilepaskan, lalu ia pergi ke Madinah. Di Kota Nabi ini, kendati pernah menjabat sebagai menteri, Abu Syuja' tak malu melakukan kebiasaan orang-orang kecil. Ia menyapu dan menghamparkan tikar serta menyalakan lampu Masjid Nabawi. Kegiatan ini rutin dilakukannya setiap hari. Tugas ini dilakukannya, setelah salah seorang petugas Masjid Nabawi meninggal dunia. Rutinitasnya ini ia lakukan sampai ajal menjemputnya pada 593 Hijriah.37

C. Biografi Penulis Kitab Fath al-Qarib

Penulis kitab Fahtul Qarib adalah Ibnu Qasim Alghazi. Nama lengkap beliau adalah Assyaikh Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qasim Alghazi. Lahir pada tahun 859 H di kota Ghuzah yang menjadi bagian wilayah Syam. Beliau mengembara menuntut ilmu di Kairo Mesir tapatnya di Jami‟ah Al-Azhar. Kemudian mengembangkan ilmu dan mengajar di Al-Azhar hingga bermukim di sana dan melahirkan karya-karya seperti syarakh Fathul Qarib. Beliau wafat di Kairo pada tahun 918 H.38

37

www. Biografi-ulama-pengarang-kitab-kitab.html /diakses pada Tanggal 10-03-2011

38


(49)

D. Biografi Penerjemah

Drs. H. Imron Abu Amar lahir di kota Kudus, pada tanggal 12 Juni 1949, setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah Kudus, kemudian beliau melanjutkan studinya di IAIN Walisongo Semarang dan lulus pada tahun 1977.

Beliau pernah menimba ilmu agama di pondok pesantren Tahzibul Akhlak yang diasuh oleh ayahnya sendiri yaitu K.H. Abu Amar. Sekaligus juga bersekolah di Madrasah Qudsiyah dan kemudian melanjutkan di Madrasah Aliyah Kudus. Dalam kurun waktu tersebut beliau sempat mempelajari berbagai kitab salafi termasuk kitab Fath al-Qarib. Bahkan beberapa kali hatam mempelajarinya.39

Ada beberapa buku yang merupakan hasil terjemahannya, sampai saat ini ada 15 buku tang telah beredar dimasyarakat yang merupakan buku terjemahan kitab kuning dan yang bukan terjemahan dari sebuah kitab. diantaranya adalah:

1. Sejarah Ringkasan Kerajaan Demak 2. Kifayatul Akhyar

3. Sunan Gunung Jati 4. Fathul Qarib Jilid I 5. Fathul Qarib Jilid II

39

Elang Satya Nagara, Analisis Diksi Pada Bab Puasa Buku Terjemahan Fath Qarib, ( Jakarta: 2007)


(50)

37

A. Analisis Peranti-peranti Diksi 1. Penggunaan Kata Bersinonim

ش

ا

إ

ا

ا

ا

ءا

ا

40

غ ا ا

“Adapun syarat terjadinya pemaksaan adalah adanya kemampuan pemaksa untuk mewujudkan ancamannya kepada orang yang dipaksa dengan menggunakan tangan kekuasaan atau sebab kemenangannya”.41

Terjemahan kata bersinonim di atas terlihat tidak sesuai dengan

kamus. Kata

ا

dalam kamus al-Ashriberarti „kelayakan, kekuasaan',42 sedangkan kata غ dalam kamus al-Ashri berarti „penaklukan,

penguasaan‟.43 Dalam arti kedua kata tersebut, tidak ditemukan arti „sebab kemenangan‟ seperti yang diterjemahkan oleh penerjemah. Menurut penulis, kata

غ ا ا

lebih tepat diterjemahkan “kekuasaan” saja. Maka terjemahannya menjadi sebagai berikut:

“ Syarat terjadinya pemaksaan adalah adanya kemampuan pemaksa untuk

mewujudkan ancamannya kepada orang yang dipaksa dengan

menggunakan kekuasaan”.

40

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 65

41

Ibid, h. 65

42

Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), h.2038

43


(51)

ف ص ا

ا ف

ا

ا

ا س

ا ا اس

ا ا ض

“Mushannif menyebutkan keterangan tentang urutan pembayaran kafarat dhihar di dalam perkataannya, bahwa kafarat adalah membebaskan budak yang mukmin meskipun mengikuti islamnya salah satu dari ibu bapaknya, dan yang selamat dari beberapa cacat yang dapat membahayakan, mengganggu daya kerja, dan usahanya dengan bahaya yang tampak sekali”.44

Terjemahan kata bersinonim di atas kurang sesuai. Dalam kamus

al-Ashri, kata berarti „pekerjaan‟, „perbuatan‟.45 Kata dalam kamus al-Ashri berarti „memperoleh‟, „mendapat‟, „mengerjakan‟, „berbuat‟.46 Dalam arti kedua kata tersebut tidak ditemukan arti usaha seperti yang

diterjemahkan oleh penerjemah. Menurut penulis, kata dan

diterjemahkan „pekerjaan‟, sehingga terjemahannya menjadi:

“Dan selamat dari beberapa yang dapat membahayakan dan mengganggu

pekerjaannya dengan bahaya yang tampak sekali”. 2. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

ش

ش

ا ء ا

ا

غ

ا

أ

ا

ش ا

47

44

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 74

45

Atabik, h. 1322

46

Atabik, h. 1505

47


(52)

“…Kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati‟ atau jimak, dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syarak, yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat”.48

Kata

ا

diterjemahkan „kumpul‟. Kata „kumpul‟ mengandung kata

umum. Dalam KBBI, berarti „1. Bersama-sama; 2. Berhimpun; 3. Berkerumun.49 Menurut penulis, kata

ا

lebih baik diterjemahkan

„bersatu‟ karena kata bersatu mengandung kata khusus.

Kata

ش

diterjemahkan „mengandung‟. Kata mengandung itu

mengandung kata umum. Dalam KBBI berarti „ 1. Membawa sesuatu, 2.

Tercantum di dalamnya, 3. Hamil.50 Menurut penulis, kata

ش

itu lebih

baik diterjemahkan “terdapat”, sehingga terjemahannya menjadi:

“ Kata nikah menurut bahasa adalah bersatu, berhubungan seksual, dan akad. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad yang di dalamnya

terdapat beberapa rukun dan syarat”.

ا أ

ء

ا

“Sudah sampai masa iddah sang perempuan dari suami yang

mentalaknya”51

Kata

ء

ا

diterjemahkan 'sampai'. Kata sampai mengandung makna umum. Dalam KBBI berarti 1. Datang, 2. Berbatas, 3. Terlaksana,

48

Ibid

49

Alwi Hasan,dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 475

50

Alwi, Hasan, dkk., h. 385

51


(53)

4. Cukup, 5. Hingga, 6. Mencapai tujuan.52 Menurut penulis kata

ء

ا

lebih baik diterjemahkan „selesai‟. Seperti pada kalimat: “Sudah selesai masa iddah perempuan dari suami yang

mentalaknya”.

3. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

53

جا ا

ا ءا ا

ا

ش

“Arti nusyuz ialah sikap tinggi diri orang perempuan(istri) tidak bersedia mendatangi (mengerjakan) kebenaran yang wajib baginya.54

diri sendiri”.

B. Analisis Ketepatan Pilihan Kata

ا

ا

ء

ا

ا

أا ف ف

Nikah itu hukumnya sunah bagi orang yang sudah hajat(butuh) kepadanya sebab keinginan nafsunya kuat untuk jimak dan sudah tersedia biayanya, seperti untuk membayar mahar(maskawin), dan memberi nafkah apabila sunyi dari perongkosan, maka tidak disunahkan”.55

Kata

ف

di atas diterjemahkan „sunyi‟. Dalam kamus al-Ashri berarti

„hilang‟.56

Dalam kamus al-Munawir berarti „kehilangan‟.57 Kata „sunyi‟ biasanya digunakan untuk mengungkapkan suasana bukan keadaan seseorang.

52

Atabik, h. 777

53

Ibid, h. 49

54

Ibid

55

Ibid, h. 22

56

Atabik, h. 1401

57


(54)

Menurut penulis, kata tersebut lebih tepat diterjemahkan „tidak memiliki‟.

Sehingga terjemahannya menjadi sebagai berikut:

“ Nikah itu hukumnya sunah untuk orang yang sudah membutuhkan karena hawa nafsunya kuat untuk untuk hubungan seksual dan sudah memiliki biaya seperti untuk membayar mas kawin dan memberi nafkah.

Apabila tidak memiliki perongkosan, maka tidak disunahkan”.

ا

ء

ا

ا

ا

أا ف ف

Nikah itu hukumnya sunah bagi orang yang sudah hajat(butuh) kepadanya sebab keinginan nafsunya kuat untuk jimak dan sudah tersedia biayanya, seperti untuk membayar mahar(maskawin), dan memberi nafkah apabila sunyi dari perongkosan, maka tidak disunahkan”.

Kata

اا

di atas diterjemahkan „perongkosan‟, dalam kamus al-Ashri

berarti „persiapan‟,58

sedangkan dalam kamus al-Munawwir berarti

„persediaan‟,persiapan‟.59

Menurut penulis kata tersebut lebih tepat

diterjemahkan „persiapan‟. Sehingga terjemahannya menjadi:

“Nikah itu hukumnya sunah untuk orang yang membutuhkan karena hawa nafsunya kuat untuk berhubungan seksual dan sudah memiliki biaya seperti untuk membayar maskawin dan memberikan nafkah.

Apabila tidak memiliki persiapan, maka tidak disunahkan”.

58

Atabik, h. 269

59


(55)

خأ ط ش ف ص ا

Artinya:

“Tetapi mushonif meninggalkan 2 syarat lainya”.

Terjemahan di atas kurang tepat, yaitu pemilihan kata „mushanif‟,

menurut penulis lebih baik diterjemahkan „penulis‟. Karena pembaca yang awam akan lebih mengerti dengan maksud penerjemah. Di bandingkan dengan kata mushanif yang hanya dimengerti oleh beberapa pembaca yang memang mengetahui maksudnya dan faham dengan bahasa arab.

Maka terjemahannya menjadi sebagai berikut:

“Tetapi penulis meninggalkan 2 syarat lainnya”.

غ

أ ط أ ف

سا أ

ا

إا

Artinya:

“Dan menahan diri dari wangi-wangian dalam arti memakainya di badan, pakaian, makanan, atau bercelak yang tidak diharamkan.60

Kata diterjemahkan bercelak, mwskipun tidak ada masalah dalam penerjemahan di atas, namun menurut penulis lebih baik diterjemahkan memghiasi mata. Maka terjemahannya menjadi sebagai berikut:

“Dan menahan diri dari wangi-wangian dalam arti memakainya di badan, pakaian, makanan, atau menghias mata yang tidak diharamkan.

60


(56)

ش

ش

ا ء ا

ا

غ

ا

ش ا

اأ

61

“…Kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati‟ atau jimak, dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syarak, yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.62

Menurut Penulis, penerjemahan di atas kurang tepat. Yaitu menerjemahkan kata ش diterjemahkan „menurut syara‟, menurut penulis lebih baik diterjemahkan menurut istilah. Sehingga terjemahannya menjadi sebagai berikut:

“…Kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati‟ atau jimak, dan akad. Dan diucapkan menurut istilah, yaitu suatu akad

yang mengandung beberapa rukun dan syarat.

ش

ا

ف

ا

إ

خ

“ Untuk melestarikan talak disyaratkan hendaknya sudah mukallaf dan kehendak diri sendiri”.63

Menurut penulis terjemahan di atas kurang tepat karena penggunaan

kata „hendaknya‟, menurut penulis sebaiknya kata tersebut tidak perlu

digunakan. Kemudian kata „kehendak‟ sebaiknya diganti dengan kata „keinginan‟ Sehingga terjemahannya menjadi:

“Untuk melaksanakan talak disyaratkan sudah mukallaf dan keinginan

sendiri”.

61

Ibid, h 22

62

Ibid, h. 22

63


(57)

C. Analisis Kesesuaian Pilihan Kata

ف

ا

ا

ص

ف

أ

ط

ا

ئ

أ

ج

64

“mushannif berkata, bahwa si khatib (yang mempersunting) tidak boleh secara terang-terangan dalam melamar perempuan yang sedang dalam iddah, sebab suaminya meninggal dunia atau karena ditalak bain atau pula talak rujuk.65

Kata di atas tidak sesuai diterjemahkan „berkata‟, karena konteks di atas menyatakan bahwa subjek dalam hal ini pengarang sedang berpendapat tentang masalah melamar. Sehingga terjemahannya menjadi seperti:

“ pengarang berpendapat, si pelamar tidak boleh melamar perempuan

yang sedang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia, ditalak bain atau ditalak rujuk”.

ط أ

شا ا ا أ ثاث ص ف

“ Talak sharikh yaitu ada tiga lafadz(kata) yaitu kata: cerai dan yang dimusytaqkan dari padanya, seperti ucapan : Aku mentalakmu dan kamu adalah orang yang lepas dan ditalak”.66

Kata

شا

diterjemahkan apa adanya oleh penerjemah yaitu

„dimusytaqkan‟. Dikhawatirkan pembaca tidak memahami kata „musytaq‟ karena kata tersebut tidak terdapat dalam KBBI dan tidak umum digunakan oleh masyarakat.

64

Ibid, h. 32

65

Ibid, h. 32

66


(58)

Dalam kamus al-Ashri شا berarti „memperoleh‟,‟berasal‟.67 Menurut penulis, lebih baik diterjemahkan „disebabkan‟. Maka terjemahannya menjadi seperti kalimat di bawah ini:

“Talak sharikh itu ada 3 lafaz, yaitu : kata cerai dan yang disebabkan

olehnya. Seperti ucapan: Aku mentalakmu, kamu adalah orang yang ditalak.

ش

ش

ا ء ا

ا

غ

ا

ش ا

اأ

“…Kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati‟

atau jimak, dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syarak, yaitu suatu akad yang terdapat beberapa rukun dan syarat.68

Kata

ء ا

diterjemahkan apaadanya oleh penerjemah, dikhawatirkan pembaca tidak memahami kata tersebut karena kata tersebut tudak terdapat

dalam KBBI. Dalam kamus al-Ashri

ء ا

berarti „hubungan seksual‟.69 Menurut penulis lebih baik diterjemahkan „hubungan seksual‟, sehingga pembaca paham maksud dari kata tersebut. Seperti kalimat di bawah ini:

“ Nikah menurut bahasa adalah bersatu, berhubungan seksual, dan akad.

Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad yang terdapat beberapa

rukun dan syarat.”

شأا ا

ا ش ا سا

ف أ

67

Atabik, h. 132

68

Ibid

69


(59)

“Artinya bahwa pengistibraan itu dengan satu bulan jika memang ia

termasuk perempuan yang mempunyai iddah bulanan”.70

Kata

ءا سا

diterjemahkan apaadanya. Dalam kamus al-Ashri berarti

„minta pembebasan‟.71 Menurut penulis lebih baik diterjemahkan „mencari

kepastian suci‟ seperti pada kalimat di bawah ini:

“Artinya bahwa mencari kepastian sucu itu dengan satu bulan jika perempuan itu termasuk perempuan yang mempunyai iddah bulanan”.

فا ص ا ا

ج ا

ص

ا ا أ

ا

“ Dan berada dalam keadaan lumpuh atau fakir, dan lagi pula gila. Kata „zamanah‟ adalah masdar dari kata „zamuna ar-rojulu zamaanatan‟ maknanya ialah ketika laki-laki telah berhasil terkena afat”.72

Dalam kamus al-Ashri

فا

berarti „wabah, epidemi‟.73 Menurut penulis

lebih baik diterjemahkan „virus‟. Seperti dalam kalimat berikut:

“ Dan berada dalam keadaan lumpuh atau fakir, dan lagi pula gila. Kata

„zamanah‟ adalah masdar dari kata „zamuna ar-rojulu zamaanatan‟ maknanya ialah ketika laki-laki telah berhasil terkena virus”.

Sebuah hasil terjemahan akan terasa lebih bagus bila pemilihan katanyapun tepat dan sesuai sehingga ketika seseorang membaca hasil terjemahan dia merasa bahwa yang dibaca itu bukan buku hasil terjemahan.

70

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 92

71

Atabik, h. 92

72

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 97

73


(60)

Tetapi untuk memilih kata yang tepatpun tidak harus terpaku oleh kamus karena akan menyebabkan hasil terjemahan itu menjadi jaggal karena rasa pembaca atau pendengar dalak hal ini sangat berperan penting karena mereka yang menikmati hasil dari terjemahan itu sendiri.


(61)

48

A. Kesimpulan

Sebagaimana penulis telah bahas pada bab sebelumnya, ternyata penulis melihat kurang tepatnya penerjemah dalam menerjemahkan. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa seharusnya penerjemah melakukan terjemahan yang komunikatif sehingga tidakakan berpengaru kapada pembaca.

Setelah penulis menganalisis terjemahan ini. Ada 17 kalimat yang sebagian terjemahannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa indonesia, seperti:

1. Adanya penggunaan kata yang tidak baku sebanyak 3 kalimat (20%). 2. Adanya ketidaktepatan diksi sebanyak 6 kalimat (35%).

3. Adanya penggunaan istilah asing sebanyak 6 kalimat (35%). 4. Adanya kalimat yang tidak lengkap sebanyak 2 kalimat (10%).

Dengan kata lain, diksi yang digunakan oleh penerjemah belum umum dipergunakan dimasyarakat Indonesia. Sebagian besar terjemahannya masih mengikuti bahasa sumbernya dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

B. Saran

Setelah menganalisis objek data, penulis memberikansaran sebagai berikut: 1. Seorang penerjemah ketika menerjemahkan sebuah teks sumber, haruslah


(62)

2. Seorang penerjemah dituntut untuk jujur dalam menerjemahkansebuah karya tulis, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis tidak hilang oleh perubahan kalimat yang dilakukan oleh penerjemah. 3. Seorang penerjemah juga harus kreatif dalam mencari padanan kata yang

paling sesuai dengan naskah aslinya.

4. Seorang penerjemah juga dituntut untuk tidak terlalu bebas dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak menyimpang dari karya aslinya

Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kiranya penelitian ini harus diteruskan serta dijabarkan kembali secara khusus pada tahap diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam buku terjemahan Kitab


(63)

Munawwir, Ahmad, Warson. Al-Munmuwir (Kamus Arab-Indonesia). Surabaya: pustaka

Progressif, 2002

Hasan, Alwi, dkk. Thta Bahasa Baku Bahas Indonesia. Jakarta: Balai pustaka,1998

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustak4 2005

Saepuloh, Asep. Ketepatan Diksi Dalam Terjemahan Kitab Ihya Ulumuddin . Jakarta:2010.

Tidak diterbitkan. Skripsi

M. Anton, Moeliono. Kembar Bahasa. Jakarta: Gramedia, 1989 ChaeE Abdul. Linguistik (Jmum. Jakarta: Rineka Cipta,2003

Pengantar semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka cipta,2002

Satya, Nagara, Elang. Analisis Diksi Pada Bab Puasa Buku krjemahan Fath al-earib.

Jakarta:2007. Tidak diterbitkan.

Skripsi

\

.*. Amaro ImronAbu. Fathul Qarib. Kudus: Menara Kudus, 1983

Arifin,E. Zaenal. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Mediyatama Sarana perkasa, 1988

E. Sadtono, P e do man P e nerj e mahan, J akarta : Depdikbud, 1 9 8 5.

Keraf , Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia tJtama,2006

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1993

P arer a, J .D. Te ori Se mant ik. J akarta: Erlangga, 2004

Badudu,J.S. Inilah Bahasa Indonesiayang Benar III. Jakarta:

pr

Gramedia,lggg

Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University, 1995

Nasuhi, Hamid, dan Fathurahman Oman, dl<k, Pedoman Penulisan Karya llmiah, Ciputat:


(64)

Diktat Teori dan permasarahan penerjemahan. Tangerang : uIN syarif

Hidayatullah,200T

Ida Bagus Putrayasa. Kalimat Efektif (Dit6i, Strukturi dan

Logika). Bandung: Refika Aditama,2007

verhaar, J.w.M. Asas-asas Lingustik (Jmum.yogyakarta, ourun Mada university,

2004 Kushartanti, d?,k. pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2005

Machali, Rochayah. pedoman Bagi penerjemah. Jakarta: Grasindo ,2000

Mansoer Pateda, Linguistik ( sebuah pengantar), Jakarta:Angkasa, r9gg.

Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahknn.Ende-Flores-NTT : Nusa Indah, 19g6 syihabuddin . P enerj e mahan Arab-Indone s ia.Bandung: Humaniora, 2005

Tim Penyusunan. Pedoman Penulisan skripsi,Tesis,

Desertasi. Jakarta :

uIN

Jakartapress,

2007

Yusuf; Suhendra. Teori rerjemah, pengantar Ke arah pendekatanEinguistik dan

Sos iol inguistik. Bandunq : mandar maju, 1994

SUMBER INTERNET

Diakses 10-0311


(1)

“Artinya bahwa pengistibraan itu dengan satu bulan jika memang ia termasuk perempuan yang mempunyai iddah bulanan”.70

Kata

ءا سا

diterjemahkan apaadanya. Dalam kamus al-Ashri berarti „minta pembebasan‟.71 Menurut penulis lebih baik diterjemahkan „mencari

kepastian suci‟ seperti pada kalimat di bawah ini:

“Artinya bahwa mencari kepastian sucu itu dengan satu bulan jika perempuan itu termasuk perempuan yang mempunyai iddah bulanan”.

فا ص ا ا

ج ا

ص

ا ا أ

ا

“ Dan berada dalam keadaan lumpuh atau fakir, dan lagi pula gila. Kata „zamanah‟ adalah masdar dari kata „zamuna ar-rojulu zamaanatan‟ maknanya ialah ketika laki-laki telah berhasil terkena afat”.72

Dalam kamus al-Ashri

فا

berarti „wabah, epidemi‟.73 Menurut penulis lebih baik diterjemahkan „virus‟. Seperti dalam kalimat berikut:

“ Dan berada dalam keadaan lumpuh atau fakir, dan lagi pula gila. Kata „zamanah‟ adalah masdar dari kata „zamuna ar-rojulu zamaanatan‟ maknanya ialah ketika laki-laki telah berhasil terkena virus”.

Sebuah hasil terjemahan akan terasa lebih bagus bila pemilihan katanyapun tepat dan sesuai sehingga ketika seseorang membaca hasil terjemahan dia merasa bahwa yang dibaca itu bukan buku hasil terjemahan.

70

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 92 71

Atabik, h. 92 72

Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,1983), h. 97 73


(2)

47

Tetapi untuk memilih kata yang tepatpun tidak harus terpaku oleh kamus karena akan menyebabkan hasil terjemahan itu menjadi jaggal karena rasa pembaca atau pendengar dalak hal ini sangat berperan penting karena mereka yang menikmati hasil dari terjemahan itu sendiri.


(3)

48

A. Kesimpulan

Sebagaimana penulis telah bahas pada bab sebelumnya, ternyata penulis melihat kurang tepatnya penerjemah dalam menerjemahkan. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa seharusnya penerjemah melakukan terjemahan yang komunikatif sehingga tidakakan berpengaru kapada pembaca.

Setelah penulis menganalisis terjemahan ini. Ada 17 kalimat yang sebagian terjemahannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa indonesia, seperti:

1. Adanya penggunaan kata yang tidak baku sebanyak 3 kalimat (20%). 2. Adanya ketidaktepatan diksi sebanyak 6 kalimat (35%).

3. Adanya penggunaan istilah asing sebanyak 6 kalimat (35%). 4. Adanya kalimat yang tidak lengkap sebanyak 2 kalimat (10%).

Dengan kata lain, diksi yang digunakan oleh penerjemah belum umum dipergunakan dimasyarakat Indonesia. Sebagian besar terjemahannya masih mengikuti bahasa sumbernya dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

B. Saran

Setelah menganalisis objek data, penulis memberikansaran sebagai berikut: 1. Seorang penerjemah ketika menerjemahkan sebuah teks sumber, haruslah


(4)

49

2. Seorang penerjemah dituntut untuk jujur dalam menerjemahkansebuah karya tulis, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis tidak hilang oleh perubahan kalimat yang dilakukan oleh penerjemah. 3. Seorang penerjemah juga harus kreatif dalam mencari padanan kata yang

paling sesuai dengan naskah aslinya.

4. Seorang penerjemah juga dituntut untuk tidak terlalu bebas dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak menyimpang dari karya aslinya

Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kiranya penelitian ini harus diteruskan serta dijabarkan kembali secara khusus pada tahap diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam buku terjemahan Kitab Fath al-Qarib.


(5)

Munawwir, Ahmad, Warson. Al-Munmuwir (Kamus Arab-Indonesia). Surabaya: pustaka

Progressif, 2002

Hasan, Alwi, dkk. Thta Bahasa Baku Bahas Indonesia. Jakarta: Balai pustaka,1998

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustak4 2005

Saepuloh, Asep. Ketepatan Diksi Dalam Terjemahan Kitab Ihya Ulumuddin . Jakarta:2010.

Tidak diterbitkan. Skripsi

M. Anton, Moeliono. Kembar Bahasa. Jakarta: Gramedia, 1989

ChaeE Abdul. Linguistik (Jmum. Jakarta: Rineka Cipta,2003

Pengantar semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka cipta,2002

Satya, Nagara, Elang. Analisis Diksi Pada Bab Puasa Buku krjemahan Fath al-earib.

Jakarta:2007. Tidak diterbitkan.

Skripsi

\

.*. Amaro ImronAbu. Fathul Qarib. Kudus: Menara Kudus, 1983

Arifin,E. Zaenal. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Mediyatama Sarana perkasa, 1988

E. Sadtono, P e do man P e nerj e mahan, J akarta : Depdikbud, 1 9 8 5.

Keraf , Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia tJtama,2006

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1993

P arer a, J .D. Te ori Se mant ik. J akarta: Erlangga, 2004

Badudu,J.S. Inilah Bahasa Indonesiayang Benar III. Jakarta:

pr

Gramedia,lggg Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University, 1995

Nasuhi, Hamid, dan Fathurahman Oman, dl<k, Pedoman Penulisan Karya llmiah, Ciputat:


(6)

Hidayatullah, Moch. Syarif. Tari im Al -An : c ara Mudah Me ne rj e mahkan Arab -Indone s i a.

Tangerang: Dikan,2009

Diktat Teori dan permasarahan penerjemahan. Tangerang : uIN syarif

Hidayatullah,200T

Ida Bagus Putrayasa. Kalimat Efektif (Dit6i, Strukturi dan

Logika). Bandung: Refika Aditama,2007

verhaar, J.w.M. Asas-asas Lingustik (Jmum.yogyakarta, ourun Mada university,

2004 Kushartanti, d?,k. pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2005

Machali, Rochayah. pedoman Bagi penerjemah. Jakarta: Grasindo ,2000

Mansoer Pateda, Linguistik ( sebuah pengantar), Jakarta:Angkasa, r9gg.

Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahknn.Ende-Flores-NTT : Nusa Indah, 19g6

syihabuddin . P enerj e mahan Arab-Indone s ia.Bandung: Humaniora, 2005

Tim Penyusunan. Pedoman Penulisan skripsi,Tesis,

Desertasi. Jakarta :

uIN

Jakartapress, 2007

Yusuf; Suhendra. Teori rerjemah, pengantar Ke arah pendekatanEinguistik dan

Sos iol inguistik. Bandunq : mandar maju, 1994

SUMBER INTERNET

Diakses 10-0311