pada suatu perairan yang memiliki tipe substrat pasir halus yang sesuai dengan habitat jenis ini.
Hasil penelitian pada stasiun 2 yang memiliki nilai K, KR, FK terendah adalah Trochus niloticus yaitu dengan nilai K sebesar 0,003 indm
2
, KR sebesar 3,333, FK sebesar 33,333. Hal ini dikarenakan pada stasiun ini memiliki
terumbu karang dengan persentase tutupan karang rendah sebesar 62,57 terdapat banyak karang mati serta berpasir karena pada stasiun ini merupakan daerah dekat
dengan dermaga dan jalur bagi perahu-perahu nelayan menuju tempat peristirahatan bagi para nelayan di pulau ini sehingga tidak memungkinkan
Trochus niloticus untuk hidup pada daerah ini. Menurut Alexander 2011,
menyatakan bahwa adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hayati, serta habitat yang tidak cocok untuk jenis Trochus niloticus hidup pada
habitat karang mati yang di tumbuhi mikro alga.
4.3. Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Epibentik pada setiap stasiun Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian diperoleh indeks keanekaragaman H’ dan indeks keseragaman E, seperti terlihat pada
Tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3. Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Epibentik pada setiap stasiun Penelitian
Stasiun 1
2 3
Keanekaragaman H’ 1,32
1,46 1,08
Keseragaman E 0,74
0,91 0,60
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa Indeks Keanekaragaman H’ tertinggi terdapat pada Stasiun 2 sebesar 1,46 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,08.
Tingginya nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 2 karena penyebaran dari jumlah tiap spesiesnya merata, dimana pada stasiun ini daerah terumbu karangnya
dijumpai substrat berupa karang mati, batu dan pasir. Menurut Brower et.al 1990, suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang
tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies merata.
Rendahnya nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 3 disebabkan karena melimpahnya penyebaran jumlah individu dari genus Tridacna sehingga
menyebabkan penyebaran jumlah individu pada tiap spesiesnya tidak merata. Menurut Odum 1993, keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau
penyebaran individu tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman
jenis dinilai rendah. Menurut Kastoro et all 1982, keanekaragaman jenis ini di pengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kestabilan suatu lingkungan pola rantai
makanan, macam sedimen, kompetisi antar dan intra jenis ataupun individu. Menurut Barus, 2004 menyatakan suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu maing-masing spesies yang relatif merata. Dari nilai
Indeks Keanekaragaman yng diperoleh berkisar antara 1,08-1,46 dapat digolongkan bahwa pada daerah ini memiliki nilai keanekaragaman rendah.
Indeks Keseragaman E yang diperoleh dari 3 stasiun penelitian berkisar 0,60-0,91. Nilai Indeks Keseragaman E tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar
0,91 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,60. Tingginya nilai indeks keseragaman pada stasiun 2 daerah dekat dermaga, jumlah spesies dari dari
masing-masing genus yang diperoleh tidak semua mendominasi, hal ini menunjukkan bahwa keseragaman populasi epibentik besar artinya penyebaran
tiap jenis seragam. Hal ini terlihat pada nilai keseragaman pada stasiun 2 mendekati 1. Nilai Indeks Keseragaman yang terendah terdapat pada stasiun 3
sebesar 0,60. Pada stasiun ini menunjukkan bahwa keseragaman penyebaran individu tiap jenis tidak merata dan ada spesies yang mendominasi pada stasiun
ini. Menurut Fachrul, 2007 indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota merata atau tidak. Nilai indeks keseragaman E berkisar antara 0-1. Apabila
nilainya mendekati 0 maka tingkat keseragamannya dikatakan tidak merata dan ada jenis yang mendominasi. Apabila nilainya mendekati 1 maka tingkat
keseragamannya merata.
4.4. Indeks Similaritas IS Epibentik pada Setiap Stasiun Penelitian