dengan penderita stroke. Jika teknik sadap dan teknik libat cakap selesai dilakukan, maka teknik lanjutannya adalah teknik rekam dan teknik catat.
Teknik rekam digunakan untuk mendapat data yang akurat melalui bunyi ujaran yang dihasilkan penderita Afasia Broca ketika peneliti mengadakan tanya
jawab. Penelitian dilakukan dengan cara perekaman, yaitu dengan menggunakan tape recorder sebagai alatnya Sudariyanto 1993:135. Alat yang digunakan
peneliti untuk memperoleh data dari informan adalah Handphone Mito. Teknik catat adalah pengambilan data yang dilakukan peneliti dengan cara
mencatat pada buku atau kartu data Sudaryanto 1993:135. Teknik catat dilakukan dengan mencatat hal penting dari hasil penelitian saat menyimak
percakapan penderita Afasia Broca Stroke.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan artikulatoris. Metode padan artikulatoris adalah sebuah metode yang digunakan
untuk menganalisis data bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang diartikulasikan penderita stroke ketika berbicara sampai pada penentu. Teknik dasar untuk
mengkaji data tersebut adalah teknik pilah unsur penentu PUP yaitu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Maksudnya adalah
kemampuan yang dimiliki oleh peneliti untuk memilah. Setelah data dikumpulkan, peneliti memilah-milah bagaimana bunyi ujaran vokal dan
konsonan Bahasa Indonesia penderita, serta memilah gangguan bunyi seperti gangguan subtitusi, pelesapan, penambahan atau metatesis yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
penderita stroke. Teknik ini dilakukan sekaligus untuk menjawab masalah
pertama.
1.Peneliti : Bou makan apa tadi pagi? DM : mmu...mmu [bubur]
2. Peneliti : Siapa nama bou? DM : hemm...mma [Derma]
3. Peneliti : Bou, berapakan anak bou yang sudah menikah? DM : eee...mm...aaa [empat orang]
Dari data di atas peneliti simpulkan bahwa, penderita Afasia Broca menjawab data pertama dari peneliti hampir sesuai dengan jawaban yang
diharapkan oleh peneliti, hanya saja penderita Afasia Broca menjawab pertanyaan tersebut menukar bunyi [b] bilabial bersuara ditukar menjadi bunyi bilabial nasal
bersuara [m] yaitu [mmu...mmu] yang seharusnya dijawab adalah bubur, sehingga terjadi gangguan subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran. Selanjutnya pada data
yang ke dua penderita menjawab [hemm...mma] yang seharusnya penderita Afasia Broca menjawab Derma. Dari jawaban tersebut terjadi juga gangguan subtitusi
atau pertukaran bunyi [d] apiko dental plosif bersuara menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Tidak hanya itu pada jawaban kedua terjadi juga
pelesapan bunyi ujaran [r] alveolar bersuara. Selanjutnya pada jawaban yang ketiga penderita Afasia Broca melesapkan dua bunyi bahasa sekaligus yaitu pada
bunyi [t] apiko dental tidak bersuara dan bunyi [p] bilabial plosif tidak bersuara,
Universitas Sumatera Utara
pada bunyi kata [eee..mmm..aaa] seharusnya peneliti mengharapkan penderita Afasia Broca menjawab empat.
Teknik lanjutan dari teknik dasar pilah adalah teknik hubung banding membedakan HBB. Peneliti akan membedakan atau membandingkan bunyi
ujaran yang dihasilkan penderita stroke dengan bunyi yang dihasilkan manusia normal sehingga ditemukan perbedaan bunyi sekaligus menjawab masalah yang
kedua. Dari tanya jawab di atas diperoleh juga bunyi ujaran yang selalu terganggu
pada penderita stroke adalah bunyi bilabial plosif bersuara, bunyi plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi nasal bersuara yaitu [m] contoh 1. [bubur] menjadi
[mmu..mmu]. Bunyi apiko dental plosif bersuara yaitu [d] bertukar menjadi bunyi glotal faringal tidak bersuara yaitu [h] contoh 2. [derma] menjadi
[hemm.mma] . Bunyi [p] bilabial plosif tidak bersuara bertukar menjadi bunyi [m] bilabial nasal bersuara contoh 3. [empat] menjadi [eee..mm..aaa] terjadi
pelesapan yaitu [r] alveolar bersuara yaitu pada contoh 2. [derma] menjadi [hemm..mma] dan pelepasan bunyi [t] apiko dental tidak bersuara pada contoh
3. [empat] menjadi [eee..mm..aa] Peneliti dapat simpulkan bahwa, dari empat macam tipe gangguan berbahasa yang sering mengalami gangguan pada ujaran
penderita adalah gangguan subtitusi pertukaran bunyi ujaran, pelesapan bunyi ujaran. Sedangkan untuk gangguan berbahasa metatesis salah urut bunyi ujaran
dan penambahan bunyi ujaran tidak ditemukan dalam ujaran penderita pada data di atas.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV GANGGUAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA PADA
PENDERITA STROKE AFASIA BROCA 4.1 Gangguan Bunyi Ujaran yang dihasilkan Penderita Stroke
Afasia Broca.
Gangguan berbahasa secara umum disebut sebagai afasia Simanjuntak 2009:258. Gangguan berbahasa terbagi dua jenis yaitu gangguan berbahasa
Broca Afasia Broca dan gangguan berbahasa Wernicke Afasia Wernicke. Gangguan berbahasa Broca adalah gangguan produksi ujaran yang terjadi akibat
kerusakan pada hemisfer kiri otak. Gangguan yang ditandai pada penderita Afasia Broca adalah berkurangnya jumlah ujaran, gangguan artikulasi, lamban, dan
kesulitan yang luar biasa dalam mengucapkan bunyi ujaran. Gangguan berbahasa Wernicke adalah gangguan pemahaman berbahasa yang disebabkan oleh rusaknya
Medan Wernicke yang menganalisis pemahaman manusia. Penderita Afasia Wernikce dapat mengujarkan bunyi-bunyi bahasa dengan lancar, tetapi penderita
tidak dapat memahami bunyi-bunyi bahasa yang diucapkannya. Biasanya bunyi yang diucapkan penderita tidak mengandung arti atau tidak mengandung
informasi Simanjuntak 2009:258. Blumstein dalam Gustianingsih 2009:55 mengelompokkan gangguan berbahasa yang dihasilkan para penderita gangguan
berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni gangguan berbahasa subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran, pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan
metatesis salah urut bunyi ujaran.
Universitas Sumatera Utara