4.4. Indeks Similaritas IS Epibentik pada Setiap Stasiun Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks similaritas IS seperti pada Tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4. Nilai Indeks Similaritas IS pada Setiap Stasiun Penelitian 1
2 3
Stasiun 1 -
90,90 83,33
Stasiun 2 -
72,72 Stasiun 3
- -
- Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai
indeks similaritas IS yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stasiun yang mempunyai kriteria sangat mirip
adalah antara stasiun 1 dengan 2, stasiun 1 dan 3. Sedangkan stasiun yang mempunyai kriteria mirip adalah antara stasiun 2 dengan 3. Kemiripan ini karena
faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun sehingga menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies pada stasiun tersebut. Menurut
Moss 1980 dalam Silaban 2014, jika beberapa lokasi memiliki faktor-faktor lingkungan yang hampir sama, maka akan terdapat persamaan taksa antara lokasi-
lokasi tersebut. Kesamaan epibentik antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.
Dalam hal ini yang paling penting diantaranya yaitu ketersedian nutrisi makanan, dan kondisi dasar substrat perairan.
4.5. Faktor Fisik-Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik- kimia pada setiap stasiun penelitiannseperti pada Tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5. Nilai Faktor Fisik-Kimia pada Setiap Stasiun Penelitian
No. Parameter Fisik-Kimia
Satuan Stasiun
1 2
3
1. Temperatur air suhu
°
C 28,5
29 28
2. Salinitas
‰ 31
31 30
3. Intensitas cahaya
Candala 790
720 680
4. pH air
- 7,9
7,8 7,6
5. DO
mgL 6,00
6,1 5,5
6. BOD5
mgL 1,7
1,9 2,1
7. COD
mgL 3
2,6 3,5
8. TDS
mgL 31,5
32,2 32,6
9. TSS
mgL 5
5 6
4.5.1 Suhu
Hasil pengukuran suhu pada 3 stasiun penelitian, berkisar 28-29
°
C. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan Pulau Ungge masih dalam kisaran
normal untuk perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang
dapat menimbulkan pencemaran, sehingga epibentik dapat hidup di perairan tersebut. Menurut Romimotarto Juwana 2001, bahwa suhu alami air laut
berkisar antara suhu dibawah 0
°
C sampai 33
°
C dan perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap kehidupan epibentik.
4.5.2 Salinitas
Nilai Salinitas yang diperoleh pada 3 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar 30-31‰. Nilai salinitas yang diperoleh pada masing-masing stasiun
masih berada dalam batas yang normal yang masih sesuai untuk pertumbuhan epibentik. Menurut Nybakken 1992, bahwa kondisi yang baik bagi pertumbuhan
hewan karang seperti epibentik yang berkisar antara 32-35‰. Menurut Kinsman 1964, menyatakan bahwa salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekita 35‰,
dan hewan karang dapat hidup subur pada kisaran salinitas 34-35‰.
4.5.3 Intensitas Cahaya
Intensitas Cahaya yang tertinggi pada stasiun 1 sebesar 790 Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 680 Candela. Intensitas cahaya merupakan faktor
cahaya matahari yang masuk ke dalam air yang akan berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan biota air baik itu inbentik dan
epibentik dalam habitatnya. Menurut Barus 2004, dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang
signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut
memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton sebagai makanan bagi biota air. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar
yairu sebagai sumber energi untuk proses kehidupan bagi biota air Romimohtaro Juwana, 2001.
4.5.4 pH potential of Hydrogen
Derajat keasaman atau kebasaan pH tertinggi pada stasiun 1 yaitu 7,9 sedangkan yang paling rendah pada stasiun 3 yaitu 6,7. Secara keseluruhan nilai
pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung untuk kehidupan epibentik. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Menurut
Sutrisno 1987, pH optimun untuk spesies epibentik berkisar 6,0-8-0. Effendi 2003 menjelaskan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5, kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena
akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.
4.5.5 Oksigen Terlarut DODissolved Oxygen
Nilai DO yang diperoleh dari 3 stasiun penelitian ini berkisar 5,5-6,1 mgl. Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,1 mgl sedangkan terendah pada
stasiun 3 yaitu 5,5 mgl. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam perairan. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari
adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik,
sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Menurut Dowing 1984, dalam Sudarja 1987, mengatakan bahwa kadar DO yang dibutuhkan oleh
epibentik berkisar 1,00-3,00 mgl. Semakin besar kadar DO dalam suatu ekosistem, maka semakin baik pula bagi kehidupan epibentik yang mendiaminya.
4.5.6 BOD
5
Biochemical Oxygen Demand
Hasil BOD
5
yang diperoleh dari 3 stasiun berkisar antara 1,7-2,1 mgl. Nilai BOD
5
yang tertinggi pada stasiun 3 yaitu 2,1 mgl sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 1,7 mgl. Nilai BOD
5
pada setiap stasiun menunjukkan bahwa perairan pulau ungge masih bersih dari pencemaran, pengujian BOD
5
penting dalam aktivitas pengendalian pencemaran perairan. Dalam hal ini perairan pulau
ungge masih cocok untuk kehidupan epibentik. Menurut Brower et all., 1990 dalam
Hutauruk 2009 menyatakan bahwa, apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mgl O
2
, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mgl O
2
menunjukkan bahwa tingkat pencemaran
oleh senyawa organik tinggi.
4.5.7 COD Chemical Oxygen Demand
Hasil COD yang diperoleh dari 3 stasiun berkisar antara 2,6-3,5 mgl. Nilai COD yang tertinggi pada stasiun 3 yaitu 35 mgl sedangkan terendah pada
stasiun 2 sebesar 2,6 mgl. Hasil pengukuran nilai COD menunjukkan bahwa perairan pulau Ungge ini masih dalam kondisi yang baik dan belum tercemar,
karena nilai COD kurang dari 20 mgl dalam suatu perairan belum tercemar sehingga pada perairain ini biota laut khususnya epibentik dapat hidup di perairan
ini. Menurut Effendi 2003, COD sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi
secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO
2
dan H
2
O. Perairan yang mengandung kadar COD yang tinggi, memerlukan oksigen untuk proses
oksidasi kimia, hal ini menurunkan cadangan oksigen dalam air.
4.5.8 TDS Total Dissolved Solid
Hasil TDS yang diperoleh dari 3 stasiun berkisar antara 31,5-32,6 mgl. Nilai TDS yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 32,6 mgl sedangkan terendah
pada stasiun 1 sebesar 31,5 mgl. Menurut Levintto 1982, bahwa nilai total dissolved solid
mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu perairan. Nilai TDS mempengaruhi kecerahan dan warna air, semakin tinggi
jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparasi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air sehingga secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi kehidupan dari biota laut termasuk epibentik.
4.5.9 TSS Total Suspended Solid
Hasil TSS yang diperoleh dari 3 stasiun berkisar antara 5-6 mgl. Nilai TSS yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6 mgl sedangkan terendah pada stasiun
1 2 sebesar 5 mgl. Nilai TSS yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pencemaran dan menghambat penetrasi cahaya kedalam air sehingga
mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis dari biota air. Menurut Effendi 2003, menyatakan bahwa, padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi
positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan yang akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam suatu
perairan yang selanjutnya akan menghambat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan epibentik.
4.6. Analisis Korelasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai analisis korelasi indeks keanekaragaman epibentik dengan faktor fisik kimia perairan seperti pada
Tabel 4.6. berikut ini:
Tabel 4.6 Nilai Analisis Korelasi Indeks Keanekaragaman Epibentik dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
Temperatur Salinitas
Intensitas cahaya pH
DO BOD5
COD TDS
TSS H’
+0,989 +0,931
+0,495 +0,761
+0,977 -0,624
-0,996 -0,495
-0,931 Keterangan:
Nilai + : Arah Korelasi Searah
Nilai - : Arah Korelasi Berlawanan
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi menunjukkan antara faktor fisik kimia perairan terhadap indeks keanekaragaman epibentik berbeda
tingkat korelasi dan arah korelasinya. Nilai + menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor kimia perairan temperatur, salinitas, DO dengan nilai Indeks
Keanekaragman H’ . Berkorelasi searah dengan Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik kimia maka nilai Indeks
Keanekaragaman akan semakin tinggi sampai dalam batas toleransi. Nilai - menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu COD dan TSS berkorelasi
berlawanan dengan Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia perairan tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga
sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar.
Nilai analisis korelasi Indeks Keanekaragaman H’ antara keanekaragaman epibentik dengan temperatur berkorelasi searah, semakin tinggi
nilai temperatur maka nilai Indeks Keanekaragaman H’ semakin tinggi sampai dalam batas toleransi. Temperatur perairan merupakan parameter fisika yang
sangat mempengruhi pola kehidupan biota akuatik seperti penyebaran, kelimpahan dan mortalitas. Menurut Wels 1980, menyatakan bahwa hewan
makroinvertebrata air pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur tinggi dan pada tingkat tertentu dapat mempercepat siklus hidup
sehingga lebih cepat dewasa. Temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik
dalam melakukan respirasi karena rendahnya kadar oksigen terlarut. Nilai analisis korelasi Indeks Keanekaragaman H’ antara
keanekaragaman epibentik dengan Oksigen terlarut DO berkorelasi searah, semakin tinggi nilai DO maka nilai Indeks Keanekaragaman H’ semakin tinggi
sampai dalam batas toleransi. Menurut Sanusi 2004, nilai DO yang berkisar di antara 5,45-7,00 mgl cukup bagi proses kehidupan biota perairan. DO Oksigen
terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air
sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi, dimana kelarutan maksimum
oksigen di dalam air pada temperatur 0°C sebesar 14,16 mgl O
2
, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat Barus, 2004.
Nilai analisis korelasi Indeks Keanekaragaman H’ antara keanekaragaman epibentik dengan salinitas berkorelasi searah, semakin tinggi
nilai salinitas maka nilai Indeks Keanekaragaman H’ semakin tinggi sampai dalam batas toleransi. Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang
membedakannya dengan air tawar. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal. Menurut Barnes
1980 pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu ekosistem. Salinitas rata-rata di daerah tropis adalah
sekitar 35‰, dan organisme laut tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas laut normal, 32-35‰ Brotowidjojo et al., 1995.
Namun pengaruh salinitas tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam seperti badai dan hujan Supriharyono, 2002.
Nilai analisis korelasi Indeks Keanekaragaman H’ antara keanekaragaman epibentik dengan COD berkorelasi tidak searah berlawanan,
dengan nilai -0,996 dengan tingkat hubungan sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa COD berkorelasi berlawanan terhadap indeks keanekaragaman epibentik
sehingga peningkatan kadar COD dapat mengakibatkan semakin rendah terhadap nilai indeks keanekaragaman epibentik. Menurut Boyd, 1988, banyaknya bahan
pencemar yang masuk kedalam badan perairan akan mempengaruhi kelangsungan hidup biota perairan.
Nilai korelasi antara TSS dengan Indeks keanekaragaman H’ epibentik adalah -0,931 dengan tingkat hubungan sangat kuat dengan arah korelasi yang
berlawanan. Semakin tinggi nilai TSS maka nilai Indeks Keanekagaman H’ semakin rendah. Hal ini disebabkan karena TSS merupakan parameter fisik-kimia
yang berkaitan dengan kekeruhan dan kecerahan suatu perairan. Sebaran dan total padatan tersuspensi secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi biota
laut. Menurut Suci et all 2004 bahwa, kekeruhan TSS secara umum mengganggu biota dikarenakan akan menghalangi masuknya sinar matahari bagi
kebutuhan fosintesis fitoplankton, menurunkan kesedian oksigen terlarut, memicu sedimentasi penyebab pendangkalan, mengganggu visual hewan.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap Keragaman Epibentik di Perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: a. Epibentik yang didapatkan sebanyak 7 genus Epibentik yang tergolong ke
dalam 2 filum, 5 kelas, 7 ordo, dan 7 famili. b. Indeks Keanekaragaman H’ pada stasiun penelitian sebesar 1,08-1,46
tergolong keanekaragaman rendah. Indeks Keseragaman E pada stasiun penelitian sebesar 0,60-0,91 tergolong keseragamannya merata.
c. Berdasarkan nilai Indeks Similaritas IS yang didapatkan, stasiun yang mempunyai kriteria sangat mirip adalah antara stasiun 1 dengan 2, stasiun
1 dengan 3, sedangkan stasiun yang mempunyai kriteria mirip adalah antara stasiun 2 dengan 3.
d. Suhu, salinitas dan DO berpengaruh sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman H’ epibentik dengan arah korelasinya
searah.sedangkan COD, dan TSS berpengaruh sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman H’ epibentik dengan arah korelasinya berlawanan.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis epibentik pada
rataan terumbu karang berdasarkan kedalaman.