Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
3. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas, dalam kenyataannya justru banyak yang didahulukan pengesahannya daripada Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan
pihaknya contoh peraturan di bidang perpajakan daripada peraturan-peraturan yang membebaninya dengan kewajiban yang besar seperti di bidang perlindungan
konsumen. Oleh karena itu menurut Hans W. Micklitz dalam perlindungan konsumen
dapat ditempuh dengan dua kebijakan, yaitu: Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan
informasi yang memadai kepada konsumen hak atas informasi. Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan
ekonomi konsumen hak atas kesehatan dan keselamatan. Dengan demikian dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip tentang tanggung jawab
mutlak yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, di mana dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan
kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
77
77
Hans W. Micklitz dalam Shidarta, op.cit, hal. 49.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dibedakan scbagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata sebagaimana uraian berikut ini:
1 Aspek hukum pidana Bentuk-bentuk tindak pidana yang menjadi dasar pembebanan tanggung
jawab produsen terhadap konsumen adalah: a Negligence
Negligence ialah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan standard of conduct yang ditetapkan oleh undang-undang demi perlindungan anggota
masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya perbuatan kurang cermat yang merugikan orang lain, yang semestinya
seorang penjual atau produsen mempunyai duty of care. Untuk dapat menggunakan negligence sebagai dasar gugatan harus memenuhi syarat-syarat:
78
78
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia dengan Belanda, Yogyakarta, 1988, hal. 7.
a. Adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal.
b. Yang dibuktikan adalah bahwa tergugat produsen lalai dalam duty of care terhadap penggugat konsumen.
c. Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata proximate cause dari kerugian yang timbul.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Pembuktian adanya negligence mencakup pembuktian atas:
79
1 Kerugian yang diderita ditimbulkan oleh cacat yang ada pada produk.
2 Bahwa cacat tersebut telah ada pada penyerahan.
3 Bahwa cacat pada produksi disebabkan oleh kurang cermatnya produsen.
b Warranty breach of warranty Gugatan dari konsumen terhadap produsen berdasarkan breach of warranty
pelanggaran janji, jaminan ini didasarkan pada suatu hubungan kontrak. Produsen secara tegas atau diam-diam memberi jaminan bahwa produknya dapat memenuhi
keinginankebutuhan. Pada umumnya warranty janji, jaminan itu dapat dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu:
80
a. Express warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara tegas eksplisit.
b. Implied warranties, janji, jaminan yang dinyatakan secara diam-diam implisit.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal
yang dapat dijadikan dasar kesalahan yang dilakukan produsen, antara lain: 1.
Pasal 202 KUHP: 1 Barangsiapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk
dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang,
79
Ibid, hal. 14.
80
Ibid, hal. 7.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
81
2. Pasal 204: Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-
bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
3. Pasal 205: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-
barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau
yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu
tahun. Barang-barang itu dapat disita.
82
4. Pasal 382: Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan,
minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.
5. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan,
seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: 1 karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, 2 mengenai
jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
6. Pasal 390: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat
berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan tahun.
83
2 Aspek hukum perdata
81
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan..., op.cit, hal. 142.
82
Sidharta, op.cit, hal. 91.
83
Ibid,hal. 92.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, dalam bidang perdata khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata, prinsip ini dipegang secara
teguh. Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi: tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata berbunyi: setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga alas
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya. Pasal 1367 KUH Perdata, berbunyi: seseorang tidak hanya bertanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ini dalam hukum
perdata, menyatakan seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Sebagaimana Pasal 1365 KUH
Perdata di atas mengharuskan terpenuhinya 4 empat unsur pokok tentang melawan hukum, yaitu:
1 adanya perbuatan;
2 adanya unsur kesalahan;
3 adanya kerugian yang diderita;
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
4 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab Presumption of Liability Principle, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah.
Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dengan 4 empat
variasi:
84
1. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat
membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. 2.
Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari
timbulnya kerugian.
3. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat
membuktikan kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. 4.
Pengangkutan tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahankelalaian penumpang atau karena kualitas mutu barang yang diangkat
tidak baik.
c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip-prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi. Konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian tidak dapat dibenarkan. Contoh dari prinsip ini adalah kehilangan atau
kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si
84
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, hal. 18.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
85
Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolut liability. Prinsip tanggung jawab ini adalah
prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, sebaliknya absolut liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. Sebagaimana pernyataan R.C
Hoeber, et al, prinsip tanggung jawab mutlak ini karena:
d. Prinsip tanggung jawab mutlak
86
85
Ibid, hal. 19.
86
R.C Hoeber, et al, dalam Shidarta, op.cit, hal. 64.
1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang
kompleks. 2. Diasumsikan produsen lebih mengantipasi jika sewaktu-waktu ada
gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.
3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara
umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini diberi
nama product liability.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak strict liability ditetapkan dalam hukum tentang product liability adalah:
87
1. Di antara korbankonsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak,
beban kerugian risiko seharusnya ditanggung oleh pihak yang memprodukmengeluarkan barang-barang cacatberbahaya tersebut
di pasaran. 2.
Dengan menempatkanmengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk
dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun
produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran,
pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.
Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Gugatan product
liability ini dilakukan berdasarkan 3 tiga hal yaitu: 1. melanggar jaminan breach of warranty, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam
kemasan produk, 2. ada unsur kelalaian yaitu produsen lalai memenuhi standar prbuatan obat yang baik, dan 3. menerapkan tanggung jawab mutlak.
88
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung
e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
87
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 54.
88
Sidharta, op.cit, hal. 65.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha
tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak
harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang dicucicetak hilang atau rusak
akibat kesalahan petugas, maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar 10 x harga satu rol film.
89
Dengan demikian dari uraian di atas terlihat adanya prinsip-prinsip pertanggungjawaban umum dari pihak pengusaha maupun dari konsumen sendiri
untuk dapat menyatakan telah dirugikan oleh pihak pengusaha. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dapat ditarik aspek perdata tetapi juga dapat ditarik aspek pidana.
Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni Pasal 17 ayat 1 Protokol Guatemala
1971, prinsip tanggung jawab dengan pembatasan, dikaitkan dengan dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
89
Ibid, hal. 66.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK, perlakuan terhadap konsumen korban tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen, telah berubah, baik dari segi peraturan hukumnya sendiri, maupun praktik peradilan. Penempatan dalam sistem UUPK
menjamin kepentingan dan hak-hak serta kewajiban kedua belah pihak, yaitu hak dan kewajiban para pihak yang bersifat timbal balik. Hak konsumen merupakan
kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya, sebaliknya hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen untuk memenuhinya, seperti yang diatur dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 Bab Ill Bagian Pertama UUPK hak dan kewajiban konsumen serta Pasal 6 dan Pasal 7 Bab III Bagian Kedua UUPK hak dan kewajiban pelaku
usaha. Meskipun peraturan-peraturan hukumnya sendiri, tidak memihak dan sesuai
dengan prinsip persamaan di depan hukum equality before the law, namun, menurut Satjipto Rahardjo, terjadinya pelapisan sosial dalam masyarakat sebagai suatu
kenyataan, maka hukum pun susah untuk mempertahankan netralitas atau kedudukan yang tidak memihak. Hukum itu diskriminatif, kuncinya terletak pada adanya
pelapisan sosial tersebut. Akibatnya, ditinjau dari pandangan sosiologis, bahwa hukum tidak memihak, hanya sebagai mitos belaka, yang dalam pelaksanaan sehari-
harinya sering dibuktikan ketidakbenarannya.
90
90
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 164-165.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.
91
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang danatau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
92
1 pidana penjara maksimal 5 lima tahun atau pidana denda maksimal
Rp. 2.000.000.000,- dua miliar rupiah; dan UUPK telah mengubah paradigma lama yang kurang berorientasi pada
kepentingan hak konsumen. Pasal 63 butir c UUPK telah menempatkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti kerugian atas pelanggaran-pelanggaran norma-
norma UUPK, di samping dijatuhkan sanksi pidana pokok berupa:
91
Ibid, hal. 165.
92
Pasal 19 UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2 pidana penjara maksimal 2 dua tahun atau pidana denda maksimal
Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Seperti halnya dalam acara perkara perdata perlindungan konsumen mengenai
pembuktian terbalik, instrumen hukum acara pidana dalam UUPK juga menganut suatu sistem beban pembuktian terbalik, seperti yang diatur Pasal 22 UUPK bahwa:
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 19 ayat 4 menegaskan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Demikian pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 3 UUPK. Ada 2 hal yang perlu dicermati pada Pasal 22 UUPK tersebut:
93
Kedua, kasus pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 22 UUPK tersebut terkait dengan ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21
UUPK. Pasal 19 ayat 4 UUPK menegaskan bahwa pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa tidaklah menghapuskan Pertama, dikatakan sebagai kasus pidana, apabila unsur-unsur suatu
tindak pidana sesuai dengan sistem pidana telah dijalankan, seperti penyidikan, penuntutan suatu tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen.
93
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kecana, Jakarta, 2008, hal. 179-180.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kemungkinan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian terbalik tentang ada tidaknya unsur kesalahan. Sedangkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUPK masing-
masing memberikan penekanan pada:
1 Tanggung jawab tersangkaterdakwa, yaitu: importir bertanggung jawab
atas barang yang diimpor, jika pelaksanaan impor produk barang tidak dilakukan agen atau perwakilan produsen barang tersebut di luar negeri;
2 Tanggung jawab subjek tersangkaterdakwa, yaitu: importir bertanggung
jawab atas jasa yang diimpor, jika penyediaan jasa tidak dilakukan agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Selanjutnya salah satu bagian penting dalam penyelesaian sengketa perdata konvensional, adalah beban pembuktian bewijstlastburden proof. Kepada pihak
mana ditetapkan beban pembuktian apabila timbul suatu perkara. Keliru menetapkan beban pembuktian dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak yang dibebani, dan
memberi keuntungan kepada pihak yang lain.
94
Secara teknis, Pasal 163 HIR283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata merupakan ketentuan umum general rule dalam penerapan pembagian beban
pembuktian. Dapat disimpulkan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu hak, padanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya, dan siapa yang
mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahan
dimaksud.
95
94
Ibid, hal. 180.
95
Ibid, hal. 181. Selanjutnya lihat, Pasal 163 HIR283 RBg yang berbunyi: Barangsiapa yang mengatakan mempunyai sesuatu hak, atau ia menyebutkan sesuatu kejadian untuk menguatkan haknya
itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Kemudian, Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi: Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam hal hubungan kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha produsen, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Hubungan kontraktual
tidak disyaratkan jika konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dalam kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus
membuktikan unsur-unsur:
96
Konsumen dihadapkan pada beban pembuktian yang berat, karena harus membuktikan keempat unsur tersebut. Penerapan pembagian beban pembuktian
tersebut, diperlukan apabila para pihak yang berperkara saling mempersengketakan dalil gugatan yang diajukan penggugat. Akan tetapi jika para pihak mengakui apa
yang disengketakan, pedoman pembagian beban pembuktian yang digariskan Pasal 1865 KUHPerdata, atau Pasal 163HIR283RBg tidak relevan lagi, karena tidak ada
lagi hak atau kepentingan yang harus dibuktikan. Prinsip tersebut merupakan pedoman dalam hukum perdata konvensional.
a. Adanya perbuatan melawan hukum. b. Adanya kesalahankelalaian pelaku usahaprodusen.
c. Adanya kerugian yang dialami konsumen. d. Adanya hubungan klausul antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian
yang dialami konsumen.
97
96
Ibid, hal. 182-183.
97
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kesatu, 2005, hal. 183.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Apabila dalam ketentuan undang-undang hukum materiil menentukan sendiri kepada pihak mana diwajibkan memberikan beban pembuktian, maka pedoman
pembagian beban pembuktian tidak lagi merujuk kepada Pasal 1865 KUH Perdata maupun Pasal 163 HIR, tetapi sepenuhnya mengacu kepada pasal undang-undang
yang menentukan sendiri wajib bukti yang harus diterapkan dalam kasus tertentu.
98
Sistem pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 UUPK, yaitu sistem
pembuktian terbalik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 UUPK, bahwa Pembuktian ada atau tidak adanya kesalahan, dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, dan Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha pihak yang digugat. Konsekuensi dari ketentuan Pasal
28 UUPK ini, maka jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, dan cukup memiliki alasan yang sah menurut hukum, maka gugatan ganti
kerugian yang dituntut penggugatkonsumen akan dikabulkan. UUPK mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik
menyangkut hukum materiil yang menerapkan beban pembuktian terbalik maupun didukung oleh aspek hukum formil dengan membentuk lembaga penyelesaian
sengketa konsumen, di samping pengakuan gugatan dengan cara gugatan perwakilan kelompokclass action dan legal standing seperti yang diatur dalam Pasal 46 UUPK.
99
98
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal. 24.
99
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 184.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
C. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pelayanan Air Bersih oleh
PAMPDAM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar bealakang bahwa dalam pergaulan ke masyarakat sering sekali terjadi perbuatan-perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para subjek hukum. Manusia sebagai subjek hukum sering mengabaikan hubungan hukum dengan subjek hukum yang lain, guna memenuhi
kebutuhannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah mengenai air minum, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut tentu pada pihak tersebut haruslah mengadakan
hubungan hukum dengan pihak PDAM sebagai produsen air minumair bersih. Masyarakat sebagai konsumen air bersih tersebut masih dalam prakteknya
sering menemui air bersih dari PDAM yang tidak memenuhi standar air minunair bersih, yaitu air yang bau dan kotor dalam penyaluran kepada masyarakat, sehingga
tidak terlindunginya hak konsumen. Perlindungan terhadap konsumen air bersih dari PDAM merupakan hal yang
sangat penting, mengingat kedudukan konsumen yang masih sangat lemah. Sehingga terkadang konsumen sering merasa dirugikan oleh pelaku usaha itu sendiri.
Keengganan masyarakat sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK pada tanggal 20 April 1999,
lebih berdasarkan pada: 1.
Ketidakjelasan norma-norma perlindungan konsumen.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2. Praktek peradilan yang tidak lagi sederhana atau cepat dan biaya ringan.
3. Sikap menghindar konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar
pengusaha. PDAM sehagai produsen air minum dan manusia dan atau badan hukum
sebagai konsumen air minum dalam hal melahirkan persetujuan yang menyangkut pemakaian air minum tunduk pada kesatuan hukum publik, karena persetujuan yang
dibuat oleh PDAM dengan seseorang atau badan hukum lain mengenai aliran air minum adalah merupakan persetujuan publik.
Yang dimaksud dengan persetujuan publik adalah “Suatu yang sebahagian atau seluruh dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai
pengusaha pemerintah.
100
Sejalan dengan pengertian dan persetujuan publik tersebut, maka apabila di dalam suatu persetujuan yang dilakukan oleh pihak PDAM dengan seseorang atau
dengan badan hukum sebagai konsumen mengenai pemakaian air minum haruslah tunduk kepada ketentuan-ketentuan publik, yaitu peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah atau Direksi PDAM. Dengan demikian kerjasama yang baik terpadu dan dinamik demi kelangsungan pembangunan, khususnya aliran air
minum menganut sistem yang mantap dan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Diperlukan pengawasan penegak hukum untuk pelaksanaan
pemenuhan hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing pihak baik
100
Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
konsumen, instalator, dan PDAM untuk menjamin kepastian hukum dan untuk keadilan, sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Dalam Pasal 4 UUPK dinyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan merupakan hal yang paling pokok dan
utama dalam perlindungan konsumen. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, maka dalam Pasal 8 UUPK
memberikan larangan kepada pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan produksi dan perdagangan barang atau jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan,
demikian juga hal dalam pengadaan air bersih yang dilakukan oleh PDAM Tirtanadi, maka masyarakat sebagai konsumen berhak memperoleh pelayanan air bersih sesuai
standar air bersih. Selain dari larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat, juga Pasal 8 UUPK ini memberikan larangan mengenai
ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.
Undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak konsumen dan larangan pelaku usaha, tetapi juga dalam Pasal 5 UUPK diatur
mengenai kewajiban-kewajiban dari konsumen, yaitu: a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut. Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka sesuai Pasal 6 UUPK pelaku usaha memiliki hak:
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan; b.
Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen; d.
Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan.
Selanjutnya mengenai ganti rugi, diketahui bahwa sebagai konsekwensi
hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan
hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberi hak kepada
konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dan pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh
konsumen tersebut. Pasal 19 UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi.
Dalam hal terjadinya tuntutan ganti rugi dari konsumen kepada PDAM, maka menurut Pasal 28 UUPK disebutkan, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal 22 UUPK menyatakan, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal
20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Kemudian, dalam Pasal 23
disebutkan, pelaku usaha yang menolak danatau tidak memberi tanggapan danatau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dari ketentuan Pasal 23 tersebut secara tegas diatur dalam hal konsumen dirugikan maka selain melakukan gugatan melalui badan peradilan, juga dapat
dilakukan gugatan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen. UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen,
yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berkala kecil dan bersifat sederhana.
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, teurtama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usahaprodusen, karena sengketa
di antara konsumen dan pelaku usahaprodusen, bisanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan gugatan sengketanya di pengadilan
karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.
101
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang
secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.
102
101
Indah Sukmaningsih, ”Harapan Segar dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, Kompas, 20 April 2000.
102
Sularsi, “Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen”, dalam Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disunting oleh Arimbi, Penerbit
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001, hal. 86-87.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa
melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara.
103
Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa
hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.
104
Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 ayat 1 UUPK jo Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350MPPKep122001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. Kehadiran
BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah
pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.
103
Pasal 54ayat 3 dan Pasal 55 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan konsep dasar putusan BPSK bersifat final dan mengikat.
104
Yusul Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar Bidang Penyelesaien Sengketa Konsumen BPSK, Piramedia, Jakarta 2004, hal.
17. Dijelaskan Iebih lanjut oIeh Aman Sinaga, proses pcnyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena di BPSK hanya dikenal surat Pengaduan Konsumen dan jawaban Pelaku Usaha,
kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara arbitrase pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian. Kesederhanaan proses tersebut paling menonjol dapat dilihat jika
sengketa konsumen diselesaikan dengan cara konsiliasi atau mediasi. Aman Sinaga, ”BPSK Tempat Menyelesaikan Sengketa Konsumen dengan Cepat dan Sederhana”, Media Indonesia, 27
Agustus 2004.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada beberapa kotakabupaten termasuk Pemerintah Kota Medan.
105
Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk oleh Ketua BPSK dan dibantu oleh panitera. Susunan majelis BPSK harus ganjil,
dengan ketentuan minimal 3 orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 2 UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan
pelaku usaha.
106
Salah satu anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum.
107
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK mengatur tentang hak konsumen yang dirugikan
105
Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada
Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. Selanjutnya
dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota
Mataram, Kota Palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten
Jeneponto. Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Tangerang. Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Tangerang.
Pembentukan BPSK di Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat belum dilakukan karena terkait dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Negara Republik Indonesia Jakarta. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa otonomi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, terletak pada Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, bukan pada kota. OIeh karena itu, Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat tidak dapat dibentuk BPSK sebagaimana dimaksud oleh Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
106
Pasal 54 ayat 2 UUPK jo Pasal 18 ayat 2 Kepmenperindag No. 350MPPKep2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
107
Pasal 18 SK Menperindag No. 350MPPKep122001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
oleh pelaku usaha, dan lebih lanjut lagi UUPK menentukan pelaku usaha dalam hal ini PDAM bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi air minum yang dihasilkan atau diperdagangkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPK, dan ganti rugi itu dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi. Di samping itu UUPK
mengatur tentang adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, sehingga konsumen dapat melakukan gugatan tidak hanya melalui pengadilan tetapi juga dapat
dilakukan gugatan di luar pengadilan melalui lembaga tersebut.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIDAK DIPENUHINYA HAK-HAK
KONSUMEN UNTUK MEMPEROLEH PELAYANAN AIR BERSIH
A. Sekilas tentang Perusahaan PDAM Tirtanadi
1. Pendirian PDAM Tirtanadi