dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedang interprestasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran
atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari 1984: 12-13 pada fase interprestasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu memegang peranan yang penting.
Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal- hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli Jalaluddin 1998: 55. Dilain pihak Gibson 1986: 54 menyatakan bahwa “persepsi meliputi juga kognisi pengetahuan yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang
dari sudut pengalaman yang bersangkutan”. Persepsi masyarakat pada partisipasi politik Pemilu Legislatif 2004 muncul karena adanya penilaian seseorang
terhadap Pemilu Legislatif 2004. Apakah masyarakat menilai hasil Pemilu 2004 dapat dipercaya atau tidak dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat itu sendiri. Persepsi dalam hal merupakan kemampuan individu dalam
memberikan sikap, pemahaman, pengetahuan serta tanggapan terhadap proses demokrasi tersebut, sehingga diketahui keterlibatan diri, sumbangan dan tanggung jawab dalam rangka partisipasi politiknya.
Persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal. Kedua faktor ini menimbulkan persepsi karena di dahului oleh proses yang dikenal dengan komunikasi. Demikian pula proses komunikasi ini terselenggara
dengan baik atau tidak tergantung persepsi masing-masing orang terlibat dalam proses komunikasi tersebut Thoha, 2005: 139.
3. Perilaku Pemilih
Psikolog memandang perilaku manusia human behavior sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Pada manusia khususnya dan pada berbagai spesies hewan umumnya memang terdapat bentuk-
bentuk perilaku instinktif spcies-specific behavior yang didasari oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan Saifuddin Azwar, 2005: 9.
Perilaku adalah menyangkut sikap manusia yang akan bertindak sesuatu. Oleh karena itu sangat masuk akal tampaknya apabila sikap ditafsirkan dari bentuk perilaku. Dengan kata lain, untuk mengetahui sikap seseorang
terhadap sesuatu, kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu.
Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam konteks situasional
tertentu akan tetapi interprestasi sikap harus sangat hati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang Saifuddin Azwar, 2005: 90-91.
Hubungan perilaku pemilih electoral behavior dalam Pemilu, menurut Asvi Warman 1999: 34, dijelaskan bahwa paling sedikit ada dua model yang menjelaskan mengapa orang memilih sebuah partai.
Pertama, pada pendekatan sosiologis digambarkan peta kelompok masyarakat dan setiap kelompok dilihat sebagai basis dukungan terhadap partai tertentu. Pengelompokan ini bisa berdasarkan gender perempuan dan laki-laki, usia
muda dan lanjut usia. Dapat pula berdasarkan organisasi formal dan informal. Pendekatan sosiologis mengasumsikan bahwa preferensi politik, sebagaimana juga preferensi voting, adalah produk karakteristik sosio
ekonomi, seperti pekerjan, kelas, agama dan ideologi. Menurut Hadi 2006: 23, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
dalam menentukan perilaku pemilih Kedua, model psikologi yang menggunakan identifikasi partai sebagai konsep kunci. Identifikasi partai berarti “rasa
keterikatan individu terhadap partai”, sekalipun ia bukan anggota. Perasaan itu tumbuh sejak kecil, diperoleh dari orang tua atau lingkungan keluarga. Selain itu, bagi orang yang tidak peduli program partai, figur pemimpin sangat
menentukan. Munculnya pendekatan psikologis merupakan reaksi atas ketidak puasan terhadap beberapa ilmuwan politik terhadap
pendekatan sosiologis. Beberapa ilmuan penganut pendekatan psikologis menganggap pendekatan sosiologis secara metodologis sulit dilaksanakan, terutama dalam aspek pengukurannya.
Dalam pendekatan psikologis, perilaku pemilih ditentukan oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam diri pemilih voters sebagai produk dari proses sosialisasi. Sikap seseorang di sini sebagai refleksi dari kepribadian
seseorang yang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya Krisno Hadi, 2006: 26.
Gaffar dalam Warman 1999: 34 menyatakan bahwa faktor sosio-religius kultural menjadi determinan utama dalam pemilu di desa di Jawa. Para santri memilih partai berbasis agama, kelompok abangan memilih partai sekuler. Selain
itu faktor kepemimpinan formal maupun non formal juga berperan besar. Sementara Abdul Munir 1999: 36 dalam artikel memahami perilaku pemilih Islam menyatakan bahwa, secara sosio-
kultural, masa umat yang cenderung tidak taat syariah itu bukan karena rendahnya komitmen keagamaan mereka, tetapi karena kecerendungan elitis dari hukum formal syariah. Hal ini tidak hanya dialami oleh gerakan Islam tetapi
juga berbagai gerakan keagamaan seperti Kristen dengan lembaga gerejanya. Selain dua faktor tersebut di atas, pada masa transisi, penentu pilihan dalam pemilu adalah uang. Ideologi dan
program bukanlah ukuran. Sikap dan kebijakan tertentu dari pemerintah tidak lagi menjadi pertimbangan. Selama ekonomi Indonesia masih terpuruk seperti saat ini, uang akan tetap menjadi salah satu penentu perilaku pemilih Asvi
Warman,1999: 35.
Menurut Asfar 2006 : 137-145, pendekatan perilaku memilih selama ini selain didasarkan dua model atau pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi dan pendekatan psikologi, ada pula pendekatan rasional. Dalam pendekatan
rasional, pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku memilihnya pun masyarakat akan dapat bertindak rasional, yakni memberikan suara ke partai yang dianggap mendatangkan
keuntungan dan kemaslahatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian atau kemudlaratan yang sekecil- kecilnya.
Dalam pendekatan terdahulu, secara implisit dan eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong, ibarat wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas kemauan dalang. Pemilih seolah-olah pion catur
yang dengan mudah ditebak langkah-langkahnya. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan
jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, afiliasi-afiliasi okupasi atau identifikasi partai
melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan variabel-variabel yang secara sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi perilaku politik seseorang. Pemilih seolah-olah berada dalam ruang dan waktu yang
kosong, yang keberadaan dan ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya.
4. Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan masyarakat empowerment mulai tampak ke