Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan

Tabel. 4 Dewan Direksi PTPN II Kebun Klumpang Nama Jabatan Bhatara Moeda Nasution Direktur Utama Ir. Johannes Sijabat Direktur Produksi Naif Ali Dahbul Direktur Keuangan Berani Purba Direktur Pemasaran dan Perencanaan Pembangunan Tambah Karo Karo Direktur Umum Sumber : data Dewan Direksi PTPN II Kebun Klumpang, Deli Serdang diolah penulis.

3.3 Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan

Sebagaimana yang diamanatkan undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan, bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya. Karenanya penyelenggaraan perkebunan perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang strategis. Luas areal perkebunan di Sumatera utara berkisar 9,44 dari seluruh luas areal perkebunan dimiliki Indonesia 17.181.000 Ha, yang penyelenggaranya oleh perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan negara. Potensi komoditi adalah karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, dan tebu. Komoditi utamanya adalah kelapa sawit, karet, dan kopi. Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan telah menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat Sumatera Utara, sampai saat tahun 2002 mencapai 4.405.950 KK yang bekerja pada budidaya tanaman perkebunan. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja selama lima tahun 1998-2002 mengalami peningkatan rata-rata 0,65 pertahun data diolah penulis. Universitas Sumatera Utara Di masyarakat perkebunan berkumpul berbagai etnis pada satu lingkungan yang sama dan berinteraksi dalam jangka waku yang lama, menyebabkan terjadinya interfrensi budaya. Interaksi yang terus menerus dan intens antar individu dan juga antar etnis akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur, perilaku, sikap dan watak sebagai hasil dari komunikasi dan saling mempengaruhi di antara individu maupun kelompok. Artinya secara tidak langsung telah terjadi akulturasi budaya antar etnis dan adat istiadat yang bertemu pada satu pemukiman tersebut. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan ketika memasuki pemukiman masyarakat perkebunan akan ditemui suatu masyarakat yang unik. Masyarakat yang terbentuk melalui proses pembauran antar budaya yang datang. Di sana ditemui adanya penyimpangan dari stereotipe yang ditetapkan oleh masyarakat pada etnis tertentu. Dengan demikian secara tidak langsung perkebunan telah membentuk suatu masyarakat dengan budaya baru dalam kerangka budaya nasional. Lain halnya pada sisi kesejahteraan buruh sebagai tenaga upahan yang seyogyanya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi akibat industrialisasi, malah mengalami keterpurukan yang menjadi-jadi. Makin jauh letak perusahaanperkebunan dari pusat-pusat kota ketika itu, makin kecil pula upah yang didapat oleh buruh. Kebebasan pengusaha dalam menentukan upah, aturan-aturan diskriminasi yang tidak berpihak pada buruh, keterbelakangan kondisi sosial masyarakat di pedesaan, membuat para pengusaha sanggup melakukan apapun untuk melipatgandakan keuntungan produksinya tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh-buruhnya Asep, 2002. Kondisi di masa kolonial ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan bagi buruh-buruh khususnya di perkebunan untuk mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Universitas Sumatera Utara Kondisi itu tercermin dengan “tidak berlakunya” penetapan nilai UMKKabupaten dengan pemberlakuan upah yang dikehendaki sepihak oleh pengusaha perkebunan dengan upah harian yang sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak kondisi masyarakat perkebunan. Dengan keterbatasan upah yang diperoleh orang tua, maka anak-anak hanya mampu sekolah hingga tingkat SLTP atau bahkan hanya lulusan madrasah di lingkungannya, karena jarak dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak-anak terlampau tinggi. Sekolah yang jauh, sarana transportasi yang terbatas dan mahal, membuat para buruh mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kondisi sosial masyarakat yang menjadi budaya turun-temurun itu dirancang, diciptakan pemilik kebun dari zaman kolonial Hindia Belanda, agar para buruh tidak mengalami kemajuan berpikir dengan tidak menyediakan sekolah rakyat yang dapat terjangkau, sehingga para buruh tidak dapat keluar dari lingkungan sosial di “kavling para buruh” dan dari lingkup kerjanya dari generasi ke generasi. Bertahun-tahun lamanya buruh-buruh perkebunan secara turun- temurun, disadari maupun tidak, tengah mengalami keterasingan dalam tingkat pendidikan, kultur sosial, ekonomi dan politik bahkan kesadaran akan ketertindasan yang tengah dialami. Pengusaha perkebunan tetap menggunakan kaki-tangannya untuk mengkontrol gerak dan “efektifitas kerja” para buruhnya. Dengan mandor-mandor kebun sebagai centeng yang mengatur dan mengawasi kerja secara langsung, bahkan aparatur desa seperti Lurah yang dengan banyak kasus-kasus di perkebunan menjadi “alat kontrol gerak sosial masyarakat” yang menguatkan, meyakinkan kepada masyarakat atas kehendak yang diinginkan pengusaha. Demikian juga kehadiran premanisme di lingkungan Universitas Sumatera Utara tempat tinggal mereka untuk mengebiri benih-benih revolusioner buruh perkebunan yang hendak tumbuh. Sejarah mengenai kehidupan sosial masyarakat perkebunan tembakau di Sumatera Timur, dimulai dari kedatangan Jacobus Nienhuys ke Tanah Deli, menurut Nienhuys kala itu, di Deli segalanya harus diimpor, baik para majikan maupun para kuli-kulinya. staf datang langsung dari Eropa, kulinya dari Jawa. Hal ini dikarenakan Sultan Deli hanya dapat memberikan tanah, bukan tenaga buruh karena penduduk pribumi seperti Batak dan Melayu tidak dapat dibujuk atau dipaksa oleh para pejabat lokal atau asing agar mau bekerja untuk perkebunan. Oleh karena itu, para pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari tempat lain seperti Malaya, Singapura, dan Cina, kemudian dari desa-desa miskin di Jawa Tengah. Perekrutan buruh tersebut dilakukan melalui calo-calo Stoler, 2005:23. Bersamaan dengan meluasnya usaha perekrutan buruh di Jawa, maka badan- badan imigrasi liar juga banyak bermunculan. Namun, yang tampak bukan seperti usaha perekrutan buruh, melainkan pasar perdagangan besar yang ditujukan kepada penjualan buruh. Di Sumatera, paksaan tetap menjadi dasar sistem perburuhan. Diberlakukannya sanksi pidana poenale sanctie secara keras, membuat kuli yang melarikan diri atau menolak bekerja akan dijatuhi hukuman yang berat. Hubungan antara tuan kebun dan kuli yang diwarnai kekerasan itu adalah bentuk ekstrem dari penindasan atas tenaga kerja yang terkungkung di bawah penjajahan Belanda. Universitas Sumatera Utara

3.4 Proyeksi Pariwisata Perkebunan