Pendapatan petani setelah konversi lahan (studi kasus di kelurahan Mekarwangi Kota Bogor)

(1)

PENDAPATAN PETANI SETELAH KONVERSI LAHAN (STUDI KASUS DI KELURAHAN MEKARWANGI, KOTABOGOR)

ANDI ASMARA

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011 M / 1432 H


(2)

PENDAPATAN PETANI SETELAH KONVERSI LAHAN (STUDI KASUS DI KELURAHAN MEKARWANGI, KOTABOGOR)

ANDI ASMARA 106092002986

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011 M / 1432 H


(3)

SURAT PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 26 April 2011 ANDI ASMARA


(4)

CURRICULUM VITAE

Nama : Andi Asmara

Alamat : Jl. Arwana 7 No. 3 Blok A9

Villa Mutiara Bogor, Kota Bogor 16168 Tempat & Tanggal lahir : Bogor, 20 Juli 1989

No. Telpon : 08998356591

Email : Chaqi_asmara@yahoo.co.id

Andiasmarafadillah@gmail.com

Status : Belum menikah

Latar Belakang Pendidikan : Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006 – 2011)

SMAN 06 Depok (2003 – 2006) SMPN 09 Depok (2000 – 2003) SDN 02 Depok (1994 – 2000)

GPA : 3,30

Hobi : Berorganisasi dan membaca

Pengalaman organisasi : Ketua Divisi Politik dan Sosial OSIS SMAN 06 Depok Staff Departemen Penelititan dan

Pengembangan (2004 – 2005)

Divisi Media Islami (MEDIS) Rohis SMAN 06 Depok (2004 – 2005)

Departemen Aksi dan Advokasi BEMF Sains Teknologi (2007 – 2008)

Anggota DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) II Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia / POPMASEPI (2007 – 2008)


(5)

Penyiar Radio Komunitas Fakultas Sains dan Teknologi (2007 – 2008)

Anggota Lembaga Semi Otonom (LSO) Muslim Science Community (2007 – 2008)

Ketua Pelaksana Seminar ”Negara yang Tergadai” pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syariff Hidayatullah Jakarta (2008) Seminar / Pelatihan : LDK OSIS SMAN 06 Depok (2003)

LDK ROHIS SMAN 06 Depok (2003) TOP (Training Organizing Platform) BEMJ Agribisnis (2007)

Training Leadership Fakultas Sains dan Teknologi (2007)

Seminar ”Mempertanyakan Turunnya Isa bin Maryam” (2008)

Seminar ”Negara yang Tergadai” (2008) Seminar ”Jati Diri Bangsa : Demokrasi dan Islam Moderat” (2009)

Pengalaman bekerja :

1. Instruktur Bimbingan Belajar PRIMAGAMA Mampang Sawangan (2007 – present).

2. Field Researcher PT. ETNOMARK Consulting ( 2009 – present ).

3. Team Monitoring pada Badan Pelaksana Program Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Indonesia / BP3KTKI ( 2009 – present ).


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLOH SWT atas berkat dan rahmat-Nya, penulisan dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pendapatan Petani Setelah Konversi Lahan” (Studi kasus di Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor). Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada manusia yang menjadi tauladan kita semua, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan kepada kita semua yang mengharapkan safaatnya di hari kiamat nanti.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada:

1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra M.Si, selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 2. Drs. Acep Muhib, MMA, selaku ketua Program Studi Agribisnis Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

3. Ir. Siti Rochaeni, M.Si, selaku dosen pembimbing satu, yang telah membimbing, memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi dengan meluangkan waktu, tenaga, serta pemikiran di sela-sela kesibukannya dalam penyusuanan skripsi ini. 4. Dr. U. Maman, M.Si selaku dosen pembimbing dua, yang telah membimbing,

memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi dengan meluangkan waktu, tenaga, serta pemikiran di sela-sela kesibukannya dalam penyusuanan skripsi ini. 5. Dr. Ir. Edmon Daris, M.Si selaku penguji satu, yang telah memberikan saran dan


(7)

6. Rahmi Purnomowati, SP, M.Si. selaku penguju dua, yang telah memberikan saran dan dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak dan ibu dosen Prodi Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Papa dan Mama tercinta, yang telah memberikan dukungan yang sangat berarti, berupa motivasi, kasih sayang, perhatian, dan materi sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

9. Adikku Indah Chaerunnisah, yang telah menjadi sahabat dan rekan dalam berdiskusi di rumah.

10.Tri Rizki Amalia dan keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, motivasi dan tujuan nyata kepada penulis sehingga mempercepat terselesaikannya skripsi ini. Semoga apa yang kita persiapkan berjalan dengan baik ya sayang, Amien. 11.Seluruh rekan-rekan Agribisnis angkatan 2006 yang memberikan kontribusi tidak

sediikit dalam memberikan semangat dan bantuan untuk terselesaikannya skripsi ini.

Kepada semuanya penulis ucapkan terima kasih yang tak hingga, semoga ALLOH Swt, membalas kebaikan yang mereka berikan. Dan apabila da kesalahn, kekurangan dan kekhilafan dari penulis mohon dimaafkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 26 April 2011


(8)

RINGKASAN

Andi Asmara, Pendapatan Petani Setelah Konversi Lahan (Studi Kasus : Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor). (Di bawah bimbingan Ir. Siti Rochaeni, M.Si dan Dr. U. Maman, M.Si).

Kesulitan perekonomian yang dialami sebagain besar masyarakat Indonesia yang juga notabene menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian semakin memperihatinkan, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa fenomena sosial yang terjadi belakangan ini. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung bangsa Indonesia dengan penyumbang devisa negara terbesar, saat ini semakin termarginalkan. Kesejahteraan petani yang tidak semakin membaik semakin menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian, peningkatan taraf hidup menjadi alasan krusial yang tidak bisa ditolak ketika para petani atau pemilik lahan mengalihfungsikan lahan mereka menjadi lebih produktif.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani yang melakukan konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarwangi Kota Bogor, mengetahui faktor apa saja yang menjadi latar belakang petani melakukan konversi lahan pertanian manjadi bentuk pemanfaatan lain, dan mengetahui dampak sosial ekonomi dari konversi lahan pertanian terhadap pendapatan pemilik lahan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, karena penelitian ini merupakan studi kasus yang melihat banyak variabel yang harus diperhatikan dalam mengetahui karakteristik responden dari sudut pandang sosial ekonomi, yang melatarbelakangi konversi lahan dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Penelitian ini di khususkan kepada konversi lahan pertanian berupa sawah menjadi penggunaan non pertanian. Responden penelitan ini adalah semua petani yang melakukan konversi lahannya di Kelurahan Mekarwangi kota Bogor dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir. Responden penelitian ini adalah mantan petani pemilik lahan yang pertama kali melakukan konversi lahan.

Hasil penelitian Pendapatan Petani Setelah Konversi Lahan Petanian adalah : Petani yang melakukan konversi lahan pertanian pada Kelurahan Mekarwangi adalah para petani pribumi pemilik lahan yang mendapatkan lahan dengan cara membeli dan waris. Memiliki pekerjaan sebagai peternak, wiraswasta, dan buruh selain berprofesi sebagai petani. Memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu SMP, SD dan tidak tamat SD. Berusia sekitar 40-65 tahun dan memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar Rp500.000-10.000.000, dengan luas lahan sebelum konversi 200-2300M2. Faktor yang melatarbelakangi para petani melakukan konversi lahan pertanian adalah faktor internal petani yaitu untuk meningkatkan pendapatan sebesar 35%, komoditas lain lebih menjanjikan keuntungan sebesar 25%, pola tanam padi terlalu lama 15%, biaya pendidikan 15%, iklim dan cuaca kurang bersahabat 5%, dan memberangkatkan orang tua pergi haji 5%. Faktor eksternal petani adalah desakan pengembang perumahan sebesar 84%, stimulus para tetangga sebesar 16% dan lemahnya penegakan hukum mengenai pertanahan. Dampak yang dihasilkan dari konversi lahan pertanian adalah perubahan mata pencaharian petani pemilik lahan yaitu : tambak ikan, bengkel/ pabrik sepatu home industri, warung sayuran, Industri rumahan pengolahan tape, warung sembako, tanaman hias/ Hortikultura , peternakan ayam, budidaya jamur, kios makanan


(9)

dan Counter pulsa, budidaya jambu, tanaman musiman seperti pepaya, singkong, kangkung, kacang panjang dan jagung dan ojek motor. Perubahan pendapatan rumah tangga petani pemilik lahan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu pendapatan petani naik setelah konversi lahan dan pendapatan petani turun setelah konversi lahan. Perbandingan rata-rata pendapatan pada sektor pertanian adalah 17 % dan perbandingan pada sektor non pertanian adalah 83%.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ……….…. 1

1.2. Perumusan Masalah... ..…….. 4

1.3. Tujuan …………...………...……….….…. 5

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ………. 5

1.5. Manfaat Penelitian ………...……….... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Landasan Teori ... 7

2.1.1. Konversi Lahan Pertanian ... 7

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 13

2.1.3. Implikasi Sosial Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ... 19

2.1.4. Langkah-langkah Pencegahan Konversi Lahan Pertanian ... 25

2.1.5. Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 29

2.1.5.1. Pengeluaran dan Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 30

2.2. Kerangka Pemikiran... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...………...…… 35

3.2. Jenis dan Sumber Data ……….….. 36

3.3. Penentuan Sampel ... 36

3.4. Analisis Data ... 38

3.4.1. Analisis Kuantitatif ... 39

3.4.2. Analisis Kualitatif ... 40


(11)

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 41

4.1. Karakteristik Geografis Lokasi Penelitian ... 41

4.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian ... 42

4.3. Profil Lokasi Penelitian ... 44

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Yang Melakukan Konversi Lahan Pertanian di Kelurahan Mekarwangi Kota Bogor ... 47

5.1.1. Petani Yang Melakukan Konversi Lahan Pertanian ... 47

5.1.3. Bentuk Usaha Pasca Konversi ... 59

5.2. Faktor Yang Melatarbelakangi Konversi Lahan Pertanian.. 64

5.2.1. Faktor Internal ... 64

5.2.2. Faktor Eksternal ... 68

5.2.3. Kebijakan Pemerintah ... 71

5.3. Dampak Sosial Ekonomi Bagi Petani Yang Melakukan Konversi Lahan Pertanian ... 73

5.3.1. Perubahan Mata Pencaharian ... 74

5.3.2. Pendapatan Rumah Tangga Petani... 76

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

6.1. Kesimpulan ... 82

6.2. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

1. Skenario Pendorong Laju Konversi Lahan Pertanian ... 15

2. Peraturan-Peraturan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke non-Pertanian ... 18

3. Luas Pemukiman di Jawa Barat Tahun 1990-2006 ... 20

4. Luas areal sawah di provinsi Jawa Barat Tahun 1990-2006 ... 21

5. Karakteristik Petani Yang Melakukan Konversi Lahan di Kelurahan Mekarwangi Tahun2010 ... 48

6. Pemanfaatan Setelah konversi Lahan ……… 51

7. Motif Petani Mengonversi Lahan Pertanian (internal) ... 65

8. Motif Petani Mengonversi Lahan Pertanian (eksternal)... 68

9. Peningkatan Jumlah Penduduk ... 69

10. Perubahan Mata Pencaharian Petani yang Melakukan Konversi Lahan di Kelurahan Mekarwangi Tahun 2010... 74


(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Klasifikasi Manfaat Lahan Pertanian ... 9 2. Kerangka Pemikiran ... 34 3. Penentuan Sampel ... 37


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Pendapatan Responden ... 85

2. Peta Lokasi Penelitian ... 93

3. Kuisioner Penelitian ... 94

4. Statistik Kependudukan 2010 ... 100

5. Data Potensi Desa ... 101

6. Surat Penelitian ... 117

7. Bentuk Pemanfaatan Lahan Pasca Konversi Lahan Pertanian ... 118


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesulitan perekonomian yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia yang juga notabene menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian semakin memperihatinkan, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa fenomena sosial yang terjadi belakangan ini. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung bangsa Indonesia dengan penyumbang devisa negara terbesar, saat ini semakin tertinggal dari sektor lainnya. Kesejahteraan petani yang tidak semakin membaik semakin menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian, peningkatan taraf hidup menjadi alasan krusial yang tidak bisa ditolak ketika para petani atau pemilik lahan mengalihfungsikan lahan mereka menjadi lebih produktif.

Data Badan Pusat Statistik menyatakan pada tahun 2008, hanya di pulau Jawa saja terdapat 3,4 juta Ha lahan subur, namun lahan tersebut terus dialihfungsikan menjadi properti, pabrik, dan perkantoran. Pada dekade 1981-1998 saja di pulau Jawa telah terjadi pengkonversian lahan mencapai 1 juta Ha, jika hal tersebut terus menurus tidak diperhatikan bukan hal yang mustahil ketahanan pangan Indonesia bisa terancam. Kebijakan keras dari pemerintah yang melarang konversi lahan pertanian memang sudah dikeluarkan, namun yang sangat disayangkan dalam implementasinya sangat tidak seperti yang diharapkan. Pertama, peraturan pelarangan tersebut bersifat implisit, sehingga di lapangan banyak terdapat celah untuk mengakali peraturan tersebut. Kedua, peraturan yang satu dengan yang lain bersifat dualistik dan paradoks. Ketiga, peraturan tersebut terputus antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya dalam sektor yang


(16)

berbeda, sehingga tampak tidak koordinatif. Keempat, peraturan cenderung melarang konversi, tanpa memberikan alternatif pemecahan masalah.

Pembangunan infrastruktur yang berjalan timpang menjadi stimulus para masyarakat pedesaan sebagai komunitas yang marginal, program pengentasan kemiskinan di pedesaan melalui industri pedesaan ternyata hanya sekedar retorika dan tidak banyak merubah kondisi perekonomian masyarakat desa. Menjadi sebuah kewajaran jika petani atau masyarakat desa melakukan tindakan mengalihfungsikan lahan yang mereka miliki sebagai strategi adaptasi petani untuk bertahan hidup. Lahan non pertanian memang lebih menjanjikan keuntungan daripada lahan pertanian, jika dialokasikan menjadi perkantoran, industri, perumahan. Konversi lahan pertanian yang dilakukan secara indvidual dan dengan secara massive akan semakin sulit dihentikan.

Harga produk pertanian khususnya beras pada tingkat petani dihargai sangat rendah, sangat berbeda dengan petani di negara lain seperti Jepang, Korea, maupun negara serumpun Malaysia. Menstabilkan harga beras di ranah petani dengan harga pasar internasional akan menjadikan petani lebih sejahtera dan mempunyai insentif untuk berproduksi dan meningkatkan produktivitas. Setidaknya tidak lagi memikirkan untuk melakukan pengalihfungsian lahan karena kebutuhan primer mereka sudah tercukupi.

Industrialisasi digunakan Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang hasilnya adalah agar mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang ingin di realisasikan Pemerintah berakhir tidak seimbang, karena terlihat memihak masyarakat industri yang berada di perkotaan. Industrialisasi membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan pabrik dan kantor sehingga tidak menutup kemungkinan konversi lahan akan dilakukan. Konversi tersebut telah menjadikan para


(17)

petani kehilangan mata pencahariannya karena mereka banyak yang tidak bisa bekerja pada bidang non pertanian.

Sektor pertanian dan sektor industri harus berjalan beriringan sehingga terjadi keseimbangan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan masyarakat urban. Reformasi agraria yang menjadi trasnformasi pola pertanian yang dahulu bersifat terpisah dengan industri, saat ini menyatu dengan industri. Interpretasi yang harus dilakukan pemerintah dalam reformasi agraria adalah peguasaan sumberdaya agraria termasuk lahan di dalamnya dari proses konversi lahan pertanian, menjadi lahan industri.

Konversi lahan pertanian merupakan pengalihfungsian lahan pertanian dan segala pemanfaatannya menjadi non pertanian. Impilkasi pengkonversian lahan pertanian ini terhadap petani adalah berubahnya struktur agraria dalam komunitas petani tersebut. Implikasi tersebut dapat terlihat setelah konversi lahan pada kurun waktu yang cukup lama. Proses transfer pemilikan lahan tidak bisa terlepas dari fenomena konversi lahan, karena pemilik lahan akan terpengaruh utuk menjual lahan miliknya karena harga semakin melonjak khususnya pada kasus lahan yang berdekatan dengan pusat pengembangan masyarakat. Faktor lain yang menjadi stimulus para pemilik lahan menjual lahan miliknya tidak hanya karena harga jual yang tinggi, tetapi kebutuhan sehari-hari rumah tangga pemilik lahan yang mendesak menjadi faktor lain mengapa mereka menjual lahannya.

Skala yang lebih besar jika petani terus melakukan konversi lahan pertanian bukan saja berdampak pada diri petani individu yang menjual lahannya tetapi juga kepada tatanan masyarakat sekitar yang menggantungkan kehidupannya pada bidang pertanian akan berubah. Masyarakat yang pada awalnya berprofesi sebagai petani akan


(18)

berubah menjadi petani buruh, buruh pabrik, pedagang, dan profesi non pertanian lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah menambah beban ibukota dengan menyumbang urbanisasi, perpindahan masyarakat desa menuju kota karena merasa di desa sudah tidak ada jaminan pekerjaan. Kondisi ini semakin parah dengan media televisi yang seakan menghipnotis para masyarakat dengan kemudahan hidup di ibukota dan mudah mendapatkan pekerjaan. Konversi lahan pun berimplikasi pada kehidupan masyarakat, petani dan warga di sekitar lahan pertanian dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya. Lahan pertanian dengan skala kecil yang dikonversi oleh para petani dan pemilik lahan menjadi bentuk non pertanian dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarga mereka. Konversi lahan pertanian pada skala kecil seperti ini belum terlalu banyak diteliti, maka penelitian difokuskan pada fenomena tersebut dan penilitian ini diberi judul “Pendapatan Petani Setelah Konversi Lahan” (Studi kasus di Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor).

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti lebih dalam oleh peneliti tentang konversi lahan pertanian adalah :

1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi petani yang melakukan konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarwangi Kota Bogor?

2. Faktor apa saja yang menjadi latar belakang petani melakukan konversi lahan pertanian menjadi bentuk pemanfaatan lain?


(19)

3. Bagaimana dampak sosial ekonomi dari konversi lahan pertanian terhadap pendapatan pemilik lahan?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani yang melakukan konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarwangi Kota Bogor.

2. Mengetahui faktor apa saja yang menjadi latar belakang petani melakukan konversi lahan pertanian manjadi bentuk pemanfaatan lain.

3. Mengetahui dampak sosial ekonomi dari konversi lahan pertanian terhadap pendapatan pemilik lahan.

1.4. Manfaat penelitian

1. Bagi Akademisi, diharapkan bisa menjadi rujukan dan sumber data, informasi serta literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan dapat menambah pengetahuan tentang permasalahan konversi lahan pertanian serta implikasinya pada tatanan masyarakat.

2. Bagi Pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi untuk melakukan perbaikan dan koreksi terhadap kebijakan agraria secara substansial maupun pada tatanan implementasi.

3. Bagi Masyarakat, diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman saat akan melakukan konversi lahan pertanian yang mereka miliki menjadi bangunan atau bentuk usaha seperti perikanan, peternakan, dan wirausaha.


(20)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, karena penelitian ini merupakan studi kasus yang melihat banyak variabel yang harus diperhatikan dalam mengetahui karakteristik responden dari sudut pandang sosial ekonomi, yang melatarbelakangi konversi lahan dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Penelitian ini di khususkan kepada konversi lahan pertanian berupa sawah menjadi penggunaan non pertanian. Responden penelitan ini adalah semua petani yang melakukan konversi lahannya di Kelurahan Mekarwangi kota Bogor dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir. Responden penelitian ini adalah mantan petani pemilik lahan yang pertama kali melakukan konversi lahan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Konversi Lahan Pertanian

Lahan pertanian yang biasanya dikonversi oleh petani adalah lahan sawah yang subur tempat mereka menggantungkan hidupnya. Lahan sawah tersebut berfungsi sebagai produk pertanian khususnya bahan pangan. Ketika petani mengonversi lahan sawah miliknya maka mata pencaharian mereka akan berubah dan ketersediaan bahan pangan rumah tangga mereka pun akan terancam.

Sawah merupakan salah satu lahan pertanian yang manjadi objek konversi lahan. Di dalam konteks pembangunan pertanian nasional, sistem sawah merupakan tipologi penggunaan tanah yang sangat strategis, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut (Nasoetion dan Winoto ,1996 : 21) :

1. Sawah merupakan media utama tumbuhnya padi, makanan pokok sebagian besar warga negara Indonesiayang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politis. 2. Lahan yang sesuai untuk pembuatan sawah ditinjau dari sudut pandang fisik,

kimia, dan biologis terutama di luar pulau Jawa yang sangat terbatas. Hal ini mempunyai implikasi bahwa penggunaan lahan sawah di Jawa untuk penggunaan non padi akan meningkatkan opportunity cost.

3. Dilihat dari sudut pandang lingkungan dan sumberdaya alam, ekosistem sawah dianggap paling stabil dibanding ekosistem budidaya pertanian lain. Ciri yang dapat terlihat adalah tingkat erosi dan pencucian hara tanaman pada lahan sawah sangat kecil dan efisien, tingkat penggunaan air pada lahan sawah relatif tinggi.


(22)

4. Biaya investasi fisik untuk pencetakan dan pengembangan sistem pertanian sawah sangat besar, baik dalam kaitannya dalam pembangunan waduk, sistem irigasi, maupun pemantapan ekosistem sawah yang umumnya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.

5. Biaya investasi pengembangan struktur sosial terutama dalam bentuk pengembangan sistem kelembagaan pertanian, yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia, sangat besar.

6. Kepemilikan lahan mempunyai implikasi kultur politik yang luas. Tidak jarang struktur kepemilikan lahan sawah (terutama di pulau Jawa) menjadi pilar dari struktur distribusi kekuasaan masyarakat desa.

Enam faktor diatas menunjukan bahwa alih guna lahan pertanian ke non pertanian merupakan sauatu proses mahal yang akan dipikul oleh masyarakat, mengingat sampai saat ini belum lahir terobosan teknologi dan kelembagaan pertanian yang cukup baik sebagaimana pernah di alami Indonesia pada dekade 1960an.

Sumaryanto dan Sudaryanto (2005 : 45) menyatakan bahwa lahan pertanian mempunyai sejumlah manfaat yang dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan nilai penggunaannya (use value), antara lain :

1. Use Values (nilai penggunaan), dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian atau yang biasa disebut sebagai personal use values. Manfaat yang didapatkan adalah output yang dipasarkan dan manfaat lain yang tidak terukur secara empiris (unpriced benefit).


(23)

2. Non-Use Values/ instrinsic values (manfaat bawaan), tercipta dengan sendirinya meskipun bukan tujuan utama dari eksploitasi yang dilakukan oleh pengelola lahan. Manfaat bawaaan dari lahan pertanian seperti pencegah banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegah erosi, dan sebagai pengurang pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, serta sebagai pencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.

Klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :

Gambar 1. Klasifikasi manfaat lahan pertanian (sumber : Rahmanto, 2006:10)

Gambar 1 di atas menunjukan bahwa manfaat langsung lahan pertanian (sawah) antara lain :

Total Nilai Ekonomi

Manfaat Langsung

Unpreced Benefit

Use Values Intrinsic Values

Manfaat Tidak Langsung

 Fungsi konservasi tanah dan air

 Fungsi pengendalian pencemaran udara

 Fungsi pengendali water balance

 Fungsi daur ulang limbah  Fungsi mempertahan kan keragaman hayati  Fungsi pendidikan lingkungan Market Output

Fungsi rekreasi

Fungsi social budaya

Fungsi pengendalian urbanisasi

Fungsi kesehatan Pertanian :

Pangan Ternak / ikan Kayu

Fungsi pendapatan masyarakat/ negara


(24)

1. Penghasil bahan pangan

2. Penyedia kesempatan kerja pertanian

3. Sumber Pendaptan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan dan pajak lainnya

4. Mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan 5. Sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional

6. Sarana bagi tumbuhnya rasa kebersamaan/ gotong royong 7. Sumber pendapatan masyarakat

8. Sarana refreshing 9. Sarana pariwisata

Sedangkan manfaat tidak langsung dari lahan pertanian (sawah) antara lain : 1. Mengurangi peluang banjir, erosi, dan tanah longsor

2. Menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau

3. Mengurangi pencemaran lingkungan melalui penggunaan pupuk organik pada lahan sawah.

Sitorus (2005 : 16) memberikan pandangan lain mengenai konversi lahan pertanian, yaitu bahwa konversi lahan pertanian merupakan bagian dari krisis paradigma pertanahan yang terjadi di Indonesia. Proses konversi lahan pertanian itu, untuk sebagian sebenarnya diwarnai dengan sengketa pertanahan. Hal ini merupakan indikasi dari krisis paradigma pertanahan nasional sekarang ini. Selain itu, penegakan hukum yang tidak efektif pun merupakan indikator lain dari krisis paradigma pertanahan. Paradigma pertanahan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah paradigma tanah untuk negara dan swasta. Dengan paradigma tersebut,


(25)

maka akses rakyat dan petani penggarap menjadi sangat kecil terhadap tanah. Jalan keluar untuk krisis ini adalah dengan pemberlakuan paradigma tanah untuk rakyat.

Konversi lahan memiliki beragam pola (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005 : 34) antara lain :

A. Alih fungsi lahan secara langsung oleh pemilik, dampak konversi secara signifikan terlihat dalam waktu yang lama.

B. Alih fungsi yang diawali dengan penguasaan, dampak konversi terhadap eksistensi lahan sawah berlangsung cepat dan nyata.

Tajerin (2005:10), menyatakan bahwa ketersedian lahan secara total bersifat tetap di suatu wilayah, sedangkan permintaan lahan bertambah dengan cepat terutama di sekitar kawasan perkotaan. Desakan peningkatan akan lahan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong konversi lahan. Senada dengan hal ini, Irawan (2005:34) menambahkan bahwa konversi lahan sawah di pulau jawa didorong oleh kebutuhan lahan utuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut tertama disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana publik lainnya dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan.

Pada banyak kondisi, konversi lahan tidak berdiri sendiri tapi disertai dengan transfer/ pemindahan pemilikan lahan dari petani kepada pemilik yang baru. Transfer pemilikan lahan dilakukan dengan cara transaksi jual beli tanah, warisan, gadai, dan lain sebagainya. Konversi lahan yang dilakukan oleh petani sendiri tidak berpengaruh


(26)

secara signifikan karena mereka akan tetap mempertahankan bagian tanahnya untuk diusahakan di bidang pertanian.

Pemerintah tidak memiliki data yang akurat tentang luas lahan pertanian yang telah dikonversi. Kesulitan pengukuran khususnya terjadi pada alih fungsi yang dilakukan secara langsung oleh pemiliknya yang kadang tidak mendaftarkannya kepada pemerintah setempat. Kerancuan pengukuran laju konversi lahan sawah dapat terjadi akibat perbedaan konsep konversi bruto dan neto. Konversi bruto adalah menghitung total luas areal sawah yang mengalami alih fungsi ke penggunaan yang lain. Sedangkan konversi neto adalah luas total areal sawah yang beralih fungsi dikurangi dengan penambahan areal sawah akibat ada pencetakan sawah-sawah baru.

Rustiadi dan Wafda (1997:78) menyatakan bahwa pada prinsipnya mekanisme penyediaan lahan-lahan pertanian dan pengendalian lahan-lahan pertanian dapat dilakukan dengan mengedepankan dua prinsip utama, yaitu :

1. Penggunaan lahan terus diarahkan untuk mencapai Social Net Benefit yang optimal. Berdasarkan asas ini, nilai manfaat lahan-lahan pertanian yang memiliki total manfaat-manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang jauh lebih tinggi melebihi nilai pasarnya harus mendapat subsidi.

2. Adanya sifat irreversible di dalam proses konversi lahan, mengharuskan kebijakan perubahan-perubahan peruntukan lahan (tata guna lahan) selalu ditempatkan pada perspektif perencanaan jangka panjang dan tidak terjebak pada kebijakan-kebijakan jangka pendek.

Pihak yang berperan dalam proses konversi lahan selain pemilik lahan dan pengusaha adalah pemerintah, baik pemerintah kabupaten (kota), propinsi,


(27)

maupun pemerintah pusat. Pihak ini harus berperan positif dalam pengendalian konversi dengan membuat program-program bantuan bagi pemilik sawah yang tetap berproduksi tinggi di Jawa sebagai insentif. Jenis bantuan dapat bervariasi antar daerah, misalnya berupa kemudahan mendapat air irigasi, pemberian subsidi pupuk atau pengaturan harga dasar gabah. Persyaratan, insentif, dan peraturan (perundangan) berkaitan dengan dukungan data dan penerapan peraturan (perundangan) yang berlaku secara konsisten.

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Alih fungsi lahan ditentukan (Nasoetion dan Winoto, 1996 : 25) oleh :

A. Faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian : perubahan di dalam ”land tenure system” dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.

B. Faktor luar sistem pertanian : industrilisasi dan faktor perkotaan lainnya.

Faktor-faktor diatas dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu faktor eksternal rumah tangga petani, faktor internal rumah tangga petani, dan faktor kebijakan, ketiga faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Faktor Eksternal

Kustiwan (1997 : 10) dan Sumaryanto (1996 : 54) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal yang berpengaruh adalah dinamika pertumbuhan perkotaan, baik secara fisik atau spasial, demografis maupun ekonomi, yang mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Faktor eksternal ini implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografi (dari pedesaan ke perkotaan).


(28)

Faktor-faktor yang termasuk dinamika pertumbuhan perkotaan yaitu : A. Perkembangan kawasan terbangun ditandai dengann pembangunan kawasan

industri dan perumahan skala besar di daerah pinggiran kota untuk menyangga kehidupan kota.

B. Pertumbuhan penduduk perkotaan.

C. Pertumbuhan PDRB yang merupakan implikasi dari pertumbuhan dan pergeseran struktur ekonomi wilayah yang ditandai dengan proses industrialisasi yang berlangsung pesat dengan fokus pertumbuhan industri pengolahan.

Konversi lahan yang terjadi di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor kelembagaan yang belum mantap yang diwarnai oleh lemahnya sistem pengendalian penataan ruang. Rustiadi dan Wafda (2005 : 25) menyatakan bahwa fakto-faktor kelembagaan terdiri dari :

A. Belum dikembangkan instrumen pengendalian fiskal yang efektif dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem politik ekonomi yang kuat dan mendasar, terutama pajak pertanahan.

B. Sistem kelembagaan pengendali pemanfaatan ruang yang lemah.

C. Kualitas produk-produk perencanaan yang kurang memperhitungkan biaya implementasi da pengendalian secara rasional.

2. Faktor Internal

Kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. Kecendrungan konversi lahan pertanian di Jawa Barat terjadi pada konteks perubahan kondisi


(29)

sosial ekonomi rumah tangga pertanian yang menjadikan lahan pertanian sebagai tumpuan hidupnya (Kustiawan, 1997 : 39).

Sumaryanto (1996 : 44) menyatakan pendorong laju konversi lahan sawah dibagi dalam dua skenario yang dibedakan berdasarkan cakupan unit analisis, desa dan rumah tangga petani. Hal ini dinyatakan pada tabel berikut :

Tabel 1. Skenario pendorong laju konversi lahan pertanian. Skenario I

(unit analisis : desa)

Skenario II

(unit analisis : rumah tangga petani) Jarak lokasi desa ke pusat

pertumbuhan ekonomi

Harga jual lahan sawah yang tinggi

Kebijakan pemerintah Memenuhi kebutuhan sehari-hari Sumber : Sumaryanto (1996 : 44).

Petani akan mudah mengonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk pemanfataan lain ketika produktivitas lahannya semakin menurun dan modal yang kecil untuk membiayai proses produksi. Dalam hal ini pendapatan rumah tangga tidak mengalami peningkaan, tetapi malah semakin menurun. Seiring dengan berjalannya waktu, petani akan semakin mudah melepaskan lahan pertaniannya, khususnya ketika muncul berbagai permasalahan ekonomi untuk membayar hutang, membiayai kehidupan sehari-hari, pendidikan anak, pergi haji. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum pun memberikan tekanan kepada petani untuk melepaskan tanah pertanian miliknya.

Witjaksono, (1996:41) menambahakan bahwa perubahan perilaku termasuk faktor internal yang mempengaruhi laju konversi lahan pertanian.


(30)

Pengaruh media massa, khususnya televisi, membawa petani mengubah cara pandang terhadap dirinya sebagai petani. Persepsi penduduk, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi, meskipun mulia karena pahala dan jauh dari dosa. Jati diri mereka sebagai petani mulai goyah, yaitu yang semula bangga sebagai petani, karena memiliki profesi mulia, sekarang telah tergantikan dengan munculnya perasaan rendah diri sebagai petani.

3. Faktor Kebijakan

Faktor pemacu munculnya konversi lahan pertanian yang berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain (Kustiawan, 1997 : 42) :

A. Privatisasi pembangunan kawasan industri ; tertuang dalam Keputusan Presiden No. 53/1989 yang memberikan keleluasaan pada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembanggunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai mekanisme pasar.

B. Pembanguan pemukiman skala besar dan kota baru ; kecenderungan konversi lahan pertanian dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

C. Deregulasi investasi dan perizinan; kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri dan pembangunan pemukiman skala besar diperkuat dengan kebijakan deregulasi tertuang dalam Pakto-23/1993 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 2/1993 yang pada intinya mempermudah perizinan lokasi.


(31)

Masyarakat mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka akan mengonversi lahan pertanian miliknya atau tidak. Ada dua pola pengambilan keputusan yaitu keputusan otoritas dan keputusan oposional (individu). Pada keputusan otoritas, pengelola proyek dapat bekerjasama atau meminta bantuan kepada elite anggota sistem sosial yang menduduki posisi atasan guna menekan atau memaksa anggota sistem sosial lain dibawahnya yang merupakan kelompok mayoritas. Sedangkan keputusan opsional diambil oleh pemilik lahan untuk mengonversi lahan pertanian miliknya (Witjaksono, 1996:50).

Apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian. Pemerintah mempunyai peranan sebagai filter dalam proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Filter ini harus dapat mencegah proyek yang sifatnya hanya mengekstraksi potensi wilayah dan menimbulkan ketergantungan permanen dari masyarakat pedesaan kepada pihak luar. Filter ini hanya berfungsi efektif apabila pemerintah selalu memberikan apresiasi terhadap aspirasi dan isnpirasi masyarakat tentang rencana pemenuhan kebutuhan, pembangunan desa, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Witjaksono, 1996:52).

Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian tertuang dalam tabel 2.


(32)

Tabel 2. Peraturan-peraturan pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian.

No Peraturan Perihal

1. Peraturan Mendagri No. 5/1974 Ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk perusahaan

2. Surat Edaran Mendagri No. 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984

Penyedia tanah untuk kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke non-pertanian agar tidak menganggu usaha peningkatan produksi pangan. 3. Keppres No. 53/1989 Larangan penggunaan tanah sawah dan

tanah pertanian subur lainnya untuk kawasan industri.

4. Keppres No. 33/1990 Pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah untuk kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan sesuai dengan RTRW Pemda setempat. 5. Keppres No. 55/1995 Penyedian tanah untuk pembangunan bagi

kepentingan umum. 6. Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala BPN No. 2/1993

Tata cara memperoleh izin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal. Juklak izin lokasi berdasar keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22/1993.

9. Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 460-3346, tanggal 31 Oktober 1994;Surat Menteri

Negara Perencanaan

Pembanguanan Nasional/Ketua BAPPENASNo.5417/MK/10/1994, tanggal 4 Oktober 1994;Surat Menteri Dalam Negeri No. 474/4263/SJ, 27 Desember 1994

Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan perpengairan teknis walupun lokasi tersebut masuk dalam tata ruang wilayah yang telah ada.

Sumber : dari berbagai sumber

Persepsi dan nilai pasar terhadap lahan sawah yang cenderung under estimate, di mana nilai ekonomi lahan sawah hanya dilihat dari fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya peraturan-peraturan yang dibuat untuk pengendalian konversi lahan. Selain itu juga, RTRW (rencana tata ruang dan wilayah) yang ada


(33)

mengalokasikan sawah beririgasi teknis untuk pengunaan non pertanian, dan lemahnya koordinasi kebijakan serta adanya dualisme kepentingan yang saling bertolak belakang pun menjadi penyebab peraturan pengendalian konversi lahan tidak efektif.

Secara umum terdapat tiga kelemahan utama yang melekat pada peraturan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, yaitu :

A. Objek lahan yang dilindungi dari proses konversi ditentukan berdasarkan kondisi fisik lahan, misalnya lahan sawah irigasi teknis, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah dimodifikasi melalui rekayasa tertentu sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis pada akhirnya dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

B. Peraturan yang secara umum bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sanksi maupun pihak yang dikenakan sanksi.

C. Jika terjadi konversi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri siapakah pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut karena pemberian izin konversi lahan pada dasarnya merupakan suatu keputusan kolektif dari seluruh instansi/ dinas yang terkait dengan masalah lahan (Irawan, 2005 :65).

2.1.3. Implikasi Sosial Ekonomi Konversi Lahan Pertanian

Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk juga diiringi persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal itu mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Jika hal ini terus berlanjut dikhawatirkan para petani


(34)

yang bekerja di sektor pertanian akan kehilangan mata pencaharian dan menjadi masalah baru dalam pembangunan. Selain itu, pengurangan lahan pertanian juga memungkinkan penurunan jumlah hasil produksi pertanian itu sendiri yang berimpilkasi terhadap tingginya harga di pasar. Secara langsung maupun tidak langsung konversi lahan sawah mempunyai potensi ancaman yang nyata terhadap kapasitas nasional dalam mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan.

Berikut data luas areal sawah dan pemukiman di provinsi Jawa Barat tahun 1990-2006.

Tabel 3. Luas pemukiman di Jawa Barat tahun 1990-2006

No Tahun Luas

Pemukiman (ha)

No Tahun Luas

Pemukiman (ha)

1 1990 293.918 10 1999 300.371

2 1991 294.418 11 2000 301.224

3 1992 295.294 12 2001 301.924

4 1993 296.209 13 2002 302.839

5 1994 297.065 14 2003 303.755

6 1995 297.808 15 2004 304.670

7 1996 298.458 16 2005 305.586

8 1997 298.985 17 2006 306.502

9 1998 299.878


(35)

Tabel 4. Luas areal sawah di provinsi Jawa Barat tahun 1990-2006 No Periode Tahun Luas

Areal Sawah (ha) Total Pengurangan/ Periode (ha) Total Penambahan/ Periode (ha)

1 Repelita V

1990 1.969.214 6.724

1991 1.836.954 1992 1.998.426 1993 1.967.002 2 Repelita

VI

1994 1.814.794 64.670

1995 1.976.161 1996 1.957.743 1997 1.879.464

3 Reformasi 1998 1.840.615 37.391 1999 1.787.456

4 Kabinet Persatuan

Nasional

2000 1.810.615 81.670 2001 1.728.945

5 Kabinet Gotong Royong

2002 1.672.478 140.147 2003 1.532.331

6 Kabinet Indonesia

Bersatu

2004 930.347 6.915

2005 924.832 2006 923.432

Sumber : Data Sekunder BPS 1990-2006 (diolah)

Dari data diatas dapat dilihat perkembangan pemukiman khususnya di Jawa Barat semakin bertambah setiap tahunnya semantara luas areal pesawahan semakin berkurang setiap tahunnya.

Konversi lahan pertanian semakin marak dilakukan di negara berkembang untuk mendukung industrialisasi, khususnya Indonesia menimbulkan dampak yang sinifikan terhadap kehidupan petani. Dampak positif yang didapatkan petani dengan melakukan


(36)

konversi lahan adalah meningkatnya pendapatan petani. Dampak negatif dari konversi lahan pertanian menurut Sumaryanto dan Sudaryanto, (2005 : 33) antara lain :

1. Degradasi Daya Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Produksi padi akibat konversi lahan bersifat permanen. Semakin tinggi konversi lahan sawah semakin tinggi pula hilangnya kesempatan kapasitas memproduksi padi, hilangnya kapasitas produksi padi maka turunnya produktivitas lahan sawah. 2. Pendapatan Pertanian Menurun dan Meningkatnya Kemiskinan

Konversi lahan pertanian menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani.

3. Pemubaziran Investasi

Asusmsi pembangunan irigasi. Biaya investasi pembangunan tidak sebanding dengan biaya unuk pemeliharaan sistem irigasi, pengembangan kelembagaan pendukung. Pemubaziran investasi ini akan berdampak nyata dalam rentang waktu yang lama setelah irigasi tersebut beroperasi.

4. Dampak Negatif Lainnya

Dampak negatif lainnya dari konversi lahan pertanian adalah berubahnya struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat, berubahnya usaha buruh tani ke sektor non pertanian, berubahnya budaya masyarakat dari masyarakat agraris ke budaya urban, meningkatnya kriminalitas, dan net social benefit turun.

Irawan (2005 : 15) menyatakan terdapat empat faktor yang menyebabkan implikasi konversi lahan sawah terhadap masalah pangan tidak dapat segara dipulihkan yaitu : Pertama, lahan sawah yang dikonversi menjadi non pertanian bersifat permanen. Kedua, upaya pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan


(37)

produksi pangan membutuhkan jangka waktu cukup panjang. Ketiga, sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas terutama di pulau Jawa dan anggaran pemerintah semakin sulit. Keempat, stagnasi inovasi teknologi pertanian.

Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas dari pada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion dan Winoto, 1996:120).

Beralihnya fungsi lahan menjadi “bangunan baru” akan dapat menimbulkan multiplier effect, dan salah satu diantaranya adalah harga tanah di sekitar “bangunan baru” tersebut menjadi tinggi. Penduduk setempat yang sudah tidak memiliki sisa tanah akan tergusur ke daerah lain melalui urbanisasi atau menjadi kelompok marjinal dalam masyarakat. Sementara itu, penduduk yang masih memiliki sisa lahan akan mendapatkan berkah menikmati mahalnya harga tanah. Penduduk pendatang baru yang berduit dan berasal dari perkotaan juga akan membaur dengan mereka dan menggeser kelompok penduduk marjinal ke posisi yang semakin rendah dan terjepit, sehingga terciptanya kesenjangan sosial yang semakin melebar (Witjaksono, 1996:92).

Nasib petani yang sebagian besar atau seluruh lahan sawah miliknya terkonversi sangat bervariasi. Petani berlahan luas, kompensasi (hasil penjualan)


(38)

dari lahan sawah yang terkonversi digunakan untuk modal usaha dagang dan atau membeli lahan baru di tempat lain. Bagi petani kecil, konversi lahan sawah pada umunya menyebabkan status mereka menjadi buruh tani dan sebagian kecil diantaranya bermigrasi.

Implikasi lain dari pengendalian konversi lahan pertanian (sawah berigasi teknis) terkait dengan kebijaksanaan penataan ruang, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai mana diatur dalam UU No.24 Tahun 1992 tentang penataan ruang. Hal ini berimplikasi perlunya melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang belum mengakomodir kepentingan tersebut serta merevisinya dengan melakukan penyesuaian kembali terhadap rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan budidaya sehingga keberadaan lahan sawah berigasi teknis dapat dipertahankan pengembangannya pada masa akan datang sesuai dengan kurun waktu rencana. Penertiban diperlukan sebagai upaya mengambil tindakan agar rencana pemanfaatan ruang dapat terwujud, yang dilakukan melalui pengenaan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.

Dalam konteks mikro implikasi kebijakan pengendalian konversi lahan sawah adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Terjadinya konversi pada dasarnya terkait dengan perubahan dalam penguasaan pemilik lahan. Penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas lahan harus menjamin kelangsungan usaha pertanian. Pemilik lahan pertanian oleh perseorangan secara berlebihan, pemilikan yang terlalu sempit, dan pemilikan lahan secara perorangan perlu dicegah agar fungsi lahan sebagai faktor produksi


(39)

dan sumber kehidupan yang layak bagi rumah tangga pertanian dapat tetap terjaga.

Sebagai akibat adanya konversi penggunaan lahan tersebut akan ada pengaruh terhadap beberapa faktor yang menentukan kualitas hidup yaitu tingkat ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, kualitas perumahan, tingkat kesehatan dan tingkat kesempatan kerja mantan petani pemilik tanah sawah relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan petani pemilik sawah.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan sebagaimana tersebut di atas sebagai berikut :

1. terjadi peningkatan kualitas hidup petani yang mengonversi lahan pertaniannya ke kawasan industri.

2. faktor luas sawah yang dikonversikan berpebgaruh nyata bagi kulaitas hidup terutama bagi bekas pemilik lahan yang mempunyai lahan luas

(Dharma, 1996:129).

2.1.4. Langkah-langkah Pencegahan Konversi Lahan Pertanian

Sumaryanto dan Sudaryanto (2005 : 35) menyatakan bahwa strategi pengendalian konversi lahan sawah harus bertumpu pada pemahaman komprehensif tentang fungsi dan manfaat lahan sawah dalam arti luas. Laju konversi lahan sawah dapat dikurangi melalui :

1. Kebijakan dan implementasi pelaksanaan tata ruang. 2. Pembangunan kelembagaan.


(40)

Suwarno (1996 : 27) menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pertanahan untuk pengendalian alih fungsi tanah diperlukan pemikiran dari aspek teknis ekonomi, sosial budaya dan hukum, hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Dari aspek teknis ekonomi diperlukan pengaturan yang dapat melindungi kawasan potensial untuk pengembangan pertanian dalam satuan agribisnis, yang dikaitkan dengan rencana tata ruang dan tata guna tanah daerah setempat, serta disukung dengan prasarana dan sarana ekonomi agar wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif.

2. Dari aspek sosial budaya diperlukan pengaturan pertanahan yang dapat melindungi skala usahatani yang sesuai kondisi luas penguasaan pemilikan tanah masyarakat sesuai lingkungan pertanian setempat.

3. Dari aspek hukum diperlukan pengaturan pertanahan yang dapat melindungi wilayah produksi pertanian dari gejala alih fungsi tanah melalui pola kemitraan yang dapat menjamin hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hubungan kemitraan tersebut serta akibat hukum apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi.

Rustiadi dan Wafda, (2005:75) menyatakan bahwa ada tiga alasana utama perlunya pencegahan dan pengendalian terhadap kecendrungan alih fungsi lahan sawah, antara lain :

1. Konversi lahan sawah berigiasi teknis adalah merupakan ancaman terhadap upaya mempertahankan swasembada pangan nasional. Besarnya biaya investasi untuk pembagunan prasarana irigasi akan hilang begitu saja.


(41)

Pencetakan sawah baru di pulau Jawa membutuhkan biaya yang lebih besar mengimbangi penyusutannya di samping membutuhkan waktu yang lama. 2. Dari sudut pandang lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam

(environmental rent), ekosistem sawah ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi dan pencucuan hara yang kecil, serta tingkat efisiensi penggunaan air lahan sawah yang relatif tinggi karena berkembangnya lapisan kedap air di bawah lapisan top soil. Dengan demikian lahan sawah merupakan sistem peranian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).

3. Dari sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat, maka menurut Rambo dalam Rustiadi dan Wafda alih fungsi lahan sawah akan mengganggu ketidakseimbangan hubungan sistemik antara petani dengan lahannya. Sawah merupakan salah satu pengikat kelembagaan pedesaan sekaligus menjadi public good yang mendorong masyarakat pedesaan bekerja sama lebih produktif dalam sistem gotong royong yang memberikan manfaat pada anggotanya, melalui kegiatan seperti upacara tebat (menanam bibit), penjagaan saluran air (irigasi), upacara panen, menumbuk padi dan lainnya.

Untuk membendung dan mengantisipasi munculnya masalah pertanahan, terutama dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian (Witjaksono, 1996:59), maka dapat ditempuh dengan hal-hal berikut :

1. Menyusun konsep tata ruang kawasan pedesaan sebagai dasar dalam pemanfaatan dan pengembangan potensi desa secara optimal, utamanya potensi lahan pertanian produktif dalam mendukung keberlangsungan swasembada pangan. Selanjutnya, rencana tata ruang


(42)

tersebut segera disosialisasikan kepada berbagai perancang dan pelaku program pembangunan serta masyarakat melalui sistem kelembagaan yang ada dan fungsional. Selain itu, penggunaan mekanisme izin lokasi yang tidak mengurangi areal tanah pertanian, penting untuk dilakukan.

2. Menegakkan perangkat hukum pertanahan yang sudah ada guna memagari pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak sesuai dengan konsep tata ruang kawasan pedesaan, seperti Keppres no. 53/1989 tentang kawasan industri dan Keppres No. 33/1990 tentang penggunaan tanah bagi kawasan industri.

3. Untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan baik secara preventif maupun represif, pemerintah selayaknya memfungsikan lembaga-lembaga legitimator tradisional, seperti rembug desa sebagai salah satu pihak yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang ketentuan alih fungsi lahan. Sedangkan pemerintah berperan sebagai pihak ”ketiga” yang dapat memberi pertimbangan dan apabila perlu juga ikut memutuskan (arbitration) dan tidak hanya sekedar netral (mediation). 4. Pemerintah beserta aparat keamanan seyogyanya tidak segera apriori

atau bahkan memvonis bahwa pemilik tanah termasuk dalam kelompok penghambat pembangunan.

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pencegahan dan pengendalian atas konversi lahan pertanian, salah satu langkah yang diambil adalah penerbitan kebijaksanaan yang mencegah konversi lahan pertanian yang subur


(43)

menjadi non pertanian yang tertuang dalam Keppres No.53/1989 tentang kawasan industri dan Keppres No. 33/1990 tentang penggunaan tanah bagi kawasan industri. Pencegahan dan atau pengendalian konversi lahan pertanian ke penggunan non pertanian sesungguhnya dapat dilakukan dengan mekanisme izin lokasi yang diterapkan dengan benar (Kustiawan, 1997:82).

2.1.5. Pendapatan Rumah Tangga Petani

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang ; dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro dan Smith dalam Whenlis, 2008:29).

Pada dasarnya kedua pendekatan inilah yang digunakan untuk menganalisis dan menilai distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan fungsional berasal dari teori produktivitas marginal, atau yang dikenal sebagai distribusi balas jasa input dalam teori ekonomi mikro. Perangkat analisis dari distribusi fungsional adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan dalam fungsi produksi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori yang mendasarinya menilai hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang dihasilkan di dalam suatu proses produksi spesifik.

Pendekatan yang lazim dipergunakan adalah pendekatan distribusi personal atau rumahtangga. Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan perorangan atau individu-individu berdasarkan pendapatan perorangan kedalam kelompok (deciles atau


(44)

quintiles) yang akan menggambarkan pola pembagian pendapatan didalam suatu kelompok masyarakat, kemudian menetapkan proporsi yang diterimanya oleh masing-masing kelompok dari pendapatan total (Nasional maupun Daerah).

Sumber pendapatan rumahtangga petani berasal dari usahatani padi dan non usahatani. Pendapatan rumahtangga petani adalah penjumlahan pendapatan dari usahatani padi dan pendapatan non usahatani. Pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi adalah pendapatan suami dan isteri. Pendapatan rumahtangga petani dari non usahatani adalah penjumlahan pendapatan suami, isteri dan anak. Untuk menambah total pendapatan rumahtangga petani, maka anggota rumahtangga akan mengalokasikan waktu kerja untuk mendapatkan penghasilan. Kegiatan tersebut terutama ditujukan pada kegiatan usahatani padi dan non usahatani (Rochaeni, 2010:19). Pendapatan yang berasal dari luar sektor pertanian tampak memberikan kontribusi yang lebih besar terutama di daerah-daerah yang kurang subur, dalam arti ketergantungan pendapatan rumahtangga terhadap sektor ini lebih besar (Nurmanaf dan Nasution, 1986). Jenis kegiatan di luar sektor pertanian yang mampu memberikan pendapatan yang tinggi menuntut penguasaan modal dan atau ketrampilan (Soentoro, 1983:65).

Tingkat pendapatan rumahtangga bergantung pada jenis-jenis kegiatan yang dilakukan. Jenis kegiatan yang mengikutsertakan modal dan atau ketrampilan mempunyai produktivitas tenaga kerja lebih tinggi, yang pada akhirnya mampu memberikan pendapatan yang lebih besar (Nurmanaf 1985:59 dan Kasryono, 2000:45).


(45)

2.1.5.1. Pengeluaran dan Pendapatan Rumah Tangga Petani

Menurut Engel (Sumardi, Mulyanto & Dieter Evers dalam Whenlis, 2008:29). ada suatu hubungan antara konsumsi rumah tangga petani untuk suatu barang atau golongan barang dengan penghasilan rumahtangga petani. Dia menemukan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan naiknya penghasilan Tingkat pendapatan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi konsumsi, tetapi juga antara lain dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga, komposisi umur, jenis kelamin, letak geografis, dan pendidikan. Dalam analisis tidak mungkin memperhitungkan semua faktor ini. Biasanya di batasi pada faktor-faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh penting, misalnya jumlah tanggungan, umur dan pendidikan. Untuk mengetahui besarnya pendapatan rata-rata rumah tangga dapat di ukur melalui pengeluaran dan penerimaan. Pada umumnya di Indonesia untuk mengukur Koefisien Gini biasanya digunakan data pendapatan masyarakat berdasarkan belanja atau pengeluaran.

Terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga (secara seunit kecil atau dalam keseluruhan ekonomi) dinyatakan (Sukirno dalam Whenlis, 2008:32), yang terpenting adalah pendapatan rumah tangga. Ciri-ciri dari hubungan di antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan disposiebel adalah sebagai berikut :

1. Pada pendapatan yang rendah, rumah tangga harus menggunakan harta atau tabungan masa lalu untuk membiayai pengeluaran konsumsinya.


(46)

2. Kenaikan pendapatan menaikkan pengeluaran konsumsi, biasanya pertambahan pendapatan adalah lebih tinggi daripada pertambahan konsumsi. Sisa pertambahan pendapatan itu akan ditabung.

3. Pada pendapatan yang tinggi rumah tangga menabung. Disebabkan pertambahan pendapatan selalu lebih besar dari pertambahan konsumsi maka pada akhirnya rumah tangga tidak mengorek tabungan lagi.

Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan, dinyatakan (Supriana dalam Whenlis, 2008:33), ada beberapa hipotesis tentang perilaku konsumsi yang dikemukakan, diantaranya hipotesis pendapatan absolut (absolute income hypothesis) yang dikemukakan oleh Keyness. Keyness menduga bahwa fungsi konsumsi memiliki karakteristik :

1. Kecenderungan mengkonsumsi merupakan fungsi yang stabil dan besarnya konsumsi agregat ditentukan oleh besarnya pendapatan agregat.

2. Konsumsi akan meningkat jika pendapatan meningkat, tetapi peningkatan konsumsi yang terjadi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan.

3. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar jarak (gap) antara pendapatan dan konsumsi. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin besar proporsi dari pendapatan yang ditabung.

4. Peningkatan pendapatan akan diikuti dengan peningkatan tabungan, dan turunnya pendapatan akan diikuti dengan penurunan tabungan dalam jumlah yang lebih besar.


(47)

2.2. Kerangka Pemikiran

Pengertian konversi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut trasformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke pengunaan lainnya. Faktor-faktor pemicu konversi lahan pertanianan terdiri dari faktor eksternal rumah tangga petani, faktor internal rumah angga petani, dan faktor kebijakan pemerintah. Konversi lahan pertanian pun dilakukan dalam skala kecil di desa oleh para pemilik lahan yang terdiri dari petani dan pendatang. Mereka mengonversi lahan pertaniannya menjadi bentuk non pertanian. Tujuan dari konversi lahan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian sehingga bisa meningkatkan taraf hidup keluarga. Hal ini akan mempengaruhi terjadinya dinamika perekonomian desa yang semula bertumpu pada pertanian sawah lambat laun bergeser pada non sawah dan bahkan non pertanian.

Faktor eksternal rumah tangga petani dalam konversi lahan pertanian adalah perubahan perilaku petani yang disebabkan oleh media komunikasi (televisi dan koran) yang berimplikasi pada berkurangnya minat petani untuk memanfaatkan lahannya pada sektor pertanian. Faktor internal terdiri dari kondisi sosial ekonomi rumah petani pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. Faktor kebijakan berpengaruh besar terhadap konversi lahan pertanian. Faktor kebijakan ini terdiri dari kebijakan Pemerintah, pengambilan keputusan oleh masyarakat, dan apersiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Kebijakan pemerintah yang disusun dan dikeluarkan untuk mencegah laju konversi lahan pertanian walupun sampai saat ini belum optimal.


(48)

Faktor-faktor tersebut akan menjadi stimulus laju konversi lahan pertanian baik ketika dimanfaatkan untuk pertanian maupun non pertanian. Pertanian di sini adalah pertanian non sawah seperti, peternakan, perikanan, budidaya tanaman hias. Pemanfaatan non pertanian meliputi rumah, villa, pabrik, perniagaan non pertanian. Implikasi yang terjadi dari konversi lahan ini adalah berubahnya pendapatan sebagai akibat dari pergeseran mata pencaharian.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Konversi

Lahan

Internal Rumah Tangga

Kebijakan Pemerintah Eksternal Rumah

Tangga

Pertanian Non Pertanian

Pendapatan Rumah Tangga


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menganalisis fakta-fakta yang di dapatkan di lapangan mengenai suatu kasus dengan menggunakan teori-teori yang ada, dapat dikategorikan dalam kualitatif deskriptif. Alasan peneliti menggunakan metode ini adalah untuk memahami dan menjelaskan konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani menurut pemahaman dan latar belakang mereka melakukan konversi lahan. Sitorus, (1998 : 28) menyatakan untuk lebih memahami dan mendalami kajian penelitian, peneliti menggunakan strategi studi kasus yang merupakan strategi penelitian multi metode yang memadukan pengamatan, wawanara, dan analisis dokumen. Studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intristik karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus dengan segala keunikan dan kebersahajaannya yang sangat menarik. Menentukan Populasi dan sampel menggunakan metode Snow ball (bola salju).

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan pemilihan lokasi penelitian di Kelurahan Mekarwangi karena dahulu terdapat lahan pertanian yang saat ini tergerus industri perumahan. Fenomena yang terjadi adalah para petani menjual tanah yang mereka miliki kepada para pendatang dan pengembang perumahan. Petani yang tidak lagi memiliki lahan pertanian berubah profesi


(50)

menjadi buruh tani, tukang ojeg, pedagang, dan buruh bangunan. Penelitian akan dilakukan pada bulan November hingga Desember 2010.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sumber data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung, wawancara dan studi dokumen. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh melalui Internet (website) yang mendukung dan berhubungan dengan materi penenlitian.

3.3. Penentuan Sampel

Sampel penelitian adalah mantan petani pemilik lahan pertanian yang telah melakukan konversi lahan pertanian miliknya. Terdapat 17 orang responden penelitian yang peneliti dapatkan menggunakan metode purposive (sengaja), 17 orang responden penelitian berasal dari lima rukun warga di Kelurahan Mekarwangi. Informasi mengenai responden penelirian didapatkan dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan pihak aparat Kelurahan Mekarwangi dan masyarakat sekitar. Proses penentuan sampel dapat dilihat pada gambar 3.


(51)

Metode Penentuan Sampel

Gambar 3. Metode penentuan sampel

Patton dalam Sitorus (2004 : 53) menyatakan bahwa di lapangan pada prakteknya seorang peneliti kualitatif melakukan pengamatan, pembicaraan dengan orang-orang, dan penelusuran dokumen sekaligus. Informasi harus dikumpulkan dari berbagai sumber, karena tidak ada satupun sumber informasi yang tunggal yang dapat memberikan perspektif menyeluruh atas suatu permasalahan. Dengan memadukan pengamatan, wawancara, dan penelusuran dokumen, peneliti kualitatif memungkinkan memanfaatkan beragam sumber data untuk keperluan validasi dan cek silang temuan. Metode dalam pengumpulan data adalah :

Kelurahan Mekarwangi

Narasumber

 Aparat Kelurahan

Purposive

 Aksesbilitas  Terdapat lahan

pertanian yang dikonversi 13 Rukun Warga

Purposive  Telah

Terkonversi  Terdapat Petani

yang melakukan konversi lahan pertanian 5 Rukun Warga

Narasumber

 Aparat Kelurahan  Masyarakat

Terdapat 17 Responden


(52)

1. Pengamatan berperanserta

Menunjuk pada proses penelitian yang mempersyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti dalam lingkungan sosial yang diteliti itu sendiri, guna keperluan pengumpulan data dengan cara yang sistematis dan bersahaja (unobtrisive). Metode ini dilakukan untuk mendapatkan penjelasan tentang topik penelitian langsung dari lapangan dan agar sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Wawancara mendalam

Temu muka berulang antara peneliti dengan yang diteliti dalam rangka memahami pandangan yang diteliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasa sendiri (Taylor dan Bogdan dalam Sitorus, 2004 : 56). Wawancara mendalam untuk menjawab permasalahan tentang faktor yang mendasari konversi lahan.

3. Studi Dokumen

Penelusuran dokumen dilakukan sebagai pengguatan terhadap data-data yang tidak bisa dilengkapi dari pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam.

Data-data yang digali dari masyarakat adalah gambaran fisik daerah, keragaman sosial ekonomi masyarakat, kondisi dan potensi sumber-sumber agraria, struktur agraria yang berlaku, transfer pemilikan lahan pertanian dan konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani, pendapatan petani sebelum dan setelah konversi lahan dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.


(53)

3.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data dilakukan pada seluruh data penelitian yang terkumpul dan secara spesifik akan merujuk kepada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada permasalahan penelitian dan secara detail bersandar kepada pertanyaan yang ada pada instrumen penelitian yang dijadikan rujukan dalam pengumpulan data di lapangan. Kredibilitas data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu (Sugiono, 2008 : 83). Triangulasi adalah cara untuk validasi silang penemuan studi kualitatif. Cara ini mengevaluasi kecukupan data yang dimiliki, melihat konvergensi dari berbagai teknik dan berbagai nara sumber yang dipilih dalam studi. Triangulasi terdiri dari tiga macam yaitu : triangulasi sumber/ responden, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu dilakukan pengambilan data (Amalia E. Maulana, 2009 : 104).

3.4.1. Analisis Kuantitatif

Analisis data kuantiatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani pemilik lahan pasca konversi lahan pertanian : Menggunakan rumus Future Value menghitung pendapatan konstan dan menentukan perubahan pendapatan petani pemilik lahan pasca konversi lahan pertanian (Arthur J. Keown, 2004 : 148).


(54)

Fvn = Nilai masa depan di akhir tahun n Pv = Nilai sekarang

i = tingkat bunga 8 % (2010)

n = periode tahun 1998 – 2010 (12 tahun)

3.4.2. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan serta menginterpretasikan data yang ada untuk mengidentifikasi dampak konversi lahan pertanian terhadap pendapatan petani

3.5. Definisi Operasional

1. Konversi lahan pertanian adalah transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari pemanfaatan untuk sawah menjadi pemanfaatan non sawah. 2. Pendapatan adalah total pendapatan per bulan yang diperoleh pemilik lahan

baik dari pertanian maupun non pertanian. Fvn = Pv (1 + i ) n


(55)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

Kelurahan Mekarwangi merupakan salah satu kelurahan dalam wilayah Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat yang berada pada ketinggian 190-330m di atas permukaan laut dengan curah hujan 3500-4000 mm/tahun terbesar pada bulan Desember hingga Januari. Suhu rata-rata tiap bulan 26’ C dengan suhu terendah 21,8’ C dengan suhu tertinggi 30,4’ C. Kelembaban udara 70 %. Kelurahan Mekarwangi dapat diakses melalui jalan utama yang menghubungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Bogor yaitu jalan raya Parung, terletak berdampingan dan berbatasan langsung dengan kelurahan Kayu manis, kota Bogor dan kelurahan Cimanggis Kabuaten Bogor.

Luas wilayah kelurahan Mekarwangi sekitar 235 Ha. Terbagi dalam 13 Rukun Warga dan 59 Rukun Tetangga dengan jumlah penduduk 9.684 jiwa. Kelurahan Mekarwangi terletak pada perbatasan antara Kota Bogor dengan Kabupaten Bogor. Sebelah utara Kelurahan Mekarwangi berbatasan dengan desa Cimanggis, Kabupaten Bogor, di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Sukadamai Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kencana, Kota Bogor, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kayu Manis, Kota Bogor.

Kelurahan Mekarwangi dapat diakses melalui jalan darat dengan prasarana yang sudah tersedia yaitu jalan aspal sepanjang 10 km. Jalan yang diperkeras sepanjang 6 km, jalan tanah 4 km dan jalan konblok 2 km. Sarana angkutan umum yang dapat digunakan menuju Kelurahan Mekarwangi adalah angkot yang beroperasi dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00, dan trasportasi ojek motor yang beroprasi 24 jam penuh.


(56)

4.2. Karakteristik Sosial Ekonomi

Kelurahan Mekarwangi memiliki luas pemukiman sebesar 178 Ha, yang berupa perumahan kompleks dan perumahan biasa (pribumi), terdapat pula luas kuburan secara keseluruhan sebesar 5 Ha. Luas lahan pertanian yang semakin tergerus industri perumahan dan industri jasa semakin mengecil yaitu hanya sebesar 30 Ha. Adapun luas lahan yang digunakan sebagai Lahan Terbuka Hijau (RTH) sebesar 5 Ha, dan luas sarana lainnya sebesar 15 Ha.

Sumber daya air yang terdapat pada Kelurahan Mekarwangi didominasi penggunaan sumur pompa dengan data yang menyebutkan bahwa terdapat 1250 sumur pompa yang digunakan oleh 1364 kepala keluarga. Pilihan masyarakat Mekarwangi selain menggunakan sumur pompa adalah menggunakan jasa Perusahaan Air Minum (PAM) dengan data yang menyebutkan terdapat 436 unit yang digunakan angka yang sama untuk jumlah kepala keluarga yang mengunakan. Sarana sumberdaya air lain tidak terlalu dominan antara lain adalah mata air dan sumur galian.

Jumlah penduduk Kelurahan Mekarwangi menurut data Kelurahan dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dapat dipertanggung jawabkan kurang lebih 9.684 jiwa sampai akhir tahun 2007. Adapun data terakhir setelah sensus 2010 namun pihak kelurahan belum menyatakan data tersebut sah karena berbagai pertimbangan jumlah penduduk Kelurahan Mekarwangi bertambah menjadi 18.425 jiwa, dengan prosentase 9.388 laki-laki dan 9.037 perempuan terbagi dalam 4.933 kepala keluarga. Agama yang dianut sebagaian besar masyarakat Mekarwangi adalah Islam dengan jumlah penganut sebesar 8.683 orang, adapun agama lain yang dianut adalah Kristen sebesar 600 orang, Kristen


(57)

Khatolik 381 orang, Budha 15 orang dan Hindu 5 orang. Terdapat pula 9 masjid dan 23 mushola pada kelurahan Mekarwangi.

Mata pencaharian masyarakat Mekarwangi sangat bervariasi, terdiri dari mata pencaharian modern hingga konvensional. Buruh dan pegawai swasta menjadi mata pencaharian yang paling dominan, hal tersebut dibuktikan dengan 1.985 orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Berikutnya adalah pegawai negeri menjadi mata pencaharian terbesar kedua dengan jumlah 342 orang. Mata pencaharian sebagai petani sudah sangat sedikit sekali dan bertani saat ini menjadi pekerjaan sampingan untuk masyarakat Mekarwangi, karena lahan yang mereka miliki sudah berubah fungsi menjadi non pertanian hingga industri perumahan. Namun konversi lahan pertanian selain membuat sektor pertanian menjadi sedikit peminatnya di kelurahan Mekarwangi, pada sisi lain muncul mata pencaharian baru seiring dengan maraknya perumahan dan bertambahnya jumlah penduduk, seperti pengrajin sepatu, pedagang, penjahit, tukang kayu, peternak, montir, dokter, sopir, dan pengusaha. Tampak jelas kelurahan Mekarwangi semakin berkembang dengan semakin berjamurnya sektor perdagangan.

Tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarwangi sebagian besar hanya tamatan sekolah dasar yaitu 4850 orang, kemudian disusul dengan penduduk yang pernah sekolah dasar namun tidak tamat 1127 orang. Penduduk yang menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ sederajat 983 orang dan taman Sekolah Menengah Atas (SMA)/ sederajat 630 orang. Penduduk yang melanjutkan ke akademi dan perguruan tinggi 263 orang lulus akademi dan 70 orang lulus sarjana strata satu (S1). Terdapat pula penduduk yang melanjutkan program magister dan doktor adalah, 27 orang bergelar


(58)

Magister dan 14 orang bergelar Doktor. Perkembangan pendidikan pada Kelurahan Mekarwangi sudah masuk dalam kategori Kelurahan berkembang cepat menurut data Pemerintah Kota Bogor, hal tersebut dapat dilihat dengan indikator maraknya sekolah dasar, menengah, hingga atas yang terdapat pada Kelurahan Mekarwangi. Terdapat 5 taman kanak-kanak dengan 30 orang guru pada kelurahan Mekarwangi, 6 sekolah dasar/ sederajat dengan jumlah guru 42 orang. Sekolah menengah pertama/ sederajat yang berada pada kelurahan mekarwangi terdapat 4 sekolah dengan kapasitas 30 orang guru. Namun hanya terdapat 1 sekolah menengah atas dengan 10 orang guru.

Kesehatan masyarakat Mekarwangi dapat dikategorikan sudah cukup baik dengan indikatornya terdapat puskesmas, puskesmas pembantu, rumah bersalin, apotik, posyandu, toko obat, dan praktek dokter. Dalam mencegah penyakit-penyakit endemik dan dalam merespon seruan Pemerintah Kelurahan Mekarwangi sangat siaga dibuktikan dengan terdapatnya 18 posyandu dan 2 puskesmas, selain dapat membantu masyarakat dalam mengatasi penyakit, dua lembaga tersebut sangat berperan penting sebagai mediator seruan Pemerintah mengenai isu-isu yang berkembang dan cara penanggulangannya dalam masalah kesehatan. Kelurahan Mekarwangi juga memiliki 19 sarana olahraga dalam rangka menjaga stabilitas tubuh, dengan komposisi 3 lapangan sepak bola, 10 lapangan bulu tangkis, 5 lapangan voli, dan satu buah lapangan basket.

4.3. Lokasi Penelitian

Jumlah RW pada Kelurahan Mekarwangi adalah 13 RW, terdapat lima Rukun Warga (RW) pada Kelurahan Mekarwangi yang dahulu memiliki lahan yang digunakan untuk pertanian sawah (padi), namun saat ini telah dikonversi menjadi pemanfataan non


(59)

sawah. Hasil observasi awal peneliti mendapati lima RW yang termasuk dalam kategori ruang lingkup penelitian. Peneliti merasa perlu lebih fokus pada kelima RW yang pernah memiliki lahan pertanian berupa sawah (padi), karena responden penelitian akan tertuju kepada kelima RW tersebut, adapun lima RW tersebut adalah RW 01, 05, 06, 11, dan 12.

RW 01 terletak paling barat dari Kelurahan Mekarwangi berbatasan langsung dengan Kelurahan Kencana, mayoritas mata pencaharian penduduk RW 01 sebagai wiraswasta di berbagai bidang pekerjaan. Baik pekerjaaan dalam bidang pertanian maupun pada bidang non pertanian. Mata pencaharian pada bidang pertanian antara lain, budidaya hortikultura dan tanamana hias, kebun singkong, kangkung dan jagung. Mata pencaharian pada bidang non pertanian antara lain adalah membuka kios dan warung, pulsa, bengkel, dan warung makan. Jumlah penduduk RW 01 menurut data sensus 2010 adalah 1.915 jiwa dengan perbandingan 987 pria dan 928 perempuan.

RW 05 dan 06 bersinggungan dengan Kelurahan Sukadamai karena lokasi dua RW tersebut berada paling selatan dari Kelurahan Mekarwangi, mata pencaharian penduduk RW tersebut mayoritas adalah petani penggarap dan buruh. Komoditas utama dari kedua RW tersebut adalah buah jambu merah yang memang menjadi unggulan dari Kelurahan Mekarwangi dari sektor pertanian. Penduduk dua RW tersebut dalam sensus terakhir pada tahun 2010 adalah 1.679 jiwa untuk RW 05 dengan perbandingan 863 adalah pria dan 816 perempuan. RW 06 memiliki jumlah penduduk yang tidak berbeda jauh dengan RW 05, 1.458 jiwa dengan perbandingan 750 pria dan 708 perempuan. Mayoritas penduduk bekerja pada sektor non formal dengan ragam pekerjaan, petani penggarap dengan komoditas jagung, jambu merah, kangkung, kacang panjang, dan singkong. Terdapat pula industri rumahan berupa pengolahan singkong menjadi tape,


(1)

10. Mengapa Anda ikut mengkonversi lahan?

11. Jika mungkin, ceritakan proses bagaimana Anda mengkonversi lahan! 12. Apakah ada yang mendorong Anda untuk ikut mengkonversi lahan? 13. Apa yang anda rasakan setelah Anda mengkonversi lahan?

14. Menurut Anda, apakah ada perbedaan antara sebelum dan sesudah mengkonversi lahan? 15. Setelah mengkonversi lahan, apakah pendapatan rumah tangga Anda berubah? Menurun

atau meningkat atau malah tetap?

16. apakah setelah mengkonversi lahan kehidupan perekonomian anda menjadi lebih baik? 16. Apakah setelah mengkonversi lahan hidup Anda terasa lebih baik dan sejahtera?

5. Panduan pertanyaan (aparat desa/ tokoh masyarakat/ warga setempat) 1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat di sini?

2. Kira-kira berapa jumlah petani di sini?

3. Siapa saja petani yang memiliki lahan sendiri? 4. Siapa saja petani yang kini mengkonversi lahannya?

5. Sejak kapan fenomena konversi lahan mulai banyak terjadi di sini?

6. Menurut Anda, mengapa petani di sini banyak yang mengkonversi lahannya? Kira-kira, apa faktor utama yang mendorong hal tersebut terjadi?

7. Apakah pihak pengusaha ikut mempengaruhi proses terjadinya konversi tersebut? 8. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di sini? 9. Bagaimana reaksi pemerintah daerah terhadap fenomena konversi lahan yang marak

terjadi di sini?

11. Menurut Anda, bagaimana tingkat kesejahteraan petani yang telah mengkonversi lahan? 12. Selain bertani, apakah rata-rata mata pencaharian warga di sini?


(2)

Matriks Teknik Pengumpulan Data

No Tujuan

Penelitian Variabel

Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data

1. Mengetahui profil dan sejarah Kelurahan Mekarwangi  Kondisi geografis dan demografis  Sejarah dan

perkembanga n desa

 Data sekunde r: data dari kantor kepala desa (data potensi desa)  Data primer: Aparat desa, tokoh dan anggota masyara kat  Studi literature  Wawancara mendalam  Pengamatan  Analisis kualitatif

2. Mengetahui pendapatan pemilik lahan sebelum dan sesudah

konversi lahan

 Pendapatan  Data primer: respond en dan informa n (aparat desa, tokoh masyara kat, warga setempa t)  Data sekunde r (data-data dari kantor desa)  Wawancara  Kuesioner  pengamatan  analisis kualitatif


(3)

3. Mengetahui Faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya  Faktor internal meliputi: tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan anggota keluarga, tingkat ketergantunga n pada lahan, luas lahan yang dimiliki, keterampilan lain di luar usaha pertanian, tingkat pendidikan.  Faktor eksternal meliputi: jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan, pengaruh swasta.  kebijakan pemerintah  Data primer: informa n (aparat desa, tokoh masyara kat dan warga setempa t) dan respond en  Wawancara mendalam  Kuesioner  pengamatan  Analisis kualitatif

4. Mengetahui dampak

konversi lahan bagi taraf hidup petani pemilik lahan  Bagaimana pendapatan. petani pemilik lahan setelah terjadinya konve lahan  Data primer : informa n (aparat desa, warga setempa t) dan respond en  Wawancara mendalam  Kuesioner  Pengamatan  Rumus Future Value Analisis kualitati f  Analisis kuantitatif


(4)

Lampiran 7 : Bentuk pemanfaatan lahan pasca konversi lahan pertanian

Pemanfaatan untuk kebun singkong Pemanfaatan menjadi kebun kacang panjang

Menjadi industri Perumahan Menjadi kebun jambu merah


(5)

Menjadi tambak ikan Disebelah tambak dimanfaatkan menjadi kebun singkong


(6)

No Profil Petani Pemanfataan Setelah Konversi Pemanfaa tan lahan sebelum konversi Luas Lahan

(M2)

Rata-rata

Pendapatan Per Bulan Sebelum

Konversi

Setelah Konversi 1. Pribumi, tanah beli

dan waris, wiraswasta

Olahan tape, kebun singkong, jagung, jambu.

Sawah 1050 600.000 3.000.000

2. Pribumi, tanah waris, wiraswasta

Kebun singkong, kacang panjang, kangkung.

Sawah 530 300.000 2.000.000

3. Pribumi, tanah waris,

peternak. Peternakan ayam

Sawah 5200 2.000.000 6.500.000 4. Pribumi, tanah waris,

wiraswasta.

Kios makanan, counter pulsa.

Sawah 300 400.000 1.000.000 5. Pribumi, tanah beli

dan waris, wiraswasta.

Budidaya jamur dan kebun singkong.

Sawah 630 400.000 3.000.000 6. Pribumi, tanah waris,

pengusaha ikan. Tambak ikan

Sawah 1700 600.000 2.500.000 7. Pribumi, tanah waris,

buruh.

Kebun singkong dan jagung

Sawah 400 400.000 800.000 8. Pribumi, tanah waris,

petani penggarap. Jagung, singkong.

Sawah 200 350.000 800.000 9. Pribumi, tanah waris,

wiraswasta.

Kebun jambu, singkong dan tape olahan.

Sawah 2550 900.000 3.000.000

10. Pribumi, tanah beli dan waris, swasta.

Tanaman hias/ hortikultura dan rumah.

Sawah 2300 800.000 5.000.000

11. Pribumi, tanah waris,

wiraswasta. Warung sembako

Sawah 600 400.000 1.200.000 12. Pribumi, tanah waris,

petani penggarap

Kebun singkong, jagung, dan kangkung.

Sawah 450 400.000 950.000

13. Pribumi, tanah beli dan waris, wiraswasta.

Warung sayuran, kebun singkong dan tape olahan.

Sawah 950 500.000 4.000.000

14. Pribumi, tanah waris,

swasta. Bengkel sepatu.

Sawah 750 500.000 10.000.000 15. Pribumi, tanah waris,

buruh.

Rumah tinggal dan dibelikan motor

Sawah 300 400.000 500.000 16. Pribumi, tanah waris,

buruh.

Rumah dan kios/ ruko

Sawah 450 450.000 700.000


Dokumen yang terkait

Kajian Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perluasan Kota dengan Studi Kasus di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen Sebelum dan Sesudah Pemekaran Tahun 1990, 2000, 2010

2 98 162

Pengaruh Modal Bergulir Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani Sayur Di Kota Medan (Studi Kasus : Kelurahan Tanah Enam Ratus dan Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan)

0 31 70

Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria: Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat

0 24 181

Waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani dalam kegiatan ekonomi di Kelurahan Setugede Kota Bogor

0 9 156

Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Kasus di Kelurahan Balumbangjaya , Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

0 15 267

Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

1 6 177

Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor

0 4 199

Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor.

5 40 91

Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Pendapatan Usahatani Padi yang Hilang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Kecamatan Bogor Selatan)

0 4 104

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MELAKUKAN KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus Konversi Lahan Sawah di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember) ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING DECISIONS FARMERS AR

0 0 16