hukum perdata pada umumnya. Secara khusus, skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan terutama bagi penyempurnaan ketentuan-
ketentuan mengenai pembagian harta bersama yang diperoleh melalui hadiah undian serta penyempurnaan perangkat ketentuan mengenai hadiah undian
yang masih sangat minim. 2.
Secara praktis Skripsi ini ditujukan kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat
sebagai bahan masukan mengenai bagaimana proses pembagian harta bersama di mana harta tersebut berasal dari undian berhadiah yang diperoleh di dalam
suatu perkawinan. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi, civitas akademik, dan pemerintah.
D. Keaslian Penulisan
Pengambilan judul untuk skripsi ini, telah terlebih dahulu melalui proses pencarian mendalam atas karya ilmiah lain yang membahas tentang
Hadiah Undian yang Diperoleh dalam Perkawinan dan Kaitannya dengan Harta Bersama di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun, belum ditemukan adanya tulisan maupun karya
ilmiah lainnya yang membahas mengenai sistematika pembagian atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah seperti yang akan diuraikan. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu, skripsi ini merupakan karya autentik dan hasil dari pemikiran sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari skripsi orang lain.
Dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, serta terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
Sehingga penelitian ini tidak diragukan keasliannya serta
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjadinya perkawinan menimbulkan pula akibat-akibat hukum, di
antaranya hubungan hukum antara suami istri, hubungan hukum antara anak dengan orang tua, dan hubungan hukum terhadap harta perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU Perkawinan, akan timbul akibat hukum terhadap hubungan suami-istri
yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang di antaranya :
Universitas Sumatera Utara
a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 30.
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat Pasal 31 ayat
1. c.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum ayat 2.
d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga. e.
Suami istri menentukan tempat kediaman mereka. f.
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu sesuai dengan kemampuannya. h.
Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik- baiknya.
Antara anak dengan orang tuanya juga terdapat suatu hubungan hukum, baik itu anak sah, anak luar kawin, ataupun anak adopsi.
Anak sah adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di dalam suatu perkawinan yang sah, anak yang dibenihkan di luar perkawinan dan dilahirkan
di dalam pernikahan sah, atau anak yang dibenihkan di dalam perkawinan sah
Universitas Sumatera Utara
tetapi dilahirkan setelah putus perkawinan. Anak sah ini langsung mempunyai hubungan hukum yang sah pula dengan orang tuanya.
Anak luar kawin adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan tanpa adanya suatu perkawinan. Anak luar kawin ini hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya. Anak adopsi adalah anak orang lain yang diambil dan dimasukkan ke
dalam keluarga sendiri dan diperlakukan sama dengan anak kandung. Dengan demikian, anak adopsi ini tidak memiliki hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya. Hubungan hukum yang ia miliki adalah dengan orang tua angkatnya.
Anak dan orang tua memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut :
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri Pasal 45.
b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya
yang baik. c.
Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila
memerlukan bantuan anaknya Pasal 46.
Perkawinan juga menimbulkan akibat hukum terhadap harta perkawinan. Harta perkawinan atau harta kekayaan kawin adalah harta yang
Universitas Sumatera Utara
dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami-isteri baik sebelum maupun sesudah selama perkawinan berlangsung.
Pasal 35 UU Perkawinan mengenal dua jenis harta perkawinan dalam ikatan suatu kekayaan, yakni harta asal bawaan dan harta bersama harta
pencaharian bersama. Harta asal atau harta bawaan ini meliputi :
a. Harta pribadi, yaitu harta yang dihasilkan melalui
keringatjerih payah suami atau isteri sebelum perkawinan berlangsung.
b. Hibah, yaitu suatu pemberian yang diberikandilimpahkan
kepada seseorang sewaktu si Penghibah masih hidup. c.
Warisan adalah harta yang diwarisi oleh ahli waris karena kematian.
d. Hibah-Wasiat adalah ucapan janji seorang Pewaris semasa
ia hidup untuk memberikan harta kepada seseorang, akan tetapi janji tersebut baru dapat dilaksanakan setelah si
Penghibah Wasiat meninggal dunia. e.
Hadiah khusus, yaitu pemberian seseorang secara tegas kepada salah satu pihak suami atau isteri.
Harta asal atau harta bawaan ini berada di dalam kekuasaan masing- masing pihak, selama tidak ada perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Harta bersama atau harta pencaharian bersama adalah harta yang dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami-isteri yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
melalui usahakeringat sendiri dari suami atau isteri atau suami-isteri secara bersama-sama selama perkawinan berlangsung.
Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka-mereka yang melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban
yang mengikat pribadi suami-istri – dan biasanya hak dan kewajiban inilah yang pertama-tama terpikir kalau kita berbicara tentang hak dan kewajiban
suami-istri – tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami-istri tersebut.
7
Cerai mati adalah putusnya suatu perkawinan karena adanya kematian salah satu pihak, baik suami maupun isteri, di mana kematian salah
Seluruh harta benda suami maupun istri tidak serta merta disatukan dan menjadi milik bersama, namun ada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini yang menyebutkan adanya pemisahan antara harta bawaan dari masing-masing suami maupun istri yang tetap berada di bawah
pengawasan masing-masing selama tidak ada ketentuan dari pihak lain seperti yang tertera di dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Ikatan perkawinan memiliki risiko dapat terputus di tengah jalan.
Suatu perkawinan itu dapat diputuskan dengan tiga cara, yakni karena kematian cerai mati, karena kesepakatan kedua belah pihak untuk bercerai
cerai hidup, dan atas keputusan Pengadilan.
7
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
satu pihak tersebut dengan sendirinya mengakibatkan seorang suamiisteri menjadi dudajanda.
Cerai hidup adalah putusnya suatu perkawinan karena adanya kesepakatan kedua belah pihak antara suami-isteri untuk mengakhiri
perkawinan mereka, oleh karena tidak ada lagi kecocokan di antara mereka sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan ke Pengadilan. Gugatan cerai
diajukan sesuai dengan agama yang dianut. Apabila yang bersangkutan beragama Islam maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama, sedangkan
bagi yang tidak beragama Islam mengajukan gugatan perceraiannya ke Pengadilan Negeri, tentu sesuai alasan-alasan cerai sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: a.
Apabila salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 lima tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiisteri;
Universitas Sumatera Utara
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perkawinan yang putus karena putusan Pengadilan terjadi apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, atau salah satu pihak dalam keadaan tidak hadir
selama 2 dua tahun berturut-turut maka pihak lain dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan supaya perkawinannya diputuskan.
Putusnya suatu perkawinan itu juga memiliki akibat hukum bagi suami-isteri, bagi anak, dan juga bagi harta perkawinan. Perkawinan yang
putus karena adanya kematian tidak menimbulkan banyak persoalan dalam hal pembagian harta kekayaan kawinnya. Lain halnya apabila yang terjadi adalah
cerai hidup. Masalah pembagian harta apabila perkawinan putus karena cerai
hidup dibahas di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pengaturan mengenai harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung diatur berdasarkan hukumnya masing-masing. Pada penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.
Sebelum proses pembagian harta kawin di saat perceraian terjadi, maka terlebih dahulu dilakukan pemisahan antara harta kawin dengan harta
Universitas Sumatera Utara
asal atau harta bawaan untuk kemudian dilakukanlah pembagian atas harta yang diperoleh di dalam perkawinan yang menjadi milik bersama.
Penambahan nilai dari harta kekayaan kawin ini selain dapat diperoleh dari hasil kerja keras sendiri, juga dapat diperoleh dari pemberian
orang lain atau hadiah. Instansi ataupun perusahaan dewasa ini semakin sering
menyelenggarakan undian berhadiah bagi para konsumennya. Hadiah-hadiah yang ditawarkan biasanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, di mana
apabila yang menjadi pemenang dari undian berhadiah itu adalah pasangan suami-isteri, maka tentu saja nilai ekonomis dari hadiah tersebut menambah
besaran nilai harta kekayaan kawin bagi keduanya. Apabila suatu saat di dalam perkawinan tersebut terjadi perceraian dan masing-masing pihak
menuntut haknya atas harta perkawinan, maka hadiah undian yang diperoleh sebelumnya tentu tidak luput dari persengketaan. Dengan kurangnya
pembahasan mengenai hal ini, baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun doktrin, maka masalah pembagian harta yang berasal dari undian
berhadiah ini memerlukan peninjauan lebih lanjut untuk menentukan penggolongan harta kekayaan kawin dari hadiah ini, merupakan harta asal atau
harta bersama.
F. Metode Penelitian