Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya. Menurut Abun 2006, kadar total nitrogen yang tersisa dalam
deproteinasi dapat dijadikan sebagai indikator proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin tinggi suhu deasetilasi maka kadar nitrogen
cenderung semakin kecil. Kadar nitrogen kitosan larut asam adalah 2,27 . Kadar nitrogen ini sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kadar nitrogen ini
menunjukkan tingkatan dari luasnya tingkat derajat deasetilasi dan nitrogen dalam kitosan sebagian besar terdapat dalam bentuk kelompok amino alifatik primer
Kumar 2000. Rincian data hasil karakterisasi kitosan komersil disajikan pada Lampiran 1.
4.1.2 Hasil pengujian antibakteri kitosan
Mengacu pada penelitian Wulandari 2010, konsentrasi hambat tumbuh minimum KHTM kitosan terhadap pertumbuhan bakteri target, yaitu E. coli dan
S. aureus adalah sebesar 0,125 . Berdasarkan penelitian tersebut maka penentuan konsentrasi kitosan sebagai bahan antibakteri kitosan dibagi menjadi
beberapa perlakuan, yaitu 0,25 , 0,50 , 0,75 , 1,0 dan 1,5 dengan control negatif asam asetat 1,0 atau kitosan 0 serta kontrol positif zat aktif
iodine 1,0 pada plester komersil. Hasil pengujian aktivitas antibakteri pada beberapa konsentrasi larutan kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengujian antibakteri kitosan
Bakteri uji Zona Hambat mm
0,25 0,5
0,75 1,0
1,5 K+
Staphylococcus aureus 7
7 7
7 13
7 Bacillus fumilis
7 7
7 7
7 7
Escherichia coli 10
12 11
12 13
13 P. aeruginosa
7 10
7 12
13 15
Bakteri uji yang dipilih adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus Pseudomonas dan
Bacillus fumilis. Bakteri yang digunakan merupakan bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif yang biasanya terdapat pada luka, yaitu E. coli, S. aureus dan P. aeruginosa. Jenis bakteri ini merupakan bakteri yang
umum ditemukan dalam luka terinfeksi DePaola 1990 dan Yuherman 2001 dalam Marlina 2008.
Bakteri P. aeruginosa dan S. aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka ataupun melalui kontak udara atau kontak
langsung dengan pasien yang beresiko tinggi terkena infeksi, sedangkan bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif dan dipilih karena berpeluang pada beberapa
infeksi dibandingkan bakteri lainnya Todar 2004 dalam Rostinawati 2009. Hasil uji antibakteri dengan rentang konsentrasi kitosan 0,25 sampai
konsentasi 1,5 menunjukan adanya aktivitas antibakteri kitosan melalui terbentuknya zona bening. Aktivitas antibakteri tersebut beragam tergantung jenis
bakteri uji dan konsentrasi kitosan. Tabel 3 menunjukan bahwa kitosan memberikan penghambatan yang lebih besar pada bakteri E. coli, S. aureus dan
P. aeruginosa sebesar 13 mm pada konsentrasi 1,5 . Hasil ini berbeda dengan penelitian Jeon et al. 2001 dan Hong et al. 2002 yang menyatakan bahwa efek
penghambatan umunya lebih besar pada bakteri gram positif dibandingkan gram negatif. Akan tetapi, menurut Meidina et al. 2006, aktivitas antibakteri pada
kitosan berhubungan dengan kehidrofilikan dinding sel bakteri. Kitosan dapat menyerap lebih baik pada bakteri gram negatif dibandingkan dengan gram positif
karena muatan negatif pada permukaan sel bakteri gram negatif lebih banyak dari pada gram positif. Muatan negatif dari kitosan yang didistribusikan secara
signifikan menuju permukaan dinding sel bakteri gram negatif dan selanjutnya akan menghambat aktivitas bakteri yang diujikan.
Hasil pengujian antibakteri dari sampel kitosan terhadap biakan bakteri menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan belum tentu
menghasilkan zona bening yang semakin luas. Hal ini berhubungan dengan kemampuan difusi larutan kitosan pada media biakan, karena semakin banyak
kitosan yang diserap maka akan menghasilkan perubahan yang besar terhadap struktur dinding sel dan permeabilitas membran sel bakteri Fajrina 2008. Selain
itu konsentrasi kitosan juga memiliki batas optimum sebagai antibakteri. Menurut Hong et al. 2002, perbedaan daya hambat yang diperoleh
mungkin disebabkan oleh variasi kondisi penelitian, seperti metode, pH dan media. Todar 1997 mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri,
antara lain zona hambat sebesar 2 cm atau lebih berarti sangat kuat, zona hambat 1,0-2,0 cm berarti kuat, zona hambat 0,5-1,0 cm berarti sedang dan zona hambat
0,5cm atau kurang berarti lemah. Berdasarkan uji aktivitas antibakteri, kitosan yang diuji memiliki daya hambat yang tergolong sedang sampai kuat karena
memiliki diameter rata-rata 0,5-1,0 cm dan 1,0-2,0 cm. Wang 1992 meneliti bahwa konsentrasi kitosan yang lebih tinggi
1-1,5 dapat menginaktivasi S. aureus setelah 2 hari di inkubasi dalam medium pada pH 5,5-6,5. Ia juga melaporkan bahwa pencegahan bakteri yang
terbaik setelah 2 hari selama inkubasi dengan 0,5 ataupun 1,0 kitosan pada pH 5.5. Melalui tahapan penelitian pengujian aktivitas antibakteri, perlakuan
konsentrasi kitosan yang terbaik dalam menghambat bakteri untuk dijadikan perlakuan dalam pengujian chitoplast dipilih dengan rentang konsentrasi kitosan
0,5-1,5 . Derajat keasaman pH merupakan parameter penting pada produk, karena
pH dapat mempengaruhi daya absorpsi pada kulit. Hasil pengukuran pH terhadap konsentrasi kitosan yang digunakan dalam pembuatan chitoplast dapat dilihat
pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian tingkat keasaman larutan kitosan
Konsentrasi kitosan Nilai pH
Kitosan 0,50 4,50
Kitosan 1,0 4,72
Kitosan 1,5 5,86
Hasil pengujian terhadap pH larutan kitosan menunjukkan bahwa larutan kitosan cenderung memiliki pH asam. Hal ini karena bahan dasar penyusun
kitosan bersifat asam karena dilarutkan menggunakan asam asetat. Menurut Purwatiningsih et al. 2009, kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organic
pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Selain itu, keberadaan perbedaan derajat deasetilasi kitosan dapat menyebabkan hasil
penelitian yang berbeda Shahidi et al 1999.
4.1.3 Hasil analisis FTIR fourier transform infrared