Latar Belakang Masalah Analisis Semiotika Foto Pada Buku Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya
artistik, atau akademik. Fotografer mencoba untuk menghasilkan fotografi jujur, obyektif, dan biasanya jujur terhadap topik tertentu, paling sering gambar orang.
2
Namun kita dapat melihat perbedaan antara fotografi dokumenter dan foto jurnalistik, Wikipedia menuliskan, bahwa fotografi dokumenter pada umumnya
berkaitan dengan proyek-proyek jangka panjang dengan alur cerita yang lebih kompleks, sementara foto jurnalistik lebih menyiarkan berita breaking news.
Kedua pendekatan sering tumpang tindih.
3
Sedangkan fotografi jalanan street photography adalah genre non-formal fotografi yang menampilkan subyek dalam situasi candid di tempat umum seperti
jalan, taman, pantai, mall, konvensi partai politik dan latar yang terkaitnya. Fotografi jalanan dan fotografi dokumenter adalah dua genre fotografi yang
sangat mirip yang sering tumpang tindih sementara memiliki kualitas individu yang berbeda.
Fotografi jalanan memiliki kemampuan untuk mendokumentasikan sementara fotografi dokumenter memiliki niat yang pasti dari sejarah perekaman.
Fotografi dokumenter bisa berterus terang, tapi fotografi jalanan didefinisikan oleh kejujurannya. Fotografi jalanan menghasilkan hiburan yang ironis sementara
fotografi dokumenter menyediakan intensitas emosional. Bahasa fotografi jalanan yang halus dan bukan sebagai yang keras dan blak-blakan seperti pada bahasa
fotografi dokumenter.
2
http:en.wikipedia.orgwikiDocumentary_photography, diakses 10 Maret 2013
3
http:en.wikipedia.orgwikiDocumentary_photography, diakses 10 Maret 2013
Pada abad ke-19, puncak fotografi jalanan, kebanyakan fotografer adalah naif untuk menyajikan fakta bahwa mereka mendokumentasika sejarah sebagai
fotografer jalanan mereka tidak punya niat tertentu atau tujuan di luar produksi cetak candid.
4
Foto-foto Erik Prasetya adalah sebuah studi atas Jakarta, ia melakukannya selama 20 tahun sebagai seorang warga di dalam ruang dan peristiwa kota itu.
Kemudian hadir di dalam lokasi tersebut. Ia adalah fotografer kelahiran Padang tahun 1958 yang menawarkan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai
“Estetika Banal”. Estetika tentu saja mengandung keindahan, sedangkan banal berarti kasar, membosankan, atau menjenuhkan.
5
Foto-foto Erik adalah apa yang disebut dengan praktik voyeurisme
6
, dengan memaknai ruang hidup kota Jakarta dengan komplesitasnya, manusia Jakarta. Hal ini ia utarakan dalam bukunya
bahwa ia tertarik pada wajah manusia dan pergerakannya di dalam kota. Ia tidak tertarik pada bangunan dan struktur yang kosong.
7
Begitupun, foto-foto Erik bagian dari fotografi jalanan yang memiliki subyektifitasannya sebagai pendekatan dalam membahasakan fotografi secara
4
http:en.wikipedia.orgwikiDocumentary_photography, diakses 10 Maret 2013
5
Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal: Dewan Kesenian Jakarta, 2011, hal 11
6
Menurut Wikipedia Voyeurisme adalah minat seksual di atau praktik memata-matai orang yang terlibat dalam perilaku yang intim, seperti membuka baju, aktivias seksual, atau
tindakan yang biasanya dianggap bersifat pribadi. Karakteristik utama dari voyeurisme adalah bahwa voyeur tidak biasanya berhubungan langsung dengan subyeknyaminatnya, yang sringkali
tidak menyadari sedang diamati. Voyeurisme mungkin melibatkan pembuatan sebuah foto atau video rahasia dari subyek selama kegiatan intim. Ketika kepentingan dalam subyek tertentu yang
obsesif, perilaku yang apat digambarkan sebagai menguntit.
http:en.wikipedia.orgwikiVoyeurism, diakses 10 Maret 2013. Namun dalam perkembangannya praktik voyeurisme tidak melulu soal seksualitas melainkan merambah ke hal
yang lain dan apa yang dilakukan oleh Erik coba mengintip karakteristik kota Jakarta dari sudut bidikan fotonya.
7
Erik Prasetya, Jakarta: Estetika Banal. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia KPG, 2011.
lebih halus dan jujur serta turut membentuk wajah kota seperti foto-foto Henri Cartier-Bresson yang turut andil membentuk kota Paris.
8
Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa
sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu
tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam membangun kotanya.
Buku Jakarta Estetika Banal adalah statement Erik dalam merekam dan menghayati kota Jakarta dengan keterlibatannya sebagai bagian dari warga kota
Jakarta. Bagi Erik, kota Jakarta dengan penduduk melebihi 10 juta orang tersebut berkembang menjadi “kota informal”. Sederhananya, kota informal adalah kota
yang lebih tidak terencana ketimbang terencana. Kota yang utamanya terbentuk dari sektor informal.
9
Foto-foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal dimulai di awal tahun 1990-an, dimana ia memulai proyek pemotretan Jakarta. Akhir masa Orde
Baru, tahun 1990-an, adalah periode ketika warga kehilangan ruang publik dan mal menjadi ruang publik pengganti bagi kelas menengah. Awal 2000-an adalah
era kelas menengah yang menjadi asal sebagian besar fotografer profesional.
10
8
Saya ulas dari Wikipedia, Street Photography, http:en.wikipedia.orgwikiStreet_photography, diakses 10 Maret 2013
9
Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia KPG, Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman.
10
Ibid
Namun Erik mencoba keluar dari pendekatan eksotis romantis dalam memotret sebuah obyek. Apa yang ia hadirkan dalam proyek pemotretan Jakarta
yang terhimpun dalam bukunya ini merupakan antithesis dari dominasi pendekatan yang sering digunakan oleh para jurufoto. Erik menangkap kota
Jakarta dengan banalitasnya dan sesuatu yang hambar, biasa-biasa saja bahkan membosankan. Ini tak terlepas dari pandangan Erik mengenai kota Jakarta yang
tidak terencana dengan baik dan semerawut.