BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Epibentik
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun di Perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara didapat 7 genus epibentik yang
tergolong ke dalam 2 filum, 5 kelas, 7 ordo, dan 7 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Klasifikasi Epibentik yang Didapatkan pada Stasiun Penelitian
No. Filum
Kelas Ordo
Famili Genus
1. Echinodermata
1.Asteroidea 1.Spinilisida
1.Achantasteridae 1.Achantaster
2.Valvatida 2.Archasteridae
2.Archaster 2.Echinodea
3.Cidaroidea 3.Diadematidae
3.Diadema 3.Holothuroidea
4.Aspidochirotida 4.Holothuriidae
4.Holothuria 2.
Mollusca 4.Bivalvia
5.Veneroida 5.Tradacnidae
5.Tridacna 6.Nuculida
6.Nuculidae 6.Nucula
5.Gastropoda 7.Archeogastropoda
7.Trochidae 7.Trochus
Dari hasil penelitian dijumpai 2 filum epibentik di perairan Pulau Ungge yaitu, filum Echinodermata dan Moluska. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan
masih cukup baik untuk habitat kedua filum tersebut. Filum Echinodermata banyak ditemukan di perairan yang banyak terdapat terumbu karang, sedangkan
filum Moluska umumnya banyak dijumpai di dalam substrat. Menurut Clark Rowe 1971, Echinodermata merupakan salah satu
kelompok biota penghuni terumbu karang yang cukup menonjol. Kehadiran dan peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak.
Echinodermata mempunyai peranan pada ekosistem terumbu karang sebagai jaringan makanan dan juga sebagai herbivora, carnivora, omnivora ataupun
sebagai pemakan detritus. Menurut Irawan 2008 filum moluska pada umumnya menempati zona
litoral dan banyak terdapat di dalam substrat perairan yang terbenam dalam
substrat lumpur berpasir. Tetapi ada juga moluska yang terdapat di daerah rataan terumbu karang, rataan pasir, serta permukaan substrat perairan.
4.2 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Epibentik
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian nilai kepadatan populasi ind.m
2
, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
pada setiap stasiun penelitian terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2. Nilai Kepadatan indm
2
, Kepadatan Relatif , dan Frekuensi Kehadiran Epibentik
No. Jenis
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 K
KR FK
K KR
FK K
KR FK
Echinodermata
1. Achantaster plancii
- -
- -
- -
0,003 2,632
33,333 2.
Archaster typicus 0,006
5,217 33,333
0,008 10
66,666 0,006
5,263 33,333
3. Diadema setosum
0,006 5,217
66,666 0,014
16,667 66,666
- -
- 4.
Holothuria sp. 0,006
5,217 66,666
- -
- 0,003
2,632 33,333
Moluska
5. Nucula sp.
0,019 16,522
100 0,011
13,333 100
0,019 18,421
100 6.
Tridacna sp. 0,064
55,652 100
0,047 56,667
100 0,069
65,789 100
7. Trochus niloticus
0,014 12,174
100 0,003
3,333 33,333
0,006 5,263
66,666
Jumlah 0,115
0,083 0,106
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa spesies Tridacna sp. memiliki nilai kepadatan, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, yang tinggi pada masing-
masing stasiun. Pada stasiun 1 nilai K Tridacna sp. sebesar 0,064 indm
2
, KR sebesar 55,652, FK sebesar 100. Pada stasiun 2 nilai K Tridacna sp. sebesar
0,047 indm
2
, FK sebesar 56,667, KR sebesar 100. Pada stasiun 3 nilai K Tridacna
sp. sebesar 0,069 indm
2
, KR sebesar 65,789, FK sebesar 100. Tingginya nilai kepadatan, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran Tridacna sp.
pada setiap stasiun dikarenakan perairan Pulau Ungge memiliki penetrasi cahaya yang tinggi sehingga Tridacna dapat hidup dengan baik. Menurut Rosewater
1965 menyatakan bahwa Tridacna memerlukan perairan yang dangkal pada
terumbu karang sebagai habitatnya. Tridacna memerlukan kondisi lingkungan
perairan yang jernih dengan salinitas yang tinggi serta substrat yang cukup aman untuk menempel pada awal hidupnya.
Hasil penelitian pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa spesies Achantaster plancii
dan Holothuria sp. memiliki nilai kepadatan, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran terendah dengan nilai K sebesar 0,003 indm2, KR
sebesar 2,632, FK sebesar 33,333. Rendahnya nilai K, KR, FK pada Achantaster plancii
di karenakan pada stasiun ini populasi bintang laut pemakan karang ini relatif rendah dan hanya ditemukan pada stasiun 3 karena Achantaster
plancii ini ditemukan menempel di terumbu karang atau di bawah terumbu karang
berbentuk meja yang hanya terdapat pada stasiun 3. Menurut Arbi Supono 2012, bahwa Achantaster plancii ini menyukai karang bercabang atau jenis
karang meja, dan bintang laut pemakan karang ini lebih menyukai tempat yang terlidung dari predator maupun arus laut. Menurut Endean, 1987, kehadiran
Achantaster plancii dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum di
ekosistem terumbu karang. Jika kepadatan populasi lebih dari 14 ind1000m
2
, maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang. Sedangkan rendahnya
nilai K, KR, FK pada Holothuria sp. di karenakan spesies ini hidupnya bersembunyi di lubang atau membenamkan diri dalam pasir dan bersembunyi di
terumbu karang sehingga sulit untuk di jumpai. Brotowidjojo 1994, menyatakan bahwa Holothuria sp. merayap lambat, bersembunyi dalam lubangcelah batu dan
karang serta membenamkan diri dalam lumpur atau pasir laut. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari dan berkeliaran untuk mencari makan sehingga pada
siang hari jarang di jumpai. Hasil penelitian pada stasiun 1 yang memiliki nilai K, KR, FK terendah
pada spesies Archaster typicus yaitu dengan nilai K sebesar 0,006 indm
2
, KR sebesar 4,878, FK sebesar 33,333. Hal ini di karenakan pada stasiun ini
memiliki terumbu karang yang masih baik dengan persentase tutupan karang sebesar 74,63 disebabkan daerah ini masih alami dan tidak banyak aktifitas
manusia, karena Archaster typicus ini habitatnya merupakan campuran dari pasir, patahan karang dan beberapa terdapat pada vegetasi lamun. Menurut Muzahar et
all ., 2013, menyatakan bahwa jenis Archaster typicus ini banyak ditemukan
pada suatu perairan yang memiliki tipe substrat pasir halus yang sesuai dengan habitat jenis ini.
Hasil penelitian pada stasiun 2 yang memiliki nilai K, KR, FK terendah adalah Trochus niloticus yaitu dengan nilai K sebesar 0,003 indm
2
, KR sebesar 3,333, FK sebesar 33,333. Hal ini dikarenakan pada stasiun ini memiliki
terumbu karang dengan persentase tutupan karang rendah sebesar 62,57 terdapat banyak karang mati serta berpasir karena pada stasiun ini merupakan daerah dekat
dengan dermaga dan jalur bagi perahu-perahu nelayan menuju tempat peristirahatan bagi para nelayan di pulau ini sehingga tidak memungkinkan
Trochus niloticus untuk hidup pada daerah ini. Menurut Alexander 2011,
menyatakan bahwa adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hayati, serta habitat yang tidak cocok untuk jenis Trochus niloticus hidup pada
habitat karang mati yang di tumbuhi mikro alga.
4.3. Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Epibentik pada setiap stasiun Penelitian