BAB II HUKUM HARTA PERKAWINAN
A. Pengertian Hukum Harta Perkawinan
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi pengertian tentang suatu perkawinan. Dari ketentuan
pasal ini dapat diketahui ada dua unsur utama dari definisi perkawinan. Pertama, perkawinan adalah merupakan ikatan secara lahir dan batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Kedua, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur pertama berkaitan dengan bagaimana terciptanya suatu perkawinan dan unsur kedua berkenaan
dengan tujuan perkawinan yang berkaitan dengan kesejahteraan perkawinan. Unsur kedua dari pengertian perkawinan tersebut di atas pada intinya
berkenaan dengan tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga sejahtera. Upaya meciptakan keluarga sejahtera ini sesungguhnya berkaitan dengan
fungsi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Secara sosiologi, dalam setiap masyarakat, keluarga adalah suatu struktur kelembagaan yang berkembang melalui upaya masyarakat untuk
menyelesaikan tugas-tugas terentu. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi Pengaturan Seksual.
Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan
keinginan seksual.
2. Fungsi Reproduksi
Untuk urusan memproduksi anak setiap masyarakat terutama tergantung pada keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi
Semua masyarakat tergantung terutama pada keluarga bagi sosialisasi anak-anak ke dalam alam dewasa yang dapat
berfungsi dengan baik di dalam masyarakat itu.
4. Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai.
5. Fungsi Penentuan Status
Dalam memasuki keluarga seseorang mewarisi suatu rangkaian status. Seseorang diserahimenerima beberapa status dalam
keluarga berdasarkan umur, jenis kelamin, urutan kelahiran dan lain-lain.
6. Fungsi Perlindungan
Dalam setiap masyarakat, keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotannya.
7. Fungsi Ekonomis.
Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagaian besar masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sama sebagai
tim untuk menghasilkan sesuatu.
11
Beranjak dari fungsi keluarga tersebut, maka tidak dapat dihindari bahwa kesejahteraan keluarga haruslah menjadi prioritas utama agar
11
Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sociology, terjemahan, Jakarta: Erlangga, 1984 hal. 274-278.
Universitas Sumatera Utara
terpenuhinya kebutuhan materil dan sprituil. Terkait dengan keluarga sejahtera, pada tahun 1992 diterbitkan undang-undang tentang keluarga
sejahtera. Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
mengatakan: “Setiap orang sebagai pribadi berhak untuk membentuk keluarga.
Setiap Penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun keluarga sejahtera dengan mempunyai anak yang jumlahnya ideal, atau
mengangkat anak atau memberi pendidikan kehidupan berkeluarga kepada anak-anak serta hal lain guna mewujudkan keluarga sejahtera. Mampu
mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir
dan kebahagiaan batin.”
Sejanjutnya menurut Muhammad Djumhana :
“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan
materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara anggota, dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya, dengan jumlah anak yang ideal untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin.”
12
Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi kewajiban dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan antara ketentuan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk seterusnya disebut UU Perkawinan, dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera maka tidak dapat dipungkiri untuk kelangsungan hidup
suatu keluarga dibutuhkan harta kekayaan guna mewujudkan keluarga
12
Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 111
Universitas Sumatera Utara
sejahtera. Kebutuhan akan harta benda dalam keluarga tidak saja untuk pengembangan diri pribadi suami dan atau isteri tetapi juga demi kebutuhan
dan kepentingan anak-anak. Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling
mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
mengatakan : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.”
Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Mengingat pentingnya
kekayaan yang harus dipunyai oleh suatu keluarga demi kelangsungan keluarga itu sen-diri dan demi terwujudnya suatu keluarga sejahtera, maka
keharusan adanya suatu harta perkawinan merupakan hal yang amat diperlukan.
Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri, utamanya apabila mereka bercerai,
sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan
mulus. Untuk itulah, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang
Harta Benda Dalam Perkawinan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan terdiri dari dua ayat, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Ayat 1 menentukan : “Harta benda yang diperoleh selama perka- winan menjadi harta bersama”, dan
Ayat 2 menentukan : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau waris-
an, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Apabila dicermati secara seksama, isi dari ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di atas selaras dengan ketentuan Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan pasal yang disebutkan terakhir di dalamnya ditemukan
ketentuan tentang hak milik pribadi dan hak milik bersama sebagai hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara
bersama-sama merupakan hak asasi maka perlu dipertegas luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena
perkawinan sesungguhnya adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau isteri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan isteri
selama dalam perkawinan. Itulah sebabnya, ayat 1 Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang
harta bersama selama perkawinan dan ayat 2 Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau isteri.
Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak
terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.
Universitas Sumatera Utara
Benturan hak milik pribadi dengan hak milik bersama perkawinan kelihatannya dapat saja terjadi sejak awal terjadinya perkawinan sampai
terjadinya perpecahan perkawinan baik karena kematian maupun karena perceraian. Jadi konflik benturan antara hak milik pribadi dan hak milik
bersama dalam perkawinan dapat terjadi setiap saat. Pada kenyataannya pembahasan mengenai harta bersama dalam
perkawinan ini seringnya tidak menjadi suatu hal yang dianggap penting. Mungkin orang berpikir bahwa pembagian harta perkawinan bukan
merupakan suatu hal yang penting seperti yang dikatakan oleh G. W. Paton dalam bukunya “A Textbook of Jurisprudence” 1946 yang disadur oleh J.
Satrio : “In marriage, so long as love persist, there is a little need of law to rule the relation between husband and wife – but the solicitor comes in
through the door as love flies out of the window.”
13
Secara harfiah, kalimat di atas dapat diartikan bahwa selama cinta masih ada, hanya dibutuhkan sedikit hukum untuk menjalankan hubungan
antara suami dan istri, tapi sang pengacara datang lewat pintu saat cinta itu terbang melalui jendela. Dengan kalimat lain, selama perkawinan itu masih
berlangsung, maka Hukum Harta Perkawinan tidak diperlukan. Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi milik istri, dan apa
yang menjadi milik mereka bersama belum menarik perhatian mereka. Namun pada saat akan bercerai, barulah kedua belah pihak merasa bahwa Hukum
13
J. Satrio, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
Harta Perkawinan itu merupakan hal yang penting. Sebagaimana ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Jafizham, yang mengatakan :
“Justru campuran kekayaan inilah yang sering mengakibatkan kesulitan dan maka dari itu membutuhkan peraturan khusus untuk mengatasi
kesulitan itu.”
14
Perlu diperhatikan tentang apa yang dimaksud dengan hukum harta perkawinan. J. Satrio dalam bukunya menyebutkan : “Hukum Harta
Perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Dari bunyinya
ketentuan Pasal 35 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan tersebut sesungguhnya telah terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang harta dalam
perkawinan. Kendatipun telah terdapat ketentuan hukum mengenai harta dalam perkawinan, namun seringkali Hukum Harta Perkawinan itu kurang
mendapat perhatian, bahkan dari para praktisi hukum yang semestinya memperhatikan hal ini secara serius.
15
14
T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam. Medan: CV. Percetakan Mestika, 1977, hal. 170.
15
Ibid., hal. 27
Selain penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan”, juga sering digunakan istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” untuk menyebutkan peraturan yang
mengatur tentang harta kekayaan suami-isteri.
Universitas Sumatera Utara
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh J. Satrio dapat diketahui bahwa hukum harta perkawinan adalah hukum yang mengatur tentang harta
benda perkawinan akibat adanya perkawinan, yaitu berkaitan dengan harta bersama maupun harta pribadi atau harta bawaan masing-masing suami isteri.
J. Satrio menyebutkan bahwa Hukum Harta Perkawinan merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan Hukum Harta
Benda Perkawinan adalah terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht”.
16
Terkait istilah “Hukum Harta Perkawinan” dan “Hukum Harta Benda Perkawinan” ini, penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan” yang
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan bahwa perkawinan adalah unsur pokok daripada Hukum Keluarga, maka terhadap harta perkawainan lebih tepat
apabila dipergunakan istilah “Hukum Harta Perkawinan” karena antara Hukum Harta Perkawinan dengan Hukum Keluarga memiliki kaitan yang erat.
Istilah harta perkawinan yang dipergunakan J. Satrio ini sama dengan istilah yang dipergunakan Subekti untuk menjelaskan tentang harta benda
perkawinan dimana beliau menggunakan istilah hukum harta kawin dengan menterjemahkan istilah “algehele gemeenschap” yang ditemui di dalam
KUHPerdata. Kelihatannya J. Satrio dan Subekti menganut istilah hukum harta perkawinan sama dengan istilah yang ditemui di dalam judul Bab XIII
Kompilasi Hukum Islam yaitu Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Dan istilah untuk hal yang sama, berbeda dengan istilah yang ditentukan di dalam
UU Perkawinan yang menggunakan istilah Harta Benda Dalam Perkawinan.
16
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
digunakan oleh J. Satrio dirasa kurang tepat. Karena apabila menilik pada UU Perkawinan yang dijadikan acuan mengenai harta perkawinan ini, maka istilah
yang digunakan adalah “Harta Benda” seperti bunyi Bab VII yang menyebutkan ”Harta Benda Dalam Perkawinan” dan bukan “Harta Dalam
Perkawinan”. Sehingga dengan merujuk pada UU Perkawinan maka adalah lebih tepat penggunaan istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” dari pada
istilah “Hukum Harta Perkawinan”. Pengertian hukum harta benda perkawinan adalah pengertian otentik
berdasarkan undang-undang, dan pengertian inilah yang mengikat secara yuridis, sedangkan pendapat J. Satrio merupakan pendapat sarjana tidak
mempunyai daya ikat, terkecuali pendapat itu diterapkan atau digunakan di dalam putusan pengadilan. Pada sisi lain bila istilah yang ditentukan di dalam
Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di konfrontir dengan ketentuan yang termuat di dalam Bab VII UU Perkawinan maka yang harus dimenangkan
adalah ketentuan yang termuat di dalam UU Perkawinan bukan yang ditentukan di dalam KHI, karena secara hierarki, undang-undang lebih tinggi
kedudukannya daripada Instruksi Presiden sebagai landasan berlakunya KHI. Istilah harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan di dalam
UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUHPerdata. Karena
aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini
diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan
Universitas Sumatera Utara
dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi titik tekan pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum.
Atau dengan kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak milik atas benda yang ada dalam perkawinan.
B. Jenis-Jenis Harta Perkawinan