The Impact of Economic Growth, Income Inequality, and Unemployment on the Poverty Rate in Districs of Coastal Communities Economic Empowerment Recipient

(1)

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, KETIMPANGAN

PENDAPATAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP

KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PENERIMA

PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI

MASYARAKAT PESISIR (PEMP)

MEITY TRISNOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Pesisir (PEMP) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkam dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Meity Trisnowati NRP : H151064084


(4)

(5)

ABSTRACT

MEITY TRISNOWATI. The Impact of Economic Growth, Income Inequality, and Unemployment on the Poverty Rate in Districs of Coastal Communities Economic Empowerment Recipient. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and ARIEF DARYANTO.

Reducing poverty is one of the government objective in the coastal region. The government is implementing some programs to achieve this goal by raising up the social welfare of the poorer. To accelerate the goal, the Ministry of Marine and Fisheries Affairs of the Republic of Indonesia is implementing PEMP, means an economic empowerment program in the coastal region. The purpose of this study is to analyse whether this program has an impact on economy, inequality, and unemployment as well as the indirect effect on the poverty reduction. Using static panel data model, the result shows that the PEMP has a significant and positive impact on per capita GDRP as well as a significant impact on reducing the inequality. Thus, the PEMP program is one way to reduce the poverty on the coastal region.

Keywords: PEMP, poverty reduction, inequality, static panel data model


(6)

(7)

RINGKASAN

MEITY TRISNOWATI. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan ARIEF DARYANTO.

Secara umum, pembangunan perikanan dan kelautan pada masa lalu kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga wajar apabila masyarakat pesisir sering diidentikkan sebagai masyarakat miskin, terbelakang dan termarjinalkan.

Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah, namun masyarakatnya masih menerima warisan kemiskinan karena sektor tersebut masih terpinggirkan oleh kebijakan yang terpaku pada tanah daratan (Widodo, 2000). Sebagai faktanya, nelayan Indonesia masih tergolong masyarakat termiskin dengan pendapatan per kapita perbulan sekitar 7-10 dollar AS (Fauzi, 2009).

Kabupaten/kota di Indonesia sebagian besar berada di wilayah pesisir yaitu sebanyak 307 kabupaten/kota pada tahun 2009 atau sebesar 65,18 persen dari 471 total kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa penduduk Indonesia di tahun 2009. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota pesisir. Hasil Susenas 2009 menunjukkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di kabupaten/kota pesisir.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berupaya meluncurkan bantuan bagi masyarakat pesisir yaitu berupa program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak bantuan PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di wilayah pesisir yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota pesisir di Indonesia yang ditetapkan oleh KKP. Pada tahun 2009, dari 307 kabupaten/kota pesisir sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat PEMP secara rutin setiap tahun, 257 kabupaten/kota memperoleh PEMP tidak rutin dan 30 kabupaten/kota lainnya belum pernah mendapat PEMP dalam periode 2005-2009. Analisis difokuskan pada 20 kabupaten/kota pesisir yang memperoleh PEMP secara rutin setiap tahun dalam periode 2005-2009, selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data. Penerimaan PEMP secara rutin berdasarkan penilaian hasil kinerja kabupaten/kota terhadap kegiatan PEMP yang dilaporkan secara baik.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan KKP, periode 2005-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik.


(8)

kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun implementasi PEMP. Analisis ekonometrik untuk melihat pengaruh program PEMP terhadap PDRB, indeks gini, TPT dan kemiskinan. Pengaruh program bantuan selain program PEMP dalam penelitian ini tidak diteliti (tidak diperhatikan), sehingga untuk penelitian ini diasumsikan sebagai keterbatasan bahwa pengaruh program lain dianggap tidak ada, meski nilai bantuannya mungkin jauh lebih besar dibandingkan PEMP

M etode ekonometrik yang digunakan adalah metode data panel statis. Ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat tren penurunan tiap tahunnya. Indeks gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan indeks gini kabupaten/kota pesisir dan penerima PEMP tidak rutin. Terdapat 5 kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi di tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 yaitu Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa Utara. Kota Bengkulu merupakan kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi. Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua,

adanya krisis ekonomi global (external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana,

2010). Selain dua hal tersebut diatas, kelima wilayah juga merupakan daerah rawan gempa.

Dinamika perekonomian dan kemiskinan periode 2005-2009 secara umum menunjukkan arah yang membaik, baik pada capaian pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan. Selain itu, didukung GIC yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat

pro poor growth, yang berarti pula memberikan manfaat bagi penduduk miskin. Hasil estimasi dampak PEMP terhadap PDRB, indeks gini dan TPT, terlihat PEMP nyata positif memengaruhi PDRB. Hasil estimasi menunjukkan bahwa

program PEMP di daerah pesisir, ceteris paribus, bermanfaat dalam meningkatkan

perekonomian masyarakat. Program PEMP juga nyata negatif memengaruhi indeks gini. Hasil estimasi pengaruh perekonomian, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan, terlihat dari Peubah PDRB yang nyata negatif memengaruhi tingkat kemiskinan Hal ini terjadi mengingat adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan penurunan tingkat ketimpangan bagi penduduk miskin. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh bantuan program PEMP nyata meningkatkan PDRB dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan kabupaten/kota pesisir serta secara tidak langsung memengaruhi penurunan kemiskinan.

Kata kunci : PEMP, penurunan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, model data panel statis


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya


(10)

(11)

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, KETIMPANGAN

PENDAPATAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP

KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PENERIMA

PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI

MASYARAKAT PESISIR (PEMP)

MEITY TRISNOWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)


(13)

Judul Penelitian : Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan PengangguranTerhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

Nama : Meity Trisnowati NRP : H151064084 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. R.Nunung Nuryartono,M.Si Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono,M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat

dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi. Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. A r i e f D a r y a n t o , M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Wiwiek Rindayati atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr Lukytawati Anggraeni, SP,M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada suami tercinta yaitu Danang Satria,M.A serta anak-anak terkasih yaitu: dr. Pandu Ranggabirawa, Arsyidana Prabowo dan Kurniawan Adji Pamungkas, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada segenap pimpinan BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman di SubDirektorat Statistik Pendidikan dan Kesos, BPS yang telah membantu memberi dukungan moril, materiil dan doa selama proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, September 2011 Meity Trisnowati


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Meity Trisnowati lahir pada tanggal 30 Mei 1959, di Jakarta. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak R.M Soemardjo bin Soerodirdjo (Alm) dan Ibu Dendamas Kadarwati binti Datoek Pangeran Abdoel Madjid (Almh). Penulis menamatkan sekolah dasar di SDK Dinojo I, Surabaya pada tahun 1971, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP di SMP Negeri XII Kebun Bibit, Surabaya pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis diterima di SMA Negeri IV, Surabaya dan lulus pada tahun 1977.

Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1979 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, tamat pada tahun 1982 dengan gelar Bachelor of Statistics (B.St) sebagai mahasiswa ikatan dinas. Setelah lulus dari AIS, penulis langsung bekerja dan ditempatkan di Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta sampai sekarang. Saat ini penulis menjabat sebagai Kasubdit Statistik Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial di Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS, Jakarta.

Disamping bekerja, penulis juga melanjutkan pendidikan S1 jurusan Statistika FMIPA IPB melalui tugas belajar dana APBN, tamat pada tahun 1992. Selanjutnya penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007.


(18)

(19)

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DARTAR GAMBAR ... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 14

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 15

1.6. Keterbatasan Penelitian ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

2.1. Kerangka Teori ... 17

2.1.1. Masyarakat Pesisir ... 17

2.1.2. Pengertian Pemberdayaan ... 18

2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) ... 20

2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.1.5. Ketimpangan Pendapatan... 24

2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka ... 28

2.1.7. Konsep Kemiskinan ... 29

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 32

2.2.1. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 32

2.2.2. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan ... 33

2.2.3. Hubungan Antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ketimpangan Pendapatan ... 35

2.2.4. Hubungan antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ... 37


(20)

xxii

2.4. Hipotesis Penelitian ... 39

III. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 41

3.1.1.Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel ... 41

3.1.2.Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC... 41

3.2. Metode Analisis ... 42

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 43

3.2.2. Analisis Kuadran ... 43

3.2.3. Analisis Pro Poor Growth (Growth Incidence Curve/GIC)... 43

3.2.3.1. Tahapan Pengolahan GIC ... 44

3.2.4. Analisis Data Panel ... 44

3.2.4.1. Model Regresi Data Panel ... 46

3.2.4.2. Uji Signifikansi Model Regresi Data Panel ... 49

3.2.4.3.Spesifikasi Model ... 52

3.2.4.4.Tahapan Pengolahan Data Panel ... 53

3.2.5. Definisi Operasional ... 54

IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP ... 57

4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir ... 57

4.1.1. Gambaran Kemiskinan ... 58

4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi ... 60

4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan ... 61

4.1.4. Gambaran Pengangguran ...……... 62

4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP ... 62

4.2.1. Dinamika Kemiskinan ... 63


(21)

xxii

4.2.3. Dinamika Ketimpangan Pendapatan ... 66

4.2.4. Dinamika Pengangguran ... 67

4.3. Analisis Kuadran ... 68

4.3.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ... 68

4.3.2. Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ... 70

4.3.3. Pengangguran dan Kemiskinan ...……... 71

4.4. Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC)... 73

4.4.1. GIC Periode 2005-2004 ... 73

V. HASIL ESTIMASI PENGARUH PEMP TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ... 75

5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Program PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ... 75

5.2. Hasil Estimasi Pengaruh pertumbuhan ekonomi, Ketimpangan pendapatan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan ... 76

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

6.1. Kesimpulan ... 79

6.2. Saran ... 80


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Jumlah Pendudukdan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan BukanPesisir, Tahun 2005-2009 ... 3 1.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan

Kemiskinan (P2) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2006 dan 2009 ... 5 1.3. Jumlah Bantuan Program PEMP untuk Kabupaten/Kota Pesisir Tahun

2005-2009 (Milyar rupiah) ... 11

4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009 ... 58

5.1. Hasil Estimasi Pengaruh PEMP terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran ... 75 5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan


(24)

xxiv

Nomor Halaman

1.1. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2009 ... 4 1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten/Kota Pesisir dan Kabupaten/

Kota Bukan Pesisir dengan Rata-Rata PDRB Nasional ... 6 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir,

Tahun 2005-2009 ... 7 1.4. Persentase Penduduk Miskin (Po) dan Tingkat Pengangguran Terbuka

(TPT) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009 .. 8 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle ... 24 2.2. Kurva Lorenz ... 27 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 38 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP,

Tahun 2005 dan 2009 ... 59 4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program

PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah) ... 60 4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP,

Tahun 2005 dan 2009 ... 61 4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun

2005 dan 2009 ... 62 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota

Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ... 63 4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami

Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009 ... 64 4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP

Tahun 2005 dan 2009 ... 65 4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima

PEMP Tahun 2005 dan 2009 ... 66 4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP

Tahun 2005 dan 2009 ... 67 4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut

Kabupaten/ Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ... 69 4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut

Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ... 70 4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan

Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 ... 72 4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program


(25)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Kabupaten/Kota Wilayah Pesisir Di Indonesia... 87 2. Nama Kabupaten/Kota Penerima PEMP Rutin …... 88 3. Persentase Penduduk Miskin menurut Golongan Kabupaten/Kota Pesisir

Penerima PEMP Tahun 2005-2009 ... 88 4. PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009

(jutaan rupiah) ... 89 5. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun

2005-2009 ... 90 6. TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005-2009 ..….... 91 7. Alokasi Besaran PEMP menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima

PEMP Tahun 2005-2009 (ribuan rupiah) ... 92

8. Data Pengeluaran Perkapita menurut Persentil Tahun 2005 dan 2009 ... 93 9. Hasil Analisis Kuadran menurut Kab/Kota Pesisir Penerima PEMP ……. 93


(26)

(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Secara umum, pembangunan perikanan dan kelautan pada masa lalu kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah sehingga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan nelayan seolah-olah diwarisi secara turun-temurun dari generasi sebelumnya. Salah satu indikasi kurangnya perhatian pemerintah adalah kecilnya jumlah alokasi kredit perbankan yang teralokasikan untuk usaha perikanan dan kelautan (hanya 0,02% dari total kredit) selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I hingga pertengahan PJP II (Dahuri, 2004). Sehingga sangatlah wajar apabila masyarakat pesisir sering diidentikkan sebagai masyarakat miskin, terbelakang dan termarjinalkan.

Departemen Eksplorasi Laut yang didirikan pada tahun 1999, menjadi cikal bakal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang membawa harapan baru dalam pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. DKP menjadi ujung tombak dalam membuat kebijakan dan meyakinkan pemerintah bahwa sektor perikanan dan kelautan memiliki potensi yang sama dengan sektor lain, kalau tidak ingin dikatakan memiliki potensi yang lebih. Dalam platform pembangunan ekonomi nasional menuju Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan dan di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa, ada enam sektor yang menjadi andalan pembangunan. Enam sektor tersebut adalah sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor energi dan sumberdaya mineral, sektor pariwisata dan sektor Usaha Kecil Menengah Mikro (Dahuri, 2004). Masuknya sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor andalan pembangunan nasional tentu dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan perjuangan DKP, karena untuk pertama kali dalam sejarah pembangunan Indonesia sektor perikanan dan kelautan menjadi sektor andalan. Menurut Dahuri (2004), setidaknya ada enam alasan utama yang dapat dijelaskan sehingga sektor perikanan dan kelautan layak menjadi sektor andalan yaitu:

1. Secara fisik laut merupakan faktor dominan dan pemersatu, Indonesia memiliki wilayah territorial laut sebesar 3,1 juta km persegi, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km persegi. Sebagai negara kepulauan terbesar


(28)

didunia (lebih dari 17.500 pulau) dan memiliki 81.000 km garis pantai terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar dan beragam. Garis pantai terpanjang mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas. Kawasan pesisir adalah kawasan yang berada disekitar pantai kearah laut dan ke arah darat.

2. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kesadaran tentang gizi ikan yang lebih sehat dan mencerdaskan sehingga permintaan produk dan jasa kelautan dan perikanan terus meningkat.

3. Industri kelautan menciptakan backward dan forward linkage yang tinggi. 4. Sumberdaya kelautan sebagian besar merupakan sumberdaya renewable

sehingga dapat menjadi basis pembangunan ekonomi berkelanjutan.

5. Sebagian besar kegiatan ekonomi kelautan dan perikanan terdapat di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga membantu masalah urbanisasi.

6. Penguasaan dan penegakan kedaulatan dilaut yang memberi jaminan atas pertahanan, keamanan dan kedaulatan NKRI sebagai suatu kesatuan.

Meskipun memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah, masyarakat pesisir masih menerima warisan kemiskinan karena sektor tersebut masih dipinggirkan oleh kebijakan yang berazaskan pada tanah daratan (Widodo, 2000). Suatu gambaran paradoks, sumberdaya alam melimpah namun tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku disektor itu sendiri. Sebagai faktanya, nelayan Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat termiskin dan terpinggirkan dengan pendapatan per kapita perbulan sekitar 7-10 dollar AS (Fauzi, 2009). Pendapatan masyarakat pesisir yang rendah diperkuat oleh kajian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Yayasan Smeru pada tahun 2002. Kajian ini menunjukan bahwa dari 8090 desa pesisir di Indonesia, diperoleh nilai Indeks Kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) untuk masyarakat pesisir

adalah sebesar 0,3214 atau 32,14 persen berada dibawah garis kemiskinan

(Arichansyah,2009)

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multidimensi dan ditengarai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infra struktur. Disamping kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya


(29)

3

dan gaya hidup yang cenderung boros menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saaat yang sama, kebijakan pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir. Berbagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun pemerintah belum memiliki konsep yang jelas,sehingga penanganan masih bersifat parsial dan tidak terpadu. Akibatnya angka kemiskinan belum dapat diturunkan secara signifikan, justru dengan adanya penanggulangan kemiskinan, penduduk miskin malah bertambah (Azman,2009).

Persentase penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten/kota pesisir lebih besar dibandingkan bukan pesisir, walau keduanya terlihat adanya kecenderungan penurunan dalam periode 2005-2009 seperti yang disajikan pada Tabel 1.1. Pada tahun 2009 persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten pesisir dan bukan pesisir masing-masing sebesar 14,64persen dan 12,24persen.

Tabel 1.1. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009

Tahun Wilayah Pesisir Bukan Pesisir Nasional

2005 17.78 14,61 16,62

2006 18,96 15,68 17,74

2007 17,74 14,51 16,54

2008 16,09 13,55 15,15

2009 14,64 12,24 13,76

Sumber : BPS (2009),diolah

Gambar 1.1. memperlihatkan fakta bahwasanya masih banyak penduduk miskin yang berlokasi di wilayah pesisir yaitu sebanyak 21,36 juta orang atau sekitar 67,3% dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini sangatlah ironis, hal ini memperkuat dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir merupakan warisan sehingga masuk sebagai kategori kemiskinan yang kronis (chronic poverty) yaitu miskin yang tidak hanya sekedar dari sisi konsumsinya saja atau yang biasa disebut kemiskinan sementara (transitory poverty) tapi juga menyangkut pada berbagai aspek pengukuran kemiskinan lainnya. Dugaan ini cukup beralasan mengingat sejak Indonesia merdeka kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum juga mendapat sentuhan dari pemerintah sehingga sampai saat ini tidak


(30)

terjadi perubahan yang berarti. Sarana-prasarana informasi yang minim, moda transportasi laut yang tidak memadai, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur menjadi gambaran tentang perhatian pemerintah yang kurang terhadap masyarakat pesisir.

Sumber: BPS (2009),diolah

Gambar 1.1. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2009

Gambaran kehidupan penduduk miskin pesisir dapat dilihat berdasarkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2). Tabel 1.2. memperlihatkan bahwa P1 dan P2 di kabupaten/kota pesisir maupun bukan pesisir pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan tahun 2006. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar kesejangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan (P2) sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.


(31)

5

Jika dibandingkan antara kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir maupun nasional, P1 untuk kabupaten/kota pesisir paling rendah. Pada tahun 2006, P1 kabupaten/kota pesisir sebesar 3,20 sementara di kabupaten/kota bukan pesisir mencapai 4,14 dan nasional 3,79. Demikian pula pada tahun 2009, P1 kabupaten/ kota pesisir hanya 2,21 sementara di kabupaten/kota bukan pesisir mencapai 2,83 dan nasional 2,61. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pendapatan penduduk miskin terhadap garis miskinnya cenderung mengecil, atau rata-rata pendapatan penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir cenderung makin mendekati garis kemiskinan.

Tabel 1.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2006 dan 2009

Tahun Pesisir Bukan

Pesisir Nasional

Indeks Kedalaman Kemiskinan

(Poverty Gap Index-P1 )

2006 3,20 4,14 3,79

2009 2,21 2,83 2,61

Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2 )

2006 0,88 1,19 1,08

2009 0,63 0,81 0,74

Sumber: BPS (2009), diolah

Sejalan denganP1, P2 di kabupaten/kota pesisir maupun bukan pesisir juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Besarnya penurunan persentase untuk kabupaten/kota pesisir lebih rendah dibanding bukan pesisir. Ini berarti upaya pemerintah dalam melakukan penurunan ketimpangan kemiskinan di kabupaten/kota bukan pesisir lebih berhasil dibanding kabupaten/kota pesisir. Penurunan P2 di kabupaten/kota pesisir tahun 2009 dibandingkan tahun 2006, menunjukkan bahwa ketimpangan rata-rata pendapatan diantara penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir mengalami penurunan atau distribusi rata-rata pendapatan diantara penduduk miskin cenderung makin merata.


(32)

Rendahnya P1 dan P2 di kabupaten pesisir menunjukkan bahwa kemiskinan di wilayah pesisir cenderung homogen. Hal ini terjadi mengingat rata-rata pengeluaran penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir cenderung sama dibandingkan di wilayah bukan pesisir.

Kemiskinan di kabupaten/kota pesisir ini semakin parah apabila didukung oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota pesisir. Data empiris yang diperlihatkan pada Gambar 1.2 menunjukkan bahwa meskipun tiap tahun rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten/kota pesisir mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih dibawah capaian rata-rata nasional. Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada Tahun 2008, rata-rata PDRB kabupaten/kota pesisir hanya sebesar Rp 3,811 milyar, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten/kota bukan pesisir sebesar Rp 4,924 milyar, sementara rata-rata PDRB nasional sebesar Rp 4,188 milyar. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output antara wilayah pesisir dan bukan pesisir mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar antar wilayah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten/Kota Pesisir dan Kabupaten/Kota Bukan Pesisir dengan Rata-Rata PDRB Nasional

0 1000 2000 3000 4000 5000

2005 2006 2007 2008 2009


(33)

7

Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan antar pendapatan rumahtangga. Hal ini terlihat dari ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir, bukan pesisir maupun nasional , yang tercermin dari indeks gini yang fluktuatif selama periode tahun 2005-2009, namun masih dalam level sedang setiap tahunnya seperti yang disajikan pada Gambar 1.3. Pada Tahun 2009, indeks Gini pesisir sebesar 0,33, mendekati angka nasional sebesar 0,34 sementara kabupaten /kota bukan pesisir mencapai angka sebesar 0,36 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir, Tahun 2005-2009

Pengangguran merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan. Komisi Kemiskinan Dunia (The Poverty Comission) menyebutkan bahwa pengangguran merupakan penyebab utama kemiskinan (Saunders,2002). Pengangguran dapat menimbulkan berbagai dampak sosial dan implikasinya bukan hanya terhadap si penganggur, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Pengangguran, selain menimbulkan konsekwensi kemiskinan, juga berkontribusi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Gambar 1.4 menyajikan perkembangan persentase penduduk miskin (Po) dan tingkat


(34)

pengangguran terbuka (TPT) di kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir tahun 2005-2009.

Sumber: BPS(2009), diolah

Gambar 1.4. Persentase Penduduk Miskin (Po) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten/Kota Pesisir dan Bukan Pesisir Tahun 2005-2009.

Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan penurunan pengangguran di wilayah pesisir direalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi wilayah pesisir untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan serta penyerapan tenagakerja.

Salah satu bantuan stimulus di kabupaten/kota pesisir adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilaksanakan oleh DKP sejak tahun 2001. DKP saat ini beralih nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kegiatan PEMP diinisiasi untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan dan kemiskinan. Kualitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir yang rendah dan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal merupakan tantangan bagi pelaksanaan program PEMP. Upaya yang


(35)

9

dilakukan oleh KKP melalui pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir,

dinilai sudah cukup tepat. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki oleh masyarakat yaitu sumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakat pesisir itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kajian para pakar ekonomi sumberdaya, bahwasanya kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan faktor sosial ekonomi yang terkait sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor tersebut membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.

Beberapa program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan pemerintah antara lain :

−CERD (Community Empowerment for Rural Development) −KPEL (Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal)

−WSLIC (Water and Sanitation for Low Income Communities) −P2D (Program Pengembangan Prasarana Pedesaan)

−PEMP (Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) −P4K (Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil)

Bappenas telah melakukan kajian kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin umtuk ke-6 jenis program pemberdayaan masyarakat tersebut diatas. Kajian menggunakan 10 elemen kunci sebagai bobot keberhasilan program. PEMP merupakan program yang memiliki keunggulan sebanyak 4 elemen kunci (Kelembagaan, Akunbilitas, Transparansi dan Keberlanjutan) dari 10 elemen kunci yang diteliti. PEMP termasuk program yang mempunyai keunggulan yang lebih dibandingkan program pemberdayaan lainnya.

Studi terdahulu Smith (1979) mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia dan Anderson (1979) juga melakukan kajian namun di negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang menyimpulkan tentang kekakuan asset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets). Kekakuan aset adalah suatu sifat asset yang sulit dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain, sehingga nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan walau sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Dalam era pembangunan yang semakin kompleks dan kompetitif nelayan dihadapkan pada


(36)

tantangan dan persaingan yang semakin besar dengan berbagai aspek lingkungan yang memengaruhinya.

Untuk mengatasi hal itu diperlukan perubahan mainstream pembangunan masyarakat dari program pembinaan ke program pemberdayaan. Pemberdayaan nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya khususnya meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw (2000) merupakan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat pesisir yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan kawasan pesisir yang luas dan mempunyai sumberdaya alam yang melimpah seyogianya mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi. Salah satu kebijakan yang diambil oleh KKP adalah pemberdayaan nelayan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dengan cara meningkatkan kinerjanya melalui program PEMP.

Kebijakan ini merupakan bagian dari tiga pilar pembangunan dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009-2014 yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP Nomor PER.06/MEN/2010. Tiga pilar pembangunan tersebut antara lain pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), dan pro-growth (pertumbuhan). Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Program PEMP dirancang untuk 3 periode: yaitu inisiasi (tahun 2001-2003), institusionalisasi (tahun 2004-2006) dan diversifikasi (tahun 2007-2009).

Pada tahun 2001, program PEMP dilaksanakan di 125 daerah kabupaten/ kota, tahun 2002 dilaksanakan di 91 daerah kabupaten/kota dan tahun 2003 dilaksanakan di 128 daerah kabupaten/kota, yang selama 3 tahun pelaksanaan tersebar di 30 propinsi. Pada periode tahun 2001-2003, program PEMP telah disalurkan kepada 79.480 orang masyarakat pesisir dan nelayan yang tergabung dalam 8.138 KMP/kelompok masyarakat pemanfaat (DKP, 2003).

Selama tiga tahun pertama dana ekonomi produktif (DEP) PEMP telah disalurkan sebanyak 344 kabupaten/ kota, dimana ada beberapa kabupaten dan


(37)

11

kota mendapat DEP PEMP setiap tahunnya atau hanya 1-2 tahun saja. Jika setiap kabupaten/ kota menerima alokasi DEP Rp 800 juta per tahun, maka selama tiga tahun telah dialokasikan dana sebesar Rp 275,2 M untuk program PEMP. Jumlah ini belum termasuk dana pendampingan dari APBD, dana untuk konsultan manajemen kabupaten/kota dan dana untuk operasional PEMP di KKP. Pada beberapa tahun yang akan datang diharapkan dana yang telah digunakan untuk program PEMP di Indonesia (dengan jumlah yang tidak sedikit) memberikan manfaat dan pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan.

Tabel 1.3. Jumlah Bantuan Program PEMP untuk Kabupaten/Kota Pesisir Tahun 2005-2009 (Milyar rupiah)

Pulau Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Sumatera 40,780 (24,90) 40,660 (27,81) 31,450 (26,99) 24,259 (24,25) 28,715 (25,83)

Jawa 34,330

(20,96) 26,050 (17,82) 23,350 (20,04) 19,920 (19,92) 24,083 (21,67) Sulawesi 28,380

(17,33) 28,035 (19,17) 20,700 (17,76) 20,913 (20,91) 21,306 (19,17) Lainnya 60,270

(36,81) 51,480 (35,20) 41,025 (35,21) 34,933 (34,92) 37,052 (33,33) Nasional 163,760

(100,00) 146,225 (100,00) 116,525 (100,00) 100,025 (100,00) 111,157 (100,00) Sumber:Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), diolah

Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi

Pemerintah dalam hal ini KKP, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Tabel 1.3 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan KKP untuk program PEMP di kabupaten pesisir mengalami penurunan. Tercatat pada Tahun 2005 KKP mengucurkan dana untuk program PEMP sebesar Rp 163,760 milyar dan cenderung menurun sampai dengan tahun 2008 menjadi Rp 100,025 milyar, namun pada tahun 2009 kembali meningkat menjadi sebesar Rp111,157 milyar . Penurunan bantuan diduga akibat keterbatasan anggaran pemerintah, namun


(38)

demikian untuk pulau Jawa dan Sulawesi bantuan yang diperoleh pada tahun 2009 lebih besar dibanding bantuan pada tahun 2007 walau pada tahun 2008 mengalami penurunan.

Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pemberdayaan ekonomi di wilayah pesisir. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,menurunkan ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui PEMP. Hingga saat ini belum ada studi empirik yang mengkaji dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi ,ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisisr. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini berusaha untuk mengkaji peran program PEMP dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan ketimpangan pendapatan, pengangguran, dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir.

1.2. Perumusan Masalah

Upaya pemerintah saat ini adalah mengurangi keterpurukan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir. Departemen Eksplorasi Laut yang didirikan pada tahun 1999, menjadi cikal bakal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membawa harapan baru dalam pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Kebijakan yang diusung KKP antara lain untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pendapatan di wilayah pesisir. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya KKP membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang Kelautan dan Perikanan (Perpres No.94, Tahun 2006). Sejak tahun 2001, KKP meluncurkan bantuan stimulus bagi masyarakat pesisir yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada tahun 2009, KKP melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan pada 120 (seratus dua puluh) kabupaten /kota pesisir di Indonesia, dengan maksud membantu kabupaten/kota pesisir agar dapat menjadi suatu kabupaten/kota yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara menyeluruh dan terencana dengan prinsip pemberdayaan, yaitu helping the


(39)

13

poor to help themselves yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten/kota pesisir.

Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan mampu secara signifikan meningkatkan pendapatan kabupaten/kota pesisir (Ariansyach, 2009). Penelitian yang dilakukan Subagio (2007) juga menunjukkan bahwa program PEMP di Subang dan Cirebon memberikan dampak nyata pada peningkatan pendapatan masyarakat. Selama ini, penelitian yang dilakukan terhadap dampak program PEMP masih sebatas kajian secara mikro yaitu pada kelompok sasaran penerima bantuan. Namun kajian mengenai dampak program terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masih belum banyak dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan , pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang dilakukan oleh KPP, dalam hal ini program PEMP, perlu dilakukan kajian apakah program ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir. Oleh karena itu menarik untuk dikaji, sejauh mana manfaat PEMP mendongkrak pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, mengurangi pengangguran dan menurunkan kemiskinan secara makro di tingkat kabupaten/kota. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten/kota pesisir (67,3% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir dalam periode implementasi program PEMP?

2. Bagaimana pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan kabupaten/kota pesisir?


(40)

3. Bagaimana hubungan antara program PEMP, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitan ini antara lain:

1. Memberikan gambaran umum mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir pada periode 4 tahun implementasi program PEMP. 2. Memberikan gambaran mengenai manfaat pertumbuhan ekonomi bagi

penduduk miskin di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP. 3. Menganalisis pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir. 4. Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Gambaran mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, ketimpangan

pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun implementasi program PEMP diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari program PEMP di kabupaten/kota pesisir, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi KKP.

2. Analisis dampak program PEMP melalui studi ekonometrik diharapkan dapat memberikan masukan bagi KKP tentang pentingnya program PEMP bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota pesisir.

3. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran diharapkan dapat memberikan masukan bagi KKP maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya sehubungan faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi.


(41)

15

4. Analisis mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan diharapkan dapat digunakan oleh KKP dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan (pro growth) namun juga pro terhadap rakyat miskin (pro poor).

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, memberikan

gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir selama 4 tahun implementasi program PEMP. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota penerima PEMP.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota pesisir. Analisis difokuskan pada 20 kabupaten/kota pesisir di Indonesia yang termasuk dalam 307 kabupaten/kota pesisir yang telah ditetapkan oleh KKP. Dasar pemilihan 20 kabupaten/kota pesisir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada saat dimulainya periode inisiasi (tahun 2001) melalui sosialisasi bantuan

PEMP di wilayah pesisir diberitahukan mengenai program PEMP dari KKP. Untuk memperoleh bantuan PEMP setiap kabupaten/kota pesisir diminta untuk membuat proposal terkait program pemberdayaan masyarakat pesisir. Dari proposal yang masuk, kabupaten/kota yang memiliki potensi daerah pesisir khususnya di sektor perikanan diberi bantuan PEMP melalui kelompok- kelompok usaha. Di daerah yang telah ditetapkan sebagai penerima program PEMP dibentuk wadah LKM (Lembaga Keuangan Mikro).

2. Daerah yang menerima bantuan PEMP rutin dan berkelanjutan ditentukan dari hasil evaluasi terhadap LKM. Bagi daerah yang evaluasinya dinilai baik atau kinerja program PEMP dianggap berhasil (diketahui berdasarkan hasil laporan pertanggungjawaban kegiatan dan pengawasan) maka program bantuan PEMP dapat terus dilanjutkan tahun berikutnya. Namun, jika gagal program


(42)

bantuan dihentikan. Daerah diberi kesempatan tahun berikutnya untuk memperoleh bantuan kembali dengan catatan memperbaiki kesalahannya serta diminta untuk mengajukan proposal kembali dengan jenis kegiatan yang berbeda atau menyempurnakan proposal sebelumnya.

Dengan demikian, 20 kabupaten/kota pesisir dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota yang terus menerus dan berkesinambungan setiap tahun mendapat bantuan program PEMP karena dinilai memiliki kinerja kegiatan pemberdayaan cukup berhasil, selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung.

1.6. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran serta pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP. Kabupaten/kota pesisir penerima PEMP, mungkin memperoleh bantuan dari program pemerintah lainnya selain bantuan dari program PEMP seperti program KPEL (Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal), P2D (Program Pengembangan Prasarana Pedesaan) dan sebagainya.

Bantuan program PEMP khusus diberikan pada masyarakat pesisir melalui pemberdayaan masyarakat yang sifatnya langsung dan berkelanjutan. Bantuan dari program lain mungkin dilaksanakan secara adhoc untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan bagi kepentingan masyarakat pesisir dan tidak diberikan secara rutin berkelanjutan, walaupun mungkin memiliki nilai bantuan yang jauh lebih besar dibanding bantuan dari program PEMP.

Sinergi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran tidak terbatas pada program bantuan PEMP. Namun demikian, pengaruh dari program lainnya tidak tertangkap dalam model yang dikembangkan dalam penelitian ini, sehingga tidak dapat menjelaskan secara detail.


(43)

II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Masyarakat Pesisir

Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonomi penduduk bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.

Untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi masyarakat pesisir yang luas ini tidak secara keseluruhan diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka


(44)

dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit kelembagaan yang tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah.

Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

2.1.2. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat, diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah (trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru,ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat terpusat, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin.


(45)

19

Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan.

Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan, semula hanya mencapai tataran kualitas tertentu. namun tahap selanjutnya ingin dicapai kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, oleh karena itu pemberdayaan perlu terus dilaksanakan. Menurut Haque et al. (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare, sehingga arti membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan. Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya itu diidentikkan dengan keadaan keterbelakangan.


(46)

2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu program pemerintah yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di daerah pesisir melalui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, PEMP mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003).

Secara khusus, program PEMP mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir.

2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan.

3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.

4. Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya.

5. Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat.

Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/ penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait.


(47)

21

2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan (Dornbusch et al, 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi.

Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah penambahan nilai PDB riil, yang berarti peningkatan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: ekstensif yaitu dengan penggunaan lebih banyak sumber daya atau intensif yaitu dengan penggunaan sejumlah sumber daya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita, karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai harus dibagi juga dengan pertambahan penduduk (dalam hal ini tenaga kerja). Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat.

Nafziger (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi suatu negara atau pendapatan per kapita. Produksi tersebut dihitung dengan GNP (Gross National Product – Produk Nasional Bruto) atau GNI (Gross National Income – Pendapatan Nasional Bruto) yang merupakan total output dari negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti juga peningkatan kapasitas perekonomian suatu wilayah dalam suatu waktu tertentu.

Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep produk domestik regional bruto (PDRB). PDB atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2003). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD).


(48)

PDRB adalah jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha jika dilihat dari pendekatan produksi. Penghitungan PDRB dapat dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha, yaitu:

1. pertanian

2. pertambangan dan penggalian 3. industri pengolahan

4. listik, gas dan air bersih 5. bangunan

6. perdagangan, hotel dan restoran 7. pengangkutan dan komunikasi

8. keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9. jasa-jasa

Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai:

=

= 9

1

i

i

NO

PDRB (2.1)

dimana: i = 1,2,3, ..., 9

NOi = nilai output sektor ke – i

Penghitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan dirumuskan sebagai jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-masing sektor. Pendapatan itu berupa upah/gaji bagi tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan dan keuntungan bagi pengusaha.

Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai

=

= 9

1

i

i

NTB

PDRB (2.2)

dimana: i = 1,2,3, ..., 9

NTBi = nilai tambah bruto sektor ke – i

PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah jmlah dari semua komponen dari permintaan akhir, yaitu: konsumsi rumahtangga (C), pembentukan modal tetap


(49)

23

bruto (I), konsumsi pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Sehingga PDRB dirumuskan sebagai :

M X G I C

PDRB = + + + − (2.3)

Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai: 1 1 − − − = ∆ = t t t PDRB PDRB PDRB PDRB

y (2.4)

Dimana:

y = ∆PDRB = pertumbuhan ekonomi PDRBt = PDRB tahun ke - t

PDRBt1= PDRB tahun sebelumnya (t-1)

PDRB per kapita dirumuskan sebagai:

penduduk jumlah

PDRB

yperkapita = (2.5)

Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai:

1 1 − − − = ∆ t t t perkapita y y y

y (2.6)

Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara.

Pengaruh program PEMP dalam penelitian ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi seperti yang dijelaskan oleh Sukirno (2004) tersebut, merupakan indikator yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini, yang dapat diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional


(50)

Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja pembangunan ekonomi (Sen, 1988).

PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

2.1.5. Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser,2006).

Alesina dan Rodrik (1994) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menghambat pertumbuhan dan tentunya menyebabkan kebijakan redistribusi pendapatan akan menjadi mahal.

Sumber: Bourguignon (2004)

Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle

Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan

“Strategi Pembangunan” Distribusi dan Perubahan

Distribusi pendapatan

Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan


(51)

25

Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan ketiga variabel ini (Gambar 2.1).

Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:

1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk yang kesulitan mengakses kredit terutama penduduk miskin, sedangkan penduduk kaya cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.

Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan.

Penghitungan indeks gini menggunakan data pengeluaran rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Data nilai besarnya pengeluaran digunakan sebagai


(52)

pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini.

Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk penduduk berpendapatan tinggi.

Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini 0 (nol) artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai 1 (satu) artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan ini sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006).

Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan ini di ilustrasikan pada Gambar 2.2. di bawah ini.

.

(2.7) Indeks Gini =

Luas bidang A Luas bidang BCD


(53)

27

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 2.2. Kurva Lorenz

Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):

y F y Cov

Gini = 2 ( , ) (2.8) dimana:

y = pendapatan individu atau rumahtangga

F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan (nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya) y = pendapatan rata-rata

Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4 x Rp 1 juta).

Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata).


(54)

2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka

Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan adalah pengangguran. Mulai tahun 2001 definisi pengangguran terbuka mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO). Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Penghitungan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggunakan data ketenagakerjaan yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional). TPT dihitung dengan rumus:

(2.9)

Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah Setengah Pengangguran (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Permasalahan pengangguran dan setengah pengangguran ini merupakan persoalan serius karena dapat menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal.

Pengangguran dapat dibedakan beberapa jenis berdasarkan penyebabnya antara lain :

a. Pengangguran Struktural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dari struktur perekonomian. Penduduk yang tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh : Para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya berubah fungsi dari daerah agraris menjadi daerah industri.

b. Pengangguran Siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (seperti resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat.

c. Pengangguran Musiman adalah pengangguran yang muncul akibat adanya pergantian musim misalnya pergantian musim panen ke musim tanam.


(1)

Idiosyncratic random 0.025253 0.6417 Weighted Statistics

R-squared 0.039804 Mean dependent var 0.149278 Adjusted R-squared 0.030006 S.D. dependent var 0.025544 S.E. of regression 0.025158 Sum squared resid 0.062028 F-statistic 4.062537 Durbin-Watson stat 1.240519 Prob(F-statistic) 0.046583

Unweighted Statistics

R-squared 0.021962 Mean dependent var 0.290700 Sum squared resid 0.094528 Durbin-Watson stat 0.814003

PEMP TERHADAP PENGANGGURAN(TPT)

FIXED

Dependent Variable: TPT Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:50 Sample: 2005 2009

Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11.46289 1.850322 6.195079 0.0000 PEMP -1.15E-06 2.10E-06 -0.549029 0.5845

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.535918 Mean dependent var 10.48290 Adjusted R-squared 0.418429 S.D. dependent var 6.391912 S.E. of regression 4.874522 Akaike info criterion 6.190199 Sum squared resid 1877.117 Schwarz criterion 6.737285 Log likelihood -288.5100 Hannan-Quinn criter. 6.411614 F-statistic 4.561433 Durbin-Watson stat 1.865527 Prob(F-statistic) 0.000001

RANDOM

Dependent Variable: TPT

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:50

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11.41156 2.060756 5.537562 0.0000 PEMP -1.09E-06 2.05E-06 -0.532061 0.5959


(2)

Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 4.387809 0.4476 Idiosyncratic random 4.874522 0.5524

Weighted Statistics

R-squared 0.002909 Mean dependent var 4.664199 Adjusted R-squared -0.007265 S.D. dependent var 4.832538 S.E. of regression 4.850060 Sum squared resid 2305.262 F-statistic 0.285951 Durbin-Watson stat 1.518289 Prob(F-statistic) 0.594038

Unweighted Statistics

R-squared 0.001246 Mean dependent var 10.48290 Sum squared resid 4039.758 Durbin-Watson stat 0.866402

UJI HAUSMAN- PEMP Terhadap PENGANGGURAN (TPT)

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 0.018871 1 0.8907

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. PEMP -0.000001 -0.000001 0.000000 0.8907 Cross-section random effects test equation:

Dependent Variable: TPT Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:51 Sample: 2005 2009

Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11.46289 1.850322 6.195079 0.0000 PEMP -1.15E-06 2.10E-06 -0.549029 0.5845

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.535918 Mean dependent var 10.48290 Adjusted R-squared 0.418429 S.D. dependent var 6.391912 S.E. of regression 4.874522 Akaike info criterion 6.190199 Sum squared resid 1877.117 Schwarz criterion 6.737285 Log likelihood -288.5100 Hannan-Quinn criter. 6.411614 F-statistic 4.561433 Durbin-Watson stat 1.865527 Prob(F-statistic) 0.000001


(3)

PEMP Terhadap PENGANGGURAN (TPT)

KEPUTUSAN UJI HAUSMAN : RANDOM

AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON: 1,52)

HO: HOMOSKEDASTIK

H1: HETEROSKEDASTIK

HETEROSKEDASTIK: 0,0029*100=0.29 CHI SQUARE TABEL=6.63

TERIMA HO (HOMOSKEDASTIK)

ADA AUTOKORELASI DAN TIDAK ADA HETEROSKEDASTIK , ESTIMASI

YANG DIGUNAKAN:

COVARIANCE METHOD

CROSSSECTION SUR (PCSE)

Dependent Variable: TPT

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:53

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Swamy and Arora estimator of component variances

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11.41156 2.249113 5.073806 0.0000 PEMP -1.09E-06 1.39E-06 -0.785504 0.4341

Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 4.387809 0.4476 Idiosyncratic random 4.874522 0.5524

Weighted Statistics

R-squared 0.002909 Mean dependent var 4.664199 Adjusted R-squared -0.007265 S.D. dependent var 4.832538 S.E. of regression 4.850060 Sum squared resid 2305.262 F-statistic 0.285951 Durbin-Watson stat 1.518289 Prob(F-statistic) 0.594038

Unweighted Statistics

R-squared 0.001246 Mean dependent var 10.48290 Sum squared resid 4039.758 Durbin-Watson stat 0.866402


(4)

PDRB, GINI, PENGANGGURAN TERHADAP MISKIN

FIXED

Dependent Variable: MISKIN Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:55 Sample: 2005 2009

Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 21.45566 4.949510 4.334905 0.0000 PDRB -0.001456 0.001013 -1.438002 0.1545 GINI 2.859503 11.87735 0.240753 0.8104 TPT 0.091824 0.065346 1.405186 0.1640

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.962992 Mean dependent var 19.46190 Adjusted R-squared 0.952418 S.D. dependent var 12.11420 S.E. of regression 2.642497 Akaike info criterion 4.979961 Sum squared resid 537.6749 Schwarz criterion 5.579150 Log likelihood -225.9980 Hannan-Quinn criter. 5.222464 F-statistic 91.07429 Durbin-Watson stat 0.949977 Prob(F-statistic) 0.000000

RANDOM

Dependent Variable: MISKIN

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 12:55

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 24.06846 4.839676 4.973155 0.0000 PDRB -0.002181 0.000709 -3.075884 0.0027 GINI 0.940267 11.68571 0.080463 0.9360 TPT 0.075529 0.062834 1.202046 0.2323

Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 10.62755 0.9418 Idiosyncratic random 2.642497 0.0582

Weighted Statistics

R-squared 0.131550 Mean dependent var 2.150865 Adjusted R-squared 0.104411 S.D. dependent var 2.763288 S.E. of regression 2.615054 Sum squared resid 656.4966 F-statistic 4.847249 Durbin-Watson stat 0.774707 Prob(F-statistic) 0.003488


(5)

Unweighted Statistics

R-squared 0.313283 Mean dependent var 19.46190 Sum squared resid 9977.067 Durbin-Watson stat 0.050976

UJI HAUSMAN-PDRB,INDEKS GINI,TPT Terhadap KEMISKINAN

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 1.016361 3 0.7973

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. PDRB -0.001456 -0.002181 0.000001 0.3165 GINI 2.859503 0.940267 4.515418 0.3664 TPT 0.091824 0.075529 0.000322 0.3639

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: MISKIN

Method: Panel Least Squares Date: 08/25/11 Time: 12:55 Sample: 2005 2009

Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 21.45566 4.949510 4.334905 0.0000 PDRB -0.001456 0.001013 -1.438002 0.1545 GINI 2.859503 11.87735 0.240753 0.8104 TPT 0.091824 0.065346 1.405186 0.1640

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.962992 Mean dependent var 19.46190 Adjusted R-squared 0.952418 S.D. dependent var 12.11420 S.E. of regression 2.642497 Akaike info criterion 4.979961 Sum squared resid 537.6749 Schwarz criterion 5.579150 Log likelihood -225.9980 Hannan-Quinn criter. 5.222464 F-statistic 91.07429 Durbin-Watson stat 0.949977 Prob(F-statistic) 0.000000


(6)

PDRB,INDEKS GINI,TPT Terhadap KEMISKINAN

KEPUTUSAN UJI HAUSMAN : RANDOM

AUTOKORELASI : ADA (DURBIN WATSON: 0.77)

HO: HOMOSKEDASTIK

H1: HETEROSKEDASTIK

HETEROSKEDASTIK: 0,1315*100=13.15 CHI SQUARE TABEL=6.63

TOLAK HO (HETEROSKEDASTIK)

ADA AUTOKORELASI DAN ADA HETEROSKEDASTIK ,ESTIMASI YANG

DIGUNAKAN:

GLS

KARENA SUDAH RANDOM TIDAK DIGUNAKAN WEIGHT GLS

LAGI

COVARIANCE METHOD

CROSSSECTION SUR (PCSE)

Dependent Variable: MISKIN

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/25/11 Time: 13:01

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 20

Total panel (balanced) observations: 100

Swamy and Arora estimator of component variances

Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 24.06846 6.964162 3.456045 0.0008 PDRB -0.002181 0.000835 -2.612007 0.0104 GINI 0.940267 8.143073 0.115468 0.9083 TPT 0.075529 0.051127 1.477275 0.1429

Effects Specification

S.D. Rho Cross-section random 10.62755 0.9418 Idiosyncratic random 2.642497 0.0582

Weighted Statistics

R-squared 0.131550 Mean dependent var 2.150865 Adjusted R-squared 0.104411 S.D. dependent var 2.763288 S.E. of regression 2.615054 Sum squared resid 656.4966 F-statistic 4.847249 Durbin-Watson stat 0.774707 Prob(F-statistic) 0.003488

Unweighted Statistics

R-squared 0.313283 Mean dependent var 19.46190 Sum squared resid 9977.067 Durbin-Watson stat 0.050976