Penggunaan bahan bakar minyak yang makin luas di negara-negara berkembang
disebabkan karena
menguatnya pertumbuhan
ekonomi, meningkatnya penggunaan transportasi, dan berkembangnya kegiatan industri.
Peningkatan kegiatan industri pada akhirnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor industri negara-negara ASEAN+3
terhadap PDB selama tahun 1999 sampai 2008 mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan positif. Jepang mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan 0,9 persen per
tahun disusul Filipina dan Indonesia sebesar 4 persen. Malaysia, Singapura, Thailand, dan Korea Selatan mempunyai rata-rata pertumbuhan tahunan masing-
masing sebesar 5,1 persen, 5,2 persen, 6,1 persen, dan 6,8 persen. China merupakan negara ASEAN+3 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan tertinggi
yaitu 11 persen. Peningkatan permintaan agregat juga berperan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan harga minyak yang berdampak pada inflasi tidak diiringi penurunan pertumbuhan ekonomi seperti pada tahun 1970-an.
Struktur perekonomian negara-negara ASEAN+3 yang didominasi oleh konsumsi meningkatkan permintaan agregat yang pada akhirnya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Hampir seluruh negara-negara ASEAN+3 mempunyai struktur perekonomian yang didominasi oleh konsumsi.
Kenaikan harga minyak dunia juga akan menyebabkan peningkatan pada harga barang-barang domestik karena sebagian besar perusahaan di dalam negeri
masih menggunakan minyak sebagai bahan baku untuk produksi. Peningkatan harga barang domestik ini akan menyebabkan nilai tukar riil domestik terhadap
dolar Amerika mengalami depresiasi melemah. Nilai tukar domestik yang terdepresiasi menyebabkan barang domestik lebih berdaya saing dibanding
dengan barang luar negeri sehingga meningkatkan ekspor neto. Kenaikan ekspor neto ini selanjutnya dapat meningkatkan output domestik.
Pada rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan mengambang sesuai mekanisme pasar. Kurs nominal di suatu negara akan sangat ditentukan oleh
permintaan dan penawaran kurs domestik di pasar valuta asing foreign exchange market. Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh
besar kecilnya perekonomian suatu negara. Jika perekonomian cenderung perekonomian terbuka kecil maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile. Apalagi
jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi.
Pemberian subsidi bahan bakar di beberapa negara juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Nugroho 2010 kebijakan pemberian
subsidi harga BBM dan elpiji kenaikan subsidi dan subsidi aktual menyebabkan PDB riil Indonesia meningkat sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi juga
meningkat. Hal ini disebabkan oleh nilai pengeluaran pemerintah yang meningkat tajam jika dibandingkan dengan nilai konsumsi, investasi, dan ekspor bersih.
Kebijakan tersebut mendorong masyarakat mengkonsumsi BBM dan elpiji lebih banyak karena harga jual eceran BBM dan elpiji turun. Namun menurut
Nugroho 2005, subsidi BBM merupakan suatu hal yang tak sehat karena Indonesia memiliki berbagai macam sumber energi yang lain. Menurutnya,
masalah subsidi BBM sangat erat kaitannya dengan ketergantungan suatu negara yang sangat besar terhadap BBM dalam konsumsi energi nasionalnya sehingga
diperlukan langkah keluar dari perangkap subsidi BBM. Sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang
menekankan efisiensi konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi yang dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur energi.
Pemberlakuan kebijakan subsidi bahan bakar kerap menimbulkan kontroversi. Di satu sisi subsidi dapat menolong daya beli masyarakat yang
rendah dan di sisi lain kebijakan subsidi menjadi beban anggaran pemerintah. Pemberian subsidi hendaknya mempertimbangkan dengan tepat pihak yang paling
membutuhkan bantuan dan dampak ekonomisnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Pemberian subsidi juga dapat menyebabkan degradasi lingkungan
dan jika sudah diberlakukan akan sulit dihapuskan karena rentan menimbulkan vested interes dan perilaku rent seeking yang dominan. Subsidi harga bahan bakar
dirasakan kurang sesuai dalam mengatasi dampak kenaikan harga minyak mengingat harga minyak dunia yang selalu mengalami kenaikan. Untuk itu,
pengalihan subsidi harga menjadi subsidi langsung merupakan salah satu target energi mix di Indonesia.
Laju perubahan tingkat pendidikan berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan laju perubahan
harga minyak sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0006 persen, ceteris paribus. Tingkat pendidikan yang
semakin meningkat menunjukkan peningkatan sumberdaya manusia yang selanjutnya meningkatkan kualitas tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari 17,98 US per barel pada tahun 1999 menjadi 97,04 US per barel pada tahun 2008 atau naik sekitar 23,86 persen
per tahun. Selama periode yang sama, rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 menunjukkan peningkatan yaitu
masing-masing sebesar 3,31 persen dan 5,3 persen per tahun. 2.
Selama tahun 1999-2008, peningkatan harga minyak dunia umumnya diikuti oleh peningkatan inflasi di masing-masing negara ASEAN+3 kecuali di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penerapan subsidi harga bahan bakar minyak yang sangat tinggi di Indonesia. Beberapa negara lainnya menerapkan
pajak terhadap bahan bakar dalam rangka menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Penerapan subsidi bertujuan untuk mengurangi dampak
kenaikan inflasi sedangkan penerapan pajak bahan bakar akan berdampak pada inflasi. Hubungan antara harga minyak dunia dengan pertumbuhan
ekonomi di beberapa negara-negara ASEAN+3 umumnya menunjukkan hubungan yang positif kecuali di Jepang, Filipina, dan Thailand. Hal ini
menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia sekarang tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Hubungan positif antara
harga minyak dunia dengan pertumbuhan ekonomi antara lain terjadi di Indonesia dan Malaysia karena kedua negara tersebut merupakan pengekspor
minyak mentah dan produk-produk olahannya. 3.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan laju perubahan harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi di negara-negara ASEAN+3. Hal
ini disebabkan karena umumnya negara-negara ASEAN+3 tidak melakukan subsidi harga bahan bakar. Kenaikan harga minyak juga dapat mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang lain seperti harga barang dan jasa yang terkait dengan bahan bakar minyak dan kenaikan harga komoditas lain beras, karet,
kelapa sawit, kopi emas, perak, batubara, gas alam, serta bahan tambang lainnya. Tingginya harga minyak juga telah mendorong berkembangnya
produksi biofuel sebagai energi alternatif. Beralihnya penggunaan sejumlah besar komoditas yang semula hanya sebagai bahan pangan menjadi bahan
baku industri biofuel seperti minyak sawit, jagung, gandum, kedelai juga pada akhirnya memicu kenaikan harga. Selain itu, Kenaikan harga minyak
juga menyebabkan kenaikan defisit fiskal dimana salah satu asal inflasi adalah hasil dari ketidakseimbangan fiskal.
4. Kenaikan laju perubahan harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan
pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan yang diperoleh dari ekspor minyak mentah
dan produk-produk olahannya, peningkatan pendapatan negara pengekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, dan
penurunan intensitas minyak. Penurunan intensitas minyak terkait dengan usaha penghematan konsumsi minyak dan perubahan teknologi yang berperan
dalam perekonomian sehingga tidak lagi terlalu terganggu oleh kenaikan harga minyak. Perekonomian saat ini lebih berbasis jasa dan bukan berbasis
manufaktur. Sektor jasa biasanya menggunakan energi lebih sedikit untuk memproduksi daripada sektor industri. Peningkatan permintaan agregat juga
berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan harga minyak yang berdampak pada inflasi tidak diiringi penurunan
pertumbuhan ekonomi seperti pada tahun 1970-an. Peningkatan permintaan agregat ini disebabkan oleh struktur perekonomian negara-negara ASEAN+3
yang didominasi oleh konsumsi serta kenaikan ekspor akibat nilai tukar domestik yang terdepresiasi sehingga menyebabkan barang domestik lebih
berdaya saing dibanding dengan barang luar negeri. 5.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Inflasi yang tinggi sering ditandai dengan kontraksi tingkat GDP dimana
inflasi tinggi terkait dengan kinerja makroekonomi yang buruk. Selain itu, inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Inflasi yang tinggi berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya sosial tinggi
yang harus ditanggung oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Kenaikan tingkat harga akan menurunkan stok uang riil yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan permintaan dan output. Secara umum, inflasi meningkatkan biaya produksi dan transportasi serta menurunkan daya beli
masyarakat sehingga berpengaruh negatif bagi perekonomian. 6.
Inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing dipengaruhi secara positif oleh Inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya namun tidak
signifikan di negara-negara ASEAN+3.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang dapat diberikan pada penelitian ini antara lain:
1. Salah satu upaya untuk mengurangi dampak kenaikan harga minyak terhadap
inflasi negara-negara ASEAN+3 adalah melalui mekanisme revisi harga secara regular untuk menetapkan harga bahan bakar minyak pada tingkat
harga keekonomian untuk menjamin stabilitas ekonomi. Selain itu, penurunan konsumsi minyak juga dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
minyak negara-negara ASEAN+3. Konsumsi minyak yang tinggi di negara- negara ASEAN+3 tidak diiringi dengan produksi supply yang cukup
sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendidik dan menyadarkan konsumen tentang pentingnya konservasi energi misalnya melalui praktek-praktek
manajemen energi yang baik. Penghematan bahan bakar bisa dilakukan melalui efisiensi penggunaan bahan bakar dan penciptaan energi alternatif
seperti energi surya, tenaga air, angin, panas bumi, serta pemanfaatan bahan bakar alternatif seperti biofuel dan briket batubara. Hal ini sejalan dengan
kesepakatan para pemimpin ASEAN untuk mengembangkan sumber energi yang lebih inovatif dan energi terbarukan dengan mensinergikan apa yang bisa
dilakukan pada tingkat kawasan sebagai salah satu upaya meningkatkan ketahanan energi. Selain itu, pembangunan infrastruktur energi lain seperti
gas alam dan batubara dan memasukkan upaya pengurangan peranan minyak dalam salah satu target energy mix diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi maka untuk
mengurangi dampak kenaikan harga minyak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara penghasil minyak adalah menyiapkan dana cadangan yang
berasal dari kelebihan penerimaan ekspor minyak akibat dampak kenaikan harga minyak mentah dunia. Selanjutnya dana cadangan ini dapat digunakan
untuk memenuhi permintaan minyak dalam negeri. Selain itu juga dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah produk-produk ekspor yang
harganya terkait dengan harga minyak dunia seperti batubara, karet, dan kelapa sawit. Peningkatan nilai tambah ini bisa dilakukan dengan
meningkatkan ekspor barang setengah jadi dan mengurangi ekspor barang mentah. Untuk itu, perlu dukungan riset yang terintegrasi antara lembaga
penelitian dengan universitas dan perusahaan sehingga diperoleh terobosan baru di industri hilir.
3. Pemerintah dalam hal ini otoritas moneter bank sentral di negara-negara
ASEAN+3 hendaknya lebih mengutamakan dampak harga minyak dunia terhadap inflasi antara lain melalui jalur suku bunga.
4. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan inflasi negara-negara
ASEAN+3 dan inflasi yang tinggi menyebabkan biaya tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga pembuat
kebijakan diharapkan dapat membuat kebijakan yang tidak hanya baik untuk jangka pendek namun juga untuk jangka panjang. Peran pemerintah dalam
meredistribusi pendapatan masyarakat melalui transfer payment hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya sehingga bisa tepat sasaran. Selain itu, peran
pemerintah dalam memengaruhi harga melalui insentif subsidi, disinsentif pajak, dan pengaturan struktur pasar dari monopolistis menjadi lebih
kompetitif hendaknya juga dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
5. Perlu dilakukan upaya penurunan intensitas minyak melalui penurunan
konsumsi minyak dengan penghematan di semua sektor sehingga diharapkan akan mengurangi dampak tingginya harga minyak terhadap inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Sektor industri dan transportasi berpotensi besar untuk melakukan penghematan energi melalui peningkatan efisiensi penggunaan
yang beralih dari bahan bakar minyak ke listrik untuk proses pemanasan. Makin tingginya konsumsi minyak berdampak pada makin tingginya emisi
CO
2
. Secara tidak langsung, subsidi bahan bakar telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan emisi CO
2
yang lebih cepat. Transportasi merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca, dan potensi penghematan energi di
sektor ini cukup signifikan. Pembatasan emisi dalam transportasi dapat meningkatkan penghematan ini. Individu akan didorong untuk membuat moda
transportasi ramah lingkungan bukan energi-intensif. Penghematan konsumsi minyak terutama di sektor transportasi, industri, listrik, maupun
di tingkat rumah tangga hendaknya dilakukan untuk memastikan stabilitas ekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
6. Perlu dilakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi
mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat menurunkan inflasi. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan investasi dan ekspor.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA
[ADB] Asian Development Bank. Key Indicator for Asia and the Pacific. http:www.adb.orgdocumentsbookskey_indicators [28 Desember 2010].
[ADB] Asian Development Bank. Asian Development Outlook 2005 Update. http:beta.adb.orgpublicationsasian-development-outlook-2005-update
[29 Januari 2011] Aisen, A. and F.J. Veiga. 2003. Does Political Instability Lead to Higher and
More Volatile Inflation? A Panel Data Analysis. NIPE WP 102003. ______. 2005. Does Political Instability Lead to Higher Inflation? A Panel Data
Analysis. IMF WP0549. ______. 2006. Political Instability and Inflation Volatility. IMF WP06212.
______. 2010. How Does Political Instability Affect Economic Growth. NIPE WP
52010. Al-Salman, A., K.H. Ghali, and N. Al-Shammari. 2008. Oil-Price Effects on the
Real Business Cycle: Evidence from the G-7 Countries. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. Issue 14.
Apriani, D.K. 2007. Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode: 1990-2006 [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Arai, M., M. Kinnwall, and P.S. Thoursie. 2002. Cyclical and Causal Patterns of
Inflation and GDP Growth. Department of Economics, Stockholm University, SE-106 91 Stockholm, Sweden.
Arellano, M. and S. Bond. 1991. Some tests of specification for panel data: Monte Carlo evidence and an application to employment equations. The Review
of Economic Studies 58:277–297. Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. 3
rd
Ed. England: John Wiley sons, Ltd.
Blanchard, O. 2006. Macroeconomics 4
th
Edition. New York: Prentice Hall Business Publishing.
Blanchard, O. and M. Riggi. 2009. “Why are the 2000s so different from the 1970s? A structural interpretation of changes in the macroeconomic effects
of oil prices”, MIT – Department of Economics Working Paper Series 9- 27.
[BI] Bank Indonesia. 2010. http:www.bi.go.id. [BP] British Petroleum. 2010. BP Statistical Review of World Energy June 2010.
http:www.bp.comstatisticalreview. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia Tahun 2009. BPS, Jakarta.
Carruth, A.A., M.A. Hooker, and A.J. Oswald. 1998. Unemployment Equilibria
and Input Prices: Theory and Evidence from the United States. Department of Economics, University of Warwick. Warwick Economic Research
Papers No.496.
Catão, L. and M. Terrones. 2003. Fiscal Deficits and Inflation: A New Look at the Emerging Market Evidence. IMF Working Paper 0365
Cukierman, A., S. Edwards, and G. Tabellini. 1989. Seignioriage and Political Instability. NBER WP 3199.
Dornbusch, R., S. Fisher, and R. Startz. 2008. Makroekonomi, Edisi ke-10. Wibisono,Y., R.I.Mirazudin, penerjemah; Jakarta: Media Global Edukasi.
Terjemahan dari: Macroeconomics. Edison, H.J., R. Levine, L. Ricci, and T. Sløk. 2002. International Financial
Integration and Economic Growth. NBER Working Paper No. 9164 [EIA] Energy Information Administration. http:www.eia.doe.gov [29 Januari
2011]. ______. 2010. International Energy Outlook 2010. International Energy Agency.
Elder, J. 2004. Another Perspective on the Effect of Inflation Uncertainty. Journal
of Money, Credit, and Banking 365, 911-28 Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2 New York: John
Willey and Sons, Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations.
http:faostat.fao.orgsite342default.aspx [20 Mei 2011]. Fischer, S., R. Sahay, and C.H. Végh. 2002. Modern Hyper- and High Inflations
. NBER Working Paper 8930
Furuoka, F. and Q. Munir. 2008. Phillips curve” in Selected ASEAN Countries: New Evidence from Panel Data Analysis. Sunway Academic Journal 6:89-
102. Glasure, Y.U. 2002. Energy and national income in Korea: further evidence on the
role of omitted variables. Energy Economics 24:355-365.
[GTZ] Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit. International Fuel Prices 2005. http:www.gtz.defuelprices [18 Desember 2010].
[GTZ] Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit. International Fuel Prices 2009. http:www.gtz.defuelprices [18 Desember 2010].
Hamilton, J. 1983. Oil and the Macroeconomy Since World War II. Journal of Political Economy 912:228–248.
Hooker, M.A. 1999. Oil and The Macroeconomy Revisited. Finance and Economics Discussion Series No. 1999-43.
Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Per Kapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [IMF] International Monetary Fund. 2010. World Energy Outlook 2010.
International Energy Agency. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press. Bogor.
Kooros, S. K., A.P. Sussan, and M.Semetesy. 2006. The Impact of Oil Prices on
Employment. International Research Journal of Finance and Economics- Issue 5
LeBlanc, M. and M. Chinn. 2004. Do High Oil Prices Presage Inflation? the Evidence from G-5 Countries. Business Economics 39:2.
Limin, D., H. Yanan, and W. Chu. 2010. The relationship between oil price shocks and China’s macro-economy: An empirical analysis. Energy Policy
38:4142–4151. Mankiw, N.G. 2007. Teori Makroekonomi, Ed ke-6 Liza F, penerjemah; Jakarta:
Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics theory. Masso, J. and K. Staehr. 2005. Inflation Dynamics and Nominal Adjustment In
the Baltic States. Tartu University Press no. 19. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Market.
Sixth Edition. Columbia: Columbia University. Mussard, S. and B. Philippe. 2006. Okun’s Law, Creation of Money
and the Decomposition of the Rate of Unemployment. IRISS Working Paper 2006-08
Nugroho, H. 2005. Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen
energi nasional, dan pembangunan infrastruktur energi. Majalah Perencanaan Pembangunan Nasional Edisi 02X2005.
Nugroho, H.T. 2010. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak dan Elpiji terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
[disertasi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Olomola, P.A. and A.V. Adejumo. 2006. Oil Price Shock and Macroeconomic Activities in Nigeria. International Research Journal of Finance and
Economics Issue 3 Penn, D.A. 2006. What Do We Know About Oil Prices and State Economic
Performance?. Federal Reserve Bank of St. Louis Regional Economic Development 22:131-139.
Romer, D. 2006. Advanced Macroeconomics. 3
rd
Ed. New York: McGraw- HillIrwin.
Roubini, N. and B. Setser. 2004. The Effects of the Recent Oil Price Shock on the U.S. and Global Economy.
Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional Edisi Kelima Jilid 1 Terjemahan. PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Sato, K., Z. Zhang, and M. McAleer. 2009. Identifying Shocks in Regionally Integrated East Asian Economies with Structural VAR and Block
Exogeneity. Center for International Research on the Japanese Economy Working Paper Series. No. EI 2010-09.
Sims, C. 1980. Comparison of Interwar and Postwar Business Cycles: Monetarism Reconsidered. American Economic Review 70:250-257.
Unalmis, D., I. Unalmis, and D.F. Unsal. 2009. On the Sources of Oil Price Fluctuations. IMF WP 09285.
Verbeek, M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Edisi Ketiga. RSM Erasmus University, Rotterdam.
Windmeijer, F. 2000. A finite Sample Correction for The Variance of Linear Two-step Gmm Estimators. The Institute for Fiscal Studies WP 0019
World Bank. 2011. World Development Indicators 2010. Washington D.C., USA. http:data.worldbank.orgindicator [29 Januari 2011]