Akibat Hukum dari Perkawinan di bawah Umur Menurut Hukum Adat

2. Akibat Hukum dari Perkawinan di bawah Umur Menurut Hukum Adat

Perkawinan merupakan suatu hal yang paling penting dalam kehidupan manusia dalam hal menurunkan keturunan yang sah, perkawinan merupakan suatu jalan untuk meringankan atau melepaskan derita orang tua atau leluhur setelah meninggal. Suatu perkawinan telah dianggap sah setelah dilaksanakan sesuai upacara adat perkawinan masing-masing daerah. Sebelum dilaksanakan upacara tersebut perkawinan belum mempunyai akibat hukum, adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah anak yang tidak sah. Salah satu pernyataan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai sesuai Undang-Undang Perkawinan adalah izin dari orang tua atau pengadilan sebelum calon mempelai berumur 20 tahun, maksud dari ketentuan tersebut adalah untuk menghindari atau mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur, padahal Hukum Adat tidak menggunakan umur untuk menentukan kedewasaan tersebut, oleh karena itu tidak jarang dijumpai perkawinan di bawah umur yang ditentukan oleh Undang-Undang dan perkawinannya dapat disahkan. Mengenai akibat hukum perkawinan di bawah umur, sahnya suatu perkawinan adalah bila perkawinan tersebut berdasarkan hukum adat masing- masing daerah, dan Hukum Adat mengetahui tentang sahnya perkawinan tersebut, karena sahnya perkawinan tersebut maka akan mempunyai akibat hukum, seperti apa yang akan disebutkan dalam Hukum Adat, seseorang dianggap dewasa apabila perempuan tersebut telah mengalami menstruasi dan bagi laki-laki telah Universitas Sumatera Utara mengalami perubahan suara yaitu ngembakin, hal ini dipakai sebagai patokan untuk dapat melaksanakan perkawinan, maka perkawinan di bawah umur dapat sah. Mengenai dapat atau tidaknya perkawinan tersebut diminta pembatalanya, terhadap pembatalannya ini kiranya tidak mungkin dilaksanakan karena dengan adanya ketentuan bagi kemungkinan dapatnya suatu perkawinan disahkan menurut Hukum Adat dan Hukum agama masing-masing daerah. Mengenai dampak hukum perkawinan di bawah umur terhadap sahnya suatu perkawinan, dimana dalam hal ini berpedoman pada Hukum adat yang berlaku di masyarakat dan ketentuan terhadap hukum nasional yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hubungan dengan kepastian hukum sebagai dasar sahnya perkawinan bagi masyarakat adat biasanya adalah bahwa semua perkawinan masyarakat adat mempunyai hubungan erat dengan hukum agamanya yang bersumber dari kitab suci dan kebiasaan adat istiadat setiap daerah. Disini ada juga peranan adat terhadap perkawinan di bawah umur. Dimana jika melihat isi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata peranan berarti sesuatu yang diperbuat yang memiliki pengaruh besar pada suatu peristiwa dan memiliki fungsi untuk memberikan perubahan pada sesuatu. Peran dapat disamakan dengan fungsi, karena sama mempunyai fungsi serta tugas dalam suatu peristiwa, sama halnya dengan tubuh manusia yang memiliki bagian-bagian yang memiliki bagian dan tugas masing-masing sebagai pembentuk organisme yang utuh. Sesuai dengan arti peranan di atas bahwa Hukum Adat dan tua-tua adat besar pengaruhnya pada suatu peristiwa adat khususnya masalah perkawinan, Universitas Sumatera Utara yakni berperan sebagai pedoman atau patokan-patokan serta pemberi arahan maupun wejangan dalam penyelesaian kasus perkawinan di bawah umur yang terjadi di setiap daerah. Hukum Adat dalam hal perkawinan tidak menentukan secara tegas mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Salah satu contoh, masyarakat di Bali khususnya di Desa Kamasan, mengenal adanya upacara adat graja swala yang menandakan bahwa seorang telah meningkat dewasa, yang mana upacara ini dilaksanakan setelah seseorang mengalami kotor kain atau datang bulan untuk pertama kalinya untuk yang wanita dan terjadinya perubahan suara untuk yang laki-laki, jadi sebelum diadakan upacara ngraja swala masyarakat tidak akan mengetahui bahwa orang tersebut telah meningkat dewasa, upacara adat ngraja swala mempunyai arti terhadap masyarakat untuk menyatakan bahwa seseorang telah dewasa, sebelum upacara adat tersebut diadakan masyarakat tetap menganggap bahwa orang tersebut belum dewasa. 104 Apabila kita berpegang teguh kepada Undang-Undang Perkawinan yang berlaku, maka perkawinan dilakukan terhadap orang yang masih di bawah umur tidak akan terjadi, karena perbuatan tersebut telah nyata bertentangan dengan Undang-Undang perkawinan, tetapi dilain pihak, Hukum Adat mengijinkan para 104 I Made Juniarta, Artikel, Dampak Perkawinan dibawah Umur Ditinjau Dari Hukum Adat Balidi Desa Kamasan, Kec.Klungkung, Kab.Klungkung, diakses pada tanggal 12 Juni 2013, Pukul 20.39 WIB Universitas Sumatera Utara pihak untuk melangsungkan perkawinan asal mereka suka sama suka dan sudah melakukan upacara ngraja swala sebagai pertanda telah dewasa, jadi didalam perkawinan di bawah umur ini baik mereka baru berumur 13, 14 dan 15 tahun sepanjang ia dianggap dewasa menurut hukum adat, terhadap perkawinan tersebut dapat disahkan. Dengan demikian perkawinan yang dilakukan di bawah umur menurut Undang-Undang Perkawinan akan dapat dinyatakan sah sepanjang Hukum Adat dan masyarakat adat dapat menerima keabsahan perkawinan tersebut. Oleh karena perkawinan tersebut telah sah maka akan menimbulkan akibat hukum yang sah pula sesuai Hukum Adat. Antara lain yakni, hubungan suami isteri, anak yang dilahirkan, dan harta kekayaan.

a. Akibat hukum terhadap hubungan suami-isteri

Akibat hukum dari perkawinan di bawah umur akan berkaitan erat dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh setiap masyarakat adat tersebut. Ada tiga sistem kekerabatan yang dikenal di Indonesia yaitu, patrilineal batak, matrilineal minagkabau, dan parental jawa. Dengan menggunakan sistem jujur, suatu perkawinan menurut adat yang menganut sistem patrilineal, pembayaran uang jujur mengakibatkan akibat hukum terhadap suami dan istri, yang mana istri diwajibkan masuk ke klan suaminya. Sebaliknya suami akan diwajibkan masuk ke klan isteri pada adat yang menganut sistem matrilineal. Untuk sistem kekerabatan parental akan disesuaikan dengan keinginan pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Universitas Sumatera Utara Tentang kedudukan seorang janda terhadap kerabat mendiang suaminya dalam masyarakat Batak, di dalam pertimbangan hukum putusan RVJ 148489 disebutkan bahwa menurut adat Batak, seorang janda ada tiga kemungkinan, yaitu: 1 Kawin lagi dengan salah seorang dari karib mendiang suaminya leviraat huwelijk. 2 Tetap tinggal tidak kawin dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya dengan demikian dia berhak atas anak-anaknya. 3 Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya. 105

b. Akibat hukum terhadap anak.

Dalam hukum adat, dikenal adanya 2 dua macam dasar keturunan, yaitu: 1 Keturunan asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak kandung 2 Keturunan tidak asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak angkatnya. 106 Setiap orang di masyarakat adat manapun akan berusaha mempertahankan silsilah mereka supaya jangan terputus dan berusaha mengetahui nenek moyang mereka. Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dalam bahasa batak dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh masyarakat-masyarakat adat di Indonesia sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Bagi masyarakat patrinial, diharapkan kelahiran keturunan laki-laki agar dapat meneruskan marga, sehingga marga tidak terputus di garis keturunan 105 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana,Medan. Hal.19 106 A. Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1989, hal.71 Universitas Sumatera Utara perempuan karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah patrilineal. Sebaliknya pada masyarakat matrilineal kehadiran anak perempuan sebagi pembawa marga dinilai teramat penting kedudukannya. Untuk masyarakat parental, masalah garis keturunan menjadi hak dari anak pria atau wanita sesuai adat yang dianut. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah umur yang telah sah diterima adat masing-masing daerah akan otomatis menjadi ahli waris dari orang tua mereka sesuai dengan aturan adat yang dianut. Seperti halnya dalam masyarakat patrilineal bahwa kedudukan anak laki-laki dinilai jauh lebih tinggi dan diberi hak mewarisi hak dari orang tuanya yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Dalam hukum adat, anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak sah jika ibu yang mengandungnya mempunyai suami pada saat melahirkannya. Walaupun suami ibunya tersebut bukan orang tua biologisnya dan tidak dipersoalkan masalah tenggang waktu kawin dan waktu melahirkan. Jikapun terjadi si ibu yang melahirkan tidak punya suami, maka seorang anak tersebut hanya dapat mewaris harta peninggalan ibunya dan jika anak itu yang wafat, maka harta peninggalannya hanya diwarisi ibunya dan keluarga ibunya.

c. Akibat hukum terhadap harta kekayaan

Pada dasarnya berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama di antara suami isteri, meskipun masih terdapat variasi, misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang lelaki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini Universitas Sumatera Utara juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. 107 Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri. Harta perkawinan dalam hukum adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam, sebagai berikut : 1 Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan. 2 Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan. 3 Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama. 4 Harta yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada waktu pernikahan. 108 Dalam hukum adat Batak Toba misalnya, apabila perkawinan telah dilaksanakan, otomatis bersatulah harta isteri dan harta suami seperti yang dikenal dengan istilah harta bersama Sedangkan untuk harta bawaan adalah semua harta warisan yang berasal dari bawaan suami atau bawaan isteri sebelum melangsungkan perkawinan. Jenisnya dapat berupa barang yang tidak bergerak maupun bergerak, mungkin berasal dari bagian harta pustaka atau warisan dari orangtua atau kerabat masing-masing suami atau isteri, bisa juga berasal dari pemberian atau hibah dari anggota kerabat, tetangga, sahabat atau berupa hibah 107 M. Yahya Harahap, Pembahasan Undang-Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan 1975. Hal. 117 108 http:www.badilag.netdataARTIKELHarta20Bersama20art.pdf diakses tanggal 25 Juni 2013 pada Pukul 14.30WIB Universitas Sumatera Utara wasiat, termasuk hak-hak pakai dan hutang piutang lainnya yang dibawa oleh masing-masing suami atau isteri ke perkawinan mereka. Pada masyarakat patrilineal yang melaksanakan perkawinan jujur, istri ikut dan tunduk pada hukum kekerabatan suaminya, maka yang disebut harta bawaan adalah barang-barang yang dikuasai suami dan dimilikinya adalah harta penunggu atau harta penanti suami.

3. Akibat Hukum dari Perkawinan di bawah Umur Menurut Kompilasi

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 32 140

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM

0 9 14

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMER 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 6 38

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 14

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengaturan Perkawinan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompil

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

0 0 12

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 13

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SKRIPSI

0 0 13