1.5. Kerangka pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
RTH dan Hutan Kota Eksisting
Rencana Tata Ruang Wilayah
Penutupan Lahan
Luas, bentuk dan lokasi
Rencana Pemanfaatan dan
Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Citra Satelit
Landsat Distribusi suhu
Kota Gorontalo
Kenyamanan THI
Permasalahan Lingkungan kota
Dasar Hukum UU No. 23 Tahun 1997
UU No. 41 Tahun 1999 UU No. 26 Tahun 2007
PP No. 63 Tahun 2002 PERMENDAGRI No. 1
Tahun 2007 Analisis kebutuhan
RTH dan Hutan Kota Analisis
Kelembagaan Kondisi Fisik:
topografi, iklim,
Kondisi Sosial: demografi
Kondisi Umum
Rencana Hutan Kota
Untuk Meningkatkan Kenyamanan
Analisis Spasial
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kota dan Hutan Kota
Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota
merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Manusia dapat mencatat dan menganalisisnya dari berbagai perspektif seperti moral, sejarah manusia,
hubungan timbal balik antara manusia dengan habitatnya, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik dan berbagai kenyataan dari kehidupan manusia. Aktivitas
dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim. Banyak kriteria yang digunakan untuk sebuah kota sehingga definisi kota
berbeda disetiap negara, namun Bank Dunia membuat standar untuk mengenali aspek permukiman yang berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: 1 lebih dari
20.000 jiwa disebut urban, 2 lebih dari 100.000 jiwa disebut cities dan 3 lebih dari 5 juta disebut big cities Zoer’aini 2004.
Hutan kota urban forest adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya
dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bagian dari program Ruang Terbuka
Hijau. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 Tahun 2007. Pelaksanaan program pengembangan Ruang Terbuka Hijau dilakukan dengan
pengisian hijau tumbuhan secara alamiah ataupun tanaman budidaya seperti pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya Dahlan 1992.
2.1.1 Permasalahan Lingkungan Kota
Menurut Haeruman 1979 dalam Zoer’aini 2004 harapan masa depan untuk memperoleh kualitas lingkungan perkotaan yang lebih baik akan tergantung
kepada empat hal, yaitu: 1 ketepatan alokasi ruang untuk setiap kegiatan pembangunan, 2 ketersediaan dan kemampuan kelembagaan dan proses
pengelolaan lingkungan, 3 pengendalian kegiatan pembangunan yang mengarah
kepada efisiensi penggunaan bahan dan pengendalian pencemaran dan perusakan fungsi dan 4 tingkat peran serta masyarakat dan disiplin bermasyarakat kota.
2.1.2 Perencanaan Kota
Perencanaan adalah hal memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta hal membuat dan menggunakan dugaan-dugaan mengenai masa yang akan datang
dalam hal menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan Tarigan 1995.
Perencanaan terkait dengan penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan di masa datang dan dampaknya
juga baru terlihat di masa depan. Hal ini tidak berarti perencanaan tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi saat ini, karena permasalahan di masa
yang akan datang adalah produk dari apa yang terjadi saat ini dan pengaruh faktor luar.
Perencanaan lingkungan merupakan spesialisasi atau titik pusat perencanaan kota yang menempatkan prioritas utama pada berbagai masalah lingkungan,
mencakup masalah penggunaan lahan, serta kebijakan dan rancangan penggunaannya. Istilah lingkungan terutama mengacu pada segala sesuatu yang
berhubungan dengan kualitas dan kuantitas air, kualitas udara dan iklim, tanah dan lapangan, serta flora dan fauna karena kaitannya dengan kondisi manusia dan
lingkungan buatan. Sudut pandang dalam perencanaan lingkungan yang modern biasanya sangat bervariasi, misalnya bergerak 1 dari perolehan sumberdaya ke
proteksi lingkungan atau 2 dari lingkungan sebagai sesuatu yang penuh resiko menjadi lingkungan sebagai sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia.
Perencanaan lingkungan tidak memberikan prioritas pada lingkungan alami maupun lingkungan buatan, akan tetapi biasanya berkaitan dengan masalah-
masalah yang muncul dari interaksi keduanya Marsh 1998.
2.1.3 Perencanaan Hutan Kota
Perencanaan suatu hutan kota perlu disesuaikan dengan tujuan dan fungsi yang ingin dicapai. Ada beberapa tipe dan bentuk hutan kota untuk berbagai
tujuan dan fungsi. Menurut Dahlan 2004 tipe hutan kota terbagi enam yaitu, 1 hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk
pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan
kota dengan tipe pemukiman, 2 Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe
kawasan industri, 3 Taman Kota sebagai salah satu bentuk hutan kota dapat dijadikan salah satu alternatif untuk berrekreasi, maka dibangun hutan kota tipe
rekreasi dan keindahan, 4 Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam,
maka dibangun hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah, 5 Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal, kerawanan
banjir dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya,
maka tipe hutan kotanya adalah tipe perlindungan, 6 Hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan.
Perencanaan yang baik adalah yang menampilkan analisis yang sehat dari seluruh tapak dan faktor-faktor perencanaannya, pengertian yang jelas dari
hubungan-hubungannya dan suatu penampilan fungsi yang sensitif serta integrasi tapak secara total dalam suatu cara setiap bagian-bagian bekerja secara harmoni.
Proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan tapak pada saat awal, keadaan yang diinginkan serta model
yang terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan pada tapak tersebut. Proses perencanaan dan perancangan terdiri dari enam tahap, yaitu: persiapan,
pengumpulan data, analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan Simonds 1983.
2.2 Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu
Lillesand Kiefer 1990 menjelaskan bahwa penggunaan lahan atau tata guna lahan land use berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan
tertentu, sedangkan penutupan lahan land cover lebih merupakan perwujudan fisik suatu obyek yang ada dipermukaan bumi dan menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Secara idealnya informasi penggunaan lahan dan penutupan lahan sebaiknya disajikan pada peta
secara terpisah dan tidak dijadikan satu peta seperti sistem klasifikasi USGS. Akan tetapi dari segi praktisnya, lebih efisien menggabungkan dua sistem tersebut
apabila data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk
kegiatan pemetaannya. Berbeda dengan informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Informasi
tentang kegiatan manusia pada lahan penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Dengan demikian maka
diperlukan sumber informasi tambahan untuk melengkapi data penutupan lahan. Menurut Risdiyanto Setiawan 2007 dalam penelitiannya menyatakan
bahwa perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutupan lahan disebabkan oleh sifat fisik permukaan seperti kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal.
Tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas panasnya tinggi. Sehingga pada waktu yang bersamaan
dengan jumlah masukan energi yang sama akan memberikan respon perubahan suhu permukaan yang berbeda dan menyebabkan suhu permukaannya lebih tinggi.
Pendugaan suhu permukaan menggunakan citra Landsat ETM+ menunjukkan bahwa tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kisaran 26 – 35
o
C dengan suhu rata-rata berkisar 29,5
o
C. Penutupan lahan bervegetasi hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak
belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah mempunyai kisaran suhu permukaan sekitar 18 – 32
o
C dengan suhu rata-rata permukaan terendah dimiliki oleh penutup lahan hutan alam 23,9
o
C dan tertinggi dimiliki oleh penutup lahan sawah 28,4
o
C, sedangkan suhu permukaan untuk badan air berada pada kisaran 22 – 32
o
C dengan suhu rata-ratanya sebesar 26,9
o
C. Lahan pemukiman memiliki albedo sebesar 0,09 sedangkan nilai rata-rata
albedo pada tipe penutup lahan bervegetasi berkisar 0,054 – 0,077 dan untuk penutup lahan berupa badan air memiliki nilai albedo 0,189. Tipe penutup lahan
non vegetasi mempunyai nilai rataan albedo yang lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet
monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah. Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi.
Daerah perkotaan ditandai dengan adanya permukaan berupa parit, selokan dan pipa saluran drainase, sehingga hujan yang jatuh sebagian menjadi aliran
permukaan, tidak meresap ke dalam tanah. Akibatnya air untuk evaporasi menjadi kurang tersedia. Penguapan di daerah ini menjadi sedikit menyebabkan
keadaan tidak sejuk jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang penuh vegetasi. Bangunan akan memperlambat pergerakan angin dan mengurangi
gerak udara secara horisontal. Hal ini akan memicu beberapa gas polutan terkonsentrasi di dekat permukaan karena faktor pendispersian polutan hanya
tergantung pada gerak udara vertikal yang selanjutnya mengakibatkan pemanasan di dekat permukaan bangunan Fardiaz 1992. Selain itu menurut
Risdiyanto Setiawan 2007 menyatakan bahwa perbedaan penerimaan Rn radiasi netto energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan pada tiap tipe
penutup lahan dipengaruhi oleh albedo radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Penutup lahan pemukiman memiliki nilai albedo dan suhu
permukaan yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima lebih rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang
dipancarkan tinggi radiasi netto rendah. Semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai
emisivitas daya pancar suatu permukaan masing-masing penutup lahan membuat semakin besarnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang
dipantulkan. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan
tersebut. Menurut Yoyo 1987 dalam penelitiannya menyatakan bahwa hasil
pengukuran secara umum menunjukkan nilai suhu udara di antara tegakan pohon relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tempat terbuka, sedangkan untuk
kelembaban di antara tegakan pohon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat terbuka. Pada daerah hijau dengan hadirnya pohon-pohon radiasi surya
datang yang diterima permukaan diantara tegakan pohon menjadi berkurang. Hal ini akan berakibat berkurangya pemanasan permukaan tanah diantara tegakan
pohon. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kota Bogor mengalami penurunan
luas wilayah pada penutupan lahan badan air, vegetasi, ladang,dan semak dan rumput. Penurunan luas wilayah terbesar pada penutupan lahan ladang yaitu
sebesar 385,38 Ha. Sedangkan peningkatan luasan terjadi pada wilayah penutupan lahan ladang terbangun. Peningkatan luasan wilayah tebangun
sebesar 405,99 Ha. Peningkatan luas terbangun ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk 205.218 Jiwa dengan pertambahan rumah tangga sebanyak
46.578. Distribusi suhu permukaan di Kota Bogor pada Tahun 1997 hingga 2006 terjadi peningkatan luas penyebaran pada kelas suhu 24-28
O
C dan terjadi penurunan luas penyebaran pada kelas suhu 20-24
O
C Khusaini 2007. Perubahan luas lahan disebabkan oleh penambahan populasi penduduk dan
aktivitasnya. Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi luas lahan tetapi juga mempengaruhi distribusi suhu permukaan. Akan tetapi, perubahan luas lahan
bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan perubahan suhu. Salah satu faktor yang lainnya adalah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Menurut Okarda 2005 dalam hasil penelitian menyatakan terjadi perubahan penutupan lahan di Kabupaten Cianjur antara selang waktu 1997
hingga 2001. Pemukiman menjadi penutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan terbesar, pada tahun 1997 seluas 3,933 ha atau 1,07
menjadi 9,401 ha atau 5,22 dari luas wilayah Kabupaten Cianjur. Sedangkan hutan alam dan lahan pertanian mengalami penurunan luasan penutupan lahan.
Hutan alam pada tahun 1997 seluas 50,685 ha berkurang menjadi 43, 868 ha dan lahan pertanian pada tahun 1997 seluas 119,678 ha berkurang menjadi 84,440 ha
Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Bogor maka dapat diperoleh gambaran perubahan suhu rata-rata Kota Bogor selama kurun
waktu 27 tahun, yaitu dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2005. Suhu rata-rata terendah mencapai 24
o
C sebaliknya suhu rata-rata tertinggi mencapai 27
o
C. Secara keseluruhan selama 27 tahun telah terjadi peningkatan suhu rata-rata
Kota Bogor dari 25,281
o
C menjadi 25,762
o
C atau kenaikan sebesar 0,481
o
C Soma 2005.
2.3 Kondisi RTH dan Hutan Kota