Syarat-Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

C. Syarat-Syarat Sah Perkawinan

1. Syarat-Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil yaitu menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. 34 Untuk memperjelas, maka akan diuraikan tentang syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu :

a. Syarat Materil

Syarat-syarat termasuk dalam kelompok syarat materil adalah : 35 1 Harus ada persetujuan calon mempelai Pasal 6 ayat 1. Syarat ini diatur dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksud agar supaya setiap orang bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. 34 Hilman, Cet.Ke-1, Op.cit, hal.9 35 Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan analisis Universitas Sumatera Utara Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh kepada orang tua untuk dijodohkan yang dianggap tepat menurut kehendak orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk mengatasi kawin paksa, Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat 1 apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2 Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun pasal 7 ayat 1. Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Ayat 2 menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian terhadap pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal ini dimana salah seorang atau kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau waliorang yang memeliharadatuk kakek dan nenek dari pihak yang akan melakkan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatu sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan bersangkutan tidak menentukan lain. Universitas Sumatera Utara 3 Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dal hal tersebut Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yan tersebut dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4. Pasal 3 ayat 2 yang menentukan bahwa : “Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 menetukan : 36 a Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, maka dia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. b Pengadilan yang dimaksud ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin pada seorang suami yang akan beristeri dari seorang apabila : 37 1 Isteri tidak dapat menjalankan kewijibannya sebagai isteri. 2 Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3 Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini Wirjono Projodikoro menyatakan : ”Adanya Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan seseungguhnya merupakan akibat dari asas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan ini, yaitu asas monogami. Asas ini dianggap pada masa sekarang sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat terutamam di kalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan 36 Op.cit, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 4, hal 2 37 Libertus jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya?, Forum Shabat, Jakarta, 2008, hal.34 Universitas Sumatera Utara lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan.” 38 Walaupun demikian, pengecualian terhadap asas itu masih dimungkinkan dengan persyaratan seperti yang terurai dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 yang mengharuskan seseorang yang hendak mengajukan permohonan kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat : 39 1. Adanya persetujuan isteriisteri-isteri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak- anak mereka. Selanjutnya ditentukan dalam pasal 5 ayat 2 tersebut bahwa persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a di atas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteriisteri-isteri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 20 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. 40 4 Mengenai waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinanya, yaitu : 41 a Seratus dua puluh hari bila perkawinan putus karena kematian. b Tiga kali suci atau Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian dan dia masih datang bulan. 38 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974, hal.37 39 Libertus, Op.Cit, hal.35 40 Ibid, hal.37 41 Ibid, hal.37 Universitas Sumatera Utara c Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian tetapi tidak datang bulan. d Waktu tunggu sampai melahirkan bila si janda dalam keadaan hamil. e Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan kelamin. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang menjadi kekuatan hukum bagi suatu perceraian dan sejak hari kematian bila perkawinan itu putusnya karena kematian. 5 Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu : 42 a Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b Berhubungan darah garis keturunan ke samping. c Berhubungan semenda. d Berhubungan sesusuan. e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagi bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. g Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain Pasal 10. h Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat 2, Pasal 4 dan Pasal 9. 42 Ibid, hal.38 Universitas Sumatera Utara Izin kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila pun itu tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya Pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5. 43 Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin dari orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang perkawinan, berlaku sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formal

Syarat-syarat formil yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, meliputi : 44 1 Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. 2 Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 3 Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing. 4 Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan 43 Ibid, hal.29 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang prosedur melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang Universitas Sumatera Utara dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan calon isterisuami bila seorang atau keduanya pernah kawin pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, PP No.9 Tahun 1975. 45 Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat NikahPerkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat- syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu syarat formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai Pencata Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari, tanggal, jam, dan tempat akan dilangsungkannya perkawinan pasal 8 jo pasal 6, 7 dan 9 PP No.9 Tahun 1975. 46 2 . Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Sahnya perkawinan menurut Hukum Adat bagi masyarakat Hukum Adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Kecuali, bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah seperti halnya sipelebegu pemuja roh di kalangan orang batak atau agama kaharingan di kalangan orang Daya Kalimantan maka 45 Ibid, hal 30Proses Pengumuman dan Pencatatan perkawinan diatur dalam PP No.9 tahun 1975 46 Hilman, Cet. Ke-1, Op.cit, hal.22 Universitas Sumatera Utara perkawinan yang dilkukan menurut tata tertib adatagama mereka adalah sah menurut Hukum Adat setempat. 47 Dalam hal ini akan diuraikan tentang syarat-syarat sah perkawinan menurut hukum adat yang terdiri dari syarat material dan syarat formal.

a. Syarat Material

Untuk mendeskripsikan syarat material perkawinan menurut Hukum Adat, di bawah ini akan diangkat hal-hal umum yang dianggap sama di beberapa daerah adat di Indonesia. Keberagaman adat istiadat Indonesia mengakibatkan syarat material perkawinan menjadi berbeda-beda. Dengan demikian akan diuraikan hal- hal umum yang dianggap sama di beberapa daerah di Indonesia, antara lain : 1 Kesepakatan dari kedua calon mempelai dan kedua orang tua calon mempelai. Bahwa kedua calon mempelai harus sepakat dengan orang tua atau keluarga untuk menyatakan kehendak melaksanakan perkawinan. Kesepakatan untuk kawin tidak semata hanya dari calon mempelai melainkan dari orang tua dan keluarga. Di sebagian daerah pada zaman dahulu masih terdapat kawin paksa yang mengesampingkan kesepakatan dari calon mempelai. Baik oleh karena keadaan kekelurgaan, ekonomi maupun status social yang berbeda jauh. Namun sejalan perkembangan waktu, maka model perkawinan paksa semacam itu sudah jarang ditemui. Untuk itu, kehendak melaksanakan perkawinan, tidak cukup kat hanya dari kedua calon mempelai melainkan restu orang tua dan doa kerabat sangat diperlukan. Supaya dikemudian hari tidak ada timbul sanksi sosial adat dari keluarga dianggap ‘kwalat’ terhadap orang tua. 47 Hilman, Cet. Ke-3, Op.cit, hal 26 Universitas Sumatera Utara 2 Kecakapan calon mempelai untuk melaksanakan perkawinan yang tidak ditentukan umur pada umumnya. Kematangan pisik dalam adat istiadat tentu ditandai dengan hal-hal konkret. Perubahan pisik secara umum bagi pria maupun wanita. Seperti, perubahan tubuh yang semakin besar, perubahan suara yang lebih besar, menstruasi, dan perubahan-perubahan pisik lainnya. Dalam Hukum Adat pun kecakapan seseorang untuk menikah ditandai dengan kemampuan mencari nafkah, bekerja berat, mempertahankan hidup sendiri dan kelangsungan keluarga. Ketika tanda-tanda itu telah tiba, maka seseorang dianggap cakap untuk melaksanakan perkawinan. Kaitannya dengan batasan umur yang tidak eksplisit adalah bahwa meskipun di beberapa daerah tidak menetapkan umur pada umumnya, tetapi masih ada sebagian daerah yang menetapkan usia pantas bagi seseorang untuk menikah walaupun hal itu bukanlah ketentuan yang mengikat namun sekedar mengatur. 3 Tidak melanggar larangan kawin adat. Larangan kawin adat merupakan suatu fakta hukum adat yang berupa suatu larangan dalam melaksanakan perkawinan adat yang memiliki sanksi bagi yang melanggar. Larangan kawin menurut Hukum adat, yakni : a Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b Berhubungan darah garis keturunan ke samping. c Berhubungan semenda. d Berhubungan sesusuan. Universitas Sumatera Utara e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagi bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

a. Syarat Formal

Syarat formal identik dengan tata cara perkawinan adat. Hal ini biasanya sesuai dengan prosedur perkawinan adat setempat. Dengan demikian perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan adat yang dikehendaki oleh calon mempelai dan keluarga. Hal-hal tersebut meliputi : 1 Pernyataan kehendak menikah oleh mempelai ke keluarga, kerabat dan pengetua adat. Mengenai pernyataan kehendak menikah dalam hukum adat, calon mempelai wajib menyampaikan kehendak menikah kepada orang tua dan sanak saudara. Ketentuan ini dianggap sebagai langkah awal untuk mendapat restu dari orang tua masing-masing mempelai agar kemudian disepakati kedua keluarga dan diteruskan ke pengetua adat. Hal ini dimaksudkan supaya kedua keluarga masing- masing mempelai bisa mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan acara adat. Demikian halnya pengetua adat wajib mengetahui kehendak mempelai dan keluarga tersebut. 2 Pemberitahuan oleh keluarga dan kerabat melalui undangan untuk menghadiri pesta perkawinan kepada sanak saudara dan kerabat. Kehendak yang telah disampaikan kepada orang tua masing-masing mempelai dan pengetua adat akan berakibat, dilanjutkannya niat melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai dengan mengundang seluruh kerabatsaudara Universitas Sumatera Utara yang dianggap berhubungan keluarga dengan masing-masing calon mempelai dan yang dianggap berkepentingan agar menghadiri upacara perkawinan tersebut. 3 Pelaksanaan perkawinan sesuai adat istiadat, agama dan kepercayaan masing- masing. Pelaksanaan perkawinan pada umum disesuaikan dengan adat istiadat yang disepakati oleh kedua calon mempelai, dan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Perkawinan akan dilaksanakan mengikuti sistem adat istiadat yang disepakati. Tata cara perkawinan adat berbeda-beda di masing-masing daerah dan di sistem kekerabatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan banyaknya suku bangsa, etnis, dan agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, maka prosedur perkawinan adat wajib diselaraskan dengan Hukum Adat yang telah disepakati kedua calon mempelai beserta keluarga.

3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 32 140

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM

0 9 14

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMER 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 6 38

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 14

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengaturan Perkawinan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompil

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

0 0 12

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 13

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SKRIPSI

0 0 13