anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu
perjanjian. Kedua belah pihak selalu memerhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.
37
Asas iktikad baik merupakan salah satu hal penting dalam hukum perjanjian, Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu iktikad baik nisbi
relative-subjektif dan mutlak absolute-objektif. Pada iktikad baik yang nisbi orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad
baik yang mutlak, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma objektif.
38
C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan
empat syarat, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya consensus;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan capacity; 3. Suatu pokok persoalan tertentu a certain subject matter;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang legal cause. Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:
37
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 139
38
Ibid, hal. 136
Universitas Sumatera Utara
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang mengadakan perjanjian unsur subyektif, dan
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur obyektif.
Unsur subyektif mencakup syarat pertama dan kedua yaitu adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-
pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik
dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur
obyektif dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.
39
Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya consensus Syarat sepakat adalah merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang
atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah
sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-
39
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
40
Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan
penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena
perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang
tidak secara lisan.
41
Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan,
paksaan, maupun adanya penipuan. Diisyaratkannya kata sepakat dalam mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak harus memiliki kebebasan
kehendak di mana para pihak tidak boleh mendapat tekanan atau paksaan yang dapat mengakibatkan adanya cacat dalam perwujudan kehendak tersebut.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan”. Maksudnya ialah kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti
tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Jika ada unsur paksaan atau penipuan makna perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak
40
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dalam Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2004, hal. 205
41
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal.68
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
42
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan capacity Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hubungan hukum merupakan
syarat subyektif dalam perjanjian sah yang dibuat antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk
hal itu. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian ada tiga golongan, yaitu: a. Anak yang belum dewasa;
b. Orang yang berada di bawah pengampuan; c. Perempuan bersuami.
43
Ad. a. Anak yang belum dewasa Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu
persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap
orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330
KUHPerdata menyebutkan bahwa,
42
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hal. 94
43
Ibid, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan
tidak lebih dahulu telah kawin”. Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas
mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: 1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. Telah berumur 21 tahun; atau b. Telah menikah;
Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap
berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh: a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama; b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya artinya dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
Ad. b. Orang yang berada di bawah pengampuan Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal
433 KUHPerdata yang berbunyi:
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuanpun jika ia
kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya .”
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata berbunyi:
“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang
dimintakan pengampuan, berdiam. ”
Dengan ini berarti keadaan seseorang yang berada dalam pengampuan harus dapat dibuktikan dengan Surat Penetapan Pengadilan Negeri, yang meliputi
tempat kediaman dari orang yang diletakkan di bawah pengampuan. Pengampuan mulai berlaku terhitung sejak putusan atau penetapan pengadilan diucapkan.
Orang yang diletakkan di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama seperti orang yang belum dewasa. Khusus seorang yang ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan atau perbuatan hukumnya dalam lapangan harta kekayaan, serta tindakan atau
perbuatan hukum dalam lapangan pribadi.
44
Ad. c. Perempuan bersuami Kitab Undang-Undang Hukum perdata juga memandang seseorang wanita
yang telah bersuami mempunyai suami tidak cakap untuk membuat sesuatu persetujuan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung
No, 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
44
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 136
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Tinggi di Seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku maka kedudukan wanita yang
bersuami disamakan dengan pria dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dan menghadap di persidangan, jadi tidak perlu lagi izin atau bantuan dari suaminya.
Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, baik yang sudah menikah maupun belum menikah, maka angka 3 dari Pasal 1330
KUHPerdata tidak berlaku lagi.
45
Ad. 3. Suatu pokok persoalan tertentu a certain subject matter Persyaratan perihal tertentu adalah persyaratan tentang objek tertentu dari
suatu perjanjian. Jadi agar sahnya suatu perjanjian, perjanjian tersebut haruslah menunjuk kepada objek tertentu yang diperjanjian oleh para pihak.
46
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya Pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat
menjadi obyek suatu perjanjian.
47
Ad. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang legal cause Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata menyebutkan causakausa yang
diperbolehkan geoorloofde corzaak sebagai salah satu syarat dari suatu persetujuan, titik berat berada pada perkataan “oorzaak causa”. Maka pasal
45
Ibid, hal. 129
46
Ibid, hal. 200
47
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 209
Universitas Sumatera Utara
tersebut berarti, bahwa untuk sahnya suatu persetujuan causanya harus yang diperbolehkan. Sebagai penjelasan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan
bahwa causa adalah tidak diperbolehkan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
48
Jadi dalam hal ini, sebab kenapa perjanjian tersebut dibuat haruslah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Tujuannya ditetapkan oleh hukum syarat “kausa yang diperbolehkan”
bagi sahnya suatu perjanjian adalah agar orang tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan
berkontrak. Karena
dikhawatirkan akan
ada orang
yang menyalahgunakan kebebasan tersebut, yakni dengan membuat perjanjian-
perjanjian yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, kebiasaan, bahkan bertentangan dengan hukum. Karena prinsip kebebasan berkontrak tersebut
diarahkan oleh hukum ke arah yang baik dan manusiawi, dengan jalan mensyaratkan “kausa yang diperbolehkan” bagi suatu perjanjian.
49
D. Akibat Hukum Adanya Suatu Perjanjian