B. Upaya Pemerintah Untuk Menegakkan Hukum Dalam Pelanggaran
Perkawinan di Bawah Umur
1. Kebijakan-kebijakan Strategis Nasional untuk Pemecahan Masalah
Perkawinan di Bawah Umur a.
Bidang Hukum
Pemerintah dituntut untuk membuat komitmen politik dan pernyataan tegas untuk menghentikan praktik-praktik tradisi berbahaya yang mempengaruhi
kesehatan perempuan dan anak, terutama perkawinan di bawah umur. Salah satu bentuknya adalah meratifikasi dan menerapkan secara efektif peraturan-peraturan
internasional, khususnya semua yang terkait dengan perlindungan anak dan perempuan, seperti konvensi tentang kesepakatan untuk menikah, umur minimum
menikah, dan pencatatan pernikahan tahun 1964, Konvensi Internasional tentang hak-hak anak tahun 1989, dan Beijing Rules Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 4033 tanggal 29 November 1985 tentang Rambu-Rambu Penentuan Usia Kedewasaan.
116
Pemerintah juga perlu didesak dengan melakukan reformasi Undang-Undang Perkawinan antara lain dengan, menghapus institusi dispensasi
nikah, rekonsepsi perwalian untuk menghindari kawin paksa, dan menetapkan usia minimum menikah yang lebih tinggi dari sebelumnya yakni 18 tahun untuk
perempuan. Alasan penaikan umur minimum menikah bagi perempuan adalah menengok pada Angka Kematian Ibu melahirkan yang melahirkan pada usia yang
sangat muda.
117
116
Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, Mandar Maju, Malang, 2011, Hal.127
117
http:www.jurnalperempuan.orgupaya-menekan-angka-kematian-ibu-aki.html diakses pukul 09.32
tanggal 1 September 2013
Universitas Sumatera Utara
Di lain pihak kita dilihat dan diapresiasi gagasan Departemen Agama dalam merespon dampak negatif dari perkawinan di bawah umur yang semakin
marak di Indonesia dengan merancang Undang-Undang Peradilan Agama di bidang perkawinan. Salah satunya adalah masalah batas usia kawin. Hanya saja
batas usia yang ditentukan juga masih tergolong rendah yakni 16 tahun. Dengan kata lain, sebuah perkawinan dikategorikan tidak melanggar Hak Asasi Anak jika
usia pengantin berada pada batasan tersebut. Sebaliknya, perkawinan yang berada di bawah umur minimum itu dikategorikan sebagai perkawinan di bawah umur.
Adapun sanksi yang dijatuhkan ada dua jenis: sanksi untuk pelaku sebesar 6 juta rupiah, dan sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar 12 juta rupiah
dan kurungan tiga bulan.
118
Jika dicermati lebih jauh maka dari perspektif agama, Rancangan Undang- Undang Pengadilan Agama di bidang perkawinan, mengenai hal itu tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pada kenyataannya KHI tidak jauh beda membuat konsep umur minimal menikah dengan konsep Undang-Undang
Perkawinan yang notabene sebagai landasan berpijak secara hukum untuk melangsungkan suatu perkawinan. Apabila melihat lebih jauh ke tengah-tengah
kehidupan masyarakat adat Indonesia, maka sudah begitu maju pola pikir masyarakat untuk memilih mana yang menguntungkan bagi kehidupan pribadi
mereka. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ini sangat
tepat untuk mencegah berkembangnya praktik perkawinan di bawah umur yang
118
http:bimasislam.depag.go.id , 15 agustus 2008. Diakses pukul 11.13, tanggal 15 Juli
2013
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan banyak masalah hukum dan sosial serta kesehatan yang lebih kompleks.
b. Bidang Politik
Selain penguatan perundang-undangan nasional yang melarang dan mencegah praktik perkawinan di bawah umur, pemerintah dalam rangka
memecahkan masalah tersebut dapat membentuk badan-badan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan resmi yang ditetapkan. Badan-badan ini berfungsi sebagai
penjamin penerapan strategi ke depan untuk perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Jika pemerintah merasa perlu dengan hal itu, dapat pula
membentuk komite-komite nasional untuk memerangi praktik-praktik tradisi berbahaya yang mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak, khususnya
perkawinan di bawah umur. Tidak kalah pentingnya pemerintah harus menyediakan bantuan keuangan bagi badan komite tersebut. Karenanya, semua
pihak yang dapat memberikan sumbangsih dan berkontribusi secara nyata untuk menghapus praktik-praktik tersebut harus dimobilisasi.
Pemerintah melalui segala programnya diminta fokus dan konsentrasi untuk memberantas praktik perkawinan di bawah umur di daerah-daerah kantung,
khususnya pedesaan. Maraknya tradisi praktik perkawinan di bawah umur tidak terlepas dari tatanan kehidupan mereka yang telah berakar turun temurun dari
zaman dahulu. Oleh karena itu, perlu ada gerakan politik yang mengubah semangat berkehidupan masyarakat dengan mendekatkan diri melalui badan-
badan komite tersebut yang bersentuhan langsung dengan lapisan-lapisan terbawah masyarakat Adat.
Universitas Sumatera Utara
c. Bidang pendidikan
Fenomena perkawinan anak di bawah umur tidak terjadi begitu saja di Indonesia. Cara pandang masyarakat yang sangat sederhana, bahkan cenderung
salah mempersepsikan perkawinan tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan pendidikan memiliki andil
yang cukup besar. Di pedesaan, pendidikan masih jauh dari harapan. Bahkan pendidikan
tinggi yang telah diterima sebagian anak di kota masih belum bisa mengubah pola pikir memaknai arti perkawinan. Namun, jika dibandingkan model pendidikan
modern di kota dengan model pendidikan di pedesaan maka akan ditemukan gap kesenjangan yang begitu lebar di antara keduannya. Pendidikan modern
memposisikan dirinya sebagai kebutuhan sedang pendidikan di pedesaan hanya sebagai alat menggugurkan kewajiban. Padahal idealnya, pendidikan merupakan
salah satu alat pembantu mempersiapkan dan meraih sukses di masa depan. Model pendidikan yang tidak visioner menyebabkan masyarakat tidak lagi
menaruh harapan padanya. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai solusi hidup. Wajar jika masyarakat lebih cenderung menggantungkan hidupnya pada hal-hal
material.
119
Padahal dalam perkawinan yang diperlukan bukan hanya materi saja melainkan pisik dan mental seseorang. Menurut Zaitunah subhan, Staf Ahli
Menteri Pemberdayaan Perempuan, perkawinan di bawah umur sangat rentan
119
Yusuf Hanafi, Op.Cit, hal.130
Universitas Sumatera Utara
ditimpa masalah karena tingkat pengendalian psikis dan emosi pelakunya itu belum stabil.
120
Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk memberikan perubahan pendidikan yang lebih visioner. Ilmu pengetahuan masyarakat awam perlu
diperbaharui dengan banayaknya penyuluhan-penyuluhan Undang-Undang Perkawinan dan hal-hal terkait dengan perkawinan agar supaya masyarakat
semakin sadar hukum dan tidak selalu mempertahankan kebiasaan-kebiasaan adat di daerah untuk melangsungkan perkawinan di bawah umur. Di lain sisi,
pengetahuan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sebagai standar hukum perkawinan di Indonesia harus semakin gencar dilakukan, karena pada
dasarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut telah mengakomodir segala kebaikan bagi warga negara yang akan melangsungkan perkawinan. Berdasarkan
riset UNICEF tahun 2005, gadis dengan pendidikan yang cukup tinggi memiliki probabilitas enam kali lebih kecil untuk menikah dini dibanding gadis-gadis
dengan pendidikan yang lebih rendah, terlebih lagi tanpa pendidikan dasar.
121
d. Bidang sosial-keagamaan
Melihat kultur budaya masyarakat Indonesia yang begitu beragam maka sangatlah wajar jika pemahaman tentang suatu kearifan berbeda-beda. Kearifan
lokal akan berhubungan erat dengan filosofi kedaerahan dan adat istiadat serta agama yang dianut.
122
Termasuk pemahaman mengenai perkawinan di bawah umur. Pemahaman yang tentunya berbeda-beda di setiap masyarakat adat. Untuk
120
http:bimasislam.depag.go.id , diakses pada 15 Juli 2013, pukul 13.20 WIB
121
Ibid, hal.131
122
Hilman Haikusuma, Op.cit, hal.26
Universitas Sumatera Utara
itu perlu diadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga agama dan adat beserta pemimpin-pemimpin dan pemukanya dalam rangka menghapus praktik
perkawinan anak di bawah umur. Sebab, mereka itulah yang selama ini menjadi patron, khususnya pada komunitas masyarakat yang agraris. Patronase merupakan
bentuk penghormatan, ketundukan, dan ketaatan kepada pihak-pihak yang dipandang memegang otoritas agama dan adat.
123
Tokoh-tokoh agama dan adat itulah yang secara tradisional menjadi rujukan refrence dalam memahami ajaran
agama, norma adat, bahkan tafsiran kehidupan.
124
Terobosan ini sangat krusial untuk tujuan reinterpretasi teks-teks agama yang selama ini disalahpahami memberikan justifikasi formal atas keabsahan
perkawinan dibawah umur. Dalam konteks ini, misalnya, kasus perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA, yang lazim dijadikan sebagai referensi
legalitasnya perlu diteliti dan dipahami ulang, disamping ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan tema itu. Harapannya agar didapat pemahaman agama
yang lebih baru dan arif serta mencerahkan, dimana teks-teks agama secara harfiah menjustifikasi praktik perkawinan di bawah umur tidak dipahami secara
literal, tetapi secar kontekstual dengan selalu mempertimbangkan historisitas dan lokalitasnya.
Demikian pula dengan nilai adat yang memposisikan anak sebagai aset dan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tua juga perlu dikikis
dan diperbaharui dari pola pikir masyarakat adat.
125
Termasuk dalam bias gender
123
Yusus Hanafi, Op.cit, hal.131
124
Ibid, hal.131
125
Soedjito, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986, hal.32
Universitas Sumatera Utara
dan preferensi anak laki-laki atas anak perempuan yang berimplikasi pada status wanita yang rendah dalam masyarakat adat. Keseluruhan itu perlu diubah melalui
sinergi program pemerintah dengan institusi dan pemangku adat. Pasalnya, hal-hal tersebut di atas merupakan variable-variabel yang turut menyemaikan praktik
perkawinan di bawah umur. Apabila model pemahaman seperti itu terus berkembang bahkan lestari,
maka produk hukum agama dan nilai adat akan dituding turut serta menyemaikan praktik perkawinan di bawah umur yang dinilai berbahaya dan berisiko, baik dari
sisi pisik maupun psikis, dan kesehatan seksual. Terlebih model pemahaman seperti itu hingga kini masih menjadi arus utama dalam realitas kehidupan sosial
umat dan adat, khususnya dalam komunitas tradisional di pedesaan. Pada akhirnya, para tokoh agama dan adat itulah yang nantinya sangat
diandalkan berada di garda terdepan untuk mendesiminasi kebijakan pemerintah untuk mencegah perkawinan di bawah umur kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini menjadi basis patronasenya.
126
e. Bidang ekonomi
Selain faktor doktrinal dan kultural, perkawinan di bawah umur di kalangan komunitas pedesaan juga dipengaruhi problem ekonomi. Berdasarkan
riset UNICEF tahun 2005 mayoritas negara-negara miskin di dunia memiliki tingkat praktik perkawinan anak di bawah umur yang sangat tinggi. Keluarga-
keluarga disana segera menikahkan anak mereka dengan harapan agar terbebas
126
Yusuf Hanafi, Op.cit, hal.132
Universitas Sumatera Utara
dari beban pembiayaan. Hal itu diiringi harapan agar anak gadis mereka mengalami perubahan ekonomi setelah menikah. Meski dalam kenyataannya,
mereka tetap berada dalam lingkungan kemiskinan, bahkan lebih buruk dan tragis lagi.
Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu penyebab dari langgengnya rantai kemiskinan di atas adalah kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sosio-
ekonomi yang kurang tepat sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah, antar sektor, dan antar kelompok masyarakat. Pada
gilirannya, terjadilah kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan anatar wilayah dan kelompok masyarakat, serta kemiskinan stuktural.
Oleh karena itu, salah satu solusi pencegahan dan pemecahan masalah perkawinan anak di bawah umur ini adalah dengan mendorong akslerasi
perbaikan ekonomi dan kesejahteraan lewat penyediaan lapangan perkerjaan yang layak dan memadai seluas-luasnya. Bukti nyata adalah negara seperti Taiwan dan
Thailand telah sukses secara umum meminimalisir praktik perkawinan anak dibawah umur berkat pertumbuhan ekonominya yang tinggi.
2. Program-program Strategis untuk Pencegahan Perkawinan di Bawah