Perjanjian Pada Umumnya Aspek Hukum Perjanjian Kredit Sederhana

perkembangan jenis-jenis perjanjian dalam KUHPerdata tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi dan perdagangan sehingga tumbuh atau muncul berbagai jenis perjanjian bernama yang tidak diatur dalam KUHPerdata seperti misalnya perjanjian sewa beli atau leasing, perjanjian distributor, perjanjian kredit, perjanjian membangun bangunan dan lain-lain. Dalam membuat perjanjian bernama yang telah diatur dalam KUHPerdata atau yang diatur di luar KUHPerdata, atau apapun jenis dan nama perjanjian itu maka syarat dan ketentuan dari perjanjian tersebut harus mengacu pada ketentuan umum hukum perikatan.

1. Perjanjian Pada Umumnya

Mengenai istilah perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia yang berasal dari istilah Belanda sebagai sumber aslinya sampai saat ini belum ada kesamaan dan kesatuan dalam menyalin ke dalam bahasa Indonesia dengan kata lain belum ada kesatuan terjemahan untuk satu istilah asing ke dalam istilah teknis yuridis dari istilah Belanda ke dalam istilah Indonesia. Para ahli Hukum Perdata Indonesia menterjemahkan atau menyalin istilah perjanjian yang berasal dari istilah Belanda didasarkan pada pandangan dan tinjauan masing-masing. Dalam Hukum Perdata Nederland dalam hubungannya dengan istilah perjanjian dikenal dua istilah yaitu Verbintenis dan Overeenkomst, dari dua istilah tersebut para ahli Hukum Perdata Indonesia berbeda-beda dalam menafsirkan ke dalam istilah Hukum Indonesia. Universitas Sumatera Utara Subekti mengemukakan bahwa kata “perikatan” atau Verbintenis mempunyai arti yang lebih luas dari “perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum onrechmatige daad dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan zaakwaarneming. 37 Sedangkan menurut Koesumadi bahwa verbintenis diterjemahkan dengan perutangan dengan alasan karena menganggap perikatan yang terdapat dalam hukum Perdata hanyalah perikatan yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan saja bukan perikatan pada umumnya. 38 Menurut Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan atau karena undang-undang”. Dari bunyi pasal tersebut secara jelas bahwa sumber hukum perikatan yaitu: a. Perjanjian atau persetujuan adalah sumber penting yang melahirkan perikatan karena perjanjian ini yang paling banyak di lakukan di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya jual beli, sewa menyewa adalah perjanjian menerbitkan perikatan. b. Undang-Undang sebagai sumber perikatan dibagi dua Pasal 1352 KUHPerdata yaitu: 1 Bersumber pada undang-undang saja misalnya orang tua yang berkewajiban untuk memberikan nafkah adalah perikatan yang lahir dari undang-undang saja. 2 Bersumber pada undang-undang karena perbuatan manusia dibedakan menjadi dua: a Perbuatan manusia menurut hukum, misalnya mewakili urusan orang lain 1354 KUHPerdata zaakwaarneming 37 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 122. 38 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Op. Cit., hlm. 73. Universitas Sumatera Utara b Perbuatan manusia karena perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUHPerdata. 39 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 40 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Selain itu, perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu sehingga antara perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama. Sumber- sumber lain mencakup dengan nama undang-undang. Jadi, perikatan yang lahir dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. 41 Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Jika diperhatikan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang pihak kepada satu orang 39 Ibid. 40 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 1. 41 Ibid., hlm.3. Universitas Sumatera Utara atau lebih orang pihak lainnya, yang berhak atas prestasi tesebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi debitur dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut kreditur. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 42 Menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu : a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata. c. Sehingga perumusannya menjadi : “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 43 Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku 42 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 92. 43 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, PT. Binacipta, Bandung, 1987, hlm. 49. Universitas Sumatera Utara III Perjanjian. Yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang. 44 Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian diakui dan meningkat para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2 Cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3 Mengenai hal atau obyek tertentu. 4 Suatu sebab causal yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjianya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 45 Syarat pertama, dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia- sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Syarat kedua, orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang- orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan dalam 44 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Op. Cit, hlm. 65. 45 Subekti, Hukum Perjanjian,Op.Cit., hlm.17. Universitas Sumatera Utara hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertantu. Syarat ketiga, bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya siberutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat keempat, untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudnya tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh undang-undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi selain dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, juga harus diperhatikan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dimana perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tentang berakhirnya atau hapusnya perjanjian, menurut Pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya atau berakhirnya perjanjian disebabkan peristiwa- peristiwa sebagai berikut : a Karena ada pembayaran b Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan atau dalam Bahasa Belanda dinamakan consignatie c Novasi Atau Pembaruan Utang d Kompensasi Atau Perjumpaan Utang e Pencampuran Utang f Pembebasan Utang g Musnahnya Barang Yang Terutang h Pembatalan Perjanjian Universitas Sumatera Utara i Berlakunya Suatu Syarat Batal j Daluwarsa Atau Lewatnya Waktu Atau Verjaring Pada pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan- perikatan untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan. Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak. Lima cara pertama yang tersebut didalam Pasal 1381 KUHPerdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada keempat cara terakhir maka kreditur tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur. 46 Selain itu, menurut Hartono Hadi Soeprapto 47 , hapusnya perjanjian dapat terjadi karena : 1 ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak; 2 Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian; 3 pernyataan dari pihak-pihak atas salah satu pihak untuk menghentikan perjanjian; 46 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan,Op. Cit., hlm.115-116. 47 Hartono Hadi Soeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm 28. Universitas Sumatera Utara 4 tujuan perjanjian telah tercapai. Menurut ketentuan undang-undang dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian kredit orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkan, sebelum lewatnya waktu yang telah ditentukan, dalam perjanjian. 48 Begitu pula pihak si peminjam atau orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan. 49

2. Perjanjian Kredit Perbankan