Kebijakan Otonomi Daerah TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral 1957 disebabkan oleh besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang.

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Konsep ini sudah muncul sejak pemerintahan Orde Lama, yaitu melalui UU No. I tahun 1945 tentang Pemerintah Daerah. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat kurang serius dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah yang telah dikeluarkan, yakni UU No. 5 tahun 1974. Undang-undang tersebut gagal mendukung pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah tidak mandiri, karena semua wewenang dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Tabel 2.1. Peraturan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945-2004 Tahun Undang-Undang Subjek 1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah 1956 UU Nomor 32 Hub. Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2004 UU Nomor 32 Pemerintah Daerah 2004 UU Nomor 33 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber: Saragih, 2003 Warsono, et. al 2000 menyatakan bahwa tujuan pokok UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah untuk mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah untuk mewujudkan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945. Sedangkan tujuan pokok UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan yang adil, dan mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itu ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu, 1 Desentralisasi, 2 Dekonsentrasi, dan 3 Tugas Pembantuan. 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Kaho 1997 menyatakan bahwa ada 4 unsur yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi: 1. SDM merupakan sektor esensial dari otonomi sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan otonomi. 2. Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan otonomi daerah karena akan menentukan PAD yang bersumber dari retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah, dan sebagainya. 3. Peralatan yang cukup baik, berupa prasarana dan sarana fisik yang memperlancar pembangunan. 4. Organisasi dan manjemen merupakan lembaga dan organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi eksekutif dan legislatif di daerah. Awal pelaksanaan otonomi daerah pemerintah menjalankan berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, tahun 2004 pemerintah telah mengeluarkan UU baru, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Maka setelah tahun 2004 kebijakan otonomi daerah berlandaskan pada UU baru tersebut. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, sasaran pelaksanaan otonomi adalah daerah kabupaten dan daerah kota yang berkedudukan sebagai daerah otonom memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kewenangan daerah kabupaten atau kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan pusat dan provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah menurut UU No. 5 1974 adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan asli daerah PAD, 2. Bagi hasil pajak dan non pajak, 3. Bantuan pusat APBN untuk daerah tingkat I dan tingkat II, 4. Pinjaman daerah, 5. Sisa lebih anggaran tahun lalu, 6. Lain-lain penerimaan yang sah. Sedangkan sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999, sumber pendapatan daerah antara lain: 1. Pendapatan asli daerah PAD, yang terdiri dari: a. Pajak daerah b. Retribusi daerah, c. Bagian Pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah BUMD, d. Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, 2. Dana Perimbangan, yang terdiri dari: a. Dana bagi hasil, b. Dana alokasi umum, c. Dana alokasi khusus, d. Pinjaman daerah, e. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum DAU, dan Dana Alokasi Khusus DAK. Berdasarkan UU No. 25 tahun 1999, alokasi DAU ditetapkan berdasarkan dua faktor, yaitu potensi ekonomi dan kebutuhan daerah. Karena tujuan utama pemberian DAU adalah untuk mengurangi ketimpangan antar daerah, maka pada prisipnya daerah-daerah yang miskin sumber daya alam akan memperoleh porsi yang lebih besar. Masalahnya, keragaman daerah-daerah dalam hal potensi ekonomi dan kebutuhan sangat besar. Jadi daerah-daerah harus dapat mengoptimalkan peran sektor-sektor perekonomiannya sehingga dapat meningkatkan pembangunan daerah. Pada masa sebelum otonomi semua wewenang pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat, daerah hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Adanya otonomi daerah membuat wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Kewenangan provinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Semua hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 22 tahun 1999. Pada masa sebelum otonomi kedudukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah membentuk suatu hierarki, yaitu pemerintah pusat berada pada posisi paling tinggi, kemudian daerah provinsi, dan yang berada pada posisi paling bawah adalah daerah kabupatenkota. Adanya otonomi daerah menyebabkan hierarki tersebut dihilangkan. Posisi daerah kabupatenkota tidak memiliki hierarki dengan daerah provinsi.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu