Pemerolehan Morfologi Bahasa Jawa Anak Usia Lima Tahun Di Desa Sialang Pamoran Labuhan Batu Selatan

(1)

PEMEROLEHAN MORFOLOGI BAHASA JAWA ANAK USIA

LIMA TAHUN DI DESA SIALANG PAMORAN

LABUHAN BATU SELATAN

SKRIPSI

OLEH

LISTARI

060701033

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Maret 2011 Penulis


(3)

PEMEROLEHAN MORFOLOGI BAHASA JAWA ANAK USIA LIMA TAHUN DI DESA SIALANG PAMORAN LABUHAN BATU SELATAN

OLEH LISTARI

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk menganalisis pemerolehan morfologi bahasa Jawa pada anak usia lima tahun yang merupakan analisis psikolinguistik. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu metode simak yang menggunakan teknik dasar yaitu teknik sadap dan teknik lanjutan yang digunakan teknik simak libat cakap (SLC) dan menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Dalam analisis data digunakan metode padan dan teknik yang digunakan adalah teknik dasra berupa teknik unsur penentu sebagai organ wicara melalui teknik wawancara dan perekaman.

Suatu konsep yang dideskripsikan dalam skripsi ini adalah bentuk pemerolehan kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun, kemudian proses pemerolehan kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun. Kata ulang dalam bahasa Jawa yaitu dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, pengulangan berimbuhan, dan dwiwasa. Dalam pemerolehan morfologi bahasa Jawa anak usia lima tahun sudah mencapai pada reduplikasi atau kata ulang, walaupun adakalanya pengulangan yang muncul belum semua mencapai pada tahap-tahap pengulangan dalam bahasa Jawa.


(4)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimah kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ikhwannudin Nasution. M. Si. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah mengesahkan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Sutan Lubis, M. Sp., sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

4. Ibu Dr. Gustianingsih, M. Hum., sebagai dosen pembimbing I yang telah begitu sabar memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Drs. Parlaungan Ritongga , M. Hum., sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam memeriksa, mengomentari bahkan memotivasi penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Abizar, sebagai dosen wali penulis yang banyak memberikan nasihat akademik.


(5)

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Kedua orang tua yang penulis sayangi, Ayahanda Saliman dan Ibunda Rasmini, atas dukungan moral, material, kasih sayang, dan doa yang selalu dilimpahkan penulis.

9. Kakak Dedek yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan masalah administrasi.

10. Kakak, abang dan keponakan yang penulis sayangi, Sugiatik, AMK, Rasman dan Dilla yang selalu memberikan semangat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

11.Suyadi SH yang telah mendukung dan memberikan penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi.

12.Teman-teman sejawat di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara stambuk 2006, khusunya Yuni, Santi, Intan, Rita, Rahmi, Mey, Desi, Safrina, Dody, Rianto, Marune dan Frengky.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Maret 2011 Penulis Listari


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN………. i

ABSTRAK ………. ii

PRAKATA………. iii

DAFTAR ISI ... V BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Batasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Konsep ……….. ... 8

2.1.1 Pemerolehan Bahasa... 8

2. 1.2 Morfologi ... 9

2.2 Landasan Teori………... 11

2.2.1 Psikolinguistik umum ………. ... 11

2.2.2 Pemerolehan Bahasa ... 12

2.2.3 Pemerolehan Morfologi anak Usia Lima Tahun... 13

2.2.4 Reduplikasi Bahasa Jawa ... 15


(7)

2.2.4.2 Dwilingga... 15

2.2.4 3 Dwilingga Salin Suara……….. 16

2.2.4.4 Pengulangan Berimbuhan………. 16

2.2.4.5 Dwiwasana……….. 17

2.2.4.6 Arti Proses Perulangan Bahasa Jawa ... 18

2.3 Tinjauan Pustaka……… 20

BAB III METODE PENELITIAN……….. ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. ... 23

3.2.1 Subjek Penelitian………. . 23

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………. 24

3.4Metode dan Teknik Analisis data……… 24

BAB IV PEMBAHASAN ………. 28

4.1 Pemerolehan Bahasa Jawa Anak Usi Lima Tahun... 28

4.1.1 Bentuk Kata Ulang Dalam Bahasa Jawa... 29

4.1.1 Dwipurwa... ... 29

4.1.2 Dwilingga... 29

4.1.3 Dwilingga Salin Suara... 34

4.1.4 Perulangan Berimbuhan... 37

4.1.5 Perulangan Dwiwasana... 38

4.2 Arti Proses Perulangan Bahasa Jawa... 40

4.2.1. Arti Pluralitas... 40


(8)

4.2.3 Arti Penekanan………. 49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN……… 61

5.1 Simpulan………. 62

5.2 Saran……….. 62 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN I LAMPIRAN II


(9)

PEMEROLEHAN MORFOLOGI BAHASA JAWA ANAK USIA LIMA TAHUN DI DESA SIALANG PAMORAN LABUHAN BATU SELATAN

OLEH LISTARI

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk menganalisis pemerolehan morfologi bahasa Jawa pada anak usia lima tahun yang merupakan analisis psikolinguistik. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu metode simak yang menggunakan teknik dasar yaitu teknik sadap dan teknik lanjutan yang digunakan teknik simak libat cakap (SLC) dan menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Dalam analisis data digunakan metode padan dan teknik yang digunakan adalah teknik dasra berupa teknik unsur penentu sebagai organ wicara melalui teknik wawancara dan perekaman.

Suatu konsep yang dideskripsikan dalam skripsi ini adalah bentuk pemerolehan kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun, kemudian proses pemerolehan kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun. Kata ulang dalam bahasa Jawa yaitu dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, pengulangan berimbuhan, dan dwiwasa. Dalam pemerolehan morfologi bahasa Jawa anak usia lima tahun sudah mencapai pada reduplikasi atau kata ulang, walaupun adakalanya pengulangan yang muncul belum semua mencapai pada tahap-tahap pengulangan dalam bahasa Jawa.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua anak yang normal atau mengalami pertumbuhan yang wajar akan memperoleh suatu bahasa dalam proses perkembangannya, yaitu “bahasa pertama” atau “bahasa ibu”, dalam tahun-tahun pertama kehidupannya. Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini memperoleh satu bahasa. Hal ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif dan perkembangan sosial anak.

Kajian tentang pemerolehan bahasa sudah lama menjadi perhatian para peneliti. Misalnya, Chomsky (dalam Tarigan, 1987: 148) menyatakan bahwa “untuk memahami mengapa anak-anak mengatakan apa yang mereka katakan, bagaimana mereka berbicara seperti orang dewasa, kita harus mengetahui apa yang ada dalam pikiran si anak”.

Pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sering terjadi, dengan ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Jadi, pemerolehan bahasa adalah perkembangan dan pertumbuhan bahasa yang diperoleh dari orang tua secara tiba-tiba atau mendadak, maksudnya bahwa bahasa itu diperoleh tanpa adanya pembelajaran yang khusus (Tarigan, 1984: 243).


(11)

Kiparsky (dalam Tarigan, 1968: 194) Anak-anak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orangtuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal. Kemudian dia menyusun atau membangun tata bahasa yang baru serta yang disederhanakan dengan pembaharuan-pembaharuan yang dibuatnya sendiri. Berbicara tentang pemerolehan bahasa, kita dapat mengacu ke dalam dua perkembangan yang berbeda, yakni belajar bahasa yang pertama atau bahasa ibu dan bahasa kedua. Hal ini berkaitan dengan kematangan dan sosialisasi anak dan perkembangan belajar bahasa kedua. Pemerolehan suatu bahasa tanpa kualifikasi menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa, baik berdasarkan observasi maupun yang didasarkan pada penelitian dan percobaan. Pada umumnya, anak yang normal memperoleh kecakapan berbahasa melalui bunyi-bunyi bahasa yang ia dengar di sekelilingnya tanpa disengaja dan tanpa diperintah. Kecakapan berbahasa itu berkembang karena inteligensi dan latar belakang sosial budaya yang membentuknya.

Pengkajian tentang pemerolehan morfologi pada anak-anak usia lima tahun tentu tidak terlepas dari pemahaman tentang morfologi. Yus Badudu (dalam Samsunuwiyati, 2005: 26) morfologi ialah ilmu yang membicarakan morfem serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata. Morfem adalah bentuk linguistik yang paling kecil, misalnya tidur, jalan, ber-,an, dan panas. Morfologi dapat juga diuraikan sebagai struktur gramatika dari suatu kata. (Ramlan, 2001: 21) menyatakan morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan


(12)

bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk kata.

Morfologi juga membicarakan tentang proses morfologi yang mencakup afiksasi (penambahan afiks), reduplikasi (kata ulang), pemajemukan dan lain sebagainya. Salah satu proses morfologi yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah reduplikasi (kata ulang). Kata ulang atau reduplikasi adalah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya berupa kata. Misalnya: bentuk dasar “gunung” menjadi bentuk perulangan gunung-gunung, sedangkan bentuk perulangan berimbuhan misalnya: “padi” menjadi padi-padian.

Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak-anak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses perfomansi yang terdiri atas dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat (Chaer,2003: 167).

Anak belum dapat mengucapkan bahasa ucapan seperti orang dewasa, dalam arti belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Anak mempunyai bahasa pertama seperti ‘mengoceh’. Setelah itu anak mulai mengucapkan perkataannya yang pertama meskipun belum lengkap. Dengan bertambahnya perbendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungan dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi-fungsi lain pada anak, maka terbentuklah kalimat yang terdiri dari dua kata. Pada kalimat yang terdiri dari dua kata, perkembangan morfologi belum


(13)

terlihat nyata, maka pada priode kalimat lebih dari dua kata sudah terlihat kemampuan anak dalam bidang morfologi. Keterampilan anak membuat kalimat bertambah, terlihat dari panjangnya kalimat, kalimat tiga kata, kalimat empat kata dan seterusnya, sehingga mulailah terjadi suatu konversasi (percakapan) yang sesungguhnya antara anak dengan orang dewasa.

Peneliti memilih meneliti Pemerolehan Morfologi Bahasa Jawa Usia Anak Lima Tahun di desa Sialang Pamoran Labuhan Batu Selatan, karena menurut peneliti pemerolehan bahasa anak adalah hal yang menarik untuk dikaji, sesuai dengan (Soenjono, 2000:219) anak usia lima tahun sudah sampai pada tahap pemerolehan morfologi. Desa Sialang Pamoran merupakan desa yang penduduknya mayoritas suku Jawa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Pemerolehan morfologi bahasa Jawa di desa Sialang Pamoran Labuhan Batu Selatan belum pernah di teliti.


(14)

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok masalah yang akan dibicarakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemerolehan bentuk kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun di desa Sialang Pamoran?

2. Bagaimanakah arti proses perulangan dalam pemerolehan bahasa Jawa anak usia lima tahun di desa Sialang Pamoran?

1.3 Batasan Masalah

Suatu penelitian harus memunyai batasan masalah. Dengan pembatasan masalah yang ada, penelitian yang dikaji dapat terarah dan tidak terjadi kesimpangsiuran masalah yang hendak diteliti sehingga tujuan yang dimaksudkan peneliti dapat tercapai.

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas maka penelitian ini dibatasi dan peneliti hanya mengambil usia anak lima tahun dalam pemerolehan bentuk kata ulang bahasa Jawa dalam bidang morfologi, khususnya pada reduplikasi (kata ulang) dan arti proses perulangan bahasa Jawa pada anak-anak usia lima tahun di desa Sialang Pamoran dan anak-anak yang dijadikan subjek penelitian tidak cacat (normal).


(15)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Pada dasarnya sebuah penelitian mempunyai tujuan tertentu yang memberi arah pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pemerolehan bentuk kata ulang bahasa Jawa anak usia lima tahun di desa Sialang Pamoran.

2. Mendeskripsikan arti proses perulangan pemerolehan bahasa Jawa anak usia lima tahun di desa Sialang Pamoran.

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini memiliki manfaat baik untuk diri peneliti sendiri maupun orang lain, adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberi masukan tentang pemerolehan kata ulang anak usia lima tahun.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang bagaimana pemerolehan kata ulang pada anak usia lima tahun.

3. Membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pemerolehan kata ulang pada anak usia lima tahun.


(16)

1.4.3.2 Manfaat Praktis

Selain manfaat teoretis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis yaitu: 1. Sebagai inventarisasi perpustakaan daerah untuk keperluan masyarakat

Labuhan Batu Selatan.

2. Memperkaya penemuan tentang perkembangan pemerolehan morfologi bahasa anak khususnya bahasa Jawa di Labuhan Batu Selatan.


(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut KBBI (2003: 588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

2.1.1 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua, seperti Nurhadi dan Roekhan (1990) (dalam Chaer 2003: 167).

Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Soenjono, 2003: 225). Tarigan (1988: 4), menyimpulkan pemerolehan bahasa memunyai satu permulaan yang tiba-tiba, mendadak. Kemerdekaan bahasa mulai sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas atau


(18)

kata-kata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka.

2.1.2 Morfologi

Menurut Ramlan, (2001: 21) morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk kata. 2.1.3 Proses morfologi

Ramlan, (2001: 51) mengatakan proses morfologi adalah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasar, bentuk dasarnya itu berupa kata. Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatika, baik seluruh maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar.

2.1.4 Pemerolehan Morfologi Anak Usia 2-5 tahun

Soenjono (2000: 119) menyatakan pemerolehan morfologi pada usia dua belas bulan pertama ( satu tahun), belum menunjukan adanya pemerolehan bentuk morfologi ataupun sintaksis (morfosintaksis) karena pada umur semuda ini anak sedang dalam tahap pengembangan neorobiologinya yang merupakan prasyarat tumbuhnya bahasa. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa belum ada komunikasi antara anak dengan orang di sekitarnya.

Soenjono (2000: 136) menyatakan pemerolehan morfologi pada usia dua tahun pada pemerolehan bentuk yang monomorfemik yang telah lama menjadi perhatian utama dalam penelitian bahasa anak. Brown, 1973 (dalam Soenjono,


(19)

2000: 136) menyatakan yang paling mencolok karena dia tidak hanya menelusuri morfem terikat mana yang muncul tetapi juga urutan pemunculan morfem-morfem. Pada usia dua tahun pemunculan morfem dan pemunculan prefiks pasif {di-} merupakan pemunculan yang paling awal dalam sejarah pemerolehan bahasa sampai saat ini.

Soenjono (2000: 156) menyatakan pemerolehan morfologi pada usia tiga tahun, kebanyakan kata-kata yang muncul masih monomorfemik meskipun jumlah katanya sudah cukup banyak pada kalimat-kalimat yang dibuat. Namun demikian, bentuk polimorfemik yang sudah muncul sangat menarik untuk di simak. Bentuk pasif di- yang sudah muncul waktu umur dua tahun kini sudah diikuti pula oleh bentuk kata-kata. Di samping itu, afiks lain yang tampak sudah disadari sebagai bentuk yang terpisah dan signifikan merupakan gejala universal bahwa dari bentuk-bentuk afiks yang ada pada bahasa, sufiks termasuk yang paling awal dikuasai.

Soenjono (2000: 186) menyatakan pemerolehan morfologi pada usia empat tahun sudah afiksasi maupun reduplikasi. Pada usia empat tahun prefiks formal {meN-} dan {beR-} sudah muncul, tetapi frekuensinya masih rendah.

Soenjono ( 2000: 219) menyatakan pemerolehan morfologi pada usia lima tahun ada tiga hal yang menarik mengenai perkembangan morfologi sampai dengan umur lima tahun pertama, verba tampak dia kembangkan lebih cepat dan lebih produktif daripada kategori lain. Meskipun belum semua macam afiks, terutama dalam bentuk kombinasinya, telah dia pakai, telah cukup banyak verba yang dia turunkan dengan memakai afiksasi. Kedua, sebagai bandingan afiksasi, terutama yang berupa kombinasi antara prefiks dengan sufiks. Ketiga, ragam


(20)

bahasa secara keseluruhan masih tetap ragam informal tetapi sudah mulai banyak muncul bentuk-bentuk yang formal.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Psikolingustik Umum

(Samsunuwiyati, 2005: 1) menyimpulkan bahwa psikolinguistik umum adalah studi bagaimana pengamatan atau persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa. Selain itu, juga mempelajari mengenai proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang menggunakan bahasa. Menurut Chaer (2002: 6) psikolinguistik adalah ilmu yang mencoba mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Menurut KBBI (2005: 901) psikolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa dan prilaku dan akal budi; interdisipliner linguistik dan psikologi. Jadi, psikolingustik adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari proses-proses berbahasa pada manusia.

2.2.2 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-kanak mempelajari bahasa pertama, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah


(21)

pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua, seperti Nurhadi dan Roekhan (1990) (dalam Chaer 2003: 167).

Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Soenjono, 2003: 225). Tarigan (1988: 4), menyimpulkan pemerolehan bahasa memunyai satu permulaan yang tiba-tiba, mendadak. Kemerdekaan bahasa mulai sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka.

2.2. 3 Pemerolehan Morfologi Anak Usia Lima Tahun

Ada tiga hal yang menarik mengenai perkembangan morfologi sampai dengan umur lima tahun pertama, verba tampak dia kembangkan lebih cepat dan lebih produktif daripada kategori lain. Meskipun belum semua macam afiks, terutama dalam bentuk kombinasinya, telah dia pakai, telah cukup banyak verba yang dia turunkan dengan memakai afiksasi. Kedua, sebagai bandingan afiksasi, terutama yang berupa kombinasi antara prefiks dengan sufiks. Ketiga, ragam bahasa secara keseluruhan masih tetap ragam informal tetapi sudah mulai banyak muncul bentuk-bentuk yang formal. (Soenjono, 2000: 219).

Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba. Netralisasi sufiks {- kan} dan {i} menjadi {-in} terus berlanjut. Gejala penggelembungan afik masih ditemukan sehingga muncul bentuk-bentuk yang tidak dipakai orang dewasa seperti dikirain, digangguin. Proses yang sedang berkembang adalah bahwa sufiks {-in} ditempelkan pula pada verba yang pada


(22)

bahasa orang dewasa tidak memiliki sufiks. Selain perkembangan verba anak usia lima tahun sudah mencapai pada perkembangan nomina, perkembangan nomina dalam kodratnya banyak yang dapat diungkapakan tanpa afiks, maka afiks yang muncul sampai umur lima tahun ini belum banyak. Anak lima tahun juga sudah mencapai pada perkembangan adjektiva.

Pada anak-anak usia 5 tahun perkembangan morfologi dapat dilihat dari macam kata yang dipakai dan penurunan kata, baik melalui afiksasi maupun reduplikasi atau pengulangan. Anak-anak usia lima tahun sudah mencapai pada tahap reduplikasi atau pengulangan. Pada usia lima tahun kata ulang yang sering muncul adalah kata ulang yang berupa bentuk verba, adjektiva, dan nomina. Bentuk kata ulang pada anak usia lima tahun yang sering muncul adalah bentuk kata ulang total atau keseluruhan (dwilingga) ada kalanya muncul sufiks {-an}. Diluar penurunan seperti ini anak-anak belum tampak memakainya.

Dalam bahasa Indonesia kata morphology merupakan kata asing yang mengalami pengondisian bahasa menjadi morfologi. Bentukan kata ini berasal dari kata morf yang berarti bentuk, dan logy yang berarti ilmu. Jadi, morfologi menurut asal katanya adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk kata dari suatu bahasa.

Menurut Ramlan, (2001:21) morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata.


(23)

2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa

Proses pengulangan atau reduplikasi bahasa Jawa ialah proses pengulangan bentuk kata dasar, baik sebagian maupun keseluruhan dalam bahasa Jawa. (Poedjosoerdarmo, 1979: 209).

2.2.3.1 Dwipurwa

Dwipurwa adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi suku pertama dari kata dasar (KI VI). Dalam Bahasa Jawa vokal pertama /o/ atau /u/ kemudian diubah menjadi vocal /e/ (pepet), seperti:

tombo ‘obat’ --- totombo = tetombo ‘berobat, obat-obatan tuku ‘beli’ --- tutuku = tetuku ‘berbelanja’

bojo ‘suami’ --- bobojo = bebojo ‘berumah tangga’

turu ‘tidur’ --- tuturu = teturu ‘ketiduran’ (data lapangan)

2.2.3.2 Dwilingga

Dwilingga adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi seluruh kata dasar dan tanpa mengalami perubahan, seperti:

dalan ‘ jalan’ --- dalan-dalan ‘semua jalan’ bapaq ‘ ayah’ --- bapaq-bapaq ‘para bapaq’


(24)

2.2.3.3 Dwilingga Salin Suara

Dwilingga salin suara adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi seluruh kata dasar, tetapi dalam dwilingga salin suara ini terjadi perubahan pada salah satu atau seluruh vokal dari kata dasar tersebut, seperti:

mangan ‘makan’ --- mongan-mengen ‘berkali-kali makan’ udan ‘hujan’ --- udan-uden ‘berkali-kali hujan’ teko ‘datang’ --- teka-teko ‘berkali-kali datang’

tekon ‘tanya’ --- tekan-tekon ‘berkali-kali tanya’ (data lapangan)

2.2.3.4 Perulangan Berimbuhan

Perulangan berimbuhan mungkin berupa dwipura, dwilingga ataupun dwilingga salin suara yang disertai tambahan awalan, sisipan atau akhiran, seperti:

tangis ‘tangis’ tetangis + an = tangis - tangisan ‘saling menangis’ tuku ‘beli’ tetuku + an = tetukon ‘belanja’

legi ‘ manis’ __ lelegi + an = lelegian ‘ manisan’ (data lapangan)

2.2.3.5 Dwiwasana

Dwiwasana adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi suku akhir pada kata dasar, seperti:

cenges ‘senyum sinis’ cengenges ‘ banyak senyum sinis’ plengeh ‘senyum’ plengengeh ‘tiba-tiba senyum’

penthung ‘pukul’ pethunthung ‘tiba-tiba besar’


(25)

2.2.4 Arti Proses Pengulangan Dalam Bahasa Jawa

Secara sepintas telah disinggung bahwa proses perulangan secara umum mempunyai tiga macam arti (arti pokok perulangan). Arti itu meliputi pluralitas, ketidaktentuan, dan penekanan.

2.2.4.1 Arti Pluralitas

Arti pluralitas ini bisa muncul dalam berbagai bentuk perulangan yang muncul dan melekat pada kata dasar apa saja. Tentu saja konteks sangat menentukan arti kata itu. Karena pluralitas bisa muncul dalam berbagai bentuk perulangan maka arti pluralitas dapat dikatakan sebagai arti yang mempunyai frekuensi tinggi. Arti pluralitas yang muncul dalam kata ulang jenis kata benda akan menunjukan bahwa kata itu mempunyai jumlah banyak (lebih dari satu). Kalau arti pluralitas muncul dalam kata sifat berarti bahwa proses itu mempunyai jumlah plural. Sedangkan kalau proses situ muncul dalam kata kerja maka arti pluralitas menunjuk bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku lebih dari satu kali (berulang kali). Sedangkan perulangan dalam kata bilangan biasanya menunjukan kelompok-kelompok yang terdiri dari dua kelompok atau lebih. (poedjosoerdarmo, 1981: 87-88).

Bentuk proses perulangan bahasa jawa yang paling banyak menimbulkan arti pluralitas ialah bentuk perulangan dwilingga yang melekat pada kata benda, kata kerja, kata bilangan.


(26)

2.2.4.2 Arti Ketidaktentuan

Arti ketidaktentuan dapat muncul dalam proses pengulangan. Arti ketidaktentuan ini kadang-kadang sukar untuk dibedakan dengan arti penekanan atau intensitas. Untuk melihat mana yang sesungguhnya mempunyai arti ketidaktentuan dan mana yang mempunyai arti penekanan biasanya perlu sekali melihat semantic properties serta konteks yang mewadahi proses tersebut. Arti ketidaktentuan dapat muncul dalam proses perulangan bentuk DL, dan DP, serta DW. (Poedjosoedarmo, 1981: 89).

2.2.4.3 Arti Penekanan

Arti penekanan dapat muncul baik dalam proses perulangan bentuk DL, DP maupun DW. Bahkan kalau suatu proses perulangan bentuk tertentu mendapat proses lain, seperti imbuhan-imbuhan dan perubahan suara. Proses perulangan itu mesti menimbulkan arti penekanan. Arti penekanan ini muncul baik dalam jenis kata benda, kata kerja, kata sifat, kata tambahan, kata bilangan maupun kata tugas. Namun yang paling banyak mendapat arti penekanan adalah kata ulang yang mempunyai jenis kata sifat. (Poedjosoedarmo, 1981: 89-90).


(27)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pemerolehan bahasa sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti Kiparsky, 1968 (dalam Tarigan, 1987) mengatakan bahwa, pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa yang bersangkutan.

Darjowidjojo (2000) tentang penelitian longitudinalnya yang menggunakan waktu lima tahun terhadap cucunya Echa mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa itu terdiri atas pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Pemerolehan bahasa juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat terjadi hanya karena adanya bekal kodrati (innate properties) belaka. Pemerolehan bahasa juga tidak dapat terjadi hanya karena adanya faktor lingkungan saja, kedua-duanya diperlukan sebagai proses penguasaan bahasa.

Menurut Chaer (2002), pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Penelitian lainnya dilakukan oleh Tarigan (1987) yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu adalah suatu proses yang digunakan anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa yang bersangkutan (Kiparsky 1968: 194). Tariran juga membahas tentang tahap-tahap pemerolehan bahasa (prasekolah, ujaran kombinasi, masa sekolah).


(28)

Gustianingsih (2002) dalam tesisnya yang berjudul Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Anak Usia Taman Kanak-kanak, mengatakan kemampuan anak akan kalimat majemuk koordinatif merupakan parameter untuk mengukur keberhasilan pemeroleh kalimat majemuk subordinatif dan sekaligus dapat dijadikan dasar pengajaran Bahasa Indonesia di kelas ekolah Dasar.

Yus Susanti (2005) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Jawa Anak Usia 1-5 Tahun membahas tahap-tahap pemerolehan bahasa yang terdiri atas empat tahap, yaitu tahap holofrastik, tahap dua kata, tahap perkembangan tata bahasa, dan tahap tata bahasa menjelang dewasa. Selain itu ia juga membahas perkembangan kognitif. Dalam skripsinya Susanti tidak mengemukakan ciri-ciri dari tahap tersebut. Dia menyimpulkan pemerolehan bahasa anak memiliki dasar yang sama dengan keterampilan motorik yang ditentukan secara biologis. Perkembangan berkaitan dengan proses pematangan.

Hutry Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Batak Toba Anak Usia 1-5 Tahun, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa anak, adalah tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), tahap ucapan-ucapan dua kata, tahap perkembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa dalam bahasa Batak Toba.

Mira Agraida (2004) dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh Lingkungan terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Prasekolah Binjai, menyimpulkan bahwa lingkungan mempengaruhi pembentukan bahasa anak. Lingkungan dan pembiasaan yang baik akan menghasilkan bahasa yang baik, tetapi lingkungan dan pembiasaan yang buruk akan menghasilkan bahasa yang buruk pula.


(29)

Ahmad Fauzie (2000) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Anak-anak Usia 0-5 Tahun Analisis Psikolinguistik, menyimpulkan bahwa pemerolehan bahasa menggambarkan suatu interaksi antara perkembangan kognitif dan perkembangan linguistik anak usia 0-5 tahun dapat dijadikan referensi anak untuk usia selanjutnya.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian bahasa (linguistik) dapat dilakukan di lapangan atau di perpustakaan. Keduanya dianggap sebagai lokasi penelitian (Djajasudarma 1993:3). Di lapangan akan melibatkan hubungan peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti dan di perpustakaan melibatkan hubungan peneliti dengan buku-buku (kepustakaan) sebagai sumber data. Penelitian ini dilakukan di lapangan atau di desa Sialang Pamoran Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Peneliti mencari sumber data dari anak-anak usia lima tahun yang menggunakan bahasa Jawa.

Penulis melakukan penelitian pemerolehan morfologi bahasa Jawa terhadap anak usia lima tahun yang menggunakan bahasa Jawa di desa Sialang Pamoran Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Penelitian ini bermula tanggal 26 Oktober 2010 sampai 08 Nopember 2010.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak-anak usia lima tahun yang tinggal di desa Sialang Pamoran Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang didapat secara bersamaan baik dari keluarga ataupun dari lingkungan sekitar.

Data penelitian ini diperoleh dari anak-anak yang tinggal di desa Sialang Pamoran, dan data diambil dengan cara mengajak anak-anak ke rumah peneliti untuk dijadikan subjek penelitian dan diajak bermain agar anak-anak tersebut


(31)

mau bercerita dengan teman-temannya maupun si peneliti. Jadi, dengan bercerita peneliti dapat memperolebh data penelitian. Subjek penelitian ini berjumlah 11 orang yaitu anak laki-laki 2 orang dan perempuan 9 orang yang berusia lima tahun di desa Sialang Pamoran.

3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2001: 136). Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Maksudnya di sini adalah mengambil pemerian bahasa oleh si anak secara lisan yang berlangsung dalam suasana nonformal. Metode simak ini dibantu dengan teknik dasar yaitu teknik sadap. Kegiatan menyadap itu dilakukan pertama-tama dengan berpartisipasi dalam pembicaraan (Sudaryanto, 1993: 13). Jadi peneliti terlibat langsung dalam dialog dengan subjek penelitian. Oleh karena itu, teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak libat cakap atau teknik SLC. Kemudian peneliti menggunakan suatu teknik rekam, yaitu merekam semua bahasa yang digunakan oleh anak-anak lima tahun dengan alat perekam. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik catat, yaitu mencatat semua data yang telah terkumpul.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Penelitian pemerolehan morfologi bahasa Jawa ini menggunakan metode padan, yaitu sebuah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak


(32)

menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Dalam kajian analisis data digunakan teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu (Sudaryanto, 1993: 21). Teknik pilah unsur penentu memiliki suatu alat, yaitu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Sesuai dengan objek penelitian ini, jenis penentunya adalah daya pilah sebagai organ wicara. Dalam kaitannya dengan pembentukan satuan lingual tertentu seperti bunyi, silabe, kata (proses pembentukan kata termasuk perulangan), kalimat, dan yang lainnya.

Dalam hal ini bentuk-bentuk kata ulang dalam bahasa Jawa dipilah menjadi bentuk kata ulang seperti dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, perulangan berimbuhan, dan dwiwasana sesuai dengan teori (Poedjosoerdarmo: 1979). Berikut dapat diilustrasikan dalam bentuk percakapan berikut ini:

Contoh 1

Peneliti : arep nandi dhek? ↓ ↓ ↓ mau kemana dek

‘adek hendak pergi kemana?’ Subjek : dalan - dalan

↓ ↓ jalan – jalan ‘jalan- jalan.’ Peneliti : karo sopo?

↓ ↓ dengan siapa


(33)

‘bersama siapa?’ Subjek : konco-konco!

↓ ↓ teman-teman ‘teman-teman.’

Dari percakapan (1) di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak usia lima tahun adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan) dalam bahasa Jawa. Dengan demikian pembentukan jenis kata ulang dalan-dalan ‘jalan-jalan’ dan konco-konco ‘temen-temen’ termasuk kata ulang keseluruhan yaitu mengulang bentuk dasar tanpa mengalami perubahan. Dalam percakapan di atas sudah terlihat adanya kata ulang atau reduplikasi yang muncul pada anak-anak usia lima tahun hal ini sesuai dengan pendapat Poedjosuedarmo (1979: 208)

Dalam hal ini arti proses perulangan bahasa Jawa secara umum mempunyai tiga macam arti (arti pokok perulangan) arti itu meliputi pluralitas, ketidaktentuan, dan penekanan. Arti pluralitas bisa muncul dalam berbagai bentuk perulangan yang muncul dan melekat pada kata dasar apa saja dan konteks yang sangat menentukan arti. Arti ketidaktentuan dapat muncul dalam proses perulangan, arti ketidaktentuan ini kadang-kadang sukar untuk dibedakan dengan arti penekanan atau intensitas. Sedangkan arti penekanan dapat muncul, baik dalam proses perulangan bentuk dwilingga, dwipurwa, maupun dwiwasana. (Poedjosoerdarmo: 1981, 87). Berikut arti psoses pluralitas dapat diilustrasikan dalam bentuk percakapan.

Contoh 2.


(34)

↓ ↓ ↓ ↓ sedang makan apa dik

‘Apakah yang sedang adik makan?’ Subjek : buah,

↓ buah ‘Buah,’ Peneliti : buah opo?

↓ ↓

buah apa ‘buah apa?’

Subjek : yo buah-buahan lo.

↓ ↓ ↓ ↓

ya buah-buahan la ‘ya buah-buahan la.’

Dari percakapan (2) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang buah-buahan ‘buah-buah-buahan’ adalah kata ulang jenis kata benda yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah memperoleh atau sampai pada arti proses perulangan yaitu arti pluralitas yang merujuk pada kata ulang jenis kata benda.


(35)

BAB 1V PEMBAHASAN

4.1 Pemerolehan Bentuk Kata Ulang Bahasa Jawa Anak Usia Lima Tahun Dalam proses perkembangan, semua anak yang normal sudah pasti akan memperoleh satu bahasa alamiah. Dengan perkataan lain, setiap anak yang normal atau pertumbuhan yang wajar, memperoleh suatu bahasa yaitu ”bahasa pertama” atau ”bahasa asli”, ”bahasa ibu” dalam tahun-tahun pertama kehidupannya di dunia.

Proses pemerolehan bahasa pertma (PB1) terjadi apabila seorang anak

pada awalnya ridak berbahasa dan kini dia memperoleh bahasa pertama ekabahasa. Apabila seorang anak mempelajari dua bahasa secara serentak dan sejajar sejak semula, hal ini sebagai pemerolehan bahasa pertama dwibahasa. Penelitian ini menganut jenis yang pertama bahwa berkomunikasi dengan orang tua dan keluaraga di rumah yang menggunakan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa sebagai bahasa pertama merupakan media yang dapat dipergunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai lainnya dari masyarakat Indonesia. Bahasa apapun di dunia ini termasuk bahasa Jawa harus dipelajari. Tidak seorang pun anak dilahirkan mampu berbicara secara langsung. Dengan potensi yang dibawanya sejak lahir itu seorang anak secara alamiah memperoleh prinsip-prinsip bahasa dari masyarakat bahasa yang ada di sekelilingnya.

Bentuk pemerolehan morfologi bahasa Jawa anak usia lima tahun, khususnya pada kata ulang sebagai berikut:


(36)

4.1.1 Bentuk Kata Ulang Bahasa Jawa Pada Anak Usia Lima Tahun 4.1.1 Dwipurwa

Dwipurwa adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi suku pertama dari kata dasar (KI VI) dalam bahasa Jawa vokal pertama /o/ atau /u/ kemudian diubah menjadi vokal /e/ (pepet). Setelah peneliti melakukan penelitian, penelitian tentang pemerolehan morfologi bahasa Jawa khususnya bentuk kata ulang dwipurwa anak usia lima tahun di Desa Sialang Pamoran tidak ditemukan.

4.1.2 Dwilingga

Dwilingga adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi seluruh kata dasar tanpa mengalami perubahan. Dalam penelitian pemerolehan bahasa Jawa anak usia lima tahun ditemukan beberapa kata ulang sebagai berikut:

1). Devi: Mega, wingi rame eram lah wong tuku mercon? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Mega semalam rame kali orang beli petasan ‘Mega, semalam rame sekali orang membeli petasan?’ Mega : tuku nandi Dev?

↓ ↓ ↓ Beli dimana Dev ‘

2). Devi : tuku ning pingger-pingger dalan! ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ‘Beli di pinggir-pinggir jalan!’


(37)

Mega : aku wis duwe kok Dev tuku wingi, mercon karo kembang api. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Aku sudah punya kok Dev beli semalam, petasan sama bunga api ‘saya sudah membeli semalam yaitu petasan dan bunga api?’ Dari percakapan ( 1- 2) di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan) dalam bahasa Jawa. Dengan demikian kata ulang ’pingger-pingger’ ’pinggir-pinggir’ termasuk kata ulang keseluruhan yaitu mengulang bentuk dasar tanpa mengalami perubahan. Kata ulang ’pingger-pingger’ ’pinggir-pingger’ termasuk kata ulang dwilingga yang berbentuk nomina karena mengulang seluruh bentuk dasar.

3). Devi : Mega, mengko sore aku arep dalan-dalan kok Ga? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Mega, nanti sore aku mau jalan jalan kok Ga

‘Nanti sore saya akan jalan-jalan, Mega?’

Mega : Karo sopo Dev? ↓ ↓ ↓ Sama siapa Dev ‘bersama siapa devi?’ 4). Devi : Karo adek-adekku.

↓ ↓ ↓ Sama adik adikku ‘bersama adik-adiku.’


(38)

Dari data percakapan (2-4) di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan) dalam bahasa Jawa. Dengan demikian kata ulang dalan-dalan ‘jalan-jalan’ termasuk kata ulang dwilingga yang berbentuk verba, sedangkan kata ulang adek-adek ‘adik-adik’ termasuk kata ulang dwilingga atau keseluruhan berbentuk nomina pula. Tetapi kata ulang ‘adek-adek’ ‘adik-adik’ juga mengalami penambahan afiks sehingga kata ulang ‘adek-adek’ ‘adik-adik’ menjadi ‘adek-adekku’ ‘adik-adikku’. Kata ulang adek-adekku ’adik-adikku’ mendapat penambahan afiks karena anak-anak usia lima tahun sudah pandai berinteraksi dengan orang dewasa sehingga kata-kata yang diserapnya diingat dan diikutinya. Sesuai dengan Soenjono (2000: 191) reduplikasi atau kata ulang berbentuk verba ini telah pula digabungkan dengan afiks lain sehingga kata ulang adek-adekku ‘adik-adikku’ termasuk dalam kata ulang dwilingga berbentuk nomina.

5). Peneliti : Uwes mandi dek?

↓ ↓ ↓

sudah mandi dik

‘Apakan kamu sudah mandi dik?’ Dilla : Uwes.

↓ Sudah ‘sudah’


(39)

6). Peneliti : Kapan? ↓ Kapan ‘Kapan’

Dilla : mau isuk-isuk. ↓ ↓ ↓ tadi pagi pagi ‘tadi pagi.’ 7). Peneliti : isuk.

↓ Pagi ‘pagi’ Dilla : yo,

↓ Ia ‘ia’

8). Peneliti : mengko sore enggak mandi meneh? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ nanti sore tidak mandi lagi

‘Apakan nanti sore kamu tidak mandi lagi?’ Dilla : mandi.

↓ Mandi ‘mandi.’


(40)

9). Peneliti : kambek sopo? ↓ ↓ sama siapa ‘bersama siapa?’

Dilla : kambek dulor-dulorku. ↓ ↓ ↓ sama saudara-sadaraku ‘bersama saudara-saudaraku’ 10). Peneliti : oh, enak yo?

↓ ↓ ↓ oh enak ya ‘enaka sekali ya?’

Dari data percakapan (5-10) di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan) dalam bahasa Jawa. Dengan demikian kata ulang isuk-isuk ‘pagi-pagi’ termasuk kata ulang dwilingga yang berbentuk adjektiva, sedangkan kata ulang dulor-dulor ‘saudara-saudara’ termasuk kata ulang dwilingga atau keseluruhan berbentuk nomina pula. Tetapi kata ulang ‘dulor-dulor’ ‘saudara-saudara’ juga mengalami penambahan afiks (ku) sehingga kata ulang ‘dulor-dulor’ ‘saudara-saudara’ menjadi ‘dulor-dulorku’ ‘saudara-saudaraku’. Kata ulang ’dulor-dulorku’ mendapat penambahan afiks (ku) karena anak-anak usia lima tahun sudah pandai berinteraksi dengan orang dewasa sehingga kata-kata yang diserapnya diingat dan diikutinya. Sesuai dengan Soenjono (2000: 191) reduplikasi atau kata ulang berbentuk nomina ini telah pula digabungkan dengan


(41)

afiks lain sehingga kata ulang dulor-dulorku ‘saidara-saudaraku’ termasuk dalam kata ulang dwilingga berbentuk nomina.

11). Elmi : Dilla-dilla tangih, turu-turu wae, wis awan iki. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla Dilla bangun tidur tidur saja sudah siang ini ‘Dilla-Dilla bangun, tidur-tidur saja sudah siang ini.’ 12). Dilla : yo-yo pak!

↓ ↓ ↓

ya ya pak

‘ia-ia pak.’

Dari percakapan (11-12) di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan) dalam bahasa Jawa. Dengan demikian kata ulang Dilla-Dilla menyatakan nama orang. Kata ulang Dilla – Dilla merupakan bentuk kata ulang dwilingga yang berbentuk nomina, sedangkan kata ulang yo-yo ’ya-ya’ merupakan kata ulang dwilingga atau keseluruhan.

4.1.3 Dwilingga Salin Suara

Dwilingga salin suara adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi seluruh kata dasar, tetapi dalam dwilingga salin suara ini terjadi perubahan pada salah satu atau seluruh vokal dari kata dasar tersebut. Sesuai dengan Soenjono (2000: 191) pada anak usia lima tahun kata ulang dwingga salin suara masih jarang ditemukan. Karena anak usia lima tahun belum pandai


(42)

menyusun kalimat dengan benar. Dalam penelitian ini di temukan kata ulang salin suara sebagai berikut:

13. Tika : Ti, wingi kakangmu nggoleki oponya koq mbolak-mbalek wae? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Ti semalam abangmu nyariin apanya kok bolak balik saja

Asti : Kapan se Tik? ↓ ↓ ↓ ‘kapan nya Tik?’

14. Tika : wing lo, bar mageref... ↓ ↓ ↓ ↓

‘semalem la, selesai magfib...’ Asti : ooh, duwete kakangku ilang. ↓ ↓ ↓ ↓

’ohh, uangnya abangku hilang..’

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan, bahwa anak usia lima tahun sudah sampai pada bentuk kata ulang dwilingga salin suara dalam bahasa Jawa. Dengan demikian pembentukan jenis kata ulang mbolak-mbalik ’bolak-balik’ di atas termasuk kata ulang dwilingga salin suara dalam bahasa Jawa. Kata ulang mbolak-mbalik ’bolak-balik’ termasuk kata ulang dwilingga salin suara karen ka tulang tersebut terjadi perubahan pada salah satu seluruh vokal dari kata dasar. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979: 215).


(43)

15. Intan : oponya yuk, koq delokno wae? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ apanya kak kok lihatin saja ’Ada apa kak melihat saja?’ Peneliti : ora popo, Intan cantik.

↓ ↓ ↓ ↓

tidak apa-apa Intan cantik ’Tidak apa-apa, Intan cantik.’

16. Sasa : seh, cengar-cengir diyomong cantik.. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ sih senyam-senyum dibilang cantik (mendadak senyum)

‘Senyum-senyum di bilang cantik.’ Intan : orak lo yuk.

↓ ↓ ↓ tidak lho kak ‘Tidak kak.’

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan, bahwa anak usia lima tahun sudah sampai pada bentuk kata ulang dwilingga salin suara dalam bahasa Jawa. Kata ulang cengar-cengir’ ’senyam-senyum ( mendadak senyum)’ di atas termasuk kata ulang dwilingga salin suara dalam bahasa Jawa. Kata ulang cengar-cengir ’senyam-senyum( mendadak senyum)’ termasuk kata ulang dwilingga salin suara karena kata ulang tersebut terjadi perubahan pada salah satu seluruh vokal dari kata dasar. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979:


(44)

215). Dengan demikian disimpulkan bahwa anak usia lima tahun sudah memasuki tahap kata ulang tau reduplikasi dwilingga salin suara dalam bahasa Jawa.

4.1.4 Perulangan Berimbuhan

Perulangan berimbuhan berupa dwipurwa, dwilingga ataupun dwilingga salin suara yang disertai tambahan awalan, sisipan atau akhiran. Pada anak-anak usia lima tahun jenis perulangan berimbuhan ini banyak ditemukan bentuk kata ulang berimbuhan, seperti imbuhan (an).

17. Peneliti : dolanan opo dek? ↓ ↓ ↓ main-main apa dik

‘Sedang bermain apa dik?’ Mega : omah-omahan!

↓ ↓ Rumah rumahan ‘ Rumah-rumahan!’

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang berimbuhan dalam bahasa Jawa. Kata dasar omah ’rumah’ merupakan kata dasar dari omah-omahan ’rumah-rumahan’. Kata dasar omah-omah ’rumah-rumah’ mendapat akhiran ’an’ sehingga menjadi omah-omahan ’rumah-rumahan’. Dalam percakapan di atas sudah terlihat adanya kata ulang atau reduplikasi yang muncul pada anak usia lima tahun. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979: 208).


(45)

18. Peneliti : Dilla nek sekolah pas meae-maen ngopoin? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla kalau sekolah waktu istirahat ngapai ’Dilla kalau di sekolah waktu istirahat ngapai?’ Dilla : kejer-kejeran, maen singkong, ayunan.

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Kejarkejaran main singkong ayunan ’Kejar-kejaran, min singkong, dan ayunan.

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang berimbuhan dalam bahasa Jawa. Kata dasar kejer ’kejar’ merupakan kata dasar dari kata ulang kejer-kejeran ’kejar-kejaran’ kata ulang kejer-kejer ’kejar-kejar’ mendapat akhiran ’an’ sehingga menjadi kejer-kejeran ’kejar-kejaran’. Dalam percakapan di atas sudah terlihat adanya kata ulang atau reduplikasi yang muncul pada ana usia lima tahun. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979: 208).

19. peneliti : masak opo? ↓ ↓ Masak opa

‘apakah yang sedang kamu masak?’ Mega : urung masak, bapake isik tuku sayur ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

belum masak bapaknya masih beli sayur ‘Belum masak, bapak sedang membeli sayur.’


(46)

20. Elmi : mak-mak aku wis bali, iki tukuh lawuh ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Mak mak aku sudah pulang ini beli lauk tukuh iwak iwakan.

↓ ↓ ↓

Beli ikan ikanan (lauk pauk)

‘Mak-mak aku sudah pulang, membeli lauk ikan-ikanan (laukpauk).’

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang berimbuhan dalam bahasa Jawa. Kata dasar iwak ’ikan’ merupakan kata dasar dari kata ulang iwak-iwakan ’ikan-ikanan’ kata ulang iwak-iwak ’ikan-ikan’ mendapat akhiran ’an’ sehingga menjadi iwak-iwakan ’ikan-ikanan’. Dalam percakapan di atas sudah terlihat adanya kata ulang atau reduplikasi yang muncul pada ana usia lima tahun. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979: 208).

21. Dinda : ecek-ecek’e Dilla turu yo, men tak guguh! ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ pura-puranya Dilla tidur ya, biyar aku banguni ‘Pura-pura dilla tidur ya. Biyar aku banguni.’

Dari percakapan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kata ulang yang diperoleh anak-anak usia lima tahun adalah kata ulang berimbuhan dalam bahasa Jawa. Kata dasar ecek ’pura’ merupakan kata dasar dari kata ulang ecek-ecek’e ’pura-puranya’ kata ulang ecek-ecek ’pura-pura’ mendapat akhiran ’e’ akhiran


(47)

dalam bahasa Indonesia berarti ‘nya’ sehingga menjadi ecek-ecek’e ’pura-puranya’. Dalam percakapan di atas sudah terlihat adanya kata ulang atau reduplikasi yang muncul pada ana usia lima tahun. Hal ini sesuai pendapat Poedjosuedarmo (1979: 208).

4.1.5 Dwiwasana (pengulangan suku akhir)

Dwiwasana adalah proses pengulangan yang dibentuk dengan mengulangi suku akhir pada kata dasar. Setelah peneliti melakukan penelitian tentang pemerolehan morfologi bahasa Jawa khususnya kata ulang atau reduplikasi pada anak usia lima tahun tidak ditemukan adanya kata ulang dwiwasana pada penelitian pemerolehan morfologi anak usia lima tahun


(48)

4.2 Arti Proses Perulangan Bahasa Jawa Anak Usia Lima Tahun 4.2.1 Arti Pluralitas

Arti pluralitas ini bisa muncul dalam berbagai bentuk perulangan yang muncul dan melekat pada kata dasar apa saja. Tentu saja konteks sangat menentukan arti kata itu. Karena pluralitas bias muncul dalam berbagai bentuk perulangan maka arti pluralitas dapat dikatakan sebagai arti yang mempunyai frekuensi tinggi. Arti pluralitas yang muncul dalam kata ulang jenis kata benda akan menunjukan bahwa kata itu mempunyai jumlah banyak (lebih dari satu). Kalau arti pluralitas muncul dalam kata sifat berarti bahwa proses itu mempunyai jumlah plural. Sedangkan kalau proses situ muncul dalam kata kerja maka arti pluralitas menunjuk bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku lebih dari satu kali (berulang kali). Sedangkan perulangan dalam kata bilangan biasanya menunjukan kelompok-kelompok yang terdiri dari dua kelompok atau lebih. (poedjosoerdarmo, 1981: 87-88).

4.2.1.1 Kata Ulang Jenis Kata Benda

Arti pluralitas yang muncul dalam kata ulang jenis kata benda akan menunjukkan bahwa kata itu mempunyai jumlah banyak (lebih dari satu). (poedjosoedarmo, 1981: 88).

22. Peneliti : kuwe nyekel opo dek? ↓ ↓ ↓ ↓

Kau pegang opo dik

‘Apakah yang sedang kau pegang dik?’ Agus : montor-montoran yuk.


(49)

↓ ↓ ↓ Mobil mobilan kak ‘Mobil-mobilan kak.’ 23. Peneliti : tuku nandi?

↓ ↓ beli dimana

‘Dimanakah adik membelinya’? Agus : pekenan.

↓ pekanan

‘pekanan (pajak)’

24. Peneliti : Dil, ning omahmu wingi eneng dodolan opo? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla di rumahmu semalam ada jualan apa ‘Dilla, di rumahmu semalam ada jualan apa?’ Dilla : kembang yhuk.

↓ ↓ bunga kak ‘Bunga kak’

25. Peneliti : kembang opo wae? ↓ ↓ ↓ Bunga apa saja

‘Bunga apa saja yang di jual?’


(50)

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ada bunga bunga mawar bunga kertas ‘Ada bunga-bunga mawar, bunga kertas?’

26. Peneliti : Dilla uwes mangan? ↓ ↓ ↓ Dilla sudah makan

‘Apakah Dilla sudah makan?’ Dilla : uwes.

↓ Sudah ‘Sudah.’

27. Peneliti : kapan? ↓ Kapan ‘kapan?’

Dilla : mau mangan-manganan. ↓ ↓ ↓ Tadi makan makanan

‘Tadi, makan-makanan (makan bersama).’

Dari data (22-27) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang montor-montoran ‘mobil-mobilan’, kembang-kembang ‘bunga-bunga’ mangan-manganan ‘makan-makanan’ adalah kata ulang jenis kata benda yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun. Jadi, dapat dijelaskan bahwa anak-anak-anak-anak usia lima tahun


(51)

sudah memperoleh kata ulang jenis kata benda atau sampai pada arti proses pluralitas yang merujuk pada kata ulang kata sifat.

4.2.1.2 Kata Ulang Jenis Kata Sifat

Arti proses pluralitas muncul dalam kata ulang jenis kata sifat berarti bahwa proses itu merujuk pada benda yang diterangkan oleh kata sifat itu yang mempunyai jumlah plural (lebih dari satu). (poedjosoedarmo, 1981: 88).

28. Peneliti : kuwe delokne opo Mi? ↓ ↓ ↓ ↓ kau lihatin apa Elmi

‘Elmi, apakah yang sedang kamu lihat?’ Elmi: dompete iyuk apik-apik. Tuku nandi?

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ dompetnya kakak cantik cantik beli dimana ‘dompetnya cantik, dimana kakak membelinya?’ 29. Peneliti : Suzuya.

Suzuya ‘Suzuya.’

Elmi: aku sisok ning Suzuya yuk tuku kaset anak-anak karo jajan. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ aku besok ke Suzuya kak beli kaset anak anak sama jajan

‘Besok saya ke Suzuya kak, membeli kaset anak-anak dan jajan.’


(52)

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Nanang tidak pergi ke tempat saudara saudaramu ‘Apakah Nanang tidak pergi ke rumah saudara (keluarga)?’

Nanang : orak, dulurku adoh-adoh omae yuk. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Tidak saudaraku jauh jauh rumahnya kak ‘Tidak kak, rumah saudaraku jauh-jauh.’ 31. Peneliti: oh, ngono.

↓ ↓ Oh begitu ‘Oh, begitu.’

Dari data (28-31) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang apik-apik ‘cantik-cantik’, adoh-adoh ‘jauh-jauh’ adalah kata ulang jenis kata sifat yang diucapkan oleh anak usia lima tahun. Jadi, dapat dijelaskan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah memperoleh atau sampai pada arti proses pluralitas yang merujuk pada kata ulang jenis kata sifat.

4.2.1.3 Kata Ulang Jenis Kata Kerja

Arti proses pluralitas muncul dalam kata ulang jenis kata kerja menunjuk bahwa tindakan yang dilakukan pelaku lebih dari satu kali (berulang kali). (Poedjosoedarmo, 1981: 88).

32. Peneliti : dilla nek sekolah pas maen-maen ngopoin? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ dilla kalau sekolah waktu istirahat ngapai


(53)

‘Apakah yang Dilla lakukan waktu istirahat di sekolah?’

Dilla : kejer-kejeran, maen singkong, ayunan. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Kejar kejaran main singkong ayunan ‘Kejar-kejaran, main singkong dan ayunan.’

33. Peneliti : Dilla uwes mangan? ↓ ↓ ↓ Dilla sudah makan

‘Apakah Dilla sudah makan?’ Dilla : uwes.

↓ Sudah ‘Sudah.’

34. Peneliti : kapan? ↓ Kapan ‘kapan?’

Dilla : mau mangan-manganan. ↓ ↓ ↓ Tadi makan makanan


(54)

Dari data (32-34) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang kejer-kejeran ‘kejar-kejaran’, mangan-manganan ‘makan-makanan (makan bersama)’ adalah kata ulang jenis kata kerja yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun. Jadi, pada kata ulang jenis kata kerja kata kejer-kejeran ‘kejar-kejaran’, mangan-manganan ‘makan-makanan (makan bersama)’ merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh anak-anak usia lima tahun pada saat anak-anak sedang melakukan kegiatannya. Jadi, dapat dijelaskan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah memperoleh atau sampai pada arti proses pluralitas yang merujuk pada kata ulang jenis kata kerja.

4.1.2.4 Kata Ulang Jenis Kata Bilangan

Arti proses pluralitas pada kata ulang jenis kata bilangan biasanya menunjukan kelompok-kelompok yang terdiri dari dua kelompok atau lebih. (poedjosoedarmo, 1981: 88).

35. Peneliti : Intan nek sekolah di wei duwet piro karo mamak? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Intan kalau sekolah di kasih uang berapa sama mamak

’Berapakah uang yang di beri mamak apabila Intan hendak pergi ke sekolah?’

Intan : dua ribu yuk, ↓ ↓ ↓ Dua ribu kak


(55)

36. Peneliti : nek tuku jajan piro-piro terus ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Kalau beli jajan berapa berapa terus tuku opo wae Tan?

↓ ↓ ↓ ↓ Beli apa saja Intan

‘Kalau membeli jajan berapa-berapa dan apa saja yang Intan beli?’

Intan : seribu-seribu yuk, tuku sego goreng karo es. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Seribu seribu kak beli nasi goreng sama es ‘Membeli nasi goreng dan es (minuman) seribu- seribu rupiah kak?’

37. Peneliti : Dilla, nak melebu sekolah siji-siji opo loro-loro? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla kalau masuk sekolah satu-satu apa dua-dua ‘Dilla apabila masuk (kelas/ruangan) sekolah berapa orang satu-satu atau dua-dua?’

Dilla : bareng ↓ Sama ‘ Bersama’.


(56)

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Tapikan tidak sama semua masuknya ‘Tetapi tidak semua masuknya bersama? Dilla : Yo,io

↓ ↓ Ya ya

‘Memang ya’.

39. Peneliti : dadi wong piro-piro masuk’e? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Jadi orang berapa-berapa masuknya

‘Jadi berapa-berapa orang masuk kelasnya?’ Dilla : siji-siji

↓ ↓ Satu satu ‘Satu – satu.’

Dati data (35-39) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang seribu-seribu ‘seribu-seribu-seribu-seribu’ siji-siji ‘satu-satu’ merupakan kata ulang jenis kata bilangan yang diucapkan anak usia lima tahun. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti proses pluralitas yang melekat pada kata ulang jenis kata bilangan.


(57)

4.2.2 Arti Ketidaktentuan

Arti ketidaktentuan dapat muncul dalam proses pengulangan. Arti ketidaktentuan ini kadang-kadang sukar untuk dibedakan dengan arti penekanan atau intensitas. Untuk melihat mana yang sesungguhnya mempunyai arti ketidaktentuan dan mana yang mempunyai arti penekanan biasanya perlu sekali melihat semantic properties (komponen makna) serta konteks yang mewadahi proses tersebut. Arti ketidaktentuan dapat muncul dalam proses perulangan bentuk Dwilingga, dan Dwipurwa , serta Dwiwasana. (Poedjosoedarmo, 1981: 89).

40. Peneliti: Dilla Nanang mau uwes kuwe celuk? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla Nanang tadi sudah kau panggil

‘Apakah Nanang sudah kamu panggil, Dilla?’

Dilla: uwes, bolak-balek aku celoki tapi ora eneng suarane. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Sudah bolak balik aku panggili tapi tidak ada suaranya ‘Sudah berkali-kali di panggil, tetapi suaranya tidak ada?’ 41. Peneliti: yo wislah sesok Nanang ajak rene yo Dill.

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ya sudahlah besok Nanang ajak kesini ya Dill ‘Ya. Besok ajak Nanang ke sini dill.’

Dill : yo, ↓ Ya ‘Ya,’


(58)

Dari data (40-41) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang bolak-balek ‘bolak-balik’ merupakan suatu tindakan yang tidak mempunyai ketidaktentuan. Kata ulang bolak-balek ‘bolak-balik’ menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang tidak menentu. Dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti ketidaktentuan.

4.2.3 Arti Penekanan

Arti penekanan dapat muncul baik dalam proses perulangan bentuk dwilingga, Dwipurwa maupun Dwiwasana. Bahkan kalau suatu proses perulangan bentuk tertentu mendapat proses lain, seperti imbuhan-imbuhan dan perubahan suara. Proses perulangan itu mesti menimbulkan arti penekanan. Arti penekanan ini muncul baik dalam jenis kata benda, kata kerja, kata sifat, kata tambahan, kata bilangan maupun kata tugas. Namun yang paling banyak mendapat arti penekanan adalah kata ulang yang mempunyai jenis kata sifat. (Poedjosoedarmo, 1981: 89-90).

Dalam pembahasan arti penekanan yang merujuk pada kata ulang jenis kata benda, kata kerja, kata tambahan, kata sifat, kata bilangan, dan kata tugas berbeda dengan pembahasan arti pluralitas yang merujuk pada kata ulang jenis kata benda, kata sifat, kata kerja, dan kata bilangan karena arti penekanan pada pembahasan ini yang mendapat penekanan adalah kata ulangnya.

4.2.3.1 Kata Benda

42. Peneliti : Mega duwe dolanan opo wae ning omah? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Mega punya mainan apa saja di rumah


(59)

‘Permainan apa saja yang ada di rumah Mega?’ Mega : boneka karo masak-masakan.

↓ ↓ ↓ ↓ Boneka sama masak masakan

‘Boneka sama dan masak-masakan.’ 43. Peneliti : nak Devi?

↓ ↓ Kalau Devi ‘Kalau Devi?’

Devi: aku duwe boneka karo bepe-bepean. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Aku punya boneka sama bepe bepean

‘Aku punya boneka dan bepe-bepean (bongkar pasang orang-orangan).’

44. Peneliti : Devi orak duwe masak-masakan? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Devi tidak punya masak-masakan

‘Apakah Devi tidak mempunyai masak-masakan?’ Devi : duwe wis di buang mamak.

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Punya tapi di buang mamak


(60)

44. Peneliti : keneng opo? ↓ Kenapa ‘Kenapa?’ Devi : wis elek-elek,

↓ ↓ ↓ Sudah jelek jelek ‘Sudah jelek-jelek.’

45. Peneliti: Dilla iyuk arep takon, dolanan-dolanan ning pasar malem ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla kakak mau tanya mainan mainan di pasar malam Wingi iko jenenge opo wae?

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Semalam itu namanya apa saja

‘Kakak ingin bertanya kepada kamu Dilla, di pasar malam kamarin ada permainan apa saja?’

Dilla: baleng-baleng, kuda-kudaan, kereta api-kereta apian. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Baling baling kuda kudaan kereta api kereta apian ‘Baling-baling, kuda-kudaan, kereta apai - kereta apian.’ 46. Peneliti : bagus, pinter Dilla.

↓ ↓ ↓ Bagus pintar Dilla ‘Bagus Dilla pintar.’


(61)

Dari data (42-46) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang masak-masakan ‘masak-masak-masakan’, bepe-bepean ‘bepe-bepean’, baleng-baleng ‘baling-baling’, kuda-kudaan ‘kuda-kudaan’, kereta api- kereta apian ‘kereta api- kereta apian’ merupakan kata ulang jenis kata benda yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun. Pada kata ulang tersebut merupakan kata ulang jenis kata benda yang merujuk pada arti penekanan karena kata ulang jenis kata benda ini tidak mempunyai arti pluralitas tindakan maupun pluralitas subjek, tidak pula mempunyai arti ketidaktentuan. Maka pada arti proses penekanan kata ulang jenis kata benda yang mendapat tekanan adalah kata ulang masak-masakan ‘masak-masakan’, bepe-bepean ‘bepe-bepean’, baleng-baleng ‘baling-baling’, kuda-kudaan ‘kuda-kuda-kudaan’, kereta api- kereta apian ‘kereta api- kereta apian’ yang di ucapkan anak-anak usia lima tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti proses penekanan yang merujuk pada kata ulang jenis kata benda.

4.2.3.2 Kata Ulang Jenis Kata Kerja

47. Peneliti: Naila wingi arep longo nandi? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Naila semalam mau pergi kemana ‘SemalamNaila pergi kemana?’ Naila : omahe mbahku.

↓ ↓

rumahnya nenekku (nenek atau kakek) ‘Ke rumah nenekku.’


(62)

48. Peneliti : eneng acara opo? ↓ ↓ ↓ Ada acara apa ‘Apaka ada acara?’ Naila : dolan-dolan wae kok.

↓ ↓ ↓ ↓ Main main saja kok ‘Hanya main-main saja?’

49. Peneliti : dek iki opo seng iyuk cekel? (sambil memegang Hp) ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

dik ini apa yang kakak pegang

‘Benda apakah yang kakak pegang, dik?’ Elmi : Hp,

↓ Hp ‘Hp, ’

50. Peneliti : ngerti orak iki gunone ge ngopo? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

tau tidak ini gunanya untuk apa

‘Apakah kamu tahu gunanya Hp untuk apa?’ Elmi : ngerti ge nelpon-nelponan, smsan, foto-fotoan. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓


(63)

‘Ya mengerti kak. Untuk bertelpon-telponan, bersms-smsan, dan berfoto-fotoan.’

51. Peneliti : pinter. ↓ Pintar ‘Pintar.’

Dari data (47-51) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang dolan-dolan ‘main-main’, nelpon-nelponan ‘telpon-telponan’, foto-fotoan ‘fhoto-fhotoan’ merupakan kata ulang jenis kata kerja yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun. Pada kata ulang tersebut merupakan kata ulang jenis kata kerja yang merujuk pada arti penekanan. Pembahasan pada arti proses penekanan (kata kerja) berbeda dengan pembahasan arti proses pluralitas (kata kerja), karena kata ulang jenis kata kerja pada arti penekanan yang mendapat tekanan adalah kata ulangnya bukan suatu tindakan dari anak-anak . Jadi dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti proses penekanan yang merujuk pada kata kerja.

4.2.3.3 kata ulang jenis kata tambahan.

Pada penelitian pemerolehan bahsa Jawa anak usai lima tahun kata ulang jenis kata tambahan tidak ditemukan.


(64)

4.2.3.4kata ulang jenis kata sifat

52. Peneliti: Dilla ning gone wak Saliyo eneng baju apik-apik kuwe ora tuku? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla di tempat wak Saliyo ada baju cantik cantik kau tidak beli ‘Dilla, di kedai wak Saliyo ada baju cantik-cantik, apakah kamu tidak membeli?’

Dilla: ora, omonge mamakku larang-larang yuk. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ tidak kata mamakku mahal-mahal kak ‘Tidak kak, ibuku berkata harganya mahal-mahal!’ 53. Peneliti : jadi sing murah nandi?

↓ ↓ ↓ ↓ jadi yang murah dimana

‘Harga baju yang murah di mana?’ Dilla: ning pajak yuk apik-apik koq .

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ di pajak kak caktik cantik kok ‘di pajak bajunya cantik-cantik kak.’

54. Peneliti : Dilla rambutan ning buri omahmu buah kan? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla rambutan di belakang rumahmu buah kan ‘Rambutan yang ada di belakang rumah Dilla berbuah?’


(65)

Dilla : yo, aku ngerti arep jalok iyuk kan?’ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Ya aku tau mau minta kakak kan

‘Ya, aku tau kakak ingin mintakan?’ 55. Peneliti : yo, olehkan?

↓ ↓ Ya bolehkan ‘Ya, apakah boleh?’

Dilla: ole, tapi urung mateng-mateng. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Bole tapi belum masak masak.’

‘Boleh, tetapi buahnya belum begitu masak-masak.’

Dari data (48-50) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang larang-larang ‘maha-mahal’, apik-apik ‘canti-cantik’, mateng-mateng ‘masak-masak’ merupakan kata ulang jenis kata sifat yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun yang merujuk pada arti proses penekanan. Dalam arti proses penekanan ini yang mendapat tekanan adalah kata ulang (kata sifat) bukan konteks kalimatnya walaupun kata ulang jenis kata sifat lebih mudah dipahami karena biasanya dalam konteks kalimat sudah menunjukan arti penekanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti proses penekanan yang merujuk pada kata sifat.


(66)

4.2.3.5 kata ulang jenis kata bilangan

56. Peneliti : Sasa ning omah dodolan kan? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Sasa di rumah jualan kan

nak iyuk tuku bombon seribu intuk piro? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Kalau kakak beli permen seribu dapat berapa? ‘ Apakah Sasa Berjualan di rumah?

jika kakak membeli permen seribu rupiah berapa buah permen yang kakak dapat?’

Sasa : enem ↓ Enam ‘Enam buah’

57. Peneliti : enem? Nak bombone enem di bage loro piro-piro? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Enam kalau permennya enam di bagi dua berapa-berapa

‘Jika permenya enam buah dan di bagi dua, masing-masing dapat berapa?’

Sasa : telu-telu lah, (sambil menghitung dengan jari tangan) ↓ ↓

Tiga-tiga lah ‘tiga-tiga lah,’


(67)

58. Peneliti : Sasa pinter. . ↓ ↓ Sasa pandai ‘Sasa pandai’.

59. Peneliti : Dilla nak diwei duet jajan karo uwek piro? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Dilla kalau dikasih uang jajan sama nenek berapa ’Nenek kalau kasih uang jajan berapa, Dilla?’ Diila : seribu

↓ Seribu

’seribu rupiah.’

60. Peneliti : tuku jajane piro-piro? ↓ ↓ ↓ ↓ Beli jajannya berapa-berapa?

’Berapa-berapakah adik membeli jajan?’ Dilla : seribu-seribu,

↓ ↓ Seribu seribu

’Seribu-seribu rupiah?’

61. Peneliti : lo, tapi di wei seribu, seribu opo rongewu? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓


(68)

’Lho, tetapi di kasih seribu rupiah? Jajannya kok seribu-seribu rupiah? Seribu rupiah, atau dua ribu rupiah.

Dilla : seribu ↓ Seribu

’Seribu rupiah.’ 62. Peneliti : Tuku opo wae?

↓ ↓ ↓ Beli apa saja

’Apa saja yang adik beli?’

Dilla : Tuku jajan kentang karo minuman? ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Beli jajan kentang sama minuman ’Beli kentang dan minuman.’

62. Peneliti : enak opo? ↓ ↓ Enak apa ’Apakah enak?’ Diila : enak

↓ Enak ’Enak.’


(69)

Dari data (56-62) di atas dapat disimpulkan bahwa kata ulang telu-telu ‘tiga-tiga’ seribu-seribu ‘seribu-seribu’ merupakan kata ulang jenis kata bilangan yang diucapkan oleh anak-anak usia lima tahun yang merujuk pada arti proses penekanan. Dalam arti proses penekanan ini yang mendapat tekanan adalah kata ulang tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia lima tahun sudah sampai pada arti proses penekanan yang melekat pada kata bilangan.

4.2.3 6 Kata Ulang Jenis Kata Tugas

Pada penelitian pemerolehan bahsa Jawa anak usia lima tahun kata ulang jenis kata tugas tidak ditemukan.


(70)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Anak dalam memperoleh bahasa mengikuti perkembangan anak secara umum. Pada anak usia lima tahun, anak-anak sudah sampai pada tahap perkembangan morfologi. Dalam perkembangan morfologi khususnya reduplikasi atau kata ulang usia anak lima tahun sudah mulai mengucapkan atau menggunakan kata ulang pada saat seorang anak berkomunikasi pada lawan bicaranya, baik kepada anak-anak sebayanya ataupun kepada orang dewasa. Bentuk kata ulang bahasa Jawa yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: Dwilingga (DL), Dwilingga salin suara (DLS) dan perulangan berimbuhan.

Anak usia lima tahun yang berbahasa Jawa mampu membentuk kalimat dengan menggunakan atau menyisipkan kata ulang. Sebab kata ulang yang muncul pada anak tersebut terjadi secara alamiah atau tidak sengaja. Pada anak usia lima tahun, kata ulang yang sering muncul adalah kata ulang dwilingga (keseluruhan). Pada kata ulang dwilingga bentuk kata ulang yang muncul adalah nomina, verba, dan adjektiva dan kata ulang lain yang agak sering muncul adalah kata ulang berimbuhan dan kata ulang dwilingga salin suara.

Arti proses perulangan bahasa Jawa secara umum mencakup arti pluralitas, arti ketidaktentuan, dan arti penekanan. Pada penelitian ini arti pluralitas mencakup kata ulang jenis kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata bilangan. Arti ketidaktentuan hanya sedikit data yang ditemukan, sedangkan pada arti


(71)

penekanan kata ulang yang ditemukan adalah kata ulang jenis kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan.

2. Saran

Uraian-uraian dalam skripsi ini sangat sederhana dan mencakup satu bidang linguistik, yaitu morfologi khususnya tentang kata ulang dalam bahasa Jawa. Penulis berharap, semoga ada penelitian selanjutnya tentang pemerolehan bahasa Jawa dari sudut pandang sintaksis, fonologi ataupun struktur semantis bahasa lisan bahasa Jawa pada anak usia lima tahun. Terciptanya kelompok-kelompok diskusi dan kajian telaah psikolinguistik dari berbagai sudut pandang dan elemen bahasanya baik secara kelompok maupun secara organisasi kecil kaerna kajian-kajian mengenai psikolinguistik harus lebih ditingkatkan kembali dan kajian psikolinguistik sangat menarik untuk dikaji.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal. 2008. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Grasindo. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak

Indonesia. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. “Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa

Manusia”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mahsun M. S. 1995. Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mar at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.

Parera, J.D. 1996. Psikologi Keberbahasaan. Jakarta: IKIP Jakarta. Poedjosoedarmo, Soepomo dkk. 1979. Morfologi Bahasa Jawa.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University press.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Skripsi

Agraida, Mira. 2004. Pengaruh Lingkungan terhadap Pemrerolehan Bahasa Anak Prasekolah Binjai (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.

Fauzi, Ahmad. 2000. Pemerolehan Bahasa Anak-Anak Usia 0-5 Tahun

Analis Psikolinguistik. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.

Marpaung, Hutry. 2006. Pemerolehan Bahasa Batak Toba Anak Usia 1-5 Tahun. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra.

Susanti, Yus. 2005. Pemerolehan Bahasa Jawa Anak Usia 1-5 Analisis


(2)

Tesis

Gustianingsih. 2002. Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Anak

Usia Taman Kanak-Kanak. (Tesis). Medan: Pascasarjana USU.

Kamus

Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Mardiwarsito,L. dkk. 1985. Kamus Praktis Jawa Indonesia. Jakarta:


(3)

Lampiran 1

1. Nama : Devi Umur : 5,4 tahun Nama Ayah : Poniman Nama Ibu : Sisup

2. Nama : Mega Umur : 5,3 tahun Nama Ayah : Yetno Nama Ibu : Siyem

3. Nama : Elmi Umur : 5,2 tahun Nama Ayah : Paidi

Nama Ibu : Juli

4. Nama : Dilla Umur : 5,4 tuhun Nama Ayah : Nuriadi Nama Ibu : atik

5. Nama : Intan Umur : 5,3 tahun Nama Ayah : Julli


(4)

Nama Ibu : Ernawati

6. Nama : Tika Umur : 5,3 Nama Ayah : Jumari

Nama Ibu : Sukini

7. Nama : Naila Umur : 5,0 tahun Nama Ayah : Sius

Nama Ibu : Poniyem

8. Nama : Sasa Umur : 5,1 tahun Nama Ayah : Sutiman

Nama Ibu : Ida

9. Nama : Wahyu Umur : 5,4 tahun Nama Ayah : Judi

Nama Ibu : Boini

10. Nama : Agus Umur : 5,3 tahun


(5)

Nama Ayah : Karso Nama Ibu : Nur

11. Nama : Asty Umur : 5,4 tahun Nama Ayah : Lulik

Nama Ibu : Yanti

12. Nama : Nanang Umur : 5,3 tahun Nama Ayah : Riyadi

Nama Ibu : Tarmi

13. Nama : Ipan Umur : 5.1 tahun Nama Ayah : Giman

Nama Ibu : Sutik

14. Nama : Anjas Umur : 5.2 tahun Nama Ayah : Gomat

Nama Ibu : Nopri


(6)

Umur : 5,3 tahun Nama Ayah : Paino

Nama Ibu : Ponijem

16. Nama : Ramadi Umur : 5,2 tahun Nama Ayah : Paino

Nama Ibu : Turiyem

17. Nama : Putra Umur : 5,4 tahun Nama Ayah : Paiman