Selama periode awal setelah infeksi primer, ada penyebarluasan virus dan penurunan tajam dalam jumlah CD4
+
T sel dalam darah perifer secara signifikan namun sekitar 1 minggu
– 3 bulan setelah infeksi terjadi penurunan viremia dalam plasma sehingga terjadi rebound CD4
+
.
8
B. Fase infeksi laten
Adanya pembentukkan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus di dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum limfe menyebabkan
virion dapat dikendalikan memasuki fase laten dan Sindrom mononukleosis akut akan hilang. Pada fase ini virion terakumulasi di kelenjar limfe namun tetap
bereplikasi. Hal ini menyebabkan jarang ditemukannya virion dalam plasma sehingga terjadi rebound CD4
+
dan dapat mencapai keadaan normal. Fase ini dapat berlangsung selama 8-10 tahun. Biasanya pada akhir masa fase laten mulai
timbul gejala klinis seperti demam, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan, diare, lesi pada mukosa dan kulit yang berulang. Gejala-gejala ini
merupakan awal dari infeksi oportunistik atau neoplasma.
C. Fase infeksi kronik
Pada tahap lanjut, virus yang sudah bereplikasi di kelenjar limfe akan kembali ke darah sehingga mengakibatkan jumlah virion di sirkulasi meningkat
pesat. Respon imun sudah tidak mampu membendung invasi dari HIV dan virus yang ditemukan pada pasien dengan tahap akhir penyakit ini biasanya jauh lebih
virulen dan cytopathic dari strain virus yang ditemukan pada awal infeksi. Sering ditemukannya pergeseran tropik monosit atau tropik makrofag strain M-tropik
dari HIV-1 untuk varian limfosit-tropik T-tropik menemani perkembangan AIDS.
Gambar 3. Perjalanan Penyakit pada infeksi HIV yang tidak diobati
8
2.2.3 Perubahan Sistem Imunitas Tubuh Terhadap Infeksi HIV
Sel target HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4
+
limfosit CD4
+
dan monositmakrofag sehingga terjadi penurunan jumlah dan fungsi dari sel-sel tersebut. Fungsi limfosit CD4
+
Th adalah merangsang aktivasi respon imun seluler maupun humoral namun terganggunya fungsi dan jumlah Th menyebabkan
terjadinya abnormalitas pada imunitas selular dan humoral. Abnormalitas imunitas selular meliputi:
9,4
1. terganggunya proses Cell Mediated Immunity CMI yang dilakukan
oleh makrofag dan CTLs cytotoxic T Lymphocyte atau Tc. 2.
Terganggunya aktivasi NK Natural Killer dalam membunuh sel yang terinfeksi virus melalui mekanisme ADCC antibody dependent call
mediated cytotoxicity dan sel ganas secara langsung non-spesifik. 3.
Kadar dan fungsi Th menurun. AIDS umumnya terjadi setelah kadar CD4 mencapai 100-200uL.
4. Fungsi fagositosis dan kemotaksis makrofag menurun.
5. Kemampuan sel T sitotoksik sel Tc untuk menghancurkan sel yang
terinfeksi virus menurun terutama pada infeksi stadium lanjut sehingga sering terjadi reaktivasi virus laten.
HIV menyebabkan stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG namun respon
yang diberikan tidak tepat. Pada ODHA orang dengan infeksi HIVAIDS juga ditemukan perubahan IgM menjad IgA dan IgG sehingga tubuh tidak mampu
memberi respon terhadap infeksi bakteri dan parasit intrasel misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii dan CMV. Fungsi netrofil juga terganggu sehingga tubuh
mudah terinfeksi Stafilokokus aureus.
9
2.2.4 Klasifikasi Pasien HIV
Berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4, maka CDC mengklasifikasikan pesien HIVAIDS menjadi 3 kategori.
Table 2.1 Klasifikasi Pasien HIVAIDS menurut CDC
10
CD4 Kategori Klinis
Total A
simptomati, infeksi akut B
Simptomatik C
AIDS ≥ 500mL
≥ 29 A1
B1 C1
200-499mL 14-28
A2 B2
C2 200mL
14 A3
B3 C3
Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik tanpa riwayat gejala maupun keadaan AIDS. Pada stadium ini dapat ditemukan persistent generalized
lymphadenopathy maupun infeksi HIV akut primer. Kategori B adalah kondisi pasien dengan gejala-gejala yang terkait HIV, termasuk diare, angiomatosis
basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease PID termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal,
leukoplakia oral EBV, purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster. Kategori C adalah infeksi HIV dengan gejala yang menandakan AIDS
misalkan sarkoma kaposi, pneumonia pneumocystis carinii, kandidiasis esofagus, dan lain-lain .
WHO mengklasifikasikan pasien HIV menjadi beberapa golongan yaitu:
11
Tabel 2.2 WHO Clinical Staging of HIVAIDS for Adults and Adolescents Primary HIV Infection
Asymptomatic
Acute retroviral syndrome
Clinical Stage 1
Asymptomatic
Persistent generalized lymphadenopathy
Clinical Stage 2
Moderate unexplained weight loss 10 of presumed or measured body weight
Recurrent respiratory infections sinusitis, tonsillitis, otitis media, and pharyngitis
Herpes zoster
Angular cheilitis
Recurrent oral ulceration
Papular pruritic eruptions
Seborrheic dermatitis
Fungal nail infections
Clinical Stage 3
Unexplained severe weight loss 10 of presumed or measured body weight
Unexplained chronic diarrhea for 1 month
Unexplained persistent fever for 1 month 37.6ºC, intermittent or constant
Persistent oral candidiasis thrush
Oral hairy leukoplakia
Pulmonary tuberculosis current
Severe presumed bacterial infections e.g., pneumonia, empyema, pyomyositis, bone or joint infection, meningitis, bacteremia
Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis, or periodontitis
Unexplained anemia hemoglobin 8 gdL
Neutropenia neutrophils 500 cellsµ L
Chronic thrombocytopenia platelets 50,000 cellsµ L
Clinical Stage 4
HIV wasting syndrome, as defined by the CDC see Table 1, above
Pneumocystis pneumonia
Recurrent severe bacterial pneumonia
Chronic herpes simplex infection orolabial, genital, or anorectal site for 1 month or visceral herpes at any site
Esophageal candidiasis or candidiasis of trachea, bronchi, or lungs
Extrapulmonary tuberculosis
Kaposi sarcoma
Cytomegalovirus infection retinitis or infection of other organs
Central nervous system toxoplasmosis
HIV encephalopathy
Cryptococcosis, extrapulmonary including meningitis
Disseminated nontuberculosis mycobacteria infection
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Candida of the trachea, bronchi, or lungs
Chronic cryptosporidiosis with diarrhea
Chronic isosporiasis
Disseminated mycosis e.g., histoplasmosis, coccidioidomycosis, penicilliosis
Recurrent nontyphoidal Salmonella bacteremia
Lymphoma cerebral or B-cell non-Hodgkin
Invasive cervical carcinoma
Atypical disseminated leishmaniasis
Symptomatic HIV-associated nephropathy
Symptomatic HIV-associated cardiomyopathy
Reactivation of American trypanosomiasis meningoencephalitis or myocarditis
2.2.5 Pemeriksaan HIV
Human immunodeficiency virus HIV antibodi dapat dideteksi dengan ELISA atau enzim immunoassay EIA, aglutinasi partikel, dan chemiluminescent
immunoassay CIA. Dalam pengujian antibodi menggunakan metode EIA, bahan uji berasal dari darah, serum, plasma, air liur, ataupun urin.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis HIVAIDS adalah hitung kadar CD4
+
, viral load VL, pemeriksaan PA dengan ditemukannya nodus limfa yang mengalami
kerusakanhiperplasia, sel T multinuklear raksasa khas pada HIV ensefalopati, mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang normal.
Pemeriksaan lainnya dapat berupa kadar BUN, kreatinin serum, serta urinalisis lengkap untuk mengetahui nefropati yang terasosiasi HIV. Jika dicurigai adanya
infeksi sekunder maka dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, misalkan skin test, tes serologi CMV, RPR rapid plasma reagent untuk sifilis, serologi hepatitis A,
B dan C, antibodi anti-toxoplasma, dan lain-lain.
12,13
Pemeriksaan HIV dilakukan menggunakan 3 strategi. Strategi 1 digunakan sebagai skrining sebelum dilakukannya transfusi darah, transplantasi organ dan
pengawasan. Strategi 2 digunakan untuk diagnosis dan pengawasan sedangkan strategi 3 digunakan sebagai diagnosis pasti.
Gambar 4. Skema pemeriksaan HIV menurut UNAIDS dan WHO
14
2.3 Penyakit Tuberkulosis 2.3.1 Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat menyerang paru TB Paru maupun
organ lain TB Ekstra-Paru seperti kelenjar getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih, dan otak. Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil kecil
dengan ukuran 0.4 x 3 μm dan bersifat aerob obligat mendapatkan energi dari
proses oksidasi dengan mengubah komponen karbon. Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam.
Gambar 5. Mycobacterium tuberculosis
15
Komponen dinding sel Mycobacterium tuberculosis terdiri dari lipid, protein dan polisakarida. Dinding sel Mycobacterial dapat menginduksi reaksi
hipersensitivitas yang tertunda dan reaksi resistensiperlawanan terhadap infeksi lain. Lipid dinding sel meliputi asam mikolat asam lemak rantai panjang C78-
C90, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang berasal dari peptidoglikan akan membuat kompleks dengan asam mikolat dan menyebabkan pembentukan
granuloma. Fosfolipid menginduksi terbentuknya proses nekrosis kaseosa. Virulensi strain basil tuberkulum berbentuk mikroskopis serpentine cords dimana
basil tahan asam BTA diatur dalam bentuk rantai yang paralel. Sebuah cord factor trehalose-6,6-dimycolate diambil dari basil virulen menggunakan
petroleum eter. Hal ini dapat menghambat migrasi leukosit yang menyebabkan timbulnya granuloma kronis serta dapat berfungsi sebagai immunologic adjuvant.
8
2.3.2 Patofisiologi Tuberkulosis
Transmisi Mycobacterium tuberculosis berasal dari satu orang ke orang lainnya melalui udara. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis dapat melalui
berbagai cara misalkan kontak secara langsung yaitu menghirup droplet secara langsung Directly inhales droplets generated dari pasien TB positif ketika
bersinbatuk; menghirup droplet secara tidak langsung Indirectly inhales droplets
generated dari pasien TB infeksius karena menghirup debu atau udara yang sudah tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menempel di lantai,
baju, sprei dll. Daya penularan seorang pasien TB positif sebanding dengan tingkat
kepositifan hasil pemeriksaan sputum. Semakin tinggi tingkat kepositifan hasil pemeriksaan sputum maka semakin tinggi risiko pasien tersebut untuk
menularkan TB. Risiko penularan TB setiap tahunnya ditunjukan melalui Annual Risk of Tuberculosis Infection ARTI yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1, mempunyai arti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO, ARTI di
Indonesia bervariasi antara 1-3.
16,17
Faktor lingkungan juga mempengaruhi penyebaran Mycobacterium tuberculosis. Lingkungan yang lembab dan jarangtidak terkena sinar matahari
merupakan tempat yang cocok bagi pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Fase awal dari tuberkulosis primer pada individu yang belum tersentisisasi
ditandai dengan proliferasi bakteri di dalam makrofag alveolar dan alveolus. Walaupun telah terjadi bakteremia, mayoritas pasien tidak menunjukkan
gejalaasimptomatik dan beberapa diantaranya hanya menampilkan gejala ringan seperti pada penyakit influenza. Perkembangan sistem imun dari cell-mediated
immunity CMI timbul 3 minggu setelah terpapar. Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam makrofag secara endositosis
yang dimediasi oleh reseptor mannosa makrofag yang berikatan dengan mannose- capped glycolipid pada dinding sel bakteri. Organisme mampu menghambat
respon mikrobisidal dengan cara memanipulasi pH endosomal dan menghentikan maturasi endosomal endosomal manipulation. Akan tetapi terjadi kegagalan
formasi fagilisosom sehingga proliferasi mikobakterial tidak terhindarkan. Gen
NRAMP-1 Natural resistance-associated macrophage protein-1 terlibat pada aktivitas mikrobisidal awal dan memegang peranan pada progresi Mycobacterium
tuberculosis. Polimorfisme NRAMP-1 berkaitan dengan peningkatan insiden tuberkulosis sedangkan variasi genotip NRAMP-1 menurunkan fungsi
mikrobisidal.
Antigen mikobakterial mencapai nodus limfatikus dan dipresentasikan pada MHC II oleh makrofag. Adanya pengaruh IL 12 yang dikeluarkan oleh
makrofag mengubah sel Th0 menjadi Th1 CD4+ yang dapat mensekresikan IFN-
dan mengaktivasi makrofag sehingga mengeluarkan beberapa mediator yaitu:
TNF : memangil monosit yang kemudian berdiferensiasi menjadi histiosit epitelioid yang merupakan ciri khas pada respon granulomatosa
IFN- dan TNF menstimulasi gen inducible nitric oxide synthase
iNOS sehingga meningkatkan level nitric oxide dan menyebabkan destruksi konstituen mikobakterial dari dinding sampai DNA
Selain aktivasi makrofag, sel T CD4
+
memfasilitasi perkembangan sel T sitotoksik untuk dapat membunuhmerusak makrofag yang terinfeksi. Imunitas
pada infeksi tuberkulosa terutama dimediasi oleh sel T yang ditandai oleh reaksi hipersensitivitas dan resisten terhadap organisme.
Gambar 6. Patogenesis Infeksi Mycobacterium tuberculosis
9
2.3.3 Manisfestasi Klinis TB
Pesien dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis dapat memperlihatkan manifestasi klinis umum berupa demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung
lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malamserangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul; penurunan nafsu makan dan berat
badan; batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu dapat disertai dengan darah; perasaan tidak enak malaise; dan lemah. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas yang melemah, dan ronki basah. Gejala khusus TB tergantung dari organ mana yang terkena infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
18
Gejala yang mungkin timbul pada meningitis TB meliputi sakit kepala berulang atau menetap selama 2-3 minggu, perubahan status mental dan dapat
mencapai keadaan koma dalam beberapa hari maupun minggu, serta demam ringan atau tidak demam. Pada TB tulang dapat dijumpai sakit punggung atau
kekakuan, paralisis di ekstremitas bawah, serta artritis tuberkulosis yang mengenai 1 sendi misalkan panggul atau lutut yang diikuti pergelangan kaki, siku,
pergelangan tangan, dan bahu.
14,26
Pada TB di daerah genito-urinari dapat ditemukan gejala klinis berupa nyeri panggul, sering BAK yang disertai nyeri. Pada laki-laki dapat dijumpai nyeri
pada skrotum, prostatitis, orchitis, dan epididimitis, sedangkan pada wanita dapat dijumpai gejala-gejala seperti pelvic inflammatory disease. Infeksi TB pada
gastrointestinal dapat ditemukan gejala-gejala berupa ulserasi pada mulutanus yang tidak kunjung sembuh, kesulitan menelan esophageal disease, nyeri pada
abdomen seperti pada penyakit ulkus peptikum dapat disertai infeksi pada gaster maupun duodenal, malabsorpsi dapat disertai infeksi pada intestinal, diare, serta
perdarahan saat BAB dapat disertai infeksi pada kolon.
15,19
2.4 Permasalahan ko-Infeksi TB pada HIV
Infeksi TB merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering kali terjadi pada penderita HIVAIDS. TB merupakan salah satu penyebab
meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien HIVAIDS. Hal ini dikarenakan infeksi TB dapat mempercepat aktivitas HIV sehingga sistem imun tubuh akan
semakin buruk. Di Indonesia pada tahun 2008 sampai 2010 terjadi peningkatan jumlah pasien HIVAIDS-TB secara signifikan. Berdasarkan clinical staging
HIVAIDS yang dikeluarkan WHO, pasien HIV dengan TB paru menempati stage 3 sedangkan pasien HIV dengan TB ekstra paru menempati stage 4.
11,20,28
2.5 Pemeriksaan TB pada Pasien HIVAIDS
Diagnosis TB paru maupun TB ekstra paru sulit ditegakkan jika dari hasil pemeriksaan sputum dan pembiakan tidak ditemukan adanya Mycobacterium
tuberculosis. Sampai saat ini, belum ditemukan pemeriksaan pasti untuk mendiagnosis infeksi Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu, pada beberapa
kasus perlu dilakukan tindakan invasi, misalkan biopsy, sehingga penegakkan diagnosis TB biasanya ditunda.
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi foto toraks, CT-Scan, MRI,
Tuberculin Skin Test, dan pemeriksaan penunjang lainnyaAdjunctive Diagnostic Tests diagnosis serologi seperti pemeriksaan BACTEC, PCR Polymerase Chain
Reaction, ELISA
Enzym Linked
Immunosorbent Assay,
ICT Immunochromatographic Tuberculosis, Mycodot, PAP Peroksidase Anti
Peroksidase, Nucleic Acid Amplification Test NAAT, Interferon-gamma release assays IGRAs dan IgG TB.
14-15, 19-20, 21
Gambar 7. Alur diagnosis sputum pada TB paru
17
Gambar 8. Alur diagnosis sputum negative pada TB paru
14
Gambar 9. Algoritma diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif
22
Keterangan gambar 9
a. Tanda-tanda bahaya termasuk : frekuensi pernapasan 30menit, demam
39°C, frekuensi denyut nadi 120menit dan tidak mampu berjalan tanpa bantuan.
b. Untuk negara-negara dengan tingkat prevalensi HIV pada dewasa ≥ 1
atau tingkat prevalensi HIV pada pasien tuberkulosis ≥ 5. c.
Jika tidak adanya tes HIV, pengelompokkan status HIV tidak diketahui maka HIV-positif tergantung pada penilaian klinis atau nasional dan atau
kebijakan daerah. d.
AFB-positif didefinisikan setidaknya satu positif dan AFB-negatif sebagai dua atau lebih apusan negatif.
e. CPT = terapi pencegahan Kotrimoksazol.
f. Penilaian HIV termasuk stadium klinis HIV, penentuan jumlah CD4 jika
tersedia dan rujukan untuk perawatan HIV. g.
Penyelidikan harus dilakukan pada saat yang sama untuk mengurangi jumlah kunjungan dan mempercepat diagnosis.
h. Antibiotik kecuali fluoroquinolon untuk menutupi kedua bakteri tipikal
dan atipikal harus dipertimbangkan i.
PCP: Pneumocystis carinii pneumonia, juga dikenal sebagai Pneumocystis jirovecii pneumonia.
j. Menyarankan kembali untuk penilaian ulang jika gejala kambuh.