Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

(1)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN

PERUBAHAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI

(Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting

dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor

Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)

TRI LESTARI

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(2)

ABSTRACT

Conversion of agricultural land and changes in household living standards of farmers: a case of Housing Development by PT. X in Kampung Cibeureum Sunting and Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, West Java. The objectives of this study were: (1) identified household living standards of farmers after the land conversion, (2) analyzed the factors associated with land conversion rates by farmers. The research applied a quantitative approach which supported by qualitative information. The quantitative data were collected by using survey method on 35 farmers household . The results of this study showed that after the conversion of land, household living standard of farmers increased, especially for lower-class farmers households. Internal factors and external factors affect different for each of the farmers. In this study, the internal factors that affected the rate of land conversion is dependence on the land. Dependence of land only affect the conversion rate at the lower class farmers. External factors also have different effect on each among farmers. In this study, external factors which affected the conversion rate is the influence of neighborss, the influence of neighbors only affected the conversion rate at the lower-class farmers.


(3)

RINGKASAN

TRI LESTARI. Konversi Lahan dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani. Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbinganFREDIAN TONNY).

Perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Perkembangan kedua hal tersebut menyebabkan permintaan akan lahan ikut meningkat, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya konversi lahan untuk memenuhi kepentingan dari berbagai pihak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan taraf hidup rumahtangga petani setelah terjadinya konversi lahan, dan Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran yang terletak di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli 2009. Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified random sampling. Data primer diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for windows. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah terjadinya konversi lahan, taraf hidup rumahtangga petani yang diukur melalui tingkat pendapatan rumahtangga, kondisi tempat tinggal, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset, mengalami perubahan. Pada rumahtangga petani lapisan bawah, tingkat pendapatan kategori rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, tingkat pendapatan kategori sedang dan tinggi mengalami peningkatan masing-masing sebesar 14,3 persen dan 4,8 persen. Kondisi seperti ini tentu saja lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi lahan. Pada rumahtangga petani lapisan menengah, tingkat pendapatan pada kategori rendah, sedang, dan tinggi, persentasenya tidak berubah antara sebelum dan sesudah konversi. Pada rumahtangga petani lapisan atas, tingkat pendapatan setelah konversi pada kategori rendah mengalami peningkatan sebesar 22,2 persen, tingkat pendapatan pada kategori sedang dan tinggi mengalami penurunan masing-masing sebesar 11,1 persen. Kondisi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi rumahtangga petani lapisan atas.

Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki rumah dengan kategori bagus mengalami peningkatan sebesar 4,7 persen. rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki rumah dengan kategori bagus juga mengalami peningkatan sebesar 20 persen, dan rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki rumah dengan kategori bagus persentasenya tidak berubah.


(4)

Setelah konversi lahan, tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan bawah pada kategori tinggi mengalami peningkatan sebesar 28,6 persen. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan menengah pada kategori tinggi, persentasenya tidak berubah. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan atas pada kategori tinggi, mengalami peningkatan sebesar 44,5 persen.

Sebelum dan sesudah konversi lahan, persentase tingkat kesehatan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada masing-masing lapisan, memiliki persentase yang tetap.

Sebelum dan sesudah konversi lahan, tingkat kepemilikan aset tinggi hanya dimiliki oleh rumahtangga peatani lapisan atas dengan persentase yang tetap, yaitu 11,1 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan bawah dan lapisan menengah yang tingkat kepemilikan asetnya rendah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen, sedangkan tingkat kepemilikan aset sedang pada rumahtangga petani lapisan bawah dan menengah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, dan rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset sedang mengalami peningkatan sebesar 11,1 persen.

Faktor internal dan faktor eksternal berbeda-beda pengaruhnya bagi setiap lapisan petani. Dalam penelitian ini, faktor internal yang berpengaruh terhadap tingkat konversi lahan adalah ketergantungan terhadap lahan. Ketergantungan terhadap lahan hanya mempengaruhi tingkat konversi pada petani lapisan bawah. Faktor eksternal juga memiliki pengaruh yang berbeda-beda pada setiap lapisan petani. Dalam penelitian ini, faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat konversi petani adalah pengaruh tetangga, pengaruh tetangga hanya mempengaruhi tingkat konversi pada petani lapisan bawah.

Sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas mata pencaharian utama rumahtangga petani lapisan bawah di Kelurahan Mulyaharja adalah bertani dengan persentase sebesar 85,7 persen. Setelah konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani lapisan bawah yang mata pencaharian utamanya adalah bertani, tetap memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 38,1 persen. Namun mengalami penurunan sebesar 47,6 persen yaitu dari 85,7 persen menjadi 38,1 persen.

Sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki mata pencaharian utama bertani memiliki persentase paling tinggi, yaitu sebesar 100 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan menengah yang mata pencaharian utamanya adalah bertani tetap memiliki persentase paling tinggi, tetapi mengalami penurunan sebesar 60 persen, yaitu dari 100 persen menjadi 40 persen.

Sebelum terjadinya konversi lahan , mayoritas rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki mata pencaharian utama bertani memiliki persentase paling tinggi, yaitu sebesar 100 persen. Setelah konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani lapisan atas bermata pencaharian utama wiraswasta dengan persentase sebesar 66,7 persen.


(5)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN

PERUBAHAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI

(Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting

dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor

Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)

TRI LESTARI

I34054041

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(6)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Tri Lestari

NRP : I34054041

Judul : Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS NIP. 19580214 198503 1 004

Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor,

Provinsi Jawa Barat)” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.

Bogor, Januari 2010

Tri Lestari I34054041


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 September 1987. Penulis memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1993 di SDN Cihideung Ilir IV Bogor. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 1 Darmaga Bogor. Selanjutnya pada tahun 2002, penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA KORNITA dan lulus tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis mendapatkan kesempatan belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi, dengan minor Manajemen Fungsional

Semasa kuliah, Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan, yaitu panitia Indonesian Futsal League (IFL) 2006, Panitia Futsal Nasional 2007 sebagai sie. Acara, Commnex 2008 yang di adakan oleh Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai sie. Dekorasi, Penulis juga aktif dalam Organisasi HIMASIERA sebagai anggota divisi Public Relations, dan dalam UKM Futsal sebagai Sekretaris periode 2008.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani (Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan Bimbingan Ir. Fredian Tonny, MS.

Penulisan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mencoba untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari konversi lahan bagi taraf hidup rumahtangga petani.

Penulis berharap semoga materi yang disampaikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, Januari 2010


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku pembimbing, terima kasih atas kesabaran, bimbingan dan waktu yang telah diberikan selama penyusunan.

2. Ir. Said Rusli, MA selaku penguji utama dalam ujian sidang skripsi, terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.

3. Ir. Anna Fatchiya selaku penguji wakil departemen, terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan

baik berupa do’a, dukungan moril dan materil.

5. Pihak Kelurahan Mulyaharja, yang telah membantu dan memberikan banyak informasi.

6. M. Arya Wicaksono dan M. Reza Maulana selaku rekan seperjuangan, terima kasih atas bantuan dan informasi yang selalu diberikan.

7. Brian Adipradana, terima kasih karena selalu menemani ketika turun lapang dan selalu memberikan dukungan serta semangat dalam proses penyelesaian skripsi.

8. Idham Muhammad Husen, terima kasih karena telah membantu dalam proses mengolah data.

9. Rekan-Rekan KPM 42 (khususnya Tubagus, Linda, Novi, Ghea, Januar), terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan.

10. Teman-teman selama kuliah di IPB, khususnya Pratiti, Roshy, Tuty, Arman, Ikhsan dan Indra.

11. Stephanie dan Noer, yang selalu memberikan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk ini terus bertambah setiap tahunnya. Sebagai gambaran, tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 108 jiwa per kilometer persegi, jumlah ini meningkat menjadi 116 orang per kilometer persegi pada tahun 2005 (Data BPS, 2005).

Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah, sementara lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian.

Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992).

Konversi lahan pada dasarnya dapat dilakukan sendiri oleh petani atau oleh pihak lain seperti swasta dan pemerintah. Konversi lahan yang dilakukan oleh petani misalnya adalah dengan mengubah lahan sawah miliknya menjadi rumah pribadi. Konversi lahan seperti ini biasanya meliputi area yang relatif sempit. Konversi lahan yang dilakukan oleh swasta atau investor biasanya digunakan untuk kegiatan pembangunan yang bersifat non-pertanian seperti kawasan industri, kawasan perumahan dan lain sebagainya yang tentu saja memerlukan area yang relatif luas. Sedangkan konversi lahan yang dilakukan oleh pemerintah misalnya adalah pembangunan sarana umum seperti jembatan, sekolah


(12)

dan lain lain. Hal ini membuktikan bahwa kepentingan atas tanah atau lahan tidak terbatas di kalangan petani saja, tetapi juga melibatkan stakeholder seperti pemerintah dan swasta.

Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Menurut statistika BPS (1989) setiap tahun kita kehilangan sampai sekitar 10.000 hektar sawah yang berpengairan.1 Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar sawah per tahun.2 Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.

Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan (Irawan et al., 2000)3

Lahan pertanian dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat konversi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut. Jika fenomena konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi secara tak terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani dan lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional.

Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah

1

Sediono M.P. Tjondronegoro. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

2

Hermas E. Prabowo.Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan.KOMPAS,4 Oktober 2008.http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/04/0145356/penyusutan.lahan.isu.utama.ketahan an.pangan. [diakses tanggal 09 Februari 2010].

3

Fahmuddin Agus. 2004. Konversi dan Hilangnya Multifungsi Lahan Sawah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.


(13)

puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di wilayah tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan taraf hidup rumahtangga petani setelah konversi lahan

1.2 Perumusan Masalah

Lahan merupakan salah satu sumberdaya strategis yang ikut berperan serta dalam menunjang kehidupan manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, permintaan akan lahan pun semakin meningkat yang disebabkan oleh perkembangan jumlah dan aktivitas penduduk.

Berkembangnya kepentingan atas lahan oleh berbagai pihak tentu saja akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan lahan. Kondisi seperti ini tentu saja akan semakin mendorong terjadinya konversi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan yang muncul tersebut.

Pembangunan kawasan perumahan oleh PT X yang dimulai dari tahun 1994 merupakan salah satu bentuk konversi lahan yang terjadi di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja. Pembangunan kawasan perumahan ini terjadi di area persawahan yang produktif dan merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar warga sekitar.

Pembangunan kawasan perumahan ini tentu saja akan menimbulkan perubahan-perubahan tersendiri bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi taraf hidup rumahtangga petani sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani?


(14)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis perubahan taraf hidup rumahtangga petani setelah terjadinya konversi lahan.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan sarana yang berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan

2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian mengenai dampak konversi lahan dalam penelitian selanjutnya.


(15)

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agraria

Pengertian agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (UU No.5 Tahun 1960) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi: 1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari

pertanian dan peternakan.

2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.

3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.

4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi” 5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.

Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Masing-masing subjek agraria tersebut memiliki hubungan yang dapat dilihat melalui gambar berikut:

Komunitas

Swasta Pemerintah


(16)

Gambar.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber: Sitorus 2002) Keterangan:

Hubungan teknis agraria Hubungan sosio agrarian

2.1.2 Konsep dan Definisi Lahan

Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983dalamAkbar, 2008).

Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:

1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.

2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.


(17)

3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.

2.1.3 Konversi Lahan

Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu:

1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,

sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan

keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.


(18)

7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif.

Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia (Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:

1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah

Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.


(19)

Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.

3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria

Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.

2.1.4 Faktor Penyebab

Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiawan (1997) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi

sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan. Merupakan Aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan

3. Peningkatan jumlah penduduk

Pakpahan, et.al (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang.


(20)

Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

Penelitian ini merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan kebijakan pemerintah.

2.1.5 Konsep Petani

Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.


(21)

Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

2.1.6 Pelapisan Sosial

Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian. Smith dan Zopf (1970: 278-281)dalam Tjondronegoro (1998) mengetengahkan adanya lima faktor yang determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa, yaitu: 1. Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan

sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa. 2. Pertautan antara sektor pertanian dan industri

3. Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah

4. Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya 5. Komposisi rasial penduduk.

Sayogyo membagi masyarakat petani atas dasar kepemilikan lahan yang dikuasainya di Jawa dalam tiga golongan, yaitu:4

1. Petani lapisan bawah (petani gurem dengan luas tanah < 0,5 ha)

2. Petani lapisan menengah (petani kecil dengan luas tanah antara 0,5 - 1,0 ha) 3. Petani lapisan atas (petani kaya, dengan luas tanah > 1,0 ha)

Penelitian ini merumuskan tiga kategori pelapisan sosial masyarakat petani berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu:

1. Petani lapisan bawah ( memiliki luas lahan < 0,25 ha)

4


(22)

2. Petani lapisan menengah (memeiliki luas lahan 0,25-0,5 ha) 3. Petani lapisan atas (memiliki luas lahan≥ 0,5 ha)

2.1.7 Taraf Hidup dan Kesejahteraan

Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.

Sawidack (1985) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut.

BPS (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumah tangga.

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), yaitu: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya

Kesejahteraan pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti tingkat kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup sumbangan-sumbangan yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni:

1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian. 2. Kesejahteraan dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan

kegiatan kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan kelompok informal.

3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa kekeluargaan dan kemasyarakatan.

4. Peraturan-peraturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak manusia atas penggunaan tanah.


(23)

Yosep (1996) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni:

1. Pendekatan makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat.

2. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.

Penelitian ini menggunakan beberapa indikator dalam mengukur taraf hidup. Indikator yang digunakan adalah tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat kepemilikan aset.

2.2 Kerangka Pemikiran

Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat).

Faktor Eksternal:

 Pengaruh tetangga

 Pengaruh swasta (investor)  Kebijakan Pemerintah Faktor Internal:

 Tingkat Pendapatan rumahtangga petani  Jumlah tanggungan anggota keluarga  Tingkat Ketergantungan pada lahan  Tingkat Pendidikan

Konversi Lahan Pertanian

Taraf Hidup

 Tingkat Pendapatan

 Kondisi Tempat Tinggal (Perumahan)  Tingkat Pendidikan

 Tingkat Kesehatan  Tingkat Kepemilikan aset


(24)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani Setelah Konversi Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konversi Lahan.

Keterangan:

Mempengaruhi

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi seberapa besar tingkat konversi lahan yang dipilih oleh petani diantaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumahtangga petani, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), dan pengaruh dari tetangga.

Setelah melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani, maka selanjutnya dapat dilihat pula perubahan taraf hidup yang terjadi pada rumahtangga petani setelah konversi lahan. Diduga bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup rumahtangga petani. Dalam hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang meliputi tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset.

2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Hipotesis Umum

1. Ada hubungan antara faktor internal, yaitu: tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat pendidikan dengan tingkat konversi lahan yang dipilih petani.


(25)

2. Ada hubungan antara faktor eksternal, yaitu: kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), dan pengaruh tetangga dengan tingkat konversi lahan yang dipilih petani.

3. Ada hubungan antara konversi lahan pertanian dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani.

2.3.1 Hipotesis Khusus

1. Ada hubungan antara tingkat pendapatan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan.

2. Ada hubungan antara jumlah tanggungan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan.

3. Ada hubungan antara tingkat ketergantungan pada lahan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan.

4. Ada hubungan antara tingkat pendidikan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan.

5. Ada hubungan antara pengaruh tetangga dengan besarnya tingkat konversi lahan.

6. Ada hubungan antara pengaruh swasta dengan besarnya tingkat konversi lahan.

7. Ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan besarnya tingkat konversi lahan.

8. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan bawah.

9. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan menengah.

10. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan atas.

2.4 Definisi Operasional

1. Tingkat pendapatan rumahtangga adalah total pendapatan rumahtangga responden yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih usaha tani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan.


(26)

Pengukuran:

1. Tinggi : > Rp. 2.000.000

2. Sedang : Rp 1000.000-Rp 2.000.000 3. Rendah : < Rp 1000.000

2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga selain responden yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

Pengukuran:

1. Sedikit :≤ 4 orang 2. Banyak : > 4 orang

3. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden.

Pengukuran:

1. Rendah : <0, 75 persen pendapatan tumah tangga 2. Tinggi :≥0,75 persen pendapatan rumah tangga

4. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh responden.

Pengukuran:

1. Rendah : tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD

2. Tinggi : sedang sekolah, tidak tamat SMP/SMA, tamat SMP/SMA, D3/S1

5. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar.

Pengukuran:

1. Sempit : <0,25 hektar 2. Sedang : 0,25-0,5 hektar 3. Luas :≥0,5 hektar

6. Usia adalah lama hidup responden mulai lahir sampai penelitian dilakukan yang diukur dalam skala rasio. Havighurst (1950)dalam Mugniesyah (2006) menggolongkan umur menjadi tiga kategori, yaitu:


(27)

1. Dewasa awal : 18-29 tahun 2. Dewasa pertengahan : 30-50 tahun 3. Dewasa tua :≥ 50 tahun

7. Pengaruh tetangga adalah banyaknya rumahtangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di sekitar wilayah tempat tinggal responden.

Pengukuran:

1. Rendah :≤ 5 orang 2. Tinggi : > 5 orang

8. Pengaruh swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau mengkonversi lahan pertaniannya.

Pengukuran:

1. Rendah : skor 3-4 2. Tinggi : skor 5-6

9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan atau bantuan pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan sektor pertaniannya. Pengukuran:

1. Rendah : skor 2 2. Tinggi : skor 3-4

10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat yang dalam penelitian ini diukur melalui tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan tingkat pendidikan.

11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh responden.

Pengukuran:

1. Sederhana : dinding terbuat dari campuran tembok dan triplek, lantai terbuat dari semen, mempunyai kamar mandi.

2. Bagus : dinding terbuat dari tembok, lantai terbuat dari keramik, mempunyai kamar mandi.

12. Tingkat Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumahtangga responden. Pengukuran:


(28)

1. Tinggi : memiliki kartu ASKES, berobat di puskesmas atau mempuyai dokter pribadi.

2. Rendah : tidak memiliki ASKES, berobat di dukun.

14. Tingkat Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki rumah tangga petani

Pengukuran:

1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan, dan lebih dari lima jenis barang elektronik.

2. Sedang: memiliki rumah, kendaraan, dan barang elektronik sejumlah lima 3. Rendah: memiliki rumah/sewa/kontrak dan memiliki kurang dari lima

jenis barang elektronik.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan dilengkapi dengan data kualitatif sebagai tambahan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai. Penelitian survai merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun, 1989). Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan untuk mendapatkan informasi lebih akurat. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti dibekali dengan panduan pertanyaan. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai lingkungan petani di lokasi penelitian. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada rumahtangga petani setelah adanya konversi lahan .


(29)

Penelitian ini dilaksanakan di dua Kampung, yaitu Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran yang terletak di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi ini dulunya merupakan wilayah pertanian dan sekarang sedang terkena pengembangan wilayah perumahan PT. X. Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penelusuran kepustakaan hasil penelitian dari beberapa peneliti, artikel dari internet, serta beberapa narasumber yang memberikan informasi mengenai wilayah ini. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2009.

3.3 Teknik Pemilihan Responden

Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan dan responden. Informan merupakan pihak yang dianggap banyak mengetahui tentang lingkungannya sehingga dapat memberikan informasi lebih dalam, sedangkan responden merupakan pihak yang memberi keterangan tentang dirinya. Dalam hal ini, informan adalah pihak Kelurahan, Aparat Desa (RW, RT, Tokoh Masyarakat, Kontak Tani). Pemilihan informan dilakukan dengan teknik “bola salju” (snow ball sampling). Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 35 rumahtangga petani pemilik yang mengkonversi lahan.

Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified random sampling. Teknik ini digunakan karena satuan elementer dalam populasi tidak homogen. Dalam menggunakan teknik ini, responden dibagi menjadi tiga kategori pelapisan sosial berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Kategori pelapisan sosial tersebut masing-masing adalah rumahtangga petani kelas bawah (memiliki luas lahan < 0,25 Ha), rumahtangga petani kelas menengah (memiliki luas lahan 0,25-0,5 Ha), dan rumahtangga petani kelas atas (memiliki luas lahan > 0,5 Ha). Hal ini dilakukan agar dampak konversi lahan terlihat jelas pada masing-masing kategori pelapisan sosial.


(30)

Metode pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian. Data primer diperoleh dari subyek penelitian yang terdiri dari informan dan responden. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi lapang, dan pengisian kuesioner. Data sekunder merupakan dokumen-dokumen yang terkait seperti data profil Kelurahan, agenda kegiatan, data kependudukan dan lain-lain. Teknik pengambilan data yang dilakukan adalah pertama, melalui penelusuran pustaka (buku, artikel, laporan penelitian, dokumen) yang relevan dengan kajian penelitian. Kedua, wawancara mendalam dengan pihak kelurahan, aparat desa dan warga setempat yang dianggap banyak mengetahui keadaan sekitar. Ketiga, observasi sepanjang penelitian.

3.4.1 Observasi Lapang

Observasi lapang pertama kali dilakukan dengan mengunjungi lokasi penelitian, kemudian mengamati kondisi wilayah tersebut. Peneliti mengunjungi rumah beberapa aparat desa (RW, RT) untuk mengetahui berapa jumlah rumahtangga petani dan lokasi tempat tinggalnya. Selain itu, peneliti mencari tahu siapa saja orang-orang yang bisa dijadikan informan penelitian.

3.4.2 Pengisian Kuesioner

Kuesioner dibagikan kepada 35 rumahtangga petani. Dalam pengisian kuesioner, peneliti tidak membiarkan kuesioner di isi sendiri oleh responden. Kuesioner tetap dipegang oleh peneliti, kemudian peneliti menanyakan satu persatu pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian, dan membantu responden yang kurang mengerti dalam segi bahasa.

3.4.3 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui kondisi taraf hidup rumahtangga petani sebelum terjadinya konversi lahan, proses terjadinya konversi lahan, serta perubahan-perubahan yang terjadi setelah konversi lahan yang


(31)

meliputi perubahan taraf hidup rumahtangga petani, perubahan mata pencaharian dan lain-lain. Wawancara mendalam dilakukan dengan berkunjung ke rumah responden, aparat desa dan kantor Kelurahan.

Peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam melakukan wawancara mendalam, diantaranya adalah panduan pertanyaan danrecorder yang mendukung peneliti untuk membuat catatan harian yang merupakan data primer dalam penelitian ini.

3.4.4 Penelusuran Dokumen

Penelusuran dokumen dilakukan untuk mendapatkan data-data seperti data profil Kelurahan, arsip kegiatan, data kependudukan dan lain-lain Peneliti juga melakukan penelusuran dokumen dengan pencarian data dan informasi dari internet, buku, dan karya ilmiah (hasil penelitian) untuk mendukung analisis dalam penelitian ini.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi taraf hidup rumahtangga petani sebelum dan sesudah terjadinya konversi, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat konversi. Teknik dan analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Reduksi Data

Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang berupa catatan-catatan tertulis di lapangan selama penelitian berlangsung. Reduksi data bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu.

Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi agar mudah dalam proses penarikan kesimpulan. Penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapangan.


(32)

Penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas kesimpulan terhadap data yang dianalisis agar menjadi lebih rinci. Data kuantitatif diolah dengan proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi silang (crosstab) dan uji statistik Chi-Square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala nominal. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari masing-masing variabel, kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan menggunakan interval kelas.

Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Interval kelas (Ik)= Skor Maksimum- Skor minimum

∑ kategori .

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Kelurahan Mulyaharja

Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan penuturan informan, nama Mulyaharja berasal dari kata Mulya dan Harja. Mulya yang berarti baik dan Harja yang berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja berarti hati yang baik. Jarak Kelurahan ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 5 kilometer yang membutuhkan waktu selama 20 menit sebagai waktu tempuhnya. Sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 7 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat.

Kelurahan Mulyaharja luasnya ± 477,005 hektar dengan jumlah penduduk mencapai 13.366 jiwa. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani adalah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Wilayah Kelurahan Mulyaharja beriklim sejuk dengan ketinggian 420 meter dari permukaan laut. Wilayah ini sangat cocok untuk pertanian. Luas lahan pertanian dan perkebunan


(33)

Penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas kesimpulan terhadap data yang dianalisis agar menjadi lebih rinci. Data kuantitatif diolah dengan proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi silang (crosstab) dan uji statistik Chi-Square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala nominal. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari masing-masing variabel, kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan menggunakan interval kelas.

Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Interval kelas (Ik)= Skor Maksimum- Skor minimum

∑ kategori .

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Kelurahan Mulyaharja

Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan penuturan informan, nama Mulyaharja berasal dari kata Mulya dan Harja. Mulya yang berarti baik dan Harja yang berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja berarti hati yang baik. Jarak Kelurahan ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 5 kilometer yang membutuhkan waktu selama 20 menit sebagai waktu tempuhnya. Sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 7 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat.

Kelurahan Mulyaharja luasnya ± 477,005 hektar dengan jumlah penduduk mencapai 13.366 jiwa. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani adalah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Wilayah Kelurahan Mulyaharja beriklim sejuk dengan ketinggian 420 meter dari permukaan laut. Wilayah ini sangat cocok untuk pertanian. Luas lahan pertanian dan perkebunan


(34)

yang ada di Kelurahan Mulyaharja saat ini adalah sekitar 135 hektar. Kondisi lahan pertanian di wilayah ini sangat subur, padi dan palawija merupakan tanaman yang paling banyak ditanam di wilayah ini. Rumahtangga petani yang terdapat di Kelurahan Mulyaharja jumlahnya sebanyak 220 keluarga. Saat ini, mayoritas petani yang terdapat di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh tani yang bekerja dari pagi sampai dzuhur dan diberi upah harian sebesar Rp 25.000,-. Sebagian besar lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga petani berasal dari warisan.

Dahulu, mata pencaharian penduduk Kelurahan Mulyaharja sebagian besar adalah petani. Tradisi pertanian pun masih terasa di wilayah ini, sebelum menanam dan pada saat panen biasanya petani sering mengadakan acara selamatan agar proses menanam dan panen berjalan lancar. Selain itu, ada tradisi yang dinamakan liuran. Liuran merupakan tradisi gotong royong diantara sesama petani dengan cara membantu pada saat menanam dan saat panen. Saat ini, tradisi-tradisi seperti itu jarang ditemukan karena lahan pertanian jumlahnya semakin berkurang.

Konversi lahan yang marak terjadi saat ini, menyebabkan banyak penduduk Kelurahan Mulyaharja yang beralih profesi ke sektor non-pertanian, sepertihome industry, buruh, berdagang, pertukangan, ojek dan lain–lain.

Tabel 1. Mata Pencaharian Pokok Penduduk menurut Jenis Kelamin, 2009

Jenis Pekerjaan Laki-Laki

(orang)

Perempuan (orang)

Total (orang)

Petani 85 15 100

Buruh tani 215 185 400

Pegawai Negeri Sipil 135 70 205

Pengrajin industri rumahtangga 96 18 114

Pedagang keliling 95 27 122

Pembantu rumahtangga - 23 23

TNI 2 - 2

POLRI 15 - 15

Pengusaha kecil dan menengah 400 - 400

Karyawan swasta 1.025 750 1.775

Karyawan pemerintah 3 2 5

Jumlah 2.071 1.090 3.161

Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009

Tabel 1 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh tani yang jumlahnya 400 orang, sedangkan


(35)

yang berprofesi sebagai petani sebesar 100 orang. Meningkatnya jumlah buruh tani merupakan akibat dari adanya konversi lahan. Setelah mengkonversi lahannya, banyak rumahtangga petani yang kehilangan lahan dan kemudian bekerja menjadi buruh tani pada lahan orang lain.

Kelurahan Mulyaharja terdiri dari 12 RW dan 55 RT. Dari 12 RW tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah RW 06 (Kampung Pabuaran) dan RW 07 (Cibeureum Sunting).

Tabel 2 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Mulyaharja menganut agama Islam, yaitu sebanyak 12.909 orang. Sarana peribadatan untuk penduduk yang beragama Islam tersedia cukup banyak, yaitu 26 masjid dan 42 musholla. Selain itu, terdapat pula pesantren yang digunakan sebagai sarana mempelajari ilmu agama.

Tabel 2. Agama Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009

Agama Laki-Laki (orang) Perempuan (orang) Total (orang)

Islam 7.477 5.432 12.909

Kristen 177 123 300

Katholik 75 45 120

Hindu 13 12 25

Budha 8 7 15

Khonghucu 9 3 12

Jumlah 7.759 5.622 13.381

Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009

Tingkat Pendidikan Laki-Laki

(orang)

Perempuan (orang)

Total (orang)

Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 881 761 1.642

Usia 3-6 tahun yang sedang TK/play group 528 456 984

Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 43 25 68

Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 1.490 1.283 2.773

Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 71 60 131

Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 179 171 350

Tamat SD/sederajat 3.333 3.102 6.435

Usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 42 40 82

Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 358 380 738

Tamat SMP/sederajat 611 289 900

Tamat SMA/sederajat 951 199 1.150

Tamat D1/sederajat 80 40 120

Tamat S1/sederajat 40 30 70

Tamat SLB A 3 - 3


(36)

Total 8.611 6.836 15.447 Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009

Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk kelurahan Mulyaharja adalah lulusan Sekolah Dasar (SD/sederajat), yaitu sebanyak 6.435 orang. Walaupun sarana pendidikan di wilayah ini sudah tersedia sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi faktor ekonomi ikut mempengaruhi. Setelah lulus Sekolah Dasar (SD), penduduk Kelurahan Mulyaharja banyak yang langsung bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

4.2 Kampung Pabuaran

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui bahwa para leluhur menamai kampung ini dengan nama Pabuaran, yang berasal dari kata buyar yang memiliki arti bubar, pecah atau terpisah-pisah. Mereka meramalkan bahwa suatu saat kampung ini akan pecah. Hal ini terbukti jika dikaitkan dengan kondisi kampung ini sekarang yang penduduknya terpisah-pisah akibat maraknya konversi lahan yang menyebabkan banyak penduduk yang pindah ke luar kampung. Sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung Pabuaran dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukaharja, Cikaret, Kota Batu, Pamoyanan dan lain-lain.

Dahulu, mayoritas penduduk di kampung ini bermata pencaharian sebagai petani, tetapi sekarang jumlah lahan pertanian pun semakin berkurang karena banyak lahan pertanian di wilayah ini sudah dimiliki oleh swasta, Jumlah petani pun semakin berkurang. Walaupun masih ada yang bertahan pada sektor pertanian, tapi jumlahnya sangat kecil dan mayoritas petani yang bertahan adalah petani penggarap. Mereka ada yang menggarap lahannya sendiri, menggarap lahan orang lain, dan menggarap lahan milik swasta yang belum dibangun. Sebagian besar penduduk kampung ini beralih profesi ke sektor non-pertanian sepertiHome Industry sandal, buruh, berdagang, ojek dan pertukangan.

Tahun 1994 PT X mulai memasuki kampung ini. PT X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang property. Dalam menjalankan usahanya, PT X membeli lahan-lahan yang ada di wilayah ini untuk dijadikan kawasan perumahan. Setelah PT X masuk, harga tanah melonjak tajam. Harga tanah yang


(37)

pada awalnya murah, setelah PT X masuk menjadi Rp 25.000,- per meter, sekarang harga tanah bisa mencapai Rp 250.000,- per meter tergantung letak tanah. Semakin strategis maka semakin mahal. Oleh karena itu, banyak orang tertarik untuk menjual tanahnya ke PT X.

Dalam upaya untuk membeli lahan yang ada di Kampung ini, PT X menggunakan berbagai cara. PT X pada awalnya membeli lahan yang letaknya di pinggir. Setelah negosiasi dilakukan dan jual beli berhasil dilaksanakan, kemudian bagian pinggir-pinggir lahan tersebut ditembok tinggi. Hal ini menyebabkan petani yang posisi lahannya berada di tengah-tengah akan terkurung. Sehingga lama-kelamaan mereka yang lahannya terkurung pada akhirnya ikut menjual lahannya.

PT X juga menggunakan jasa biong5 untuk menjalankan usahanya dalam mendapatkan lahan yang ada di sana. Biong mendatangi orang-orang yang memiliki lahan kemudian berusaha membujuk mereka agar mau menjual lahannya. Jika usaha dari biong itu gagal, mereka akan datang terus menerus sampai orang yang punya lahan bersedia menjual lahannya.

Kampung Pabuaran pada awalnya memiliki 5 RT, tetapi sekarang jumlah RT yang ada hanya 4, yaitu RT 01, RT 02, RT 03, RT 04 sedangkan RT 05 sudah tidak ada karena lahannya sudah habis terkena konversi, sehingga penduduknya sudah pindah. Penduduk RT 05 ada yang pindah ke RT lain, ada juga yang pindah ke luar kampung. RT 01 terdiri dari 90 KK, RT 02 terdiri dari 54 KK, RT 03 terdiri dari 60 KK, RT 04 terdiri dari 15 KK (tadinya 57 KK).

Tingkat pendidikan penduduk Kampung Pabuaran mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar. Pendapatan di sektor pertanian pun tergolong rendah. Dahulu, walaupun pendapatan pada sektor pertanian tidak begitu tinggi, tapi orang yang bermata pencaharian petani masih tergolong banyak. Tetapi sekarang, orang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian sepertiHome Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain. Home Industry sandal adalah bidang usaha yang paling banyak ditemukan di Kampung ini. Mereka menjadikan pertanian sebagai usaha sampingan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak A:

5

Biong merupakan istilah untuk makelar yang menjadi perantara antara pihak swasta dan petani dalam proses jual beli lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja.


(38)

“Kalau di sini mah pertanian sekarang udah jarang soalnya ga ada penerusnya, lahannya juga udah ga ada. Paling juga tani kalo orderan sendal lagi sepi, tani cuma sampingan aja”

4.2 Kampung Cibeureum Sunting

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui bahwa kampung ini dinamakan Cibeureum Sunting karena dulu di kampung ini ada orang bernama Bapak Sunting. Bapak Sunting merupakan sesepuh di Kampung ini. Ketika Bapak Sunting naik haji, namanya diganti menjadi Sulaeman. Walaupun namanya sudah diganti, tetapi ketika orang-orang yang berasal dari luar kampung ingin pergi ke kampung ini, mereka menyebutnya akan pergi ke Cibeureum Sunting. Nama Bapak Sunting dijadikan sebagai nama belakang kampung ini untuk memperjelas lokasi kampung tempat bapak Sunting tinggal. Sampai pada akhirnya jadilah Cibeureum Sunting sebagai nama Kampung ini,.

PT X mulai memasuki kampung ini sekitar tahun 1994. Sejak PT X masuk ke Kampung ini, mayoritas warga yang tadinya bermata pencaharian sebagai petani kini berubah. Warga yang bermata pencaharian sebagai petani jumlahnya menjadi semakin sedikit karena lahan yang mereka miliki banyak yang dijual ke PT X. Warga kampung ini banyak yang beralih ke sektor non-pertanian. Banyak alasan yang menjadi latar belakang mengapa penduduk kelurahan Mulyaharja menjual lahannya ke PT X, diantaranya adalah karena kebutuhan ekonomi, tergiur dengan harga yang tinggi, rasa takut jika tidak menjual lahan maka lahannya akan terkurung oleh PT X.6

Kampung Cibeureum Sunting terdiri dari 3 RT. RT 01 terdiri dari 83 KK, RT 02 terdiri dari 71 KK, dan RT 03 terdiri dari 96 KK. Tingkat pendidikan penduduk Kampung Cibeureum Sunting mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar. Selain bertani, mata pencaharian lain yang dapat ditemukan di kampung ini adalah Home Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain.

6


(39)

BAB V

TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI SEBELUM DAN

SESUDAH KONVERSI LAHAN

5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga

Total pendapatan rumahtangga diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih usahatani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan.

Pendapatan rumahtangga petani yang berasal dari sektor pertanian jumlahnya tidak terlalu besar, apalagi bagi petani kelas bawah. Hal ini karena luasan lahan yang mereka miliki jumlahnya relatif sempit. Walaupun pendapatan di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, tetapi masih ada warga yang tetap bertahan pada sektor ini. Hal ini karena mereka tidak memiliki keahlian di luar usahatani. Selain bekerja di sektor pertanian, warga juga banyak yang memiliki sumber pendapatan lain yang diperoleh melalui berdagang, buruh, wiraswasta, dan karyawan.


(40)

Tabel 4. Persentase Perbandingan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja7

Tingkat Pendapatan

Rendah Sedang Tinggi Total

Pelapisan Sosial

B A B A B A B A

Atas 0 22,2 33,3 22,2 66,7 55,6 100 100

Menengah 40 40 60 60 0 22,2 100 100

Bawah 66,7 47,6 23,8 38,1 9,5 14,3 100 100

Rata-rata 45,7 40 31,4 37,1 22,9 22,9 100 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja memiliki tingkat pendapatan rendah dengan persentase sebesar 45,7 persen dan paling banyak ditempati oleh rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 66,7 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang sedang dengan persentase sebesar 60 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dengan persentase sebesar 66,7 persen. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin tinggi. Semakin rendah lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin rendah.

Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan tinggi mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, yaitu dari 66,7 persen menjadi 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan sedang , juga mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, yaitu dari 33,3 persen menjadi 22,2 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan rendah mengalami peningkatan yaitu dari 0 persen menjadi 22,2 persen.

Rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen menjadi 22,2 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi lahan tidak mengalami

7

B (Before) merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyatakan waktu sebelum terjadinya konversi lahan. sedangkan A (After) adalah istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyatakan waktu setelah terjadinya konversi lahan.


(41)

perubahan yaitu tetap sebesar 60 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah, setelah konversi lahan persentasenya juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 40 persen.

Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,8 persen, yaitu dari dari 9,5 persen menjadi 14,3 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 14,3 persen, yaitu dari 23,8 persen menjadi 38,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, yaitu dari 66,7 persen menjadi 47,6 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan yang paling banyak dirugikan setelah terjadinya konversi adalah rumahtangga petani lapisan atas.

Setelah konversi lahan, tingkat pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan menengah dan rumahtangga petani lapisan atas. Rumahtangga petani lapisan menengah berada pada posisi yang stabil, dan rumahtangga petani lapisan atas kondisinya lebih baik ketika sebelum terjadinya konversi lahan. Meningkatnya pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah merupakan akibat dari banyaknya rumahtangga petani lapisan ini yang beralih profesi ke sektor lain seperti berdagang, home industry, dan lain-lain yang menghasilkan pendapatan lebih besar. Selain itu, ada juga rumahtangga lapisan bawah yang tetap bekerja di sektor pertanian tetapi pendapatannya semakin besar, seperti yang terjadi pada Bapak K. Pada awalnya Bapak K merupakan kepala rumahtangga yang berasal dari lapisan bawah. Bapak K memiliki lahan pertanian di dua lokasi yang berbeda, masing-masing luasnya adalah 450 meter dan 2.000 meter. Hasil panen dari lahan yang luasnya 450 meter digunakan oleh Bapak K untuk makan keluarga. Sebagian dari lahan yang luasnya 2.000 meter Bapak K jual kepada PT X dan uangnya Bapak K gunakan untuk membangun rumah dan naik haji. Ketika PT X ingin membeli sisa lahan Bapak K yang 1.000 meter, Bapak K menjualnya kembali kemudian uang hasil penjualan digunakan oleh bapak K untuk membeli lahan pertanian lagi


(42)

dengan ukuran yang lebih besar. Wilayah Perumahan yang dibangun oleh PT X terus mengalami perluasan dan membutuhkan banyak lahan. Bapak K memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Bapak K terus menjual lahanya dan membelikan lagi uang hasil penjualan ke dalam bentuk lahan. Bapak K yang tadinya hanya memiliki lahan yang luasnya 2.450 meter, sekarang memiliki lahan yang luasnya 1 hektar, rumah yang bagus, dan sudah naik haji.

5.2 Kondisi Tempat Tinggal

Kondisi tempat tinggal dalam hal ini dilihat melalui fisik bangunan yang meliputi dinding rumah, lantai, dan ada atau tidaknya kamar mandi. Berdasarkan hal tersebut, kemudian tempat tinggal dikategorikan menjadi sederhana dan bagus. Sebagian besar warga yang tinggal di wilayah ini memiliki kondisi rumah yang sudah cukup baik. Walaupun ada sebagian kecil warga yang rumahnya masih terbuat dari bilik-bilik bambu, tetapi sebagian besar warga di wilayah ini sudah memiliki rumah yang permanen. Fasilitas kamar mandi hampir dimiliki oleh sebagian besar warga. Fasilitas MCK pun tersedia bagi warga yang tidak memiliki kamar mandi.

Tabel 5. Persentase Perbandingan Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja

Kondisi Tempat Tinggal

Sederhana Bagus Total

Pelapisan Sosial

B A B A B A

Atas 44,4 44,4 55,6 55,6 100 100

Menengah 100 80 0 20 100 100

Bawah 47,6 42,9 52,4 57,1 100 100

Rata-rata 54,3 48,6 45,7 51,4 100 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebelum konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani rata-rata memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana, dengan persentase sebesar 54,3 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus dengan persentase sebesar 55,6 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana dengan persentase sebesar 100


(43)

persen. Sedangkan rumahtangga petani lapisan bawah, mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang sudah bagus dengan persentase sebesar 52,4 persen. Rumahtangga petani lapisan atas dan lapisan bawah sama-sama memiliki kondisi tempat tinggal yang mayoritas sudah bagus. Walaupun demikian, persentase paling tinggi tetap dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan atas.

Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 44,4 persen.,

Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus, persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen menjadi 20 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang sederhana, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 20 persen, yaitu dari 100 persen menjadi 80 persen.

Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,7 persen, yaitu dari 52,4 persen menjadi 57,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang sederhana , setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 4,7 persen, yaitu dari 47,6 persen menjadi 42,9 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan menengah. Sedangkan rumahtangga petani lapisan atas berada pada posisi yang tetap..

Setelah menjual lahannya, banyak rumahtangga petani yang menggunakan uang hasil penjualan lahannya untuk merenovasi rumah khusunya pada rumahtangga petani lapisan bawah dan menengah. Hal ini mengakibatkan setelah terjadinya konversi lahan persentase rumah bagus meningkat.

5.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dalam hal ini dikategorikan menjadi 2, yaitu kategori rendah dan kategori tinggi. Sebagian besar warga di wilayah ini memiliki tingkat


(44)

pendidikan yang rendah, khususnya warga usia tua. Mayoritas warga hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Mayoritas petaninya pun adalah lulusan Sekolah Dasar (SD).

Tabel 6. Persentase Perbandingan Tingkat Pendidikan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja

Tingkat Pendidikan

Rendah Tinggi Total

Pelapisan Sosial

B A B A B A

Atas 55,6 11,1 44,4 88,9 100 100

Menengah 80 80 20 20 100 100

Bawah 85,7 57,1 14,3 42,9 100 100

Rata-rata 77,1 48,6 22,9 51,4 100 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani memiliki tingkat pendidikan rendah dengan persentase sebesar 77,1 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 55,6 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 80 persen. Rumahtangga petani lapisan bawah, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 85,7 persen. Ketiga lapisan rumahtangga petani tersebut, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Namun, persentase tingkat pendidikan rendah paling besar terdapat pada rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 85,7 persen, dan persentase tingkat pendidikan rendah paling kecil terdapat pada rumahtangga petani lapisan atas dengan persentase sebesar 55,6 persen.

Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendidikan tinggi mengalami peningkatan sebesar 44,5 persen, yaitu dari 44,4 persen menjadi 88,9 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendidikan rendah , setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 44,5 persen, yaitu dari 55,6 persen menjadi 11,1 persen.

Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, setelah konversi lahan tidak mengalami peningkatan, yaitu tetap sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang


(45)

memiliki tingkat pendidikan rendah, setelah konversi lahan juga tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 80 persen.

Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 28,6 persen, yaitu dari 14,3 persen menjadi 42,9 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendidikan rendah, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 28,6 persen, yaitu dari 85,7 persen menjadi 57,1 persen.

Tingkat pendidikan pada semua lapisan rumahtangga petani semakin baik. Berdasarkan penuturan informan, dapat diketahui bahwa anak yang tamat SMP, SMA, bahkan S1 meningkat walaupun jumlahnya tidak banyak. Semakin tinggi lapisan sosial, maka semakin tinggi tingkat pendidikannya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah lapisan sosial, maka semakin rendah pula tingkat pendidikannya.

5.4 Tingkat Kesehatan

Tingkat kesehatan dalam hal ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi.

Tabel 7. Persentase Perbandingan Tingkat Kesehatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja

Tingkat Kesehatan

Rendah Sedang Tinggi Total

Pelapisan Sosial

B A B A B A B A

Atas 0 0 88,9 88,9 11,1 11,1 100 100

Menengah 0 0 100 100 0 0 100 100

Bawah 0 0 100 100 0 0 100 100

Rata-rata 0 0 97,1 97,1 2,9 2,9 100 100

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah konversi lahan, seluruh lapisan rumahtangga petani tidak ada yang memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini karena fasilitas kesehatan sangat mudah untuk di akses. Mayoritas rumahtangga petani memiliki tingkat kesehatan pada kategori sedang, dengan persentase sebesar 97,1 persen. Rumahtangga petani baik lapisan atas, menengah, maupun bawah mayoritas memiliki tingkat kesehatan dengan kategori sedang berturut-turut sebesar 88,9 persen, 100 persen, dan 100 persen.


(1)

22. Apakah pendapatan dari lahan pertanian cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Anda?

( ) Ya ( ) Tidak

23. Apakah Anda hanya bergantung pada lahan pertanian sebagai sumber penghasilan?

( ) Ya (langsung ke nomor 26) ( ) Tidak

24. Jika tidak, apakah sumber penghasilan lain yang Anda miliki?

………

25. Berapa pendapatan yang diperoleh dari sumber penghasilan lain tersebut?

Rp………. /bulan

C. FAKTOR EKSTERNAL

26. Apakah ada dari tetangga Anda yang memiliki lahan pertanian di sekitar Anda yang mengkonversi lahan pertaniannya?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 29)

27. Berapa jumlah tetangga Anda yang mengkonversi lahan pertaniannya? ( ) Banyak ( ) Sedikit

28. Apakah hal tersebut mempengaruhi Anda untuk ikut mengkonversi lahan? ( ) Ya ( ) Tidak

29. Apakah ada pengusaha (swasta) di bidang non-pertanian yang mempengaruhi Anda dalam mengkonversi lahan?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 32)

30. Berapa kali pengusaha tersebut datang menemui Anda untuk kepentingan tersebut?

………. Kali

31. Apakah pihak pengusaha itu mempengaruhi Anda untuk ikut mengkonversi lahan?

( ) Ya ( ) Tidak

32. Apakah dulu pemerintah daerah mendukung pengembangan pertanian di sini?

( ) Ya ( ) Tidak

33. Jika ya, Apakah bentuk dukungan pemerintah daerah tersebut?

……….

34. Apakah sekarang pemerintah daerah mendukung pengembangan pertanian di sini?

( ) Ya ( ) Tidak

D. TARAF HIDUP RUMAH TANGGA RESPONDEN


(2)

Sebelum Konversi Sesudah Konversi a. Pendapatan Pertanian a. Pendapatan Pertanian b. Pendapatan non pertanian b. Pendapatan non pertanian c. Bantuan Anggota Keluarga c. Bantuan Anggota Keluarga 1. Pendapatan

rata-rata/panen

Total: Total: Perumahan tempat tinggal

Dinding rumah a. tembok b. bambu/triplek

a. tembok b. bambu/triplek Lantai rumah a. tanah

b. semen c. keramik a. tanah b. semen c. keramik 2.

Kamar mandi a. sumur b. pompa air c. tidak punya

a. sumur b. pompa air c. tidak punya Kepemilikan Aset

a. Televisi a. Televisi b. Radio b. Radio c. Kulkas c. Kulkas d. DVD/VCD d. DVD/VCD e. Kipas angin e. Kipas angin f. AC f. AC

g. Komputer g. Komputer h. Telepon h. Telepon i. Telepon seluler i. Telepon seluler j. Parabola j. Parabola k.Setrika k.Setrika l. Rice cooker l. Rice cooker Perabotan

m.Mesin cuci m.Mesin cuci a. Motor a. Motor b. Mobil b. Mobil Kendaraan

c. Tidak punya c. Tidak punya a. <0,25 hektar a. <0,25 hektar b. 0,25-0,5 hektar b. 0,25-0,5 hektar 3.

Tanah

c.≥0,5 hektar c.≥0,5 hektar a. SD a. SD b. SMP b. SMP c. SMA c. SMA 4. Rata-rata Tingkat

Pendidikan anak

d. S1 d. S1

e. tidak sekolah e. tidak sekolah a. berobat di rumah sakit dan ada

dokter khusus/spesialis

a. berobat di rumah sakit dan ada dokter khusus/spesialis

b. berobat di PUSKESMAS, ASKES

b. berobat di PUSKESMAS, ASKES

5. Kesehatan

c. berobat di dukun c. berobat di dukun

Lampiran 2

Panduan Pertanyaan

a. Panduan pertanyaan untuk responden (rumahtangga petani)

1. Sejak kapan Anda menjadi petani? 2. Mengapa Anda menjadi petani?

3. Tanaman apa yang paling menjanjikan?


(3)

5. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini? Apa saja bantuan yang pernah diberikan oleh pemerintah? Jelaskan! 6. Bagaimana cara Anda memperoleh lahan tersebut?

7. Seberapa penting lahan tersebut bagi Anda? 8. Apa fungsi utama lahan menurut Anda? 9. Sejak kapan Anda ikut mengkonversi lahan? 10. Mengapa Anda ikut mengkonversi lahan?

11. Jika mungkin, ceritakan proses bagaimana Anda mengkonversi lahan! 12. Apakah ada yang mendorong Anda untuk ikut mengkonversi lahan? 13. Apa yang anda rasakan setelah Anda mengkonversi lahan?

14. Menurut Anda, apakah ada perbedaan antara sebelum dan sesudah mengkonversi lahan?

15. Setelah mengkonversi lahan, apakah pendapatan rumah tangga Anda berubah? Menurun atau meningkat?

16. Apakah setelah mengkonversi lahan hidup Anda terasa lebih baik dan sejahtera?

b. Panduan pertanyaan (informan/ aparat desa/ tokoh masyarakat/ warga setempat

1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat di sini? 2. Kira-kira berapa jumlah petani di sini?

3. Siapa saja petani yang memiliki lahan sendiri? 4. Siapa saja petani yang kini mengkonversi lahannya?

5. Sejak kapan fenomena konversi lahan mulai banyak terjadi di sini?

6. Menurut Anda, mengapa petani di sini banyak yang mengkonversi lahannya? Kira-kira, apa faktor utama yang mendorong hal tersebut terjadi?

7. Apakah pihak pengusaha ikut mempengaruhi proses terjadinya konversi tersebut?

8. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di sini?

9. Bagaimana reaksi pemerintah daerah terhadap fenomena konversi lahan yang marak terjadi di sini?

10. Apakah sebelum terjadinya konversi lahan status kesehatan warga di sini sudah baik?

11. Apakah setelah adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, akses kesehatan jadi mudah? Apakah ada peningkatan mutu kesehatan?

12. Apakah rata-rata tingkat pendidikan masyarakat, khususnya rumah tangga petani di sini?

13. Menurut Anda, bagaimana tingkat kesejahteraan petani yang telah mengkonversi lahan?

14. Selain bertani, apakah rata-rata mata pencaharian warga di sini? 15. Apakah peluang usaha di sini terbuka lebar?

16. Apakah rumah tempat tinggal di sekitar sini rata-rata sudah merupakan bangunan permanen?

17. Menurut Anda, apakah dampak dari adanya perluasan kawasan perumahan X bagi masyarakat dan lingkungan setempat?


(4)

Lampiran 3.

Contoh UjiChi-Square

Crosstab Count

Konversi rendah tinggi

Total

Pendapatan Rumahtangga Petani Lapisan Bawah

rendah

1 16 17


(5)

Total 2 19 21

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.373(b) 1 .241

Continuity

Correction(a) .051 1 .822

Likelihood Ratio 1.104 1 .293

Fisher's Exact Test .352 .352

Linear-by-Linear

Association 1.308 1 .253

N of Valid Cases 21

a Computed only for a 2x2 table

b 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .38.

Crosstab Count

Konversi rendah tinggi

Total

Pendapatan Rumahtangga Petani Lapisan Menengah

rendah

1 3 4

tinggi 0 1 1

Total 1 4 5

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .313(b) 1 .576

Continuity

Correction(a) .000 1 1.000

Likelihood Ratio .505 1 .477

Fisher's Exact Test 1.000 .800

Linear-by-Linear

Association .250 1 .617

N of Valid Cases 5

a Computed only for a 2x2 table


(6)

✂✄