dengan 100. Pada tahun dasar IHK akan bernilai 100. Dalam penelitian ini tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2005. IHK dipakai untuk mengukur
rata-rata perubahan harga dari suatu paket komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakatrumah tangga di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
3. Output riil atau Produk Domestik Bruto PDB riil merupakan total nilai
tambah bruto yang dihasilkan unit produksi yang beroperasi disuatu wilayah negara dalam jangka waktu tertentu. PDB atas harga konstan menunjukkan
nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB yang digunakan dalam
penelitian ini sudah disesuaikan dengan paritas daya beli PPP menggunakan dolar internasional dengan tahun dasar 2005. Berdasarkan literatur ekonomi
bahwa inflasi buruk bagi pertumbuhan maka variabel ini diperlakukan sebagai variabel endogen.
4. Suku bunga riil adalah suku bunga disesuaikan dengan inflasi yang diukur
dengan PDB deflator. 5.
Keterbukaan perdagangan trade openness merupakan rasio total perdagangan ekspor dan impor terhadap output yang digunakan sebagai
ukuran keterbukaan perdagangan. Definisi operasional dari masing-masing variabel instrument yang berasal
dari World Bank WDI yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB PDB mencakup kehutanan, perburuan, dan perikanan, serta budidaya tanaman dan produksi ternak.
2. Kontribusi sektor industri terhadap PDB PDB mencakup divisi 10-45
International Standard Industrial Classification ISIC termasuk manufaktur terdiri dari nilai tambah di bidang pertambangan, manufaktur, konstruksi,
listrik, air, dan gas. 3.
Investasi langsung luar negeri foreign direct investmentFDI merupakan penjumlahan dari modal ekuitas, reinvestasi pendapatan lainnya, modal jangka
panjang, dan modal jangka pendek seperti yang ditunjukkan dalam neraca pembayaran. Variabel ini menunjukkan arus masuk bersih arus masuk
investasi baru kurang disinvestasi dibagi dengan PDB.
IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN
NEGARA-NEGARA ASEAN+3
4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia
Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga juta barel per hari yang menyebabkan harga di atas US 25 per barel.
Harga terus meningkat sepanjang tahun 2000 karena masalah Y2K serta pertumbuhan ekonomi dunia dan AS. Antara bulan April dan Oktober 2000
peningkatan kuota OPEC tiga kali berturut-turut yang seluruhnya berjumlah 3,2 juta barrel per hari tidak mampu membendung kenaikan harga. Harga
akhirmya mulai turun menyusul ditingkatkannya kuota sebesar 500.000 yang efektif mulai 1 November 2000. Pada tahun 2001, pelemahan ekonomi AS dan
peningkatan produksi non-OPEC memberikan tekanan ke bawah pada harga. Menanggapi hal itu, OPEC sekali lagi mengadakan serangkaian pengurangan
pemotongan kuota anggota 3,5 juta barel tanggal 1 September 2001. Tanpa adanya serangan teroris 11 September 2001 maka hal ini sudah cukup untuk
membuat moderat atau bahkan membalikkan tren. Konsumsi minyak mentah dunia dan produk-produknya yang lebih dari 80 juta barel per hari menyebabkan
harga mencapai lebih dari US 40 - US 50 per barel.
1
Faktor-faktor utama lainnya yang berkontribusi ke tingkat harga saat ini antara lain melemahnya dolar AS dan makin pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia
dan konsumsi minyaknya. Badai pada tahun 2005 dan masalah kilang AS telah memberikan kontribusi terhadap harga yang lebih tinggi. Salah satu faktor yang
paling penting yang mendukung harga minyak yang tinggi ini adalah tingkat persediaan minyak di AS dan negara-negara konsumen lainnya. Kapasitas
cadangan memberikan alat yang sangat baik untuk perkiraan harga jangka pendek. Alasan utama untuk memotong kembali produksi pada bulan nopember 2006 dan
Februari 2007 adalah kekhawatiran tentang pertumbuhan persediaan minyak mentah OECD. Tingginya faktor spekulasi membuat indeks harga minyak dunia
sejak tahun 2003 menjadi sangat bergejolak volatile.
1
Oil Price History and Analysis http:www.wtrg.comprices.htm
Adanya perbedaan kebijakan penetapan harga pricing policy energi khususnya bahan bakar minyak di negara-negara ASEAN+3 memengaruhi besar
kecilnya dampak dari kenaikan harga minyak dunia terhadap perekonomian masing-masing negara. Walaupun secara umum negara-negara akan cenderung
menyesuaikan harga energi domestiknya dengan tingkat harga energi dunia, namun perilaku penyesuaian antar negara dapat berbeda. Ada beberapa negara
yang cenderung mempertahankan harga minyak dalam negeri meskipun harga minyak dunia meningkat dengan mekanisme subsidi, namun ada beberapa negara
yang meningkatkan harga minyak domestik untuk melakukan penyesuaian. Kenaikan harga minyak mentah dunia ini mendorong pemerintah untuk
menyesuaikan harga bahan bakar seperti bensin untuk mengurangi beban anggaran negara. Perkembangan harga bensin di negara-negara ASEAN+3 dapat
dilihat di Tabel 5. Kenaikan harga bensin di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura selama periode tahun 1998-2008 berkisar antara 10
sampai 50 persen. Kenaikan harga bensin di Jepang tergolong paling rendah selama periode tahun 1998-2008 yaitu sebesar 57 persen. Hal ini berbeda dengan
kenaikan harga bensin di negara-negara berkembang di ASEAN+3 yang naik lebih dari 100 persen. Bahkan kenaikan harga bensin di Indonesia tergolong
paling tinggi yaitu hampir empat kali lipat. Tabel 5. Perkembangan Harga Bensin di Negara-negara ASEAN+3,
Tahun 1998-2010 US Sen per Liter
Negara 1998
2000 2002
2004 2006
2008 2010
Indonesia 0.16
0.17 0.27
0.27 0.57
0.60 0.79
Malaysia 0.28
0.28 0.35
0.37 0.53
0.53 0.59
Filipina 0.34
0.37 0.35
0.52 0.76
0.91 1.05
Singapura 0.72
0.84 0.85
0.89 0.92
1.07 1.42
Thailand 0.30
0.39 0.36
0.54 0.70
0.87 1.41
China 0.28
0.40 0.42
0.48 0.69
0.99 1.11
Jepang 1.02
1.06 0.91
1.26 1.09
1.74 1.60
Korea Selatan 0.93
0.92 1.09
1.35 1.65
- 1.52
Sumber: WDI, 2011 Catatan: Pada November 2008, subsidi bahan bakar diterapkan di Indonesia dan Malaysia, pajak
bahan bakar diterapkan di Thailand, Filipina, China, dan Singapura sedangkan pajak bahan bakar sangat tinggi diterapkan di Jepang dan Korea Selatan.
Pada November 2004, harga minyak mentah di pasaran dunia “Brent” di Rotterdam adalah 27 US sen per liter dan harga eceran bensin di Amerika Serikat
adalah 54 US sen per liter. Pada November 2008, harga minyak mentah di pasaran dunia “Brent” di Rotterdam naik menjadi 30 US sen per liter, di Amerika Serikat
naik menjadi 56 US sen per liter, dan di Spanyol naik menjadi 123 sen per liter yang merupakan harga bahan bakar terendah di wilayah Uni Eropa. Menurut GTZ
dalam International Fuel Prices, harga eceran bahan bakar digolongkan dalam empat kategori yaitu: 1 subsidi bahan bakar sangat tinggi, dimana harganya di
bawah harga minyak mentah di pasar dunia; 2 subsidi bahan bakar, dimana harganya di atas harga minyak mentah di pasar dunia tetapi masih di bawah harga
di Amerika Serikat; 3 pajak bahan bakar, dimana harganya di atas harga minyak mentah di Amerika Serikat tetapi masih di bawah harga bahan bakar terendah di
wilayah Uni Eropa; 4 pajak bahan bakar sangat tinggi, dimana harganya di atas harga bahan bakar terendah di wilayah Uni Eropa.
Pada November 2004, negara dengan subsidi bahan bakar sangat tinggi hanya Indonesia, sedangkan negara dengan subsidi bahan bakar antara lain
Malaysia, Filipina, Thailand, dan China. Negara dengan pajak bahan bakar adalah Singapura sedangkan negara dengan pajak sangat tinggi terhadap bahan bakar
adalah Korea Selatan dan Jepang. Kemudian pada Nopember 2008, posisi ini berubah dimana sudah tidak ada lagi negara dengan subsidi sangat tinggi.
Indonesia sudah menjadi negara dengan subsidi bahan bakar bersama Malaysia. Filipina, Thailand, dan China mengikuti Jepang menjadi negara dengan
menerapkan pajak bahan bakar. Korea Selatan dan Jepang merupakan negara dengan pajak bahan bakar sangat tinggi.
Mekanisme transmisi inflasi terjadi pada kenaikan harga minyak dunia. Pada negara-negara yang tidak menerapkan subsidi bahan bakar minyak, kenaikan
harga minyak meningkatkan biaya produksi dan harga produk yang dihasilkan. Dengan menganggap harga non-energi konstan, hal ini akan mengarah ke inflasi,
pada tingkat permintaan agregat tertentu dan pada akhirnya mendorong perekonomian menuju resesi. Hal ini kemudian menimbulkan masalah pada bank
sentral. Bank sentral memilih antara mengimplementasikan kebijakan moneter