1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara Minerba. Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan
alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan
semaksimal mungkin.
2
Menurut Survei Geologi Amerika Serikat USGS Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu,
dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk
produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke,
mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3 dari
cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7 dari produksi emas dunia dan
menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran.
menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1 dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1 dari cadangan tembaga dunia, dan
merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4 dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar
biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9 dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6 dan merupakan
peringkat ke-4 dunia.
3
Ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan batubara belum
memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru yang lebih
bermanfaat dan bernilai jual tinggi.
4
Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak PNBP
mineral. Tabel 1
Pendapatan Negara Bukan Pajak PNBP sektor Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM
Sumber : http:www.majalahglobalreview.comindustripertambangan13-pertambangan 105- tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html
3
http: w w w . i m a - a p i . c o m i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t v i e w = articleid=1937:potensi-dan-tantangan-pertambangan-di-indonesiacatid=47:media-
newsItemid=98lang=id diakses tanggal 9 Desember 2014
4
Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010,
hlm.25.
NO TAHUN PERTAMBANGAN UMUM
MIGAS TOTAL
MINERAL BATU BARA
1 2007
Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun 2
2011 Rp. 3.42 triliun Rp. 20.8 triliun Rp. 193.1 triliun Rp. 217.3 triliun
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara
berkelanjutan.
5
Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti
luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud.
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan beleid
dan tindakan pengurusan bestuursdaad, pengaturan regelendaad, pengelolaan beheersdaad, dan pengawasan toezichtoudensdaad untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
6
Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah,
tanpa dilakukan pengolahan danatau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain,
5
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Penjelasan Umum
6
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022PUU-I2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi
tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah value-added secara langsung sebagaimana yang diharapkan.
7
Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian
sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir
terkait.
8
Multiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan
surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan kemandirian
fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai tambah total
untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dasar filosofis peningkatan nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku industri, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.
9
Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada
saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
7
Suryartono, dkk., Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar Semarang: Studi Nusa,2003, hlm.191.
8
Juwita, Catherine, Perbedaan Pengaturan Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Dampaknya Terhadap Investasi Pertambangan Tembaga di Indonesia Studi Kasus: Kontrak Karya PT Freeport Indonesia
Company, Skripsi Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, 2013, hlm.66.
9
Ibid.
Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi pengolahan dan pemurnian sebagai “pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan
galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu”.
10
Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus
diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.
11
Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan-
perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di
dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan
sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk Kuasa Pertambangan KP belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan
nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.
12
Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
10
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 2 huruf f.
11
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan, Penjelasan Pasal 15.
12
Prasetyo, Sony Heru, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa
Tenggara,” Tesis Magister Ilmu Hukum ,Universitas Indonesia, 2013, hlm.48.
sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan
potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara
berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia.
13
Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia.
Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan IUP atau Izin Usaha Pertambangan Khusus IUPK tanpa membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral danatau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan
Pasal 103 ayat 1 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan
di dalam negeri”. Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan
pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1 selambat-lambatnya 5 lima tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Untuk menjawab persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut sebagai UU Minerba.
13
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran bagian c.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang
berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya KK wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral danatau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan
waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang
Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan dan membangun fasilitas pemurnian smelter dalam negeri. Mengingat waktu
yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur,
sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 5 lima tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas
pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12 Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan
IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak
diberlakukannya UU Minerba.
14
Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan
Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor
bijih raw material atau ore daripada membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang
sangat tajam terhadap volume ekspor bijih raw material atau ore.
14
Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10PPU-XII2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6.
nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap
mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri
menjadi tidak ada artinya.
15
“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih
raw material atau ore adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala
bijih raw material atau ore tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih raw material atau ore dilarang. Hal tersebut adalah wajar
dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih raw material atau ore yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat
dijamin manakala ekspor bijih raw material atau ore dilarang.” Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap
perkara Nomor 10PUU-XII2014 menyatakan sebagai berikut:
16
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai
tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap
mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih raw material atau ore ke luar negeri tanpa proses pengolahan
danatau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih raw material atau ore harus diolah danatau dimurnikan terlebih
dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor. Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore
15
Yusril Ihza Mahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10PUU-XII2014 tanggal 1 September 2014, hlm.7.
16
Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10PPU-XII2014 tanggal 23 Oktober 2014, hlm.175.
pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 empat
peraturan terkait pelarangan ekspor bijih raw material atau ore. Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batuba; kedua, Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri;
ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04M-DAGPER12014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian;
keempat, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 PMK.011 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 PMK.011 2012
Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.
Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya
pemutusan hubungan kerja PHK massal hal ini dikarenakan beberapa perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter.
17
17
Hilirisasi Berbuntut PHK Massal,
Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah
pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran,
perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi.
http:arsip.tambang.co.idprint.php?category=18newsnr=8652 diakses tanggal 25 Februari 2015.
Terkait dengan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap
pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai
Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya KK serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia
dan Belanda.
18
Tidak berhenti sampai disitu pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur
mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari
barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk larangan impor atau ekspor secara umum.
19
Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai
pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 tiga prasyarat, yaitu:
1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; 2.
Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut; dan
18
Newmont gugat Repubik Indonesia, http:bisnis.news.viva.co.idnewsread517791- dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase diakses tanggal 26 Februari
2015.
19
Pratama, Agi Gilang, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the
Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” Diponegoro Law Review, Volume 1, No.2, 2013, hlm.7.
3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan
larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.
20
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan skripsi ini diberi judul:
“Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade GATT”.
B. Perumusan Masalah