4.7 Kelembagaan dan Kebijakan Hutan Kota dan Persepsi Masyarakat
Kelembagaan institusional terdapat dua jenis, yaitu institusi sebagai aturan main rule of games dan institusi sebagai organisasi. Sebagai aturan main yaitu
institusi sebagai suatu gugus aturan tentang hubungan antar individu dalam sistem sosial yaitu mencerminkan hak dan kewajiban. Oleh karena itu kelembagaan
merupakan sistem organisasi dan kontrol sumberdaya alam. Suatu institusi dicirikan oleh tiga hal yaitu 1 batas juridikasi, 2 property rights hak-hak
kepemilikan, dan 3 aturan representasi. Batas juridikasi adalah batas wilayah kerja atau ruang lingkup kegiatan yang memiliki implikasi penting terhadap
ukuran usaha dan batas wewenang partisipan dalam organisasi. Konsep hak kepemilikan muncul dari konsep hak dan kepemilikan yang didefinisikan atau
diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus dalam kepentingan terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Hak kepemilikan akan mengontrol distribusi
manfaat insentif dan disinsentif antar partispan. Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang mengatur pengambilan keputusan. Aturan representasi ini
akan mengontrol ongkos transaksi, yang dicerminkan oleh kepentingan siapa yang diutamakan dalam pengambilan keputusan Schmid, 1972 dalam Affandi, 1994.
Penataan ruang perkotaan dapat diartikan sebagai proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian wilayah perkotaan dari kondisi yang ada menjadi
kondisi yang lebih baik. Kondisi ideal tersebut menurut Affandi 1994, disamping dikaitkan dengan konsep city of tomorrow dari sistem kegiatan serta
sistem jejaringnya, juga dipengaruhi oleh sistem kelembagaan. Dengan demikian dibutuhkan juga penataan atau manajemen sistem kelembagaan yang ada untuk
menunjang perwujudan wilayah perkotaan yang ideal tersebut. Institusi yang dibutuhkan tersebut antara lain pengadaan dana, pembenahan organisasi dan
kerjasama serta penyesuaian perangkat hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait antara lain
Bappeda, Dinas Tata Kota dan Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Kelautan dan Kehutanan, dapat dirumuskan keadaan penyelenggaraan
hutan kota di Kota Gorontalo saat ini. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Gorontalo tahun anggaran 20092029. Didalamnya terdapat
Rencana Pola Ruang Kota Gorontalo tahun 20092029 yang hanya mengatur Rencana Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota Gorontalo tahun 20092029
sedangkan untuk hutan kota belum diatur, walaupun dalam waktu penelitian RTRW Kota Gorontalo ini belum disahkan. Akan tetapi berdasarkan Laporan
Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Gorontalo 2008 terdapat SK Walikota No. 359 Tahun 2004 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Kota di Kota Gorontalo.
Perencanaan pembangunan hutan kota hendaknya masuk dalam rencana tata ruang kota yang secara resmi mendapatkan pengesahan dalam bentuk peraturan
daerah. Selama ini komponen-komponen hutan kota dalam berbagai hirarki rencana tata ruang masuk dalam sektor ruang terbuka hijau. Akibat banyaknya
cakupan dalam sektor ruang terbuka hijau dan pembangunan hutan kota kurang mendapat perhatian. Masuknya rencana pembangunan hutan kota dalam berbagai
hirarki rencana penataan ruang maka hutan kota dilindungi dan tidak mudah diubah-ubah alokasi penggunaan lahannya. Hutan kota dapat menunjukkan ciri
khas dari suatu daerah jika hutan kota telah berkembang dengan baik. Hutan kota berpotensi menjadi tempat pariwisata di dalam kota, selain fungsi utamanya
melindungi lingkungan. Penunjukan, Pembangunan dan Pembinaan Dan Pengawasan belum ada,
padahal sesuai amanat PP 63 Tahun 2002 bahwa ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan hutan kota ditetapkan dengan Perda dan terdapat landasan
hukumnya. Namun dalam pengelolaan melibatkan Pemda khususnya yaitu Dinas Tata Kota dan Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Kelautan
dan Kehutanan dan juga partisipasi masyarakat. Selain itu kendala yang dihadapi adalah adanya konflik kepentingan yang disebabkan oleh pembangunan yang
masih berorientasi pada aspek ekonomi sehingga pembangunan pasar moderen, industri, perkantoran, perumahan atau fasilitas kota yang lain lebih mendapat
proritas dibandingkan dengan kehadiran hutan kota. Sementara banyak ruang terbuka hijau dikonversi untuk pembangunan fasilitas kota. Anggaran yang minim
juga menjadi hambatan dalam proses penyelenggaran hutan kota. Salah satu tipe hutan kota adalah hutan kota pekarangan rumah. Pekarangan
rumah ada yang banyak tanamannya dan ada juga yang tidak ada tanamannya. Berdasarkan hasil survey dan wawancara secara acak dibeberapa wilayah di
seluruh kecamatan diperoleh hasil bahwa masyarakat pada umumnya senang dan memelihara pohon di pekarangan rumah. Jenis tanaman yang paling banyak yaitu
tanaman hias dan pohon menghasilkan buah, hal ini menurut masyarakat selain memperindah dan meneduhkan rumah, buahnya juga bisa dimanfaatkan. Bagi
masyarakat yang pekarangan rumahnya tidak terdapat pohon, disebabkan karena pekarangan yang sempit sehingga tidak cukup untuk ditanami pohon.
Adanya pepohonan disekitar perumahan penduduk merupakan salah satu tipe hutan kota yang sangat bermanfaat sebagai supply oksigen dan memberikan
efek teduh sehingga masyarakat merasa lebih nyaman. Akan tetapi wawasan mengenai hutan kota pada umumnya masyarakat belum mendengar apalagi
memahami fungsi dan manfaatnya. Untuk itu sosialisasi dan ajakan sangat perlu dilakukan agar masyarakat lebih bisa mempertahankan keberadaan pepohonan
yang sudah ada dan meningkatkan penghijauan di lokasi sekitar. Mengalihkan nilai sosial suatu komunitas atau masyarakat kota untuk lebih menyatukan
pandangan atau persepsi tentang hubungan manusia dengan alam. Dengan cara merubah gaya hidup masyarakat kota dengan menambahkan unsur alam. Konsep
hutan kota adalah membangun dan memelihara pohon-pohon dan ekosistem di dalam dan sekitar kawasan kota. Untuk membangun dan memelihara pohon-
pohon di dalam kawasan kota perlu untuk memahami pentingnya keberadaan pohon-pohon untuk penduduk kota Miller 1988.
4.8 Rencana Pembangunan Hutan Kota