yang dianggap berhubungan keluarga dengan masing-masing calon mempelai dan yang dianggap berkepentingan agar menghadiri upacara perkawinan tersebut.
3 Pelaksanaan perkawinan sesuai adat istiadat, agama dan kepercayaan masing-
masing. Pelaksanaan perkawinan pada umum disesuaikan dengan adat istiadat yang
disepakati oleh kedua calon mempelai, dan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Perkawinan akan dilaksanakan mengikuti sistem adat istiadat
yang disepakati. Tata cara perkawinan adat berbeda-beda di masing-masing daerah dan di sistem kekerabatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan
banyaknya suku bangsa, etnis, dan agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, maka prosedur perkawinan adat wajib diselaraskan dengan Hukum Adat yang
telah disepakati kedua calon mempelai beserta keluarga.
3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
bersifat menentukan. Artinya, apabila perkawinan dilaksanakan tanpa memenuhi ajaran Hukum Islam maka perkawinan tersebut tidak sah. Dalam perjalanannya,
maka setiap Warga Negara Indonesia yang beragama Islam wajib melangsungkan perkawinan sesuai ajaran Hukum Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan bunyi Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa “Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”. Dengan memenuhi syarat-syarat materil sebagai berikut :
a. Calon mempelai setidak-tidaknnya mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.Pasal 15 ayat 1 dan 2. b.
Adanya persetujuan calon mempelai.Pasal 16 ayat 1 dan 2. c.
Tidak melanggar larangan perkawinan.Pasal 39-44.
Kemudian calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat formil. Syarat- syarat formil tersebut antara lain :
a. Perkawinan dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, mesjid, atau pun di
Kantor Urusan Agama, dengan ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah di
hadapan dua saksi pria.Pasal 2. Ijab adalah ucapan ‘menikahkan’ dari wali
calon isteri dan Kabul adalah kata ‘penerimaan’ dari calon suami. Ijab ialah pernyataan wali pengantin wanita yang ditujukan kepada pengantin pria,
berbunyi : “Saya nikahkan kepadamu anak kandung saya …dengan mahar…” Kabul adalah jawaban pengantin pria : “Saya terima nikahnya….dengan
mahar….” b.
Mas kawinmahar Pasal 30 sangat penting keberadaannya dalam proses perkawinan dalam Hukum Islam sebab mahar harus dipandang sebagai
kewajiban pengantin pria.
48
Mahar tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari nilai ekonominya, melainkan dari nilai cinta kasih dan penghargaan
terhadapnya Pasal 31. Mahar tersebut hak milik mutlak mitra kawin wanita
Islam. Pada dasarnya perkataan ijab dan Kabul ijab dan Kabul itu harus
48
Wila, Op.cit, hal.68
Universitas Sumatera Utara
terdengar jelas oleh kedua pihak dan kedua saksi, serta diucapkan dalam waktu yang sama samen val van momentum.Menurut mazhab Hanafi di antara ijab
dan Kabul boleh ada waktu antara, tidak diucapakan dalam waktu yang sama, misalnya hari ini ijab dan kabulnya satu minggu kemudian. Asal saja akad
nikah itu dilakukan dalam suatu majelis dan tidak ada halangan yang sifatnya merupakan adanya keingkaran dari salah satu pihak untuk melakukan
perkawinan itu.
49
c. Kemudian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali nikah pengantin wanita
atau yang menjadi wali nikahnya. Wali itu harus Beragama Islam, sudah
dewasabaligh, berakal sehat dan berlaku adil tidak fasik.Pasal 20.
Menurut Imam Hanafi, wali itu bukan syarat dalam perkawinan, oleh karena wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya tanpa
wali asalkan perkawinannya dihadiri dua orang saksi. Sedangkan menurut Imam Syafe’I dan Imam Hambali perkawinan tanpa wali tersebut tidak sah,
alasannya adalah Hadist Nabi Muhammad SAW mengatakan ‘Tiada nikah melainkan dengan Wali’ dan pada hadist lain dikatakan, ‘Janganlah wanita
mengawinkan wanita yang lain dan jangan pula wanita itu mengawinkan dirinya sendiri, oleh karena wanita yang berzina melacur mengawinkan
dirinya sendiri. d.
Syarat-syarat lain yakni, dua saksi dalam akad nikah. Saksi harus beragama Islam, sudah dewasabaligh, berakal sehat, bisa melihat, bisa mendengar dan
memahami tentang akad nikah dan berlaku adil Pasal 25. Adanya hubungan
49
Hilman, Cet.Ke-3, Op.cit, Hal.28
Universitas Sumatera Utara
darah dengan kedua mempelai bukan hambatan untuk seseorang menjadi saksi dalam akad nikah
50
. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan saksi dalam akad nikah seseorang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan
yang akrab menjadi saksi. Pada akhirnya suatu ijab kabul menurut Kompilasi Hukum Islam harus
dilakukan dengan lisan, kecuali dalam perkawinan orang bisu atau tuli, bisa dengan bahasa isyarat tangan, menganggukkan kepala dengan cara yang dapat
dimengerti maksudnya, dengan tulisan dan melalui kuasa. D.
Tujuan Perkawinan 1.
Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagial dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
51
Tujuan perkawinan seperti yang tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan
tersebut yang diperhatikan buka segi lahirnya saja tetapi sekaligus juga ikatan batin antara suami isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah
tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya yang disesuaikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
52
50
Ibid, hal.28
51
Hilman, Cet.Ke-1, Op.cit, hal.22
52
Ibid, hal 22
Universitas Sumatera Utara
Selain itu diharapkan rumah tangga dapat berlangsung seumur hidup dan perceraian diharapkan tidak akan terjadi. Untuk itu suami isteri perlu saling
membantu, melengkapi dan mengisi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
53
Pembentukan keluarga erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan menurut Unddang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk kebahagian suami isteri
untuk mendapatkan keturunan dan menegakkankan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental keorangtuaan.
54
2. Tujuan perkawinan Menurut Hukum Adat