12
2. Klasifikasi Tentang Anak Tunarungu
Menurut Boothroyd dalam Lani Bunawan C.Susila Yuwati, 2000: 6 memberikan
klasifikasi berdasarkan
seberapa jauh
seseorang dapat memanfaatkan sisa pendengaran yang masih dimiliki, sebagai berikut:
a. Kurang dengar Hard of Hearing adalah mereka yang mengalami gangguan pendengaran, tapi dapat menggunakan sisa pendengaran
sebagai sarana untuk menyimak seseorang dan mengembangkan kemampuan dalam berbicara.
b. Tuli Deaf, adalah mereka yang tidak dapat menggunakan sisa pendengarannya sebagai sarana utama untuk mengembangkan
kemampuan bicara, tetapi dapat difungsikan sebagai bantuan dalam peglihatan dan perabaan.
c. Tuli Total Totally Deaf adalah mereka yang tidak memiliki sisa pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak dan
mengembangkan dalam kegiatan berbicara Lani Bunawan C. Susila Yuwati, 2000: 6.
Berbeda dengan Boothroyd, A. van Uden melengkapi penggolongan anak tunarungu berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dan dikaitkan
dengan taraf penguasaan bahasa seorang anak, yaitu a. Tuli Pra- Bahasa Prelingually Deaf, yaitu mereka yang tuli
sebelum menguasai suatu bahasa usia di bawah 1, 6 tahun. Siswa menggunakan tanda tertentu dan mulai memahami lambang yang
digunakan orang lain sebagai tanda dengan mengamatinya. b. Tuli Purna Bahasa Postlingually Deaf, yaitu mereka yang menjadi
tuli setelah menguasai suatu bahasa. Mereka telah menerapkan dan memahami
sistem lambang yang berlaku di lingkungan. Lani Bunawan C. Susila Yuwati, 2000: 6-7
Anak Tunarungu juga dapat diklasifikasikan secara umum dan khusus. Berikut ini klasifikasi umum dapat digolongkan sebagai berkut:
13
a. The Deaf , yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian diatas 90 dB.
b. Hard of Hearing atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang dengan derajat ketulian 20-90 dB. Penulis dapat
menyimpulkan bahwa dalam klasifikasi umum ini dibedakan berdasarkan tingkat ketulian.
Klasifikasi khusus bagi anak tunarungu dapat dibedakan berdasarkan tingkat ketulian yang dialami. Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi pemanfaatan sisa pendengaran yang masih dimiliki. berikut ini merupakan klasifikasi khusus tunarungu:
a. Tunarungu ringan yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami
tingkat ketulian
25-45 dB,
yaitu orang
yang mengalami
ketunarunguan taraf ringan, dimana ia kesulitan untuk merespon suara-suara yang datang agak jauh. Pada kondisi yang demikian,
seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajar di sekolah.
b. Tunarungu sedang yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami
tingkat ketulian
46-70 dB,
yaitu orang
yang mengalami
ketunarunguan taraf sedang, dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-4 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat
mengikuti diskusi-diskusi dikelas. Anak yang memiliki taraf ketunarunguan taraf ini memerlukan alat bantu dengar hearing aid
dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
14
c. Tuna rungu berat yaitu mereka yang mengalami tingkat ketulian 71-
90 dB. Seseorang mengalami ketunarunguan berat, hanya dapat merespon bunyi dengan jarak yang sangat dekat dan diperkeras.
Mereka dengan kategori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikan disekolah. Mereka juga sangat
memerlukan pembinaan atau latihan-latihan komunikasi dalam pengembangan bicara.
d. Tingkat sangat berat, yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami
tingkat ketulian diatas 90 dB. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi
mungkin masih merespon melalui getaran-getaran suara yang ada. Proses
kegiatan pendidikan dan aktivitas laiinnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan kemampuan visualnya. Suparno,
2007: 3.3-3.4 Berdasarkan klasifikasi tunarungu dari para ahli, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa tingkat ketulian yang dimiliki oleh seorang anak akan mempengaruhi kemampuan penerimaan bahasa
serta tingkat intelegensi seorang anak. Penggolongan ketunarunguan dapat berdasarkan sisa pendengaran yang masih dimiliki dengan atau
tanpa alat bantu mendengar. Selain itu, dapat berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan yang dikaitkan dengan taraf penguasaan
bahasa dan tingkatan ketulian. Klasifikasi tunarungu berdasarkan hasil pengukuran
pendengaran dapat
mempermudah pendidik
untuk
15
mengetahui sisa pendengaran yang masih dimiliki dan menggunakan sisa pendengaran tersebut untuk kegiatan bersifat pendidikan.
Penggolongan atau klasifikasi ketunarunguan dapat mempermudah pendidik dalam menentukan media belajar yang tepat sesuai dengan
daya tangkap suara percakapan atau sisa pendengaran yang masih dimiliki. Bagi Siswa yang masih memiliki sisa pendengaran, maka
memfungsikannya sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan bicara.
3. Karakteristik Anak Tunarungu