Pengertian Estetika Banal Analisis Semiotika Foto Pada Buku Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya

Alexander Baumganten 1714-1762, seorang filsuf jerman yang pertama memperkenalkan kata “ aisthetika” sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz 1646-1716. Baumgarten memilih estetika karena ia berharap dapat memberikan tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui the perfection of sentient knowledge. 13 Bagi Baumganten, dia percaya bahwa dasar dari seni adalah “representasi sensitif” yang bukan hanya sensasi, tetapi yang berhubungan dengan perasaan. Tentu saja, untuk mengatakan bahwa estetka ada hubungannya dengan aspek sensual dari pengalaman. 14 Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batasan rakitan structure dan peranan role dari keindahan, khususnya dalam seni. 15 Estetika merupakan studi filsafat yang berdasarkan nilai apriori dari seni Panofsky dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni worringer. 16 Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan pencerapan indrawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang menyenangkan bila dilhat.Kant menitikberatkan estetika kepada teori keindahan dan seni. 13 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.16 14 David E. W. Fenner, Introducing Aesthetic, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 7 15 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1, h.6 16 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1, h.7 Keindahan dalam arti yang luas, semula merupakan pengertian dari bangsa yunani, yang didalamnya tercangkup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. 17 Ada dua teori mengenai keindahan, yaitu bersifat subjektif dan objektif.Keindahan yang bersifat subjektif ialah keindahan yang ada pada mata yang memandang, sedangkan keindahan objektif menempatkan keindahan pada benda yang dilihat. 18 Pandangan klasik Yunani tentang hubungan seni dengan keindahan keduanya saling mendukung, Sortais menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat objektif dari bentuk I‟esthetique est la science du beau. Lips berpandangan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subjektif atau pertimbangan selera die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones. 19 George Santayana 1863-1952 berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. 20 Nilai estesis selain terdiri dari dari nilai positif kini dianggap pula meliputi nilai negatif.Hal menunjukan nilai negatif yakni kejelakan.Kejelakan yang dimaksud merujuk pada ciri yang sangat 17 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1, h.3 18 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h. 10 19 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h. 11 20 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.14 bertentangan sepenuhnya dengan kualitas yang indah tersebut, kini keindahan dan kejelakan sebagai nilai estesis yang positif dan negatif yang pada umumnyadiartikan sebagai kemampuan dari suatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis. 21 Estetika timbul tatkala pikiran filsuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa.Estetika bersama dengan etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu normative di dalam filsafat. 22 Pertumbuhan estetika secara garis besar dibedakan ke dalam tiga periode :  Periode Platonius atau Dogmatis  Periode Kritika  Periode positif Periode Platonis atau Dogmatis berlangsung sejak Sokrates hingga Baumgarten.Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika berarti sejarah filsafat keindahan. 23 Kemudian periode kritik berangkat pada massa sesudah Baumgarten sampai wafatnya Kant 1904 dan berimbas setelah Kant. Tatkala Estetika dalam periode kritik, atau lebih tepatnya dari objektivisme kepada relativisme atau 21 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.15 22 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h. 16 23 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.48 mengarah ke subjektifitas, maka mengalami perkembangan yang membawa keluar dari ontology ke bidang penyelidikan ilmujiwa. 24 Periode positif mempinyai ciri yang sangat bertentangan dengan metafisika.Tacher adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan eksperimen yang sistematis untuk membentuk Estetika formil yang ilmiah 25 . Dalam perjalanannya estetika pada abad pertengahan merupakan abad gelap yang menghalagi kreatifitas seniman dalam berkarya seni, gereja Kristen lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja karena kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah dan selalu memperjuangkan bentuk visual yang sempurna 26 . Kemudian pada estetika modern David Hume berpendapat bahwa keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek.Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, diantara imajinasi dan pengertian pikiran.Penilaian sebjektif dalam arti ini. 27 Kemudian Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah sistem filosofis dari idealisme.Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan aktifitas pikiran. Dan menurut Comte estetika adalah wilayah pengetahuan 24 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.54 25 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.56 26 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h. 76 27 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.79 intuitif.Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran seniman. 28 Diantara filsuf awal abad 20, John Dewey mungkin memiliki, perlakukan terdalam dari pengalaman estetis. Bagi Dewey, pengalaman estetika adalah pengalaman yang maksimal disatukan. Semua pengalaman ia menandaskan adalah estetika tingkat tertentu, khususnya sejauh mana mereka dipersatukan. Pengalaman-pengalaman individu yang bersatu membentuk apa yang disebut Dewey sebagai pengalaman. 29

2. Pengertian Banal

Terminologi banalitas dipolulerkan oleh filsuf Hannah Arendt pada penjabaran pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil yang berangkat dari fenomena kekerasan para tentara NAZI. 30 Ketika itu yang dia amati adalah Adolf Eichmann, seorang tangan kanan Hitler yang bertugas mengatur pembantaian orang-orang Yahudi, yang sedang diadili di sidang pengadilan. Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan, tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir 28 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika Bandung : Rekayasa Sains , 2004, cet.1,h.79. 29 David. E.W. Fenner, Introducing Aesthetics, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 11 30 Reza A.A Wattimena, Artikel Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan,UNIKA Widya Mandala. Surabaya. 201, hlm.32 atau http:rumahfilsafat.com20111223hannah-arendt-dan-banalitas-kejahatan secara sistemik bukan sistematis. Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu yang mengerikan. Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai pertentangan atau oposisi biner binary opposition, misalnya pertentangan antara budaya tinggi high culture dan budaya massa mass culture. Perbedaan mempunyai nilai- nilai `luhur‟ indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi dan yang mempunyai nilai- nilai `bawah‟ rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan. 31 Postmodernisme pluralis mengakui kesetaraan antara tinggi dan populer, dengan menghapus metafora spasial tinggirendah, sehingga setiap bentuk mempunyai hak yang sama untuk hidup. 32 Banalitas secara harfiah menurut Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh-temeh. 33 Erik Prasetya menjelaskan pengertian banal yang dirujuk dari defenisi Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah Very Ordinary and Containing Nothing that is Interesting or Important, sesuatu yang biasa-biasa saja tidak mengandung sesuatu yang menarik dan penting. 34

3. Metode Kerja Estetika Banal

Dalam proses kerja estetika banal Erik Prasetya memilih pola kerja dan materi untuk menyatakan ekspresinya dengan memiliki warna teorits dan praktis dengan memilih kamera analog karena ingin mengandirkan kembali apa yang 31 Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan cakrawala, Bandung . 2008. 32 Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan cakrawala, Bandung . 2008. 33 Iding R. Hasan, Artikel Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010. 34 Wawancara dengan Erik Prasetya telah direkam dalam pemikirannya. Bagi Erik Prasetya estetika banal tidak memotret drama atau persitiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari yang menjadi bagian hidup fotografer. 35 Ia pun berbeda dengan kebayakan fotografer yang lain karena ia selalu mendahulukan adegan dan membiarkan pencahayaan seadanya. Ini menyebabkan karya-karya iatidak mempunyai dimensi kedalaman ruang yang membangun kenikmatan dalam memandang gambar karena kekayaan komposisi dan detail. Pilihan Erik Prasetya pada kamera film berjenis korel bulir yang halus karena saat dipaksakan push processing ia tidak membentuk bulir-bulir yang halus melainkan yang jarang dan kasar, sementara ia banyak memaksa kemampuan rekam cahaya film untuk berkerja diluar batas kemampuan. Ini mungkin saja bukan pilihan awal saat memulai kerja tetapi akhirnya mengacu pada hasil akhir yang ia rasakan sebagai maksimal. Erik tidak menanti pencahayaan yang ideal, ia memilih waktu atau lebih tepatnya moment saat pertemuan ekspresi oleh komposisi yang tepat, menjadikan satu gambar yang memiliki impresi yang maksimal. Mungkin ini dapat dikatakan sebagai antithesis bagi mereka yang mengacu pada estetika, sehingga Erik meskipun sama-sama merekam kota tetapi boleh dikatakan bersebrangan, bahkan berdiri berhadapan dengan jurufoto kota Jerman, Peter Bialobrzeski, yang menanti suasana tepat untuk diabadikan serta cenderung meniadakan manusia sebagai makhluk teraliensi di kota. Erik menangkap dinamika dan wajah manusia dan kota “sebenarnya”. 35 Wawancara dengan Erik Prasetya Begitu juga banalitas Erik justru menghadirkan suasana pencahayaan yang rill di kota Jakarta. Saat melihat karya-karya Erik tidak memliki pencahayaan yang klasik tadi, ia seperti apa yang dirasakan sehari-hari, cenderung datar dan monoton, sedang dinamika yang ada datang dari wajah, ekspresi, tindak laku manusia atau pun suasana yang ada. Menggunakan film dengan kontras rendah, pendekatan tersebut spontan sebagai estetika yang menjadi anutan dan menjadikan karya-karyanya menjadi beda karena ia mampu menghadirkan kenyataan kehidupan besar di kota besar seperti apa adanya, dan bila ada yang surreal, itu hanya pilihan hitam putih saja , kemudian saat ia berkerja memotret Jakarta estetika banal ia tidak pernah menggunakan lensa tele panjang, ia bekerja dengan lensa normal serta semi lebar karena distorsi sudut pandang mata tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja sesekali ia mengubah sudut pandang. Dalam estetika banal hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang subyek obyek. Mencari pola sintagmatik untuk menggambarkan paradigmatik. Peristiwa banal yang paradigmatik dan sintagmatik ini yang kita cari estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa yang banal. Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang bisa kita mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik. 36 36 Wawancara dengan Erik Prasetya

C. Semiotika Visual

1. Pengertian Semiotika

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di eropa sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuan Amerika. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. 37 Semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tenmgah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah kaidah yang mengaturnya. Para ahli semiotika prancis tetap mempertahankan istilah semiologi saussurean ini bagi bidang kajiannya. Dengan cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karya-karya mereka dengan karya-karya semiotik yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika Serikat. 38 Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda tanda, lambang lambang, sistem dan prosesnya. 39 Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang 37 Alex sobur. Semiotika Komunikasi Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006. h 15 38 Kris bidiman, Kosa Semiotika Yogyakarta : LKIS. 1999 h. 107 39 Puji santosa.Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra, Bandung ; Angkasa. 1931. h.3 memiliki uni t dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian, semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. 40 Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistics, mengatakan bahwa semiologi, berasal dari bahasa Yunani semeion, yang akan menyelidiki sifat tanda-tanda dan hukum yang mengatur mereka. Karena belum ada kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa itu akan ada. Linguistik hanyalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan umum. Hukum semiologi akan menemukan hukum yang berlaku dalam linguistik, dan linguistik dengan demikian akan ditugaskan ke tempat yang jelas di bidang pengetahuan manusia. 41 Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi, arti harfiahnya adalah kata-kata mengenai tanda-tanda .Kata semi dalam semiologi berasal dari semeion bahasa Latin, yang artinya tanda. Semiologi telah dikembangkan untuk menganalisis tanda tanda. 42 Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai tanda tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati dimaknai sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu dan mengharuskan perihal adanya atau mengaktualsasi perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya.Jadi, semiotika ada semua kerangka prinsip, semua disiplin studi, termasuk dapat pula 40 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006 cet 6.hal. 87 41 Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3 42 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru Yogyakarta ; tiara wacana, 2010 cet 1. h.4