Uji organoleptik Formulasi Sirup Markisa Terpilih .1 Analisis Mikrobiologi

Faktor warna tampil terlebih dahulu dalam penentuan mutu suatu produk, disamping itu warna biasa digunakan sebagai indikator kesegaran produk. Nilai pada parameter warna -0.82. Nilai negatif yang dihasilkan menunjukkan bahwa warna produk baru tidak sama dengan produk lama komersil. Produk baru markisa karaginan cenderung berwarna orange atau kuning gelap sedangkan panelis lebih menyukai produk markisa yang berwarna kuning cerah markisa komersil. Gambar 22 Hasil uji perbandingan pasangan sirup markisa Indera yang digunakan untuk uji rasa adalah lidah. Tingkat kepekaan seseorang terhadap rasa manis dan rasa asam tidak sama. Pada uji rasa ini panelis memberikan respon yang berbeda tergantung kesukaan dan kepekaan inderanya, walaupun respon yang diberikan diharapkan tidak mempengaruhi kesukaan panelis. Pada uji pembanding rasa manis, rata-rata nilai yang dihasilkan adalah - 1.54 dan uji pembanding rasa asam adalah 1.95. Nilai negatif pada rasa manis menunjukkan bahwa rasa manis produk baru tidak sama dengan produk lama komersil. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan formulasi dan pengujian ulang sehingga dapat tercapai rasa manis yang diinginkan. Nilai positif pada rasa asam menujukkan bahwa tingkat keasaman produk baru lebih tinggi dibandingkan produk komersil. Panelis umumnya menyukai rasa asam yang tidak berlebihan sehingga masih diperlukan formulasi yang lebih baik untuk menyeimbangkan antara rasa manis dan rasa asam. Aroma sirup umumnya tergantung pada aroma buah yang digunakan. Pada uji organoleptik ini maka aroma yang ingin ditonjolkan pada produk adalah aroma markisa. Hasil uji pembeda yang diperoleh adalah 1.12. Hal ini menunjukkan bahwa aroma produk baru diatas aroma produk komersil dan panelis umumnya menyukai produk sirup yang beraroma khas buah-buahan. Artinya upaya untuk mencapai aroma yang sesuai atau lebih baik dari produk komersil sudah tercapai mengingat bahwa aroma yang sangat kuat kadang menyebabkan produk sirup kurang disukai oleh panelis. V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1 Sifat kimia dan fisik karaginan Eucheuma cottonii yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO, FCC dan ECC, dengan perlakuan optimum yang dihasilkan adalah perbandingan air 1: 20, konsentrasi KCl 1 dan suhu presipitasi 30 o C A1B1C2 berdasarkan parameter rendemen sebesar 31.77, viskositas 145.00 cP, kekuatan gel 1897.14 gcm 2 , kadar air 9.73, kadar abu 29.59, kadar abu tak larut asam 0.83, kadar sulfat 18.36 dan derajat putih 51.57. 2 Optimasi proses ekstraksi karaginan pada penelitian adalah waktu proses yang lebih singkat 1 hari untuk memperoleh karaginan, perbandingan air lebih sedikit dan penggunaan bahan kimia yang lebih murah dan konsentrasi yang lebih rendah. 3 Sifat fisik dan kimia sirup markisa yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan karaginan konsentrasi 4.4 formula C pada pembuatan sirup markisa mempunyai sifat fisik kimia yang hampir sama dengan sirup markisa komersil dengan nilai pH 3.30, viskositas 611.33 cP, kekeruhan 6056.667 NTU, total gula 42.0 . Berdasarkan uji perbandingan pasangan, menunjukan bahwa sirup markisa karaginan mempunyai kelarutan, rasa asam dan aroma yang lebih baik dari sirup markisa komersil, sedangkan warna dan rasa manis, sirup markisa karaginan lebih rendah dari sirup markisa komersil.

5.2 Saran

Penelitian tentang optimasi proses masih bisa terus dikaji lebih baik, khususnya penambahan variasi suhu yang digunakan DAFTAR PUSTAKA Afrianto E. Liviawaty E. 1987. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Penerbit Bhatara. Jakarta. Alpis. 2002. Mempelajari pembuatan kloro-karagenan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan penambahan kombinasi beberapa konsentrasi KOH dan KCl. [Skrips]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Anonim. 1991. Rumput Laut di Indonesia. Seaweed in Indonesia. Penerbit Bank Bumi Daya. Jakarta. Anggadireja J.T. 1993. Potensi Makro Rumput laute Laut Seaweed sebagai Pangan dan Nilai Gizi Berbeda Jenis. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. LIPI. Jakarta 20-22 April 1993. Anggadireja J.T., A. Zatnika. Heri Purwoto dan Sri Istini. 2008. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Angka SL dan Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Cetakan Pertama. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. AS Kobenhvns Pektifabrik. 1978. Carrageenan. Lilleskensved. Denmark. P 156-157. AOAC. 1990. Official Methods of Analysis the Association. 15 th . Ed. AOAC. Virginia: AOAC Inc. Arlington. Apriyantono AD. Fardiaz D. Puspitasari N. Sodarnawati. Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Arifin M. 1994. Penggunaan Kappa Karagenan Sebagai Penstabil stabilizer pada pembuatan fish loaf dari ikan tongkol Euthynnus sp Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor. Asp. N.G.. H. Halmer and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. Journal Dietary Fiber. J. Agri. Food Chem. 31 : 476-482. Astawan M. Koswara S. Herdiani F. 2004. Pemanfaatan Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Meningkatkan Kadar lodium dan Serat Pangan pada Selai dan Dodol. Jurnal Teknologi dan Industri pangan. XV 1: 61. Atmadja WS., Kadi A. Sulistijo. Rachmaniar. 1995. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi-LIPI Atlas R.M. 1994. Microorganism in Our World. University of Louisville. Louisville. Kentucky.