ditetapkannya  Peraturan  Presiden  tersebut  yakni  pemerintah  menjadi seperti sewenang-wenang dalam hal menentukan pengadaan tanah padahal
alternatif  terakhir  yang  dapat  ditempuh  adalah  dengan  pengajuan permohonan  pencabutan  hak  atas  tanah  berdasarkan  UU  No.  20  Tahun
1961,  dan  bukannya  dengan  mengkonsinyasikan  uang  ganti  rugi  ke pengadilan negeri dan menganggap kewajibannya dalam pengadaan lahan
sudah  selesai,  dan  dengan  serta  merta  melakukan  pembangunan  di  lahan tersebut.
4. Undang-Undang No 2 Tahun 2012
Dengan  berlakunya  Undang-Undang  No.2  Tahun  2012  mekanisme konsinyasi  kembali  diberi  tambahan  seperti  dinyatakan  dalam  Undan
Undang ini yakni “Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk danatau
besarnya  Ganti  Kerugian  berdasarkan  hasil  musyawarah  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  37,  atau  putusan  pengadilan  negeriMahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat
”.
10
Dalam  Pasak  42  ayat  1  dinyatakan  “Penitipan  Ganti  Kerugian  selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, juga dilakukan terhadap:
a. Pihak  yang  Berhak  menerima  Ganti  Kerugian  tidak  diketahui
keberadaannya; atau b.
Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
10
Pasal 42 ayat 1 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012.
1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4. menjadi jaminan di bank.
Berdasarkan  materi  undang-undang  tersebut  dapat  dilihat  bahwa konsinyasi  akibat  penolakan  dari  pemilik  tanah  hanya  dapat  dilakukan
apabila  telah  menempuh  jalur  hukum.  Apabila  pemilik  tanah  keberatan maka  pemilik  dapat  mengajukan  gugatan  hingga  ke  Mahkamah  Agung.
Dan  setelah  mendapat  pengesahan  baik  dari  pengadilan  ataupun  dari Mahkamah Agung maka konsinyasi tanah baru bisa dilaksanakan.
C.
Kebijakan Pengadaan Tanah ditinjau dari Aspek Hukum Islam 1.
Sistem Pertanahan dalam Islam
Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan milkiyah,
pengelolaan tasharruf, dan pendistribusian tauzi‟ tanah.
11
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt:
ري ِصَمْلا ِ هّ ىَلِإ َوۖ  ِض ْرَ ْْا َو ِتا َواَمهسلا كْلم ِ ه َِ َو
11
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukuam Islam, Yogyakarta : Gama Media , 2008. h. 39.