spesies yang telah terindefikasi, dan di Indonesia diketahui terdapat 295 spesies Nontji, 1993.
Kehadiran dan peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak, mempunyai peranan sebagai jaringan makanan dan juga
sebagai herbivora, karnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan detritus. Salah satu contonya adalah beberapa jenis teripang dan bulu babi merupakan sumber
pakan untuk berbagai jenis ikan karang dan apabila terjadi peningkatan kelimpahan bisa membawa perubahan besar dalam struktur komunitas koral
Clark Rowe 1971, dalam Hutauruk, 2009.
2.3.3 Molusca
Salah satu kelompok hewan tak bertulang belakang invertebrata yang populasinya terbesar adalah filum moluska. Hewan ini hidup menyebar diberbagai
habitat, dari dataran tinggi sampai pada kedalaman tertentu di dasar laut Mudjiono, 2009.
Molusca merupakan salah satu komunitas fauna yang dominan di daerah rataan terumbu reef flat. Molusca dapat hidup diberbagai habitat seperti terumbu
karang, rataan pasir, pertumbuhan algalamun dan juga di daerah yang berdasar lumpur Nybakken, 1982 dalam Mudjiono, 2009. Secara ekologis keberadaan
molusca dapat menggambarkan baik dan buruknya kondisi suatu lingkungan tertentu.
2.4 Faktor Fisika dan Kimia Pada Ekosistem Air a. Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting dalam metabolisme dan distribusi organisme perairan. Suhu perairan berpengaruh sangat kompleks
terhadap hewan bentos baik yang epifauna maupun infauna, baik secara langsung maupun melalui interaksi dengan faktor kualitas air lainnya Hawkes, 1978 dalam
Ruswahyuni, 2010. Menurut Sukarno 1981 dalam Wijayanti 2007, bahwa suhu perairan
merupakan parameter fisika yang sangat mempengruhi pola kehidupan biota akuatik seperti penyebaran, kelimpahan dan mortalitas, suhu dapat membatasi
sebaran hewan epibentik secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan epibentik berkisar antara 25 - 31°C.
b. pH Derajat Keasaman
Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan
berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi Pescod, 1973 dalam Wijayanti,
2007 Setiap spesies organisme perairan memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap pH. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7 - 8,5. Menurut Nybakken 1992 kadar pH di lingkungan laut
umumnya relatif stabil dengan kisaran 7,5-8,4. Nilai pH yang rendah menunjukkan adanya reaksi kimiawi dalam suasana basa. Umumnya kematian
organisme lebih banyak diakibatkan oleh pH yang rendah dibandingkan dengan pH yang tinggi.
c. Salinitas
Perairan laut tropis memiliki kisaran nilai 34‰ - 35‰ untuk salinitas Nontji, 1993. Menurut Nybakken 1992, perubahan salinitas pada zona intertidal akan
menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang kebanyakan menunjukan toleransi yang terbatas terhadap perubahan salinitas.
Kisaran yang masih dapat ditolerir oleh hewan epibentik adalah 15‰ - 30‰. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara
vertikal maupun horizontal. Menurut Barnes 1980 pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu
ekosistem.
d. Arus