13 maupun pemerintah pusat. Pihak ini harus berperan positif dalam pengendalian
konversi dengan membuat program-program bantuan bagi pemilik sawah yang tetap berproduksi tinggi di Jawa sebagai insentif. Jenis bantuan dapat bervariasi
antar daerah, misalnya berupa kemudahan mendapat air irigasi, pemberian subsidi pupuk atau pengaturan harga dasar gabah. Persyaratan, insentif, dan peraturan
perundangan berkaitan dengan dukungan data dan penerapan peraturan perundangan yang berlaku secara konsisten.
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Alih fungsi lahan ditentukan Nasoetion dan Winoto, 1996 : 25 oleh : A.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian : perubahan di dalam ”land tenure system” dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.
B. Faktor luar sistem pertanian : industrilisasi dan faktor perkotaan lainnya.
Faktor-faktor diatas dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu faktor eksternal rumah tangga petani, faktor internal rumah tangga petani, dan faktor kebijakan,
ketiga faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 1.
Faktor Eksternal Kustiwan 1997 : 10 dan Sumaryanto 1996 : 54 menyatakan bahwa
faktor-faktor eksternal yang berpengaruh adalah dinamika pertumbuhan perkotaan, baik secara fisik atau spasial, demografis maupun ekonomi, yang
mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Faktor eksternal ini implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi dari
pertanian ke industri dan demografi dari pedesaan ke perkotaan.
14 Faktor-faktor yang termasuk dinamika pertumbuhan perkotaan yaitu :
A. Perkembangan kawasan terbangun ditandai dengann pembangunan kawasan
industri dan perumahan skala besar di daerah pinggiran kota untuk menyangga kehidupan kota.
B. Pertumbuhan penduduk perkotaan.
C. Pertumbuhan PDRB yang merupakan implikasi dari pertumbuhan dan pergeseran
struktur ekonomi wilayah yang ditandai dengan proses industrialisasi yang berlangsung pesat dengan fokus pertumbuhan industri pengolahan.
Konversi lahan yang terjadi di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor kelembagaan yang belum mantap yang diwarnai oleh lemahnya
sistem pengendalian penataan ruang. Rustiadi dan Wafda 2005 : 25 menyatakan bahwa fakto-faktor kelembagaan terdiri dari :
A. Belum dikembangkan instrumen pengendalian fiskal yang efektif dan
terpadu yang didukung oleh suatu sistem politik ekonomi yang kuat dan mendasar, terutama pajak pertanahan.
B. Sistem kelembagaan pengendali pemanfaatan ruang yang lemah.
C. Kualitas produk-produk perencanaan yang kurang memperhitungkan biaya
implementasi da pengendalian secara rasional. 2.
Faktor Internal Kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang
mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. Kecendrungan
konversi lahan pertanian di Jawa Barat terjadi pada konteks perubahan kondisi
15 sosial ekonomi rumah tangga pertanian yang menjadikan lahan pertanian sebagai
tumpuan hidupnya Kustiawan, 1997 : 39. Sumaryanto 1996 : 44 menyatakan pendorong laju konversi lahan sawah
dibagi dalam dua skenario yang dibedakan berdasarkan cakupan unit analisis, desa dan rumah tangga petani. Hal ini dinyatakan pada tabel berikut :
Tabel 1. Skenario pendorong laju konversi lahan pertanian. Skenario I
unit analisis : desa Skenario II
unit analisis : rumah tangga petani Jarak lokasi desa ke pusat
pertumbuhan ekonomi Harga jual lahan sawah yang tinggi
Kebijakan pemerintah Memenuhi kebutuhan sehari-hari
Sumber : Sumaryanto 1996 : 44. Petani akan mudah mengonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk
pemanfataan lain ketika produktivitas lahannya semakin menurun dan modal yang kecil untuk membiayai proses produksi. Dalam hal ini pendapatan rumah tangga
tidak mengalami peningkaan, tetapi malah semakin menurun. Seiring dengan berjalannya waktu, petani akan semakin mudah melepaskan lahan pertaniannya,
khususnya ketika muncul berbagai permasalahan ekonomi untuk membayar hutang, membiayai kehidupan sehari-hari, pendidikan anak, pergi haji. Selain itu,
pembangunan infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum pun memberikan tekanan kepada petani untuk melepaskan tanah pertanian miliknya.
Witjaksono, 1996:41 menambahakan bahwa perubahan perilaku termasuk faktor internal yang mempengaruhi laju konversi lahan pertanian.
16 Pengaruh media massa, khususnya televisi, membawa petani mengubah cara
pandang terhadap dirinya sebagai petani. Persepsi penduduk, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan
kurang bergengsi, meskipun mulia karena pahala dan jauh dari dosa. Jati diri mereka sebagai petani mulai goyah, yaitu yang semula bangga sebagai petani,
karena memiliki profesi mulia, sekarang telah tergantikan dengan munculnya perasaan rendah diri sebagai petani.
3. Faktor Kebijakan
Faktor pemacu munculnya konversi lahan pertanian yang berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain Kustiawan, 1997 : 42 :
A. Privatisasi pembangunan kawasan industri ; tertuang dalam Keputusan
Presiden No. 531989 yang memberikan keleluasaan pada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembanggunan kawasan industri dan memilih
lokasinya sesuai mekanisme pasar. B.
Pembanguan pemukiman skala besar dan kota baru ; kecenderungan konversi lahan pertanian dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah. C.
Deregulasi investasi dan perizinan; kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri dan pembangunan pemukiman skala besar diperkuat dengan
kebijakan deregulasi tertuang dalam Pakto-231993 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN No. 21993 yang pada intinya
mempermudah perizinan lokasi.
17 Masyarakat mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka akan
mengonversi lahan pertanian miliknya atau tidak. Ada dua pola pengambilan keputusan yaitu keputusan otoritas dan keputusan oposional individu. Pada keputusan otoritas,
pengelola proyek dapat bekerjasama atau meminta bantuan kepada elite anggota sistem sosial yang menduduki posisi atasan guna menekan atau memaksa anggota sistem sosial
lain dibawahnya yang merupakan kelompok mayoritas. Sedangkan keputusan opsional diambil oleh pemilik lahan untuk mengonversi lahan pertanian miliknya Witjaksono,
1996:50. Apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian. Pemerintah mempunyai peranan sebagai filter dalam proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Filter ini harus dapat
mencegah proyek yang sifatnya hanya mengekstraksi potensi wilayah dan menimbulkan ketergantungan permanen dari masyarakat pedesaan kepada pihak luar. Filter ini hanya
berfungsi efektif apabila pemerintah selalu memberikan apresiasi terhadap aspirasi dan isnpirasi masyarakat tentang rencana pemenuhan kebutuhan, pembangunan desa, dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat Witjaksono, 1996:52. Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengendalikan
konversi lahan pertanian tertuang dalam tabel 2.
18 Tabel 2. Peraturan-peraturan pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
No Peraturan
Perihal
1. Peraturan Mendagri No. 51974
Ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk perusahaan
2. Surat
Edaran Mendagri
No. 59011108SJ tanggal 24 Oktober
1984 Penyedia
tanah untuk
kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah
terjadinya perubahan tanah pertanian ke non-pertanian agar tidak menganggu
usaha peningkatan produksi pangan.
3. Keppres No. 531989
Larangan penggunaan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya untuk
kawasan industri.
4. Keppres No. 331990
Pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah untuk kawasan industri tidak boleh
mengurangi areal tanah pertanian dan sesuai dengan RTRW Pemda setempat.
5. Keppres No. 551995
Penyedian tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
6. Peraturan Menteri Negara Agraria
Kepala BPN No. 21993 Tata cara memperoleh izin lokasi dan hak
atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal. Juklak izin lokasi
berdasar
keputusan Menteri
Negara AgrariaKepala BPN No. 221993.
9. Surat Menteri Negara Agraria
Kepala BPN No. 460-3346, tanggal 31 Oktober 1994;Surat Menteri
Negara
Perencanaan Pembanguanan
NasionalKetua BAPPENASNo.5417MK101994,
tanggal 4 Oktober 1994;Surat Menteri
Dalam Negeri
No. 4744263SJ, 27 Desember 1994
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian tidak mengorbankan tanah
pertanian subur dan perpengairan teknis walupun lokasi tersebut masuk dalam tata
ruang wilayah yang telah ada.
Sumber : dari berbagai sumber Persepsi dan nilai pasar terhadap lahan sawah yang cenderung under estimate, di
mana nilai ekonomi lahan sawah hanya dilihat dari fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah menjadi salah satu
penyebab kurang efektifnya peraturan-peraturan yang dibuat untuk pengendalian konversi lahan. Selain itu juga, RTRW rencana tata ruang dan wilayah yang ada
19 mengalokasikan sawah beririgasi teknis untuk pengunaan non pertanian, dan lemahnya
koordinasi kebijakan serta adanya dualisme kepentingan yang saling bertolak belakang pun menjadi penyebab peraturan pengendalian konversi lahan tidak efektif.
Secara umum terdapat tiga kelemahan utama yang melekat pada peraturan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, yaitu :
A. Objek lahan yang dilindungi dari proses konversi ditentukan berdasarkan
kondisi fisik lahan, misalnya lahan sawah irigasi teknis, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah dimodifikasi melalui rekayasa tertentu
sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis pada akhirnya dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
B. Peraturan yang secara umum bersifat himbauan dan tidak dilengkapi
dengan sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sanksi maupun pihak yang dikenakan sanksi.
C. Jika terjadi konversi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku sulit ditelusuri siapakah pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut karena pemberian izin konversi lahan pada dasarnya
merupakan suatu keputusan kolektif dari seluruh instansi dinas yang terkait dengan masalah lahan Irawan, 2005 :65.
2.1.3. Implikasi Sosial Ekonomi Konversi Lahan Pertanian