Mekanisme pengadaan dan konsinya ganti rugi tanah oleh pemerintah terkait dengan pembangunan jalan umum

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh

MOH FAHMI BAHARUDIN NIM.1111048000062

KONSENTRASI HUKUM BISNIS P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/ 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

DENGAN PEMBANGUNAN JALAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya) Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 93 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang apakah pengadaan tanah dan konsinyasi terhadap pembangunan untuk kepentingan umum dan faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan pemerintah dalam hal tata cara ganti kerugian dan konsinyasi tanah menurut Undang-Undang yang berlaku. Latar belakang skripsi ini adalah pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya dimana pemerintah Tangerang Selatan mengadakan pembangunann yang dikarenakan Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sudah tidak dapat menampung volume kendaraan yang pada saat jam pergi dan pulang kerja bisa menyebabkan macet hingga berjam-jam. Untuk itu pemerintah Kota Tangerang selatan perlu untuk membebaskan lahan untuk sebagai tempat pembangunan jalan tersebut. Dengan adanya pembebasan lahan ini maka perlu diadakan musyawarah dengan masyarakat yang bertujuan untuk mensosialisasikan harga penawaran tanah. Kegiatan konsinyasi juga harus ditempuh untuk mempercepat kegiatan pengadaan lahan ini mengingat bahwa anggaran belanja daerah harus cepat dikeluarkan guna mengejar target anggaran pendapatan dan belanja daerah Kota Tangerang Selatan. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadaan tanah oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan sudah memenuhi ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2014 dalam hal kegiatan sosialisai, musyawarah dan kegiatan ganti rugi dengan pelepasan hak atas tanah oleh pemilik hak tanah. Kegiatan konsinyasi ganti rugi tanah juga dilakukan dengan baik dan sesuai aturan yang dimana konsinyasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk beberapa bidang yang masih menjadi sengketa oleh pemiliknya dan juga ada pemilik tanah yang sudah meninggal dan tidak diketahui ahli wasirnya.

Kata Kunci : Pengadaan Tanah, Konsinyasi, Kepentingan Umum Pembimbing : 1. H. M. Yasir, SH., MH.,

2. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2015.


(6)

v

مْي ِحهرلا ِنَمْحهرلا ِ هّ ِمْسِب

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum skripsi ini.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, dan Drs Abu Thamrin SH, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Bapak H. M. Yasir, SH., MH. Dan Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH, MH,

MM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu ilmu kepada Penulis serta dengan sabar dalam membimbing dan mangarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan


(7)

vi

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Utama dan Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Setiawan Budiman dan Ibunda Ucu Samawiyah, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberi motivasi, baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Nandha Almira Rizky sebagai teman hidup disaat suka dan duka yang telah menemani hidup penulis, yang terus memberi semangat dan menghibur, walaupun saat ini sedang berada di benua seberang sana. Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan kepada penulis.

9. Teman – teman Ilmu Hukum angkatan 2011 terutama TIM HORE yakni Ahmad Haidar Muiny, Ahmad Ulama, Rian Rizky Setiawan yang sering

membuat kekacauan, keisengan, kesenangan dan “gak jelas” yang mungkin

akan terus diingat.

10.Teman – Teman KKN DHA yang selama sebulan bersama.

11.Pedagang Kuliner di Koperasi Mahasiswa SC, Abang Somay, Abang Mie Ayam, Ibu Ketoprak & Gado – Gado terima kasih sudah menghibur penulis


(8)

vii

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Tangerang Selatan: 01 Oktober 2015


(9)

viii

LEMBAR PERNYATAA.………...………... iii

ABSTRAK…...………...………... iv

KATA PENGANT.………...………... v

DAFTAR ISI……...………...………...viii

BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah………...……… 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah,……... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….…………..…...………... 10

D. Review (Kajian) Studi Terdahulu...………. ... 12

E. Kerangka Konseptual... 13

F. Metode Penelitian...………... 14

G. Metode Analisis Data... 18

H. Metode Penulisan... 19

I. Sistematika Penulisan. ...…...………... 19

BAB II. Tinjauan Pustaka A. Pengertian Pengadaan Tanah... 21

B. Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah... 29

C. Hak Atas Tanah... 29

D. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum... 41

E. Bentuk dan Jenis Ganti Kerugian... 45 BAB III. Kebijakan Pengadaan Tanah dan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif Serta Kebijakan Pengadaan Tanah Ditinjau dari Aspek Hukum Islam


(10)

ix

2. Kepres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ...47

3. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... ...48

4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012... ...50

B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif 1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata... 52

2. Kepres No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum... ...53

3. Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.... ...54

4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012... ...55

C. Prinsip Pengadaan tanah ditinjau dari perspektif hukum Islam. ...56

1. Sistem Pertanahan dalam Islam... 56

2. Sejarah Hukum Pertanahan Islam... 57

3. Prinsip Pengadaan tanah dan ganti kerugian ditinjau dari perspektif hukum Islam... 61

BAB IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kebijakan Pelebaran Jalan Raya Ciater Rawa Mekar Jaya... 69

B. Mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014... 72

C. Prosedur pengadaan tanah dalam Pembangunan pelebaran jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya sudah sesuai dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014... 78


(11)

x

E. Analisa Penulis mengenai Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam Pembangunan Pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya... 90

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 92 B. Saran... 93 DAFTAR PUSTAKA... 95


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap makhluk hidup. Manusia, hewan, tumbuhan membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal dan berpijak. Bagi manusia tanah juga berfungsi sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha pertanian dan perkebunan, berdagang serta sebagai tempat pemakaman saat manusia meninggal dunia. Saat ini kompleksnya kebutuhan manusia menyebabkan semakin kompleks pula aktivitas yang berkembang di masyarakat. Tanah menjadi suatu objek penggerak ekonomi bagi manusia maupun negara yang pengunaannya tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum, sekaligus memiliki fungsi untuk mewujudkan kemanfaatan bersama.

Permasalahannya, jumlah tanah yang ada tidak seimbang dengan besarnya kebutuhan masyarakat untuk melakukan pembangunan demi terlaksananya berbagai aktivitas. Kondisi ini yang menjadi ironi, karena di satu sisi tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya tapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya.1 Kondisi ini diperparah karena tanah memiliki sifat permanen, yang artinya tidak dapat bertambah bahkan cenderung berkurang

1


(13)

akibat kenaikan air laut yang disebabkan pemanasan global. Kondisi ini yang menyebabkan stagnansi jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan masalah pembangunan.2

Dengan meningkatnya aktivitas manusia maka dipastikan kebutuhan akan transportasi sebagai penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain akan terus meningkat. Dengan meningkatnya kebutuhan akan transportasi ini maka kebutuhan akan tanah sebagai tempat pijakan alat transportasi akan terus meningkat dan meningkat setiap waktunya.

Tanah yang menyangkut hak orang banyak adalah prioritas yang paling dasar atau dipentingkan. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum.

Fungsi sosial ini menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Adanya keseimbangan antara kedua kepentingan tersebut diharapkan dapat tercapai keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.3

Hal tersebut yang kemudian menjadi justifikasi untuk melakukan pengadaan tanah, dalam konteks memprioritaskan kepentingan umum di atas

2

Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Rajawali Press, 1991), h. 55.

3

Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,(Bandung : Alumni, 1984), h. 21.


(14)

kepentingan perseorangan sehubungan dengan penggunaan tanah. Pada prinsipnya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.4

Dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah membentuk suatu mekanisme pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang selanjutnya diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012. Undang-undang tersebut mengatur bahwa demi kepentingan umum,tanah perlu dibebaskan dari hak perseorangan yang membebaninya melalui serangkaian prosedur dan berujung pada pemberian ganti-rugi bagi pihak pengemban hak atas tanah sebelumnya.Hal ini bersesuaian dengan semangat hukum pertanahan Indonesia yang menyatakan bahwa tanah harus memiliki fungsi sosial.

Menurut Pasal 36 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Pemberian Ganti

Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:

a. uang;

b. tanah pengganti;

c. permukiman kembali;

d. kepemilikan saham; atau

e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

4

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas, 2008), h. 280.


(15)

Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) di atur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Dengan adanya perbedaan hak yang diberikan tentunya akan ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima sebagai penggantian bagi pemilik hak tersebut.

Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat.5

Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum telah didasari oleh Undang Undang No 5 tahun 1960 : ”untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak

5

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Edisi Satu, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 45-46.


(16)

atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang”

Tata cara pencabutan hak sebenarnya telah diatur dalam UU No 20 tahun 1961, tetapi hal tersebut jarang digunakan dan cara-cara yang digunakan saat ini adalah Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan yang diatur dengan Perpres No 36 tahun 2005 , kemudian diperbarui dengan Perpres No 65 tahun 2006 dengan Peraturan Kepala BPN No 3 tahun 2007. Yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang No.2 Tahun 2012.

Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Undang-Undang No.2 Tahun 2012 yang merupakan penyempumaan dari Perpres No.65 Tahun 2006 yang mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam hal mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui kebijakan tersebut, melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara kebetulan diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.6

Menurut Pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 dikemukakan bahwa

6

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Edisi Kesatu Cetakan Kedua, h.225.


(17)

pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan konsultasi publik. Mekanisme musyawarah (konsultasi publik) yang menjadi sarana untuk mencari jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak mencapai kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan umum. para pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung apabila ada pihak yang keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri setempat.7

Setelah ada putusan dari Mahkamah Agung melalui panitia pengadaan tanah dapat menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri setempat melalui prosedur konsinyasi apabila ada pihak yang tetap keberatan terhadap putusan tersebut.

Penulis mengambil studi tentang konsinyasi tanah ini karena terdapat banyak tempat tinggal ataupun toko yang menjadi tempat mencari nafkah dan mata pencaharian utama masyarakat sekitar. Dengan adanya rencana pembebasan tanah untuk kepentingan umum seperti pelebaran jalan, jalan tol, jalan layang, jembatan maupun yang lainnya membuat resah para pemilik lahan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik harus mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, hal ini dinyatakan dengan kerelaan untuk mengorbankan tanah mereka untuk pembangunan tersebut. Tetapi di sisi lain sebagai manusia biasa mereka juga membutuhkan tempat tinggal untuk

7


(18)

berlindung dan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka dari itu seluruh warga yang memiliki hak atas tanah akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan hak miliknya.

Terdapat beberapa kepentingan yang kelihatannya sangat bertentangan antara satu dengan yang lain dalam hal pengadaan tanah tersebut. Di satu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya dan di pihak lain masyarakat juga membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal serta mata pencaharian untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani maupun rohaniah. Ada beberapa pihak yang beranggapan kalau ada sebidang tanah yang sangat diperlukan untuk kepentingan pembangunan maka mau tidak mau masyrakat harus menyerahkan tanah miliknya untuk menjadi milik negara dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum.

Sedangkan di lain pihak para pemilik tanah juga mempunyai hak atas tanah miliknya tersebut. Pemerintah tidak dapat begitu saja atau dengan seenaknya membebaskan tanah tersebut tanpa ganti rugi. Meskipun diberikan ganti rugi tetapi besarnya tidak dapat juga dilakukan dengan keputusan sepihak dari pemerintah saja, kalau hal ini dilakukan maka pemerintah akan menginjak hak asasi dari warga negaranya sendiri.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul :


(19)

”MEKANISME PENGADAAN DAN KONSINYASI GANTI RUGI TANAH OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN UNTUK JALAN UMUM". (Studi Kasus Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya)

B. Identfikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Pembangunan Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya menjadi salah satu prioritas di dalam Rencana Tata Ruang di Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Untuk itu terdapat beberapa aspek-aspek yang menjadi masalah dalam hal pembangunan pelebaran jalan raya Ciater – Rawa Mekar Jaya ini, beberapa aspek masalah tersebut adalah

a. Bagaimanakah rencana tata ruang yang ada di Kota Tangerang Selatan sebagai kota yang sedang dalam pembangunan menuju Kota Mandiri yang maju?

b. Berapakah jumlah anggaran yang dipersiapkan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk melakukan pembangunan khususnya pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa Mekar Jaya?

c. Bagaimana ketepatan prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar Jaya jika ditinjau dari Undang-Undang No.2 Tahun


(20)

2012?

d. Bagaimana pelaksanaan pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran ganti rugi bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat?

2. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah dengan bertujuan untuk memfokuskan pada masalah utama yang akan diangkat sehingga didapatkan hasil yang maksimal dari tujuan awal perumusan.

Penelitian ini memfokuskan pada tindakan pengambilalihan tanah yang dilakukan pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berkaitan dengan konsinyasi tanah kepada pengadilan negeri setempat untuk pembebasan lahan guna pembangunan pelebaran Jalan Raya Ciater-Rawa mekar Jaya.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah digambarkan pada latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimana mekanisme pengadaan dan konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum berdasarkan Undang-Undang yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disertai dengan Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014?


(21)

Rawa Mekar Jaya, sesuaikah dengan Undang – Undang No.2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden No 99 Tahun 2014?

c. Bagaimana pelaksanaan mekanisme pembayaran ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum

b. Untuk mengetahui apakah prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya sesuai dengan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012 j.o Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007

c. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan mekanisme ganti kerugian melalui konsinyasi bagi masyarakat yang pembayaran bidang tanahnya dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri setempat

2. Manfaat Penelitian


(22)

membawa manfaat atau kontribusi :

a. Manfaat Teoritis

1) Sebagai bagian dari perkembangan kajian-kajian yang digunakan dalam permasalahan hukum, khususnya hukum agraria dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan atas nama kepentingan umum.

2) Sebagai bahan pertimbangan dalam proses rencana pengadaan tanah yang akan digunakan pemetintah untuk pembangunan atas nama kepentingan umum.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi pembaca, memberi wawasan atau pengetahuan dari penulis mengenai hal-hal yang terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan (kepentingan umum). Pada sisi lain, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi di bidang hukum agraria bagi mereka yang sedang dan akan menempuh mata kuliah hukum agraria khususnya pengadaan tanah guna pembangunan umum

2) Bagi Pemda atau Instansi terkait, memberikan referensi bagi rencana pengadaan tanah untuk pembangunan. Selain itu juga memberikan gambaran tentang apa yang diinginkan masyarakat dari proses pengadaan tanah tersebut, agar nantinya tidak terjadi salah


(23)

pengertian dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

D. Riview (Kajian) Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas yakni

Skripsi yang disusun oleh Dwi Erga Seprizal dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, tahun 2007, dengan judul “Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Ganti Ruginya Terkait Dengan Rencana Pembangunan Jalan Lingkar Timur Kota Malang”. Penelitian ini difokuskan pada segala cara pengambil-alihan lahan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan jalan lingkar timur kota malang serta bagaimana mekanisme penggantian uang kepada masyarakat selaku pemilik lahan.

Serta jurnal ilmiah yang disusun oleh Alan Guna Kusuma dari Fakultas

Hukum Universitas Mataram, tahun 2013, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Terhadap Pencabutan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.” Jurnal Ilmiah ini difokuskan pada perlindungan hukum atas pencabutan hak atas tanah yang didasarkan pada Undang-Undang No 20 Tahun 1961.

Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai tinjauan yuridis mengenai pengadaan tanah dan penulis juga mencari data dari


(24)

tinajuan hukum islam serta pelaksanaan konsinyasi penggantian tanah dilihat dari Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum. Penelitian yang diangkat oleh penulis bersifat normatif berdasarkan undang-undang yang berlaku, serta empiris yaitu mencari data – data di lapangan berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan.

E. Kerangka Konseptual

Cita-cita sebuah negara yang berkembang adalah terus dan terus tumbuh berkembang menjadi negara yang maju dan sejahtera. Pembangunan adalah salah satu wujud nyata dari perkembangan sebuah negara apakah negara tersebut berkembang maju atau justru sebaliknya menjadi negara yang semakin terpuruk. Pembangunan sendiri adalah suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus dalam rangka memperbaiki indikator sosial maupun ekonomi pada suatu wilayah dari waktu ke waktu.

Dilihat dari hal-hal diatas negara Indonesia sebagai negara berkembang dituntut untuk secara terus menerus melakukan pembangunan untuk mewujudkan cita- cita menjadi sebuah negara maju, pembangunan ini terkadang memerlukan wilayah yang luas yang dapat bertabrakan dengan lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Maka dari itu konsep konsinyasi walaupun terasa cukup kejam, namun hingga saat ini konsep ini masih merupakan sebuah cara yang ampuh untuk menghindari tertundanya pembangunan yang dapat menghambat seluruh


(25)

mobilitas pada suatu daerah.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang terdapat pada skripsi yang diangkat oleh penulis ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati.8

2. Pendekatan yang dipakai

Pendekatan yang dipakai oleh penulis yakni ada 3(tiga) jenis yakni :

a. Pendekatan undang-undang (statute approach)Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti segala macam aturan baik konstitusi maupun undang-undang serta peraturan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan segala tindakan pengambilalihan tanah dan mekanisme konsinyasi oleh pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum. b. Pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan konsep

digunakan untuk memahami konsep-konsep pembangunan serta pengambilalihan tanah oleh pemerintah sehingga didapatkan konsep-konsep yang jelas menghindari sifat ambiguitas dari sebuah peraturan yang ada.

8

Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002) h. 9.


(26)

c. Pendekatan perbandingan (comparative approach).Pendekatan perbandingan digunakan oleh penulis untuk membandingkan segala proses pengambil alihan tanah baik dalam undang-undang maupun dalam praktek dilapangan dengan bahan dan sumber penelitian

3. Bahan dan Sumber Penelitian

Berdasarkan sumbernya, penulisan ini berdasarkan : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-Undangan, dalam penulisan bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Undang-Udang Dasar 1945;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.


(27)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

6) Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.

7) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

8) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

9) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

11) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres


(28)

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

12) Peraturan menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008

13) Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum

14) Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :

1). Buku-buku yang membahas tentang hukum agraria dan masalah pengadaan tanah untuk pembangunan.

2). Hasil karya ilmiah para sarjana tentang pengadaan/pembebasan tanah.

3). Hasil penelitian tentang pengadaan/pembebasan tanah.

4. Metode Pengumpulan Data


(29)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan agraria dan kegiatan pengadaan tanah oleh pemerintah, proses dan sebab akibat dari kegiatan konsinyasi oleh pemerintah, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses konsinyasi pengadaan tanah, pendapat para ahli dan sarjana, jurnal, artikel dan berbagai berita dari sumber lainnya. b. Field Research

Selain itu penulis juga menyajikan penelitian lapangan (field research), dengan cara, penulis langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan seperti dengan wawancara dan yang lainnya

G. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa dengan interpretasi penulis menggunakan bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan


(30)

hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.9

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai hal – hal yang ada di dalam Peraturan yang berlaku dengan yang ada di lapangan.

H. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,

Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. I. Sistematika Penulisan :

Untuk dapat memberikan gambaran yang komprehensip, maka penyusunan hasil penelitian perlu dilakukan secara runtut dan sistematis sebagai berikut :

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan antara lain latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua merupakan tinjauan pustaka umum mengenai teori-teori pembebasan lahan dan pengadaan lahan oleh pemerintah untuk kepentingan umum, Macam –

9

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, (Malang : Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.


(31)

macam hak atas tanah yang ada di negara Indonesia serta pengertian dan berbagai bentuk dan jenis ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada warga pemilik hak tanah.

Bab ketiga merupakan tinjauan umum tentang kebijakan pengadaan tanah serta pencabutan hak tanah oleh pemerintah menurut Undang – Undang yang ada di Indonesia baik dari Peraturan Menteri Hingga Undang- Undang yang berlaku, serta tentang pengadaan tanah yang ditinjau dari hukum Islam.

Bab keempat merupakan bab utama yang berisi tentang analisis tentang pengadaan tanah Jalan Raya Ciater – Rawa Mekar Jaya. Analisis ini berisikan tentang jumlah warga yang terkena pengadaan tanah, harga pelepasan tanah yang diberikan sebagai ganti kerugian oleh pemerintah.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalah yang telah diuraikan, serta saran dari penulis berkaitan dengan mekanisme konsinyasi atas tanah yang dibebaskan untuk Pembangunan atas nama Kepentingan Umum.


(32)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pengadaan Tanah

Tanah dan Pembangunan adalah dua unsur yang satu dengan lainnya berkaitan, dengan perkataan lain, tidak ada pembangunan tanpa tanah1. Secara Istilah yang dimaksud Pengadaan tanah adalah mengadakan atau menyediakan tanah oleh pihak tertentu baik dari pemerintah maupun pihak swasta.

Menurut Imam Koeswahyono pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau adan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu.2

Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres 55 tahun 1993 yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.

1

B.F. Sihombing, Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia (Jakarta : Toko Gunung Agung, 2004), h. 46.

2

Imam Koeswahyono, Artikel, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, 2008, h. 1.


(33)

Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan pembaharuan dari Perpres Nomor 36 Tahun 2005 pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.3

Sedangkan menurut Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 dengan peraturan pelaksaan Perpress No.71 Tahun 2012 pengertian pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah yang layak dan adil kepada para pihak yang berhak atau juga dengan mekanisme pencabutan hak atas tanah.

Secara umum dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang terdiri dari kepentingan umum, sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.

1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

Definisi mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara jelas dan baku diketahui setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, sebelumnya tidak ada definisi secara jelas dan baku mengenai

3


(34)

pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut. Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat, selanjutnya dalam Pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan Pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah. Dengan demikian pembangunan untuk kepentingan umum tidak ditujukan untuk mencari untung.4 Hal tersebut selaras dengan pendapat Maria SW Soemardjono yaitu kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial: dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit.5

Menurut Oloan Sitorus kepentingan umum itu sendiri adalah kebutuhan, keperluan, dan kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas, namun menurut Oloan Sitorus sendiri bahwa pengertian tersebut masih terlalu umum dan tidak ada batasnya.6

John Selindeho mengungkapkan kepentingan umum sendiri adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas

4

AA. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1996), h. 291.

5

Maria SW Soemardjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (

Jakarta : Buku Kompas, 2005), h. 78.

6

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,


(35)

atas dasar asas-asas pembangunan nasional ketahanan nasional serta wawasan nusantara.7

Menurut Adrian Sutedi Ada tiga prinsip yang dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :8

a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.

b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.

c. Tidak mencari keuntungan

Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat umum dan

7

John Selindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 1988), h. 40.

8

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 45.


(36)

harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemilik lahan memang seharusnya harus merelakan tanahnya dijadikan untuk kepentingan umum sebagaimana tertera di pasal 6 yang menyatakan bahwa “semua hak

atas tanah mempunyai fungsi sosial”9

dari pasal tersebut tertera secara jelas bahwa pemilik lahan juga harus sadar bahwa tanah yang dimiliki atau hak yang dimilikinya mempunyai fungsi sosial yang diperuntukkan untuk orang banyak.

Dalam pasal 10 disebutkan bahwa Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi:10 a. Pertahanan dan keamanan nasional;

b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

9

Pasal 6 Undang Undang No.5 Tahun 1960.

10


(37)

h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum;

k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m.Cagar alam dan cagar budaya;

2. Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta

Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta sebenarnya dibagi menjadi 2 (dua) macam yakni pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dan kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum didalamnya. Kepentingan swasta murni adalah kepentingan yang diperuntukan memperoleh keuntungan semata, sehingga peruntukan dan kemanfaatannya hanya dapat diperoleh oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja bukan masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan, industri, pariwisata, dan peruntukan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pihak tertentu. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan saja.

Sedangkan kepentingan swasta yang terdapat kepentingan umum adalah kepentingan yang diperuntukkan untuk memperoleh keuntungan untuk pihak-pihak tertentu didalamnya serta terdapat pula kepentingan yang diperuntukkan untuk orang banyak, seperti contohnya pembangunan jalan tol


(38)

atau jalan bebas hambatan, pembangunan bandar udara, pembangunan pelabuhan dan lain sebagainya.

Didasarkan dari pengertian diatas maka Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, baik secara peruntukan dan kemanfaatan maupun tata cara perolehan tanahnya.

Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan swasta murni dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 terdapat 2 (dua) cara pembebasan tanah untuk keperluan swasta yaitu secara langsung dan melalui Panitia Pembebasan Tanah. Namun sejak berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, hanya ada satu cara yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu dilakukan secara langsung atas dasar musyawarah dalam hal memberikan ganti kerugian, dimana bantuan dari Pemerintah hanya berupa pengawasan dan pengendalian, sebagaimana telah diberikan petunjuknya dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 6 Desember 1990 No.580.2D.III11

Pengadaan tanah oleh pihak swasta murni harus berdasarkan kesepakatan dan bersifat sukarela antara kedua belah pihak dan tidak ada yang boleh merasa terpaksa dalam menjual lahan atau tanah miliknya. Pihak swasta juga tidak bisa menentukan harga seperti yang dilakukan oleh tim

11

Arie S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Jakarta : Penerbit Universitas


(39)

penilai tanah pemerintah, dan pemilik lahan bebas untuk tidak menjual tanahnya dengan alasan apapun. Tentunya sangat berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimana pemilik lahan sedikit dipaksa dan harus menjual lahannya dengan dalih untuk kepentingan umum.

B. Pengertian dan Fungsi Pelepasan Hak Atas Tanah

Pelepasan hak atas tanah adalah suatu penyerahan kembali hak itu kepada Negara dengan sukarela.12 Perbuatan ini dapat bertujuan agar tanah tersebut diberikan kembali kepada suatu pihak tertentu dengan suatu hak tanah baru sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.

Sedangkan menurut Prof Boedi Harsono, SH, yang dimaksud dengan pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi yang berhak atau penguasa tanah itu.13

Pelepasan hak atas tanah dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak baik mengenai teknis pelaksanaannya maupun bentuk atau besar ganti rugi kalau si pemegang hak tidak bersedia melepaskan atau menyerahkan tanahnya maka pemerintah melalui musyawarah baik dengan instansi terkait serta

12

John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar

Grafika, 1988), h. 40.

13


(40)

para pemilik tanah yang terkena proyek pembangunan pelebaran jalan umum dengan diberikan ganti rugi agar tanahnya dapat digunakan untuk proyek tersebut.

Oleh karena itu dalam acara pelepasan hak dilihat dari para pemegang hak yaitu melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama diberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan harga dasar yang ditentukan pada tempat proyek pembangunan tersebut dilaksanakan.

Namun untuk pembebasan hak atas tanah apabila dikaitkan dengan kepentingan umum para pemegang hak atas tanah dituntut kesadaran lain tidak hanya terdapat pertimbangan harga ganti rugi yang telah diberikan para pihak yang memerlukan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, karena maksud dan tujuan pelepasan hak atas tanah tersebut sekedar melihat dari pandangan kepentingan individu saja melainkan dihubungkan dengan kepentingan umum.

Maka dari itu didilihat dari sudut pandang pelepasan hak atas tanah adalah hak dari pemilik kepada para pihak yang memerlukannya dengan dasar memberikan ganti rugi hak atas tanah yang diperlukan oleh para pihak yang membutuhkan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum.


(41)

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan kewenangan kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.14 Dengan kata lain Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya atau pemilik hak atas tanah.

Dalam pasal UUD 1945 serta pasal 2 ayat (1) UUPA berisi yakni “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”15 Berdasarkan ketentuan tersebut, Negara adalah pemilik dari seluruh yang ada didalam wilayah kekuasaannya dan berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Dalam pasal 4 ayat (1) berisi : “Atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang orang lain serta badan-badan hukum”.

14

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi

Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229.

15


(42)

Sedangkan dalam ayat (2) dinyakatan bahwa : “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi“.

Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan negara menentukan hak atas tanah seperti diatur dalam pasal 16 ayat (1) UUPA , yaitu : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.

Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, diantaranya: Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara. Hak-hak atas tanah primer (orginair) yaitu hak atas


(43)

tanah yang langsung diberikan oleh Negara kepada subyek hak yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai16

a. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap. Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 16 yaitu :

1) Hak Milik (HM)

Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik ini juga bersifat turun temurun yang artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia.17

Subjek dari Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia, dalam hal ini perorangan. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek untuk hak milik. (1) Ciri-Ciri Hak Milik

Hak Milik pada dasarnya mempunyai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;

(a) Hak Milik dapat dijadikan hutang (b) Boleh digadaikan

16

Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri

Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2.

17 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta, Rajawali,1991), h. 229.


(44)

(c) Hak Milik dapat dialihkan kepada orang lain (d) Hak Milik dapat dilepaskan dengan sukarela (2) Hapusnya Hak Milik

Ketentuan Pasal 27 UUPA menyebutkan bahwa hak milik hapus apabila; (a) Tanahnya jatuh kepada Negara;

(b) Pencabutan hak berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA. (c) Karena dengan penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. (d) Karena diterlantarakan

(e) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) (f) Tanahnya musnah.

Hak milik memang bersifat terkuat dan terpenuh, namun pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom seperti yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUHPerdata. Sifat demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Walaupun hak milik ini tersirat kata memiliki didalamnya namun tetap menurut Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik ini tetap saja memiliki fungsi sosial18 yang apabila sewaktu waktu diperlukan untuk kepentingan umum maka pemilik lahan seharusnya rela memberikan lahannya untuk kepentingan umum, namun tentu saja dengan nilai atau harga yang sesuai.

18


(45)

2) Hak Guna Usaha (HGU)

Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan PP No.40 Tahun 199619 Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun seperti untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman berumur panjang20 dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.

Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.21

Hak Guna Usaha terbatas pada usaha pertanian, perikanan,peternakan. Namun walaupun tanah yang dipunyai dengan hak guna usaha tetapi boleh mendirikan bangunan diatasnya. Bangunan bangunan yang dihubungkan

19

Pasal 8 ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

20

Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari

www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu.

21

Legalakses.com “Hak Guna Usaha” artikel diakses pada 12 Agustus 2015 dari


(46)

dengan usaha pertanian, perikanan, peternakan, tanpa memerlukan hak

lain.

-Hak Guna Usaha mempunyai ciri khusus yaitu; a) Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat artinya tidak

mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu hak guna usaha salah satu hak yang wajib didaftar. b) Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang

empunya hak.

c) Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti

berakhir.

d) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak

tanggungan.

e) Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan

wasiat.

f) Hak Guna Usaha dapat dilepaskan oleh pemiliknya, hingga tanahnya menjadi tanah Negara. h) Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha

pertanian, perikanan, dan peternakan. Subjek Hak Guna Usaha


(47)

a) Hak Guna Usaha terjadi karena adanya penetapan pemerintah, subyek dari Hak Guna Usaha adalah siapa-siapa saja yang dapat diberikan Hak Guna Usaha dari pemerintah yakni;22

b) Warga Negara Indonesia.

c) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

d) Hapusnya Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha dapat terhapus oleh beberapa faktor yaitu : (1) Jangka waktu berakhir.

(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.

(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.

(4) Dicabut untuk kepentingan umum. (5) Tanahnya diterlantarkan.

(6) Tanahnya musnah.

(7) Karena ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUPA. 3) Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu

22

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 229.


(48)

paling lama 30 tahun.23 Dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang haknya dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Hak Guna Bangunan hapus karena;

a) Jangka waktunya berakhir. b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu

syarat tidak dipenuhi.

c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir.

d) Dicabut untuk kepentingan Umum.

e) Diterlantarkan.

f) Tanahnya musnah.

4) Hak Pakai (HP)

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau

23


(49)

perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.24

Subyek dari hak pakai adalah;

a) Warga Negara Indonesia

b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.

c) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.

d) Badan-badan hukum yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hapusnya Hak Pakai

UUPA pada dasarnya tidak memuat ketentuan khusus mengenai hapusnya hak pakai. Biarpun demikian dapat dikemukakan bahwa hapusnya hak tersebut jika;25

a) Jangka waktu berakhir b) Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu

yang harus dipenuhi oleh pemegang haknya yang bersangkutan

dengan statusnya.

c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir.

24

Pasal 41 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria.

25

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, h. 229.


(50)

d) Dicabut untuk kepentingan umum. e) Tanahnya musnah.

Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

5) Hak Sewa

Pasal 44 UUPA menyebutkan bahwa;26

a) Seorang atau suatu badan ahukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

b) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan;

1) Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu. 2) Sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. 3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak

boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Berdasarkan isi dari ketentuan Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hak sewa adalah hak yang member kewenangan kepada orang lain untuk

26


(51)

menggunakan tanahnya. Perbedaannya dengan hak pakai adalah dalam hak sewa penyewa harus membayar uang sewa.

b. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara (Sekunder)

Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain, atau dengan kata lain penggunaan suatu jenis hak-hak atas tanah yang bersumber dari hak milik, terdiri dari: Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi hasil, Hak Menumpang.27

Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut disebabkan karena hak tersebut bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA yaitu,

“seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan, namun sampai saat ini hak-hak tersebut masih belum dihapus”. Oleh karena itu yang dimaksud dengan Hak atas tanah yang bersifat sementara adalah : 1) Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende

Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama.

27

Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri Hukum Pertanahan I, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), h. 2.


(52)

2) Hak Usaha Bagi Hasil

Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.

3) Hak Sewa Tanah Pertanian

Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya. 4) Hak menumpang

Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.


(53)

Pengertian ganti kerugian tanah tidak banyak dijelaskan dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah dalam hal mengatur undang-undang itu sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 disebutkan bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Dari pengertian tersebut sebenarnya dijelaskan secara singkat bahwa memang seharusnya penggantian tanah yang dilakukan pemerintah harus dinilai layak oleh semua pihak.

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menentukan dasar dan cara perhitungan ganti kerugian/harga tanah yang didasarkan kepada nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (selanjutnya disebut NJOP). Namun Perpres ini tidak memperhitungkan pemberian kompensasi untuk faktor non-fisik. Adapun perhitungan kompensasi faktor fisik sebagai berikut: 28

1. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas harga tanah yang didasarkan atas NJOP atau nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia dan dapat berpedoman pada variabel – variabel seperti lokasi dan letak tanah, Status tanah, Peruntukan tanah, Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, Sarana dan prasarana yang tersedia.

28


(54)

Faktor lain yang mempengaruhi harga tanah, nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.29

2. Dasar perhitungan ganti rugi, lembaga/tim penilai harga tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur. Kesulitan yang dihadapi dalam perhitungan ganti rugi oleh lembaga/tim penilai dan tim panitia pengadaan tanah pemerintah kota dan kabupaten adalah adanya perbedaan harga pasar dan harga yang telah ditetapkan dalam NJOP. Dalam berbagai kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil musyawarah antara tim panitia pengadaan tanah yang meminta harga lebih tinggi dari NJOP.30

Masalah ganti kerugian merupakan hal yang rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah. Penetapan ganti kerugian untuk tanah dianggap rumit karena di samping nilai nyata tanah yang didasarkan pada NJOP tahun terakhir, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah. Faktor-faktor tersebut adalah lokasi, jenis hak atas tanah, status penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, prasarana, fasilitas dan utilitas, lingkungan dan faktor-faktor lain. Sudah tentu pemegang hak harus sangat

29

Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, h. 166.

30


(55)

berhati-hati dalam menyampaikan keinginan terhadap besarnya ganti kerugian terhadap tanahnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH yakni menurut beliau nilai tanah yang nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga umum bisa merupakan harga catut. Sebaliknya pula harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah. Sesungguhnya sering sekali masalah nilai ganti rugi ini merupakan masalah yang sangat kompleks sekali penyelesaiannya. Harga ganti rugi ini seyogyanya adalah harga yang sekiranya seperti terjadi jual beli biasa atas dasar komersil sehingga pencabutan hak tersebut bukan sebagai suatu ancaman dan pemilik bersedia menerima harga tersebut.31

Dalam setiap pengadaan tanah untuk pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas dari masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut merasakan bahwa korban penggusuran pada umumnya belum dapat menikmati makna keadilan sesuai dengan pengorbanannya. Dalam kenyataan ini sudah seharusnya perlu perhatian lebih dalam penerapan peraturan perundangan. Adrian Sutedi mengatakan bahwa begitu vitalnya ganti rugi, maka ganti rugi itu minimal harus sama dan senilai dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah yang akan digusur. Bila tidak senilai, namanya bukan ganti rugi, tetapi sekadar pemberian pengganti atas

31 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar


(56)

tanahnya yang tergusur. Prinsip dan tujuan UUPA harus dimaknai bahwa ditempuhnya prosedur penggusuran tidak berarti akan merendahkan nilai ganti rugi tanah, bangunan dan tanamannya serta benda-benda lain yang melekat pada bangunan dan tanah.32

E. Bentuk dan jenis ganti rugi

Dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur mengenai bentuk ganti kerugian dapat diberikan berupa33 :

1. uang

2. tanah pengganti; 3. permukiman kembali; 4. kepemilikan saham; atau

5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud diatas baik terdiri dari satu jenis maupun gabungan dari beberapa jenis ganti kerugian, diberikan sesuai dengan nilai Ganti Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang telah disepakati bersama.

32

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 184 .

33


(57)

46 BAB III

Kebijakan Pengadaan dan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan

A. Kebijakan Pengadaan Tanah Menurut Hukum Positif

Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, tata cara pengadaan tanah diatur dalam beberapa peraturan yaitu :

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan - Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah

Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 1975 pengadaan tanah dikenal dengan pembebasan tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1) “Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”1 Permendagri tersebut juga mengatur tentang tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.

Dalam hal pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk Panitia Pembebasan Tanah (selanjutnya disebut PPT) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedang untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus, pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut

1


(58)

antara para pihakyaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki tanah.

2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dinyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli,tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.2

Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang dilaksanakan selain untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres Nomor 55 tahun 1993, menyatakan bahwa: “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan PPT yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan

bahwa “Panitia Pengadaan Tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

2


(59)

umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres Nomor 55 tahun 1993.

3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan bahwa: “pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah”.3 Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa: “pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

3


(60)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baikuntuk kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini memperjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta.

Setelah kurang lebih setahun berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, Perpres tersebut digantikan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, yang berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dinyatakan bahwa “pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan


(61)

umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.4 Prinsip penghormatan hak atas tanah diartikan bahwa pemilik hak atas tanah yang diambil tanahnya, tingkat kehidupan ekonominya harus lebih baik dibandingkan sebelum ia melepaskan hak atas tanahnya.Karena pemilik hak atas tanah tersebut telah merelakan tanahnya untuk keperluan pembangunan, sehingga harus diberikan suatu penghormatan atas jasa pemilik hak atas tanah tersebut.

4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012

Saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan.

Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana. Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini:5“Pengadaan tanah

4

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

5


(62)

adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian

yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.

Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan

tanah”. Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam Undang Undang ini yang menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.6

Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah

penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.

Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata wajib ditegaskan pada undang undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum

6


(63)

yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak.

Sebagai lanjutan dari amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum maka pemerintah mengeluarkan Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada Perpres ini setiap instansi yang memerlukan lahan untuk kepentingan umum diberi waktu untuk menyelesaikannya maksimal 583 hari.

B. Kebijakan Konsinyasi Tanah Menurut Hukum Positif

Menurut Peraturan yang ada di Indonesia, konsinyasi diatur dalam beberapa peraturan yaitu :

1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Dalam garis besar Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. Beberapa ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut:7 a) Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan :

“jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya

7

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,


(64)

kepada penagdilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.”

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, konsinyasi ini berbeda dengan yang diatur dalam peraturan lain yang dimana dalam hal kegiatan konsinyasi ini dapat dilakukan jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak misalnya seperti hutang piutang.

2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres No.55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa “Dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah”.8

Dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tidak disebutkan kegiatan konsinyasi yang diakibatkan oleh penolakan pemilik lahan. Konsinyasi

8


(65)

yang dikenal di dalam Keppres No.55 Tahun 1993 hanyalah untuk keperluan penyampaian ganti rugi yang telah disepakati, akan tetapi orang yang bersangkutan tidak diketemukan9

3. Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit perbedaan dalam tata cara konsinyasi tanah untuk kepentingan umum, Menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dinyatakan dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang telah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini terjadi perubahan yang sangat besar dalam hal pengadaan tanah. Pemerintah dapat menitipkan uang kepada pengadilan apabila jalan musyawarah tidak menemukan hasil dalam artian pemilik lahan tetap menolak penawaran harga yang ditentukan oleh pemerintah. Namun ada dampak negatif dari

9

Abdulrrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan


(1)

92

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 sebagaimana pelaksaan Undang Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah melalui pemberian ganti rugi atas pelepasan hak atas tanah bagi pemilik hak atas tanah tersebut.

Apabila pemilik hak tanah tidak menyetujui dengan adanya kebijakan pengadaan tanah atau besaran ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah maka dia dapat mengajukan gugatan kepengadilan negeri setempat dan dapat naik hingga ke Mahkamah Agung. Setelah ada putusan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat dan pemilik tetap bertahan tidak mau melepaskan hak atas tanahnya, maka pemerintah dapat menitipkan anggaran kepengadilan negeri setempat (Konsinyasi). Konsep juga berlaku untuk tanah yang sedang sengketa, pemilik tanah tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada ahli waris atas tanah tersebut. 2. Prosedur pengadaan tanah untuk Pelebaran Jalan Ciater – Rawa Mekar


(2)

93

dalam Perpres No.99 Tahun 2014 j.o UU No. 2 Tahun 2012 baik dalam proses musyawarah, ganti rugi dan mekanisme konsinyasi ganti rugi penggantian tanah dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan raya Ciater-Rawa Mekar Jaya.

3. Kegiatan Konsinyasi oleh pemerintah kota Tangerang Selatan dilakukan atas dasar-dasar yang tertuang dalam pasal 42 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 yakni berdasarkan pasal 42 Ayat (2) yang berisi tentang syarat apa-apa saja yang diperbolehkan untuk pemerintah melakukan kegiatan konsinyasi tanah.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan penelitian maka penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal pembebasan lahan ini sudah cukup baik namun dalam hal ganti rugi juga jangan hanya mengganti rugi nilai tanah yang ada, perlu juga memperhatikan bangunan-bangunan yang pasti harus mundur kebelakang untuk memenuhi Garis Sempadan Jalan (GSJ) untuk itu pemilik lahan perlu dana yang lebih besar sekedar yang diberikan oleh pemerintah, serta ada juga yang bangunannya tidak bisa mundur sehingga pemilik lahan tersebut tidak bisa memanfaatkan tanah tersebut sama seperti sebelum dilakukan pelebaran jalan. Dalam hal pengadaan tanah dan pembangunan jalan, pemerintah Kota Tangerang Selatan juga harus mengantisipasi penurunan omzet dari para pengusaha yang menjadi korban pelebaran dan pembangunan jalan Ciater – Rawa


(3)

94

Mekar Jaya. Pengadaan dan pembangunan yang memakan waktu hingga 3 tahun (2012-2015) menyebabkan penurunan pendapatan yang luar biasa bagi korban yang terkena pelebaran jalan.

2. Panitia Pengadaan Tanah dan aparat terkait agar melakukan tindakan yang tegas terhadap kelompok lain yang berusaha menghasut ataupun mencari keuntungan pada proses pengadaan tanah untuk pembangunan Pelebaran Jalan Ciater-Rawa Mekar Jaya. Sehingga masyarakat pemilik hak atas tanah tidak terpengaruh dengan memanfaatkan hasutan pihak ketiga untuk menaikkan harga tanah yang dapat menghambat proses musyawarah kesepakatan ganti kerugian.


(4)

95

Daftar Pustaka

Buku :

AA. Oka Mahendra, 1996. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, Jakarta: Sinar Harapan.

Ali Ahmad Chomzah, 2002. Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri Hukum Pertanahan I, Jakarta: Prestasi Pustaka.

Abdulrrahman, 1994. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bandung : Citra Aitya Bakti.

Tri Cahyo, Bambang, 1983. Ekonomi Pertanahan, Yogyakarta: Liberty.

Perangin, Effendi, 1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta:Rajawali Press.

Sutedi ,Adrian, 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Ed. 1, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika.

Gautama ,Sudargo, 1991. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung: Alumni. Sumardjono,Maria S.W, 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:Kompas.

J.Moleong ,Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,: Remaja Rosdakarya.

Ibrahim., Johnny, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II, Malang: Bayumedia Publishing.

B. Sihombing, 2004. Evolusi kebijakan pertanahan dalam hukum tanah Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung.

Sitorus, Oloan, 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Selindeho, John, 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika.


(5)

96

Parlindungan, A.P., 2008. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju.

Sutedi, Adrian, 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar Grafika. Musbikin, Imam, 2001. Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, M. Yunan, 1993. Keadilan dan Musyawarah, Semarang : Ramadhani. P, Chairuman., 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika.

Arie S Hutagalung, 2003. Condominium dan Permasalahannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Harsono, Boedi, 1996. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan.

Mahasari, Jamaluddin, 2008. Pertanahan dalam Hukuam Islam, Yogyakarta: Gama Media.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Udang Dasar 1945;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda yang ada di atasnya.

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum


(6)

97 Untuk Kepentingan Umum.


Dokumen yang terkait

Hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur

1 85 153

Gugatan Ganti Rugi Terhadap Pelaku Pembajakan Karya Cipta Lagu dan Musik (Studi Kasus No. 76/Hak Cipta/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst)

4 80 117

Tuntutan Ganti Rugi Terhadap Perusahaan Pemasang Iklan Berkaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Yang Merugikan Konsumen

5 40 148

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Mengenai Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek Kanal...

1 26 5

GANTI RUGI TANAH YANG TIDAK TERCAPAI KESEPAKATAN ANTARA PEMILIK DAN PANITIA PELAKSANA Ganti Rugi Tanah Yang Tidak Tercapai Kesepakatan Antara Pemilik Dan Panitia Pelaksana. (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Kertosono di Kabu

0 4 16

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Pembangunan Jalan Tol Pejagan-Pemalang Wilayah Kabupaten Tegal (Studi Kasus Putusan No.36/Pdt.G/2015/PN.Slw).

0 2 16

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Pembangunan Jalan Tol Pejagan-Pemalang Wilayah Kabupaten Tegal (Studi Kasus Putusan No.36/Pdt.G/2015/PN.Slw)

0 2 14

Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Pantai Purus oleh Pemerintah Kota Padang.

0 0 6

Aspek Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah.

0 0 2

PROSES GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN JALAN TOL SERPONG-CINERE DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

0 1 1