Latar Belakang optimasi proses ekstraksi pada pembuatan karaginan dari rumput laut merah (Eucheuma cottonii) serta aplikasinya sebagai penstabil pada sirup markisa

Pascapanen rumput laut setelah pemanenan memegang peranan sangat penting dalam industri rumput laut. Kegiatan penanganan pascapanen menentukan mutu rumput laut yang dihasilkan sebagai bahan baku untuk pengolahan. Kegiatan ini harus dilakukan dengan seksama mulai dari cara pemanenan, pencucian, pengeringan dan bahkan sampai pengemasan dan penyimpanan. Kegiatan pengolahan akan menciptakan suatu produk baru yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi dari sekedar menjual bahan mentah. Rumput laut dapat diolah menjadi bahan setengah jadi seperti ATC Alkali Treated Cottonii, ataupun SRC semirefined carrageenan baik dalam bentuk chip atau tepung. Usaha untuk memproduksi karaginan dengan kualitas yang baik telah banyak dilakukan melalui berbagai penelitian. Balai riset dan para peneliti di instansi terkait sangat aktif meneliti untuk menghasilkan karaginan yang berkualitas. Beberapa penelitian terdahulu yang mengarah pada optimasi proses dan peningkatan kualitas dapat dijadikan acuan dalam perolehan karaginan dengan kualitas yang lebih baik. Purnama 2003 yang meneliti tentang optimasi proses pembuatan karaginan melaporkan bahwa jumlah air 40 kali berat bahan baku kering. suhu ekstrak 90-95 o Problematika utama dalam industri rumput laut adalah proses ekstraksi karaginan yang cukup rumit, membutuhkan waktu yang lama sehingga relatif menghabiskan energi yang cukup besar. Hal tersebut menyebabkan pengembangan industri karaginan Indonesia menjadi terhambat. Penelitian tentang proses ekstraksi yang optimal masih perlu dilakukan khususnya waktu ekstraksi yang lebih singkat dan penggunaan bahan presipitasi karaginan selain IPA Isopropil alkohol yang harganya cukup mahal dipasaran sehingga masalah proses ekstraksi tersebut dapat diminimalkan serta melakukan uji aplikasi untuk mengetahui pemanfaatan karaginan hasil optimasi sebagai penstabil pada produk sirup. C selama 3 jam dan pelarut KCl 1 sebanyak satu kali volume larutan merupakan kondisi yang optimal. Murdinah 2008 yang meneliti tentang pengaruh bahan pengekstrak dan penjendal terhadap mutu karaginan melaporkan penggunaan pengekstrak soda abu 0.5, bahan penjendal KCl 3 dan bahan pengendap IPA merupakan proses terbaik untuk ekstraksi karaginan. Sedangkan penelitian Basmal et al 2009 yang meneliti tentang pengaruh konsentrasi KCl pada proses presipitasi karaginan melaporkan konsentrasi KCl 2 sebagai perlakuan terbaik untuk presipitasi karaginan.

1.2 Perumusan Masalah

Petani rumput laut saat ini menjual hasil panennya dalam bentuk rumput laut kering, sedangkan untuk dapat meningkatkan pendapatan petani maka rumput laut yang dipanen dapat diolah menjadi karaginan. Problematika dalam pengembangan untuk pengolahan karaginan ditingkat petani dapat dirumuskan sebagai berikut : penggunaan air yang masih sangat banyak, penggunaan bahan kimia yang relatif mahal dan waktu proses yang terlalu lama karena adanya penjendalan dan pengepresan. Untuk mengevaluasi produk karaginan yang dihasilkan maka diperlukan penelitian seperti aplikasi karaginan untuk produk sirup markisa.

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang dapat disusun dari penelitian ini adalah : 1. Jumlah penggunaan air masih dapat dikurangi tanpa mengurangi mutu karaginan yang dihasilkan. 2. Penggunaan bahan presipitasi selain IPA Isopropil alkohol dan suhu presipitasi berpengaruh terhadap mutu karaginan. 3. Waktu proses masih dapat dipersingkat.

1.4 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk : 1. Mengoptimalkan proses ekstraksi karaginan perbandingan air, konsentrasi KCl dan suhu presipitasi pada rumput laut merah untuk mempersingkat waktu proses dan melakukan uji mutu untuk memperoleh karakteristik fisiko- kimia dan fungsional karaginan hasil ekstraksi. 2. Menentukan dan mengkaji proses ekstraksi yang optimal. 3. Mengaplikasi karaginan hasil proses ekstraksi yang optimal pada produk sirup markisa serta mengkaji mutu sirup yang dihasilkan. II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput laut

Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka akar, batang, dan daun. Meskipun wujudnya tampak seperti ada perbedaan, bentuk yang sesungguhnya hanya berupa thalus. Secara umum, rumput laut dikelompokkan dalam empat kelas yaitu rumput laut hijau Chlorophyceae, rumput laut hijau-biru Cyanophyceae, rumput laut coklat Phaecophyceae dan rumput laut merah Rhodophyceae. Rumput laut coklat dan rumput laut merah memiliki habitat yang cukup banyak ditemukan di perairan Indonesia Winarno, 1990. Menurut Anggadireja et al 2008, keanekaragaman jenis rumput laut yang sangat luas, sehingga diperlukan adanya klasifikasi rumput laut berdasarkan hasil produksinya. Klasifikasi rumput laut Indonesia komersil beserta hasil produksinya dapat dilihat pada Gambar 1,. Gambar 1 Klasifikasi rumput laut Indonesia dan hasil produksinya.