tersebut berarti, bahwa untuk sahnya suatu persetujuan causanya harus yang diperbolehkan. Sebagai penjelasan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan
bahwa causa adalah tidak diperbolehkan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
48
Jadi dalam hal ini, sebab kenapa perjanjian tersebut dibuat haruslah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Tujuannya ditetapkan oleh hukum syarat “kausa yang diperbolehkan”
bagi sahnya suatu perjanjian adalah agar orang tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan
berkontrak. Karena
dikhawatirkan akan
ada orang
yang menyalahgunakan kebebasan tersebut, yakni dengan membuat perjanjian-
perjanjian yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, kebiasaan, bahkan bertentangan dengan hukum. Karena prinsip kebebasan berkontrak tersebut
diarahkan oleh hukum ke arah yang baik dan manusiawi, dengan jalan mensyaratkan “kausa yang diperbolehkan” bagi suatu perjanjian.
49
D. Akibat Hukum Adanya Suatu Perjanjian
Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut Pasal 1338 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikan halnya
jika melanggar suatu perjanjian maka sama seperti melanggar suatu undang- undang yang mempunyai suatu akibat hukum tertentu berupa sanksi-sanksi seperti
yang telah ditetapkan pada undang-undang.
48
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2011 hal. 38
49
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Serta harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan antara para pihak atau
karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian juga haruslah dilaksanakan dengan itikad baik goeder trouw atau bona
fide atau good faith, demikian yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Undang-undang mens
yaratkan “pelaksanaan” bukan “pembuatan” dari suatu perjanjian yang harus beritikad baik.
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.
50
E. Akibat Wanprestasi dalam Suatu Perjanjian
Prestasi performance dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh
kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memenuhi janjinya.
51
50
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2005, hal, 338
51
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 207
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, maka prestasi dari suatu perjanjian terdiri dari:
1. Memberikan sesuatu; 2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu. Prestasi merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Ketika
prestasi tidak dipenuhi, maka disebut terjadi wanprestasi. Menurut Kamus Hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
52
Dengan demikan, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana seorang debitur berutang tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi
sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi lalaialpa dapat timbul karena:
53
1. Kesenganjaan atau kelalaian debitur itu sendiri. 2. Adanya keadaan memaksa overmacht
Ada empat keadaan wanprestasi:
54
1. Tidak memenuhi prestasi 2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada
kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu
52
Penerbit, Kamus Hukum, Bandung: Citra Umbara, 2008, hal. 513
53
P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit, hal, 339
54
Djaja S. Meliala, Op.Cit, hal. 99
Universitas Sumatera Utara
di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru
sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
55
Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu dengan peringatansommatie oleh juru sita di pengadilan atau cukup dengan surat
tercatat atau kawat, supaya tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang sebagai mana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, dan peringatan tersebut harus
tertulis.
56
Teguran secara tertulis melalui pengadilan ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1238 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi, karena ketentuan ini
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 31963. Oleh karena itu menurut Subekti, cukup ditegur saja secara
pribadi baik lisan atau secara tertulis.
57
Ada berbagai kemungkinan tuntutan terhadap debitur yang lalai; a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini
sudah terlambat. b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang
dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan tetapi sebagaimana mestinya.
55
Salim H. S, buku II Op.Cit., hal. 99
56
Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak Panduan Memahami Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjian Kontrak, Yogyakarta: Cakrawala, 2012, hal. 20
57
Djaja S. Meliala, Op.Cit, hal. 100
Universitas Sumatera Utara
c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan
perjanjian. d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian
satu pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya perjanjian dapat dibatalkan disertai dengan permintaan penggantian kerugian Pasal 1266
KUHPerdata.
58
Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, maka penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang, yaitu berupa:
1. Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan konsten atau, 2. Kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda si berpiutang schaden
3. Kehilangan keuntungan interessen, yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berpiutang tidak lalai.
F. Hapusnya Perjanjian