125
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia tidak
tercantum dengan tegas dan jelas pada tingkat undang-undang serta peraturan- peraturan pelaksananya kecuali pada Permendag Nomor 4 Tahun 2014.
Kebijakan tersebut lahir dari penafsiran-penafsiran terhadap Pasal-Pasal yang terdapat dalam UU Minerba dan peraturan-peraturan pelaksananya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 10PUU- XII2014 kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah merupakan
konsekuensi dari kebijakan peningkatan nilai tambah yang diamanatkan oleh UU Minerba. Mahkamah Konstitusi menyatakan wajar pemerintah menyusun
peraturan pelarangan ekspor mineral mentah, karena kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut dapat terlaksana apabila terdapat cadangan mineral
mentah dalam negeri yang cukup dan untuk itu maka ekspor mineral mentah dilarang.
2. Penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan
pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah selalu mengedepankan penyelesaian sengketa alternatif yaitu melalui
negosiasi, hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar hubungan antara pemerintah dan pengusaha pertambangan dapat terjaga dengan baik sehingga
dapat menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia. Hal tersebut dapat
dilihat dari sengketa antara pemerintah dengan PTNNT terkait dengan pelarangan ekspor mineral mentah dimana pemerintah terus mengedepankan
negosiasi dalam perselisihan tersebut, walaupun negosiasi tersebut sempat terhenti karena PTNNT mengajukan gugatan ke arbitrase internasional ICSID,
namun setelah PTNNT mencabut gugatannya pemerintah kembali membuka pintu negosiasi. Sehingga pada akhirnya tercapai kesepakatan antara kedua
belah pihak yang tertuang dalam bentuk nota kesepahaman. UU Minerba mengamanatkan semua Kontrak Karya yang telah dibuat sebelum
terbentuknya UU Minerba harus disesuaikan paling lama satu tahun setelah diundangkannya peraturan tersebut. Jika pemerintah konsisten dalam
menjalankan amanat UU Minerba tersebut tentu saja kasus PTNNT ini tidak mungkin terjadi.
3. Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah berkedudukan dibawah prinsip-
prinsip GATT hal tersebut dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization WTO yang
merupakan satu kesatuan dengan GATT sehingga seharusnya dalam perumusan pengaturan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang terdapat di dalam GATT. Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1994
sehingga Indonesia dalam membuat pengaturan yang terkait dengan perdagangan internasional harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam GATTWTO. Tetapi pada kenyataannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan oleh Indonesia berindikasi
melanggar ketentuan hambatan kuantitatif yang terdapat dalam GATT kecuali
kebijakan pelarangan ekspor yang berbentuk bea keluar, karena hambatan atau larangan ekspor dalam bentuk bea keluar diperkenankan oleh ketentuan Pasal
XI ayat 1 GATT. Walaupun kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dibawah ketentuan Pasal XI ayat 2 dan Pasal XX GATT namun berdasarkan
pembahasan diatas besar kemungkinan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tidak dapat dijalankan dibawah ketentuan Pasal XI ayat 2 dan XX
GATT. Hal ini disebabkan karena kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut hanya memenuhi sebagian dari keseluruhan syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk dapat dijalankan di bawah Pasal XI ayat 2 dan Pasal XX GATT. Besar kemungkinan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah
dapat diterapkan di bawah pasal XX huruf g GATT. Namun kebijakan tersebut harus diberlakukan juga terhadap konsumsi dalam negeri, dengan kata
lain mineral mentah tersebut harus diolah danatau dimurnikan tidak hanya sebelum diekspor tetapi juga untuk konsumsi dalam negeri.
B. Saran