Modifikasi Kitosan Pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai Transdermal Patch Antibakteri

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli 2-amino-2-dioksi-ß-D-Glukosa yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat yang disebut deasetilasi (Balley dan Ollis 1977). Menurut Koev et al. (2010), kitosan sebagai biomaterial cocok untuk dikembangkan dan diaplikasikan pada banyak bidang, sebab kitosan bersifat biocompatible dan biodegradable. Selain itu hasil degradasi dari kitosan tidak berbahaya dan non-antigenik (tidak menyebabkan respon kekebalan pada organisme).

Salah satu pemanfaatan kitosan dalam bidang farmasi adalah kitosan dapat berperan sebagai antibakteri. Kemampuan antibakteri kitosan diakibatkan terdapatnya gugus NH3 glukosamin yang mampu berinteraksi dengan permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bakteri (Eldin et al. 2008). Kitosan memiliki kemampuan dalam proses penyembuhan luka karena kemampuannya untuk membentuk senyawa polielektrolit dengan polyanion heparin yang memproses anti koagulan dan angiogenic (Lahiji et al. 2000). Struktur rantai polimer kitin dapat meningkatkan pembentukan fiber dan film seperti selulosa. Kitosan dapat digunakan sebagai fabrikasi (pembentukan fibroblast) dalam aplikasi sebagai bahan benang, bahan penutup dan substrat yang bersifat biodegradable untuk pertumbuhan epitel kulit manusia dari hasil penelitian yang dilaporkan (Pillai et al. 2009).

Banyaknya jenis penutup luka (plester) yang beredar, hingga kini dirasakan masih memiliki beberapa efek samping yang cukup sensitif bagi kulit. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar bahan alternatif tersebut terdiri dari bahan-bahan atau zat kimia yang berpeluang dapat menyebabkan alergi di sekitar kulit, timbul bintik-bintik merah yang bergelembung berisi air dan menyebabkan gatal–gatal, bahkan menimbulkan bekas hitam yang lama hilangnya (NHF 2008). Salah satu bahan alami yang dapat diharapkan sebagai alternatif zat aktif yang cukup potensial untuk menggantikan zat kimiawi pada plester adalah kitosan melalui daya adsorpsi bahan aktifnya.


(2)

Kitosan sangat potensial sebagai antibakteri karena senyawa ini merupakan polimer alami hasil senyawa turunan kitin sehingga diharapkan aman bagi manusia. Hingga saat ini aktivitas antibakteri oligomer kitosan dalam berbagai bidang dengan model inovasinya masih menjadi hal baru untuk diteliti. Sifat patogen pada beberapa bakteri dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu jenis penyakit yang diakibatkan bakteri patogen dan mendominasi di kalangan masyarakat adalah masalah infeksi akibat proses penutupan luka yang kurang efektif. Resiko terjadinya infeksi menurut National Research Council (NRC) USA pada operasi bersih terkontaminasi secara keseluruhan adalah 7-20 % (Henry 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mengembangkan aplikasi penutup luka secara sistem penghantaran obat melalui potongan kasa (transdermal patch) dengan modifikasi zat aktif kitosan yang diketahui sebagai alternatif untuk mengurangi aktivitas bakteri dan mempercepat penyembuhan luka. Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi modern untuk mengatasi problema bioavailabilitas obat jika diberikan melalui jalur lain seperti oral (NHF 2008). Oleh karena itu, diperlukan alternatif modifikasi plester kitosan untuk mempercepat penyembuhan luka ringan pada lapisan epidermis kulit dan diharapkan dapat mencegah meluasnya luka terinfeksi. Menurut Mutia (2009), berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, maka luka dibagi menjadi luka stadium I-stadium IV. Plester luka ini ditujukan untuk luka pada stadium I, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit bagian atas.

1.2 Tujuan

Penelitian aplikasi kitosan pada modifikasi plester ini bertujuan untuk; 1) Menentukan efektivitas antibakteri konsentrasi terbaik dari plester kitosan

(Chitoplast)

2) Membandingkan kemampuan antibakteri Chitoplast berbasis kitosan dengan plester komersil.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

Kitosan biasanya ditemukan di alam sebagai kitin, yang secara natural merupakan komponen makromolekul berupa polisakarida yang dibentuk dari n-asetil-2-amino-2-deoksi-d-glukosa melalui ikatan -(1,4) glikosida. Kitosan terbentuk ketika beberapa gugus asetil dihilangkan dari kitin. Pada tiga dekade terakhir kitosan digunakan dalam proses detoksifikasi air. Apabila kitosan disebarkan diatas permukaan air, mampu menyerap lemak, minyak, logam berat, dan zat yang berpotensi sebagai toksik lainnya (Kumar 1998). Biasanya produk dengan nilai derajat deasetilasi lebih dari 60% dapat dilarutkan dalam larutan asam yang disebut kitosan. Struktur kimia dari kitosan disajikan pada Gambar 1 (Teng 2012).

Gambar 1 Struktur kimia kitosan Sumber: (Teng 2012)

Senyawa kimia kitin dan kitosan mudah menyesuaikan diri, bersifat hidrofobik dan memiliki reaktivitas kimia yang tinggi karena memiliki kandungan gugus OH dan gugus NH2 yang bebas serta ligan yang bervariasi (Prashanth dan Tharanathan 2006). Kitosan mempunyai gugus amin yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemampuannya membentuk gel maka kitosan dapat berperan sebagai komponen yang reaktif, pengkelat, pengikat, pengabsorbsi, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan dan koagulan (Shahidi 1999). 2.2 Sumber dan Mutu Kitosan

Kitosan merupakan merupakan polimer karbohidrat alami yang dapat ditemukan dalam kerangka dari krustasea, seperti kepiting, udang dan lobster, serta dalam eksoskeleton zooplankton laut, termasuk karang dan jellyfish. Selain terdapat pada hewan laut kitin juga ditemukan pada serangga, seperti kupu-kupu


(4)

dan kepik yang juga memiliki kandungan kitin di sayap mereka, serta terdapat di dinding sel ragi dan jamur (Shahidi dan Abuzaytoun 2005).

Mutu kitosan dapat ditentukan berdasarkan parameter fisika dan kimia, parameter fisis diantaranya penampakan, ukuran (mesh size) dan viskositas, sedangkan parameter kimia yaitu nilai proksimat dan derajat deasetilasi (DD). Semakin baik mutu kitosan semakin tinggi nilai derajat deasetilasinya dan semakin banyak fungsinya dalam aplikasinya. Adapun standar spesifikasi mutu kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesifikasi mutu kitosan

Spesifikasi Kitosan (Farmasi)

Penampakan Serpihan/Bubuk

putih/kekuningan

Kadar air (% berat kering) ≤ 10 %

Kadar abu (% berat kering) ≤ 2 %

Kadar N (% berat kering) > 5 %

Derajat Deasetilasi ≥70 %

Sumber : Protan Laboratories dalam Suptijah et. al (1992)

Produksi kitosan dapat dilakukan secara kimia dan enzimatis. Produksi kitosan secara termokimia menggunakan alkali kuat seperti NaOH pada suhu tinggi, namun proses ini menghasilkan mutu kitosan yang beragam dan menghasilkan limbah dan produk samping yang berpotensi toksikan bagi lingkungan. Produksi kitosan secara enzimatis, yakni deasetilasi enzimatis dengan kitin deasetilase (CDA) dalam bentuk larutan kitosan akan berlangsung lebih mudah, reaksinya lebih homogen disetiap bagian larutan. Menurut hasil penelitian Kolodziesjska et al. (2000), deasetilasi enzimatis terhadap kitin/kitosan dalam bentuk larutan dapat mencapai derajat deasetilasi 88-99 %. Proses pembuatan kitosan secara enzimatis lebih mudah dikendalikan, spesifik dan meminimalkan produk samping (Tsigos et al. 2000). Produk samping yang dapat diminimalkan untuk menjadi produk zero waste diantaranya adalah protein dan beberapa produk turunan lainnya.

Kitosan sebagian besar diperoleh dari bahan baku cangkang krustasea, kapang, cumi-cumi dan lain-lain, melalui proses demineraisasi menggunakan HCl 1:7 (v/v), dilanjutkan dengan proses deproteinasi menggunakan NaOH 1:10 (v/b), dan deasetilasi menggunakan NaOH 50%. Masing-masing proses memiliki tujuan


(5)

yang berbeda. Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral dalam cangkang, deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada cangkang, sedangkan proses deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Proses ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas fungsi dari kitosan (Angka dan Suhartono 2000).

2.3 Sifat-Sifat Kitosan sebagai Zat Anti-Bakteri

Kitosan dapat digunakan sebagai antibakteri dengan mekanisme kitosan dapat berikatan dengan protein membran sel, diantaranya glutamat yang merupakan komponen membran sel. Menurut Simpson (1997), hal ini dapat ditunjukan pada Staphylococcus aureus dan Enterobacteri aeruginosa. Selain berikatan dengan protein membran, terutama phosphatidil colin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membrane (IM) menjadi meningkat dan dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel, khususnya pada Eschericia coli setelah 60 menit komponen enzim - galaktosidase dapat terlepas. Hal ini menunjukan bahwa cairan sel dapat keluar dari sitoplasma dengan membawa komponen metabolit lain dan menyebabkan terjadi lisis. Adanya peningkatan lisis ini menyebabkan terhentinya pembelahan sel (regenerasi) dan menyebabkan bakteri mati.

Tsai dan Su (1999) juga melaporkan bahwa kitosan dapat menghambat pertumbuhan E. coli. Adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya keelektromagnetifan permukaan sel E.coli. Aktivitas antibakteri oligomer kitosan beragam tergantung jenis bakteri uji. Bakteri gram positif yaitu Lactobacillus monocytogenes, Bacillus cereus dan S. aureus lebih dihambat oleh kitosan dibandingkan oligomernya, sedangkan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhimurium dan E.coli lebih dihambat oleh bentuk oligomernya dengan DP 1-8 menggunakan selulase.

Hasil penelitian Tsai dan Su (1999) menunjukan adanya peningkatan aktivitas antibakteri pada suhu yang tinggi (25 0C dan 37 0C) dan pH yang lebih asam. Hal ini disebabkan karena pada suhu tinggi terjadi perubahan struktur permukaan sel yaitu penurunan jumlah permukaan sisi yang terikat (keelektronegatifan) terhadap kitosan. Sementara itu peningkatan aktivitas anti bakteri pada pH asam disebabkan karena grup amin pada posisi C2 (posisi


(6)

glukosamin) akan diprotonasi, kondisi ini akan menghasilkan interaksi yang disukai dengan residu negatif pada permukaan sel.

Adanya ion Na+ pada kitosan dapat menurunkan aktivitas antibakteri, hal ini disebabkan karena terjadinya komplek antara ion dengan kitosan sehingga menurunkan peningkatan kitosan terhadap permukaan sel. Kitosan mengikat secara kuat berbagai logam kation, seperti Cu2+, yang mana ini melibatkan kelompok –OH dan NH2 pada residu glukosamin sebagai ligan. Grup –NH2 merupakan sisi yang kritis untuk pengikatan kitosan dengan sel, maka komplek kitosan dengan Na+ menyebabkan komplek tersebut tidak dapat berikatan dengan permukaan sel. Keberadaan ion divalent seperti Ba2+, Ca2+, dan Mg2+ juga menurunkan aktivitas antibakteri. Mekanisme yang terjadi hampir sama dengan keberadaan ion Na+ (Tsai dan Su 1999).

2.4 Jenis-jenis Penutup Luka (Transdermal Patch) dan Aplikasi Kitosan Luka didefinisikan sebagai cacat pada kulit yang disebabkan oleh kecelakaan secara mekanik, tersengat listrik, terbakar karena tumpukan bahan-bahan kimia atau tindakan operasi (Mutia 2009). Proses penyembuhan luka melibatkan tiga tahap peradangan, pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan konektif serta proses penyembuhan luka itu sendiri.

Plester merupakan salah satu jenis bahan yang digunakan untuk menutup luka. Terdapat 9 jenis plester yang dibedakan berdasarkan indikasi lukanya, yaitu plester dengan lapisan tipis film, lembaran hidrogel, hidrokoloid, busa semipermiabel, hidrogel bersifat amorf, fillers, kasa dilapisi petroleum jelly, kasa pembalut, dan wound vacuum. Dewasa ini terdapat dua tipe plester, yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Pada plester sistem reservoir laju pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi obat, sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh sistem matriks (Summit 1983). Komponen-komponen yang digunakan sebagai pembentuk plester dapat dilihat pada Gambar 2.


(7)

Gambar 2 Komponen plester (transdermal patch) Sumber : (NHF 2008)

Komponen-komponen pembentuk plester, yaitu impermeable backing atau lapisan penyangga, biasanya terbuat dari lapisan polyester, ethylene vinyl alcohol (EVA), atau lapisan polyurethane. Selain itu, ada lapisan drug reservoir atau lapisan yang mengandung obat (zat aktif), lapisan perekat untuk menempelkan impermeable back beserta drug reservoir pada kulit dan lapisan pelindung yang berguna untuk mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum digunakan (NHF 2008).

Dalam bidang farmasi, banyak jenis makromolekul yang telah digunakan untuk mengontrol sifat obat di dalam berbagai bentuk dosis. Baru-baru ini telah dikembangkan bahwa kitosan digunakan sebagai bagian dari drug delivery system (sistem penyampaian obat) karena kitosan dan turunannya bersifat biocompatible dan biodegradable. Kitin dan kitosan menunjukan aktivitas antibakteri, antimetastatik dan immunoadjuvant (stimulator non spesifik respon imun) yang menunjukan potensi besar dalam meredakan dan mencegah penyakit atau memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik.

Cho et al. (1999) menggunakan larutan kitin yang dipersiapkan dalam kondisi suhu ruangan melalui proses depolimerisasi dengan ultrasonikasi setelah percobaan alkalin kitin. Kitosan dengan DD sebesar 83,9 % dibubuhkan pada luka kulit yang terbelah. Hal ini menunjukan bahwa larutan kitin-kitosan memiliki efisiensi yang tinggi dalam penutupan luka pada kulit karena kemampuan hidrofiliknya dan biodegradabilitasnya sebagai zat penyembuh luka.

Kitin dan kitosan keduanya memiliki bahan dan struktur biologi yang mampu memberikan manfaat untuk memperbaiki luka. Keduanya memiliki pengaruh pada tahapan penyembuhan luka yang berbeda dalam percobaan hewan (Howling et al. 2001). Menurut Brown (2003) dalam Shahidi (2007), pendarahan pada luka arteri juga dapat dihentikan dalam beberapa menit ketika penutupan


(8)

luka dengan kitosan diaplikasikan pada bagian luka. Mientka (2003) dalam Shahidi (2007) melaporkan bahwa penggunaan penutup luka sudah diakui oleh FDA sejak November 2002. Mereka menyebut penutup luka kitosan “shrimp bandage” yang mengandung kitosan. Penutup luka dari kitosan memiliki kemampuan untuk menghentikan pendarahan pada rata-rata 600 mL/menit. Selain itu, tidak ada tanda-tanda alergi setelah penggunaan penutup luka ini pada tentara yang memiliki alergi terhadap udang.

2.5 Jenis-jenis bakteri yang berpeluang eksis pada luka

Jenis bakteri yang umum ditemukan dalam luka terinfeksi adalah S. aureus, Enterococcus, E. coli, P. aeruginosa, Streptococci haemolytic, Klebsiella, Citrobacter, dan bakteri Morganella (BSN Medical 2009). Bakteri Vibrio parahaemolyticus dapat menyebabkan infeksi pada luka terbuka yang berkontak dengan air laut (DePaola 1990 dan Yuherman 2001 dalam Marlina 2008). Bakteri Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka atau luka bakar melalui kontaminasi di lingkungan rumah sakit melalui alat-alat kesehatan, alat bantu pernapasan, petugas kesehatan, pencemaran makanan dan minuman yang terkontaminasi, ataupun melalui kontak udara atau kontak langsung dengan pasien yang beresiko tinggi terkena infeksi kedua jenis bakteri, yaitu P. aureginosa dan S. aureus (Todar 2004 dalam Rostinawati 2009). 2.6 Biologi Tikus Putih

Sistem taksonomi tikus diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas mamalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Family Muridae, Subfamily Murinae dengan Genus Rattus dan merupakan Spesies Rattus norvegicus (Myers et al. 2008 dalam Bahar 2011). Tikus putih (R. norvegicus) galur sparaguwe dawley merupakan salah satu hewan percobaan atau hewan laboratorium yang sering digunakan dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Tikus putih merupakan rodensia yang mudah dipelihara, praktis juga dapat berkembang biak dengan cepat sehingga dapat diperoleh keturunan dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat serta anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Di Indonesia hewan percobaan lain yang lebih kecil, Mus musculus


(9)

dinamakan mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988 dalam Bahar 2011). Gambar Tikus putih (R. norvegicus) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tikus putih (R. norvegicus) Sumber : (Bembi 2011)

Jika dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, umumnya lebih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Jika tikus liar dapat hidup selama 4 sampai 5 tahun, sedangkan tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988 dalam Bahar 2011).


(10)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Maret 2012. Kegiatan penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu; pengujian Total Plate Count (TPC), pengujian antibakteri kitosan tahap awal dan pembuatan formulasi Chitoplast di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, pengujian analisis proksimat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, analisis derajat deasetilasi di Laboratorium Analisis FTIR Departemen Fisika FMIPA IPB, pengujian formulasi chitoplast di laboratorium Pemeliharaan Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan dan pengujian antibakteri kitosan tahapan lanjutan di Laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor. Pelaksanaan penelitian terdiri dari penelitian pendahuluan, penelitian utamadan pengujian penelitian serta analisis data.

3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague dawley (R. norvegicus) yang diperoleh dari Laboratorium Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tikus berumur 2-3 bulan dengan berat badan 200-300 gram setelah aklimatisasi. Tikus yang digunakan sebanyak 12 ekor jenis kelamin jantan untuk 5 perlakuan konsentrasi, yaitu kontrol negatif (asam asetat 1,0 % atau larutan kitosan 0 %), larutan kitosan 0,5; 1,0; dan 1,5 %, kontrol positif (plester komersil) dan tikus tanpa penutup luka dengan masing-masing diberi dua perlakuan perbedaan waktu (pengujian pada 24 jam dan 48 jam). Tikus tersebut dikandangkan secara individu dengan menggunakan wadah plastik dan ditutup dengan kawat untuk menutupi bagian atas kandang yang dialasi dengan sekam. 3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan komersil larut asam, bahan formulasi plester (lapisan poliester/adhesive plester, kasa steril, kain perekat, dan lem perekat). Bahan-bahan kimia yang digunakan terdiri dari aquades, CH3COOH, kitosan larut asam, media TPC, alkohol, selenium, H2SO4


(11)

pekat, H3BO3, HCl, NaOH, indikator bromcherosol green-methyl red, tablet kjeldahl, KBr, NA, NB MHA, dan sekam. Alat-alat yang digunakan meliputi alat timbangan digital, pipet volumetrik, pipet mikro, cawan petri, vortex, sudip, buret, inkubator, laminar, tabung reaksi, aluminium voil, wrapping, rak tabung, desikator, gunting, erlenmeyer, magnetic stirrer, kompor listrik, gelas ukur, gelas piala, batang pengaduk, kawat, wadah-wadah plastik, labu kjeldahl, paper disc, pinset, FTIR. Bahan-bahan dan alat yang dipergunakan untuk implementasi Chitoplast adalah alat pencukur, pinset, silet, gunting kecil dan zat anestesi pentotal 1,0 %.

3.3 Prosedur Kerja

Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari: persiapan bahan dan karakterisasi bahan aktif serta pengujian antibakteri dan penelitian utama adalah (1) pembuatan plester chitoplast dan (2) formulasi

chitoplast yang diujikan ke tikus percobaan. 3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan tahap awal dilakukan dengan persiapan bahan aktif, Selanjutnya kitosan yang digunakan dianalisis mutu (kadar air, kadar abu, kadar nitrogen dan derajat deasetilasi), pengujian antibakteri untuk menentukan konsentrasi terbaik, serta pengujian sifat kelarutannya dalam asam asetat.

3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama ini berupa pembuatan plester yang diawali dengan proses pelarutan kitosan 2,0 % (2 gram kitosan/larutan asam asetat 1,0 % dan aquades; b/v) kemudian larutan kitosan dihomogenizer dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Proses ini bertujuan untuk melarutkan kitosan dalam larutan asam asetat. Potongan kasa yang telah dibentuk dengan ukuran 1x2 cm2 selanjutnya diteteskan larutan kitosan sebagai zat aktif (drug reservoir) sesuai perlakuan. Perlakuan konsentrasi kitosan dilakukan dalam laminar untuk menjaga kesterilan bahan. Larutan kitosan pada kasa (lapisan drug reservoir) selanjutnya dipanaskan di dalam oven untuk proses pengeringan zat aktif. Menurut penelitian yang digunakan oleh Sheth dan Mistry (2011), matriks tipe transdermal patches


(12)

setelah digabung dengan backing membrane dikeringkan pada suhu 50oC (8 jam) sampai kering pada suhu ruang selama 24 jam. Hasil pengeringan dimasukkan ke dalam desikator sampai akan digunakan.

Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir penelitian utama

Larutan kitosan 2%

pengenceran larutan kitosan (0.5 %; 1,0 %; 1.5 %) Kitosan

Pelarutan kitosan 2 gr dalam asam asetat 1,0%

Penghomogenan (Magnetic stirrer, 500 rpm, 30 menit)

Aplikasi pada tikus percobaan selama 24 jam dan 48 jam

Analisis TPC kasa chitoplast dengan kitosan 0 % (control negative), 0,5 %; 1,0 %, dan 1,5 %, serta kontrol positif

Analisis derajat infeksi luka Chitoplast

Pengeringan kasa di oven (50oC, 8 jam)

Perekatan dengan lapisan penyangga dan pelindung

Pengujian antibakteri pada bakteri luka (S. aureus, Bacillus fumilis,

P. aeruginosa, E. coli)

Penetesan kitosan pada potongan kasa (8 tetes)


(13)

3.3.3 Formulasi chitoplast yang diujikan pada tikus percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan plester kitosan (transdermal patch chitoplast) antibakteri adalah lapisan poliester (adhesive plester), kasa steril dengan penambahan zat aktif kitosan larut asam dengan perbedaan konsentrasi (0,5 %, 1,0 %, dan 1,5 %) yang selanjutnya diberi lapisan pelindung (kertas pelindung). Plester yang telah dihasilkan dengan perbedaan konsentrasi, yaitu konsentrasi asam asetat 1,0 % atau kitosan 0 % (kontrol negatif), kitosan cair dengan konsentrasi 0,5 %, 1,0 %, dan 1,5 % serta pengujian dengan kontrol positif (plester komersil). Selanjutnya kelima perlakuan tersebut diuji efektivitasnya dalam pencegahan pertumbuhan bakteri terhadap sampel bakteri pada luka. Sampel bakteri diambil dari tikus percobaan yang dibuat luka sayat di daerah punggung yang diberikan anestesi sebelumnya agar tidak menyakiti, kemudian diberikan pengobatan dengan diuji menggunakan chitoplast

dengan masing-masing perlakuan konsentrasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Analisis waktu pengambilan sampel dilaksanakan dalam waktu 24 jam dan 48 jam dengan perlakuan yang sama. Selanjutnya sampel kasa kitosan tersebut diuji sampel bakterinya untuk kemudian dimasukan ke dalam larutan garfis 90 ml dan dilakukan pengenceran pada 10-1 sampai pengenceran 10-3 (1/10, 1/100 dan 1/1000) dan dilakukan inkubasi dengan suhu 37 ºC selama 24 jam (Henry 2007). Pengambilan sampel bakteri selanjutnya dianalisis menggunakan uji TPC. Selanjutnya hasil pengujian TPC dibandingkan dengan hasil uji kontrol negatif (kosentrasi kitosan 0 % atau asam asetat 1,0 %) dan kontrol positif (plester komersil).

3.4 Analisis Sampel Penelitian

Analisis sampel penelitian yang dilakukan berupa analisis kadar air, abu, nitrogen, derajat deasetilasi dan pengujian antibakteri kitosan pada beberapa konsentrasi.

3.4.1 Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan dengan penguapan menggunakan oven. Tahap awal yang dilakukan adalah proses pengeringan cawan porselen dengan menggunakan suhu 102-105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator kurang lebih 15 menit hingga dingin kemudian ditimbang. Sampel


(14)

sebanyak 5 gram dimasukan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dengan suhu 102-105 oC selama 6 jam. Setelah 6 jam cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator hingga dingin kemudian ditimbang bobotnya.

Perhitungan kadar air:

% Kadar air = B - C x 100% B – A

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi sampel (gram) sebelum dioven C = Berat cawan dengan sampel (gram) setelah dioven 3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu dilakukan dengan mengabukan sampel di dalam tanur. Tahap pertama cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan pengabuan yang akan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 6 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan didinginkan dalam desikator selam 30 menit, kemudian ditimbang bobotnya.

Perhitungan kadar abu:

% kadar abu = C - A x 100% B – A

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi sampel (gram) sebelum ditanur C = Berat cawan dengan sampel (gram) setelah ditanur 3.4.3 Analisis kadar nitrogen (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40 %,


(15)

kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar nitrogen dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N = (mL HCl – mL blanko) x N HCl x 14,007 x faktor pengenceran x 100% mg contoh x faktor koreksi alat *

*) Faktor koreksi alat = 2,5 *) Kadar protein = %N x 6.25 *) Faktor pengenceran= 10

3.4.4 Analisis pengukuran derajat deasetilasi (Domszy dan Robert 1985)

Kitosan sebanyak 0,2 gram digerus dengan KBr dalam mortar sampai homogen, kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet, dicetak dengan dipadatkan dan divakum sampai optimum. Selanjutnya pelet ditempatkan dalam sel dan dimasukkan ke dalam tempat sel pada spektrofotometer inframerah IR-408 yang sudah dinyalakan dan stabil kemudian dilakukan penekanan tombol pendeteksian, sehingga akan muncul histogram FTIR pada rekorder yang memunculkan puncak-puncak dari gugus fungsi yang terdapat pada sampel kitosan. Histogram yang diperoleh dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif misalnya analisis kuantitatif derajat deasetilasi dari kitosan.

Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0) dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus:

Keterangan:

P0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-1.

A = Log P0 P


(16)

P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-1.

Perbandingan absorbansi pada 1.655 cm-1 dengan absorbansi 3.450 cm-1 digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Dengan mengukur absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan: A1.655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1. A3.450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1.

1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna.

3.4.5 Analisis pengujian antibakteri kitosan (Lalitha 2004).

Uji ini meliputi persiapan media cair, persiapan media padat dan prosedur aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dnegan metode difusi agar (Kirby bauer) menggunakan kertas cakram (paper disc).

a. Persiapan media cair

Penyegaran bakteri uji (refresh bakteri) yaitu menggunakan media NB (nutrient broth). NB (Oxoid) ditimbang sebanyak 0,72 gram lalu dilarutkan ke dalam 60 ml akuades, media tsb dihomogenkan menggunakan hotplate pada suhu 100oC. Media yang telah homogen dimasukkan sebanyak 9 ml ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan aluminium foil. Media tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Media didinginkan di tempat yang steril pada suhu ruang.

b. Persiapan media padat

Media padat yang digunakan adalah MHA (muller hinton agar ). Media MHA dibuat dengan cara melarutkan 38 % MHA ke dalam akuades. Larutan tersebut dihomogenkan menggunakan hotplate pada suhu 100oC. Larutan kemudian dipipet 20 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Media tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Media didiamkan


(17)

dalam laminar aseptik sampai agar beku. Apabila media sudah beku, media disimpan dalam refrigerator.

c. Persiapan suspensi bakteri

Sebanyak satu ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media cair NB yang telah dingin secara aseptik, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC (18-24 jam). Biakan bakteri yang telah diinkubasi tersebut diukur rapat optis atau OD (optical density) nya dengan nilai antara 0,5-0,8 pada panjang gelombang 600 nm.

d. Pengujian antibakteri

Tahap pertama pada uji aktivitas antibakteri ini adalah meneteskan larutan kitosan dengan konsentrasi 0,5 %, 1,0 %, dan 1,5 % pada setiap paper disc sebanyak 20 mikroliter sehingga didapat konsentrasi larutan kitosan per paper disc dengan menggunakan pipet mikro. Paper disc yang telah berisi larutan kitosan dibiarkan sampai mengering atau pelarutnya menguap dalam laminar steril.

Tahap selanjutnya, sebanyak 20 ml media MHA dalam keadan cair ditambahkan 20 mikroliter bakteri uji yang telah diukur OD menggunakan pipet mikro. Media agar yang telah ditambahkan bakteri uji dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril dan digoyangkan membentuk angka delapan agar bakeri menyebar dan media MHA tercampur merata. Media agar terebut didiamkan dalam laminar aseptik selama 15 menit atau sampai agar beku.

Apabila media MHA tersebut telah membeku, masing-masing paper disc diletakkan dalam cawan petri berisi agar dan bakteri dengan menggunakan pinset steril. Cawan tersebut kemudian diinkubasi dalam keadaan terbalik dalam waktu 18-20 jam dengan suhu 37oC. aktivitas antibakteri dapat dilihat dengan mengamati zona hambatan yang terbentuk di sekeliling paper disc. Antibakteri dikatakan positif jika terbentuk zona hambatan berupa zona bening di sekeliling paper disc dan antibakteri negatif ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening. Diameter zona hambat yang terbentuk diukur lebarnya menggunakan penggaris atau jangka sorong. Besar diameter zona hambat dihitung dengan cara mengurangi diameter zona hambat yang terbentuk pada cawan petri uji dengan diameter paper disc.


(18)

3.4.6 Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian.

Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 90 ml larutan NaCl 0,85 % (larutan garam fisiologis/garfis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Penelitian ini menggunakan sampel kasa yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml sehingga didapatkan pengenceran 100. Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10-1. Pengenceran disesuaikan dengan pendugaan tingkat koloni bakteri pada luka. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja agar media NA (nutrient agar) merata.

Media agar ditambahkan ke dalam cawan petri dengan metode tuang sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai merata. Cawan petri diinkubasi dalam inkubator bersuhu 370C selama 48 jam. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Perhitungan jumlah bakteri total/gram dapat dihitung dengan memperhitungkan jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri. 3.4.7 Analisis derajat infeksi luka

Analisis derajat infeksi luka dilakukan dengan mengamati infeksi yang terjadi pada luka oleh pengamat yang terdiri dari peneliti dan konsultan dan kemudian membandingkan hasil pengamatan untuk selanjutnya diuji beda infeksinya. Derajat infeksi luka secara klinis dihitung berdasarkan teori penelitian Hulton et al. (1994) dalam Henry (2007), yaitu :

a. Derajat 0 : tanpa infeksi

b. Derajat 1 : Eritema (kemerahan) dipinggir dan sekitar luka kemudian meluas setelah 24 jam, tanpa cairan serousa (cairan bening)


(19)

c. Derajat 2 : Eritema (kemerahan) dengan cairan serousa (cairan bening) atau sanguinus (darah) dari luka

d. Derajat 3 : Cairan purulen (cairan bernanah) dari bagian luka tanpa pemisahan tepi luka

e. Derajat 4 : Cairan purulen (cairan bernanah) bercampur darah dari luka dengan pemisahan tepi luka.

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu rancangan acak kelompok in time (RAK in time). Rancangan ini adalah percobaan yang melibatkan pengamatan berulang terhadap satu objek. Disamping perlakuan yang dicobakan, diharapkan juga mampu melihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Sehingga pengaruh waktu akan sangat bermanfaat untuk dikaji disamping perlakuan yang diberikan.

Perlakuan yang diberikan yaitu konsentrasi kitosan. Perlakuan konsentrasi kitosan terdiri dari 5 taraf, yaitu kontrol negatif (kitosan 0 %), kontrol positif (plester komersil), Chitoplast 0,5 %; 1,0 %; dan 1,5 %. Menurut Steel dan Torie (1993) dengan model uji rancangan acak kelompok in time sebagai berikut :

Keterangan :

Yijk = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j dan waktu ke-k. μ = nilai rata-rata

αi =pengaruh faktor A taraf ke-i, ijk = komponen acak perlakuan,

ωk = pengaruh waktu pengamatan ke-k,

αωkj = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A, jk = komponen acak waktu pengamatan,

ijk = komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan. l = nilai respon terhadap kelompok ke-l.

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan yaitu kontrol negatif (kitosan 0 %), kitosan 0,5 %, kitosan 1,0 %, kitosan 1,5 % dan

Yijk= µ + αi + l+ ijk+ ωk+αωkj+ jk +


(20)

kontrol positif (plester komersil). Selanjutnya plester dicobakan pada tikus percobaan dengan perbedaan perlakuan. Sampel dari masing-masing tikus percobaan diambil pada rentang waktu sebelum menggunakan penutup luka, jam ke-24 dan jam ke-48. Tikus dibuat luka sayat di daerah punggung yang diberikan anestesi lokal sebelumnya agar tidak menyakiti hewan coba, kemudian diberikan plester sesuai dengan konsentrasi dan perlakuannya.

Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA. Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak H0), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Analisis mutu kitosan menggunakan uji deskriptif untuk melihat pengaruh modifikasi kitosan menjadi chitoplast terhadap beberapa parameter yang diamati, berupa analisis proksimat dan derajat deasetilasi.


(21)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Tahapan penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui mutu kitosan komersil yang digunakan, antara lain meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, pengujian antibakteri kitosan, dan pengukuran derajat deasetilasi.

4.1.1 Identifikasi kitosan komersil

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil yang didapatkan dari CV Bioteksurindo, Cirebon. Hasil pengujian karakterisasi kitosan komersil dapat dilihat pada Tabel 2 yang menyajikan hasil pengujian mutu kitosan larut asam dengan standar mutu kitosan yang ada.

Tabel 2 Hasil karakterisasi kitosan komersil

Spesifikasi Hasil Uji Standar Kitosan*

Penampakan Bubuk putih Serpihan/Bubuk Putih Kadar air (%berat kering) 8,13 % ≤ 10 %

Kadar abu (%berat kering) 0,69 % ≤β % Kadar N (%berat kering) 2,27 % <5 % Derajat deasetilasi 73,45 % >70 % *Sumber: Protan Laboratories dalam Suptijah et al. (1992)

Kitosan dilarutkan dalam asam organik seperti asam asetat dengan konsentrasi 1,0 % (v/v). Menurut Ornum (1992), pelarut kitosan yang baik adalah asam format dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2-1,0 % dan 1,0-2,0 %. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1,0-2,0 % dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang et al. 2007). Kitosan larut dalam asam organik/mineral encer melalui protonasi gugus amino bebas (NH2  NH3+

) pada pH kurang dari 6,5.

Kelarutan kitosan menurun dengan bertambahnya berat molekul kitosan (Wiyarsi dan Priyambodo 2008). Kitosan merupakan polimer kationik dengan jumlah monomer sekitar 2.000-3.000 monomer, tidak toksik dengan tingkat LD50 sebesar 16 gr/kg berat badan, mempunyai bobot molekul sekitar 800 KDa (Janes dan Alonso 2003). Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen


(22)

dari kitosan (Tang et al. 2007). Kitosan komersil yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kitosan Komersil (Sumber : Science 2012)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa mutu kitosan komersil berupa penampakan bubuk putih sesuai dengan standar mutu kitosan pada umumnya. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai kadar air kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian telah sesuai dengan standar, yakni sebesar 8,13 %. Menurut Multazam (2002) dalam Rochima et al. (2004) kadar air kitosan dari cangkang udang adalah ≤10 %. Nilai persentase kadar air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan karena waktu penyimpanan dan kondisi lingkungan yang lembab. Faktor lingkungan yang lembab merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap nilai kandungan air dalam kitosan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kumar (2000) bahwa kitosan memiliki sifat yang mudah menyerap air.

Kadar abu kitosan larut asam yang diperoleh adalah sebesar 0,69 %. Nilai tersebut telah memenuhi syarat, dimana syarat untuk persentase kadar mineral menurut penelitian Suptijah et al. (1992) adalah kurang dari 2 %. Faktor yang mempengaruhi kadar abu adalah proses demineralisasi, pencucian dan kualitas air. Kadar abu yang yang tinggi menunjukkan kandungan mineral yang tinggi. Semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian kitosan tersebut semakin rendah. Proses pencucian yang baik hingga pH netral juga berpengaruh terhadap kadar abu (Angka dan Suhartono 2000). Selain itu air yang digunakan dalam proses penetralan sebaiknya tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin meningkat dan disarankan untuk menggunakan akuades/air yang telah dilakukan proses penghilangan mineral melalui destilasi (Suptijah 2006).


(23)

Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya. Menurut Abun (2006), kadar total nitrogen yang tersisa dalam deproteinasi dapat dijadikan sebagai indikator proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin tinggi suhu deasetilasi maka kadar nitrogen cenderung semakin kecil. Kadar nitrogen kitosan larut asam adalah 2,27 %. Kadar nitrogen ini sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kadar nitrogen ini menunjukkan tingkatan dari luasnya tingkat derajat deasetilasi dan nitrogen dalam kitosan sebagian besar terdapat dalam bentuk kelompok amino alifatik primer (Kumar 2000). Rincian data hasil karakterisasi kitosan komersil disajikan pada Lampiran 1.

4.1.2 Hasil pengujian antibakteri kitosan

Mengacu pada penelitian Wulandari (2010), konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) kitosan terhadap pertumbuhan bakteri target, yaitu E. coli dan S. aureus adalah sebesar 0,125 %. Berdasarkan penelitian tersebut maka penentuan konsentrasi kitosan sebagai bahan antibakteri kitosan dibagi menjadi beberapa perlakuan, yaitu 0,25 %, 0,50 %, 0,75 %, 1,0 % dan 1,5 % dengan control negatif (asam asetat 1,0 % atau kitosan 0 %) serta kontrol positif (zat aktif iodine 1,0 % pada plester komersil). Hasil pengujian aktivitas antibakteri pada beberapa konsentrasi larutan kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengujian antibakteri kitosan

Bakteri uji Zona Hambat (mm)

0,25% 0,5% 0,75% 1,0% 1,5% K(+)

Staphylococcus aureus 7 7 7 7 13 7

Bacillus fumilis 7 7 7 7 7 7

Escherichia coli 10 12 11 12 13 13

P. aeruginosa 7 10 7 12 13 15

Bakteri uji yang dipilih adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus Pseudomonas dan Bacillus fumilis. Bakteri yang digunakan merupakan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang biasanya terdapat pada luka, yaitu E. coli, S. aureus dan P. aeruginosa. Jenis bakteri ini merupakan bakteri yang umum ditemukan dalam luka terinfeksi (DePaola 1990 dan Yuherman 2001 dalam Marlina 2008).


(24)

Bakteri P. aeruginosa dan S. aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka ataupun melalui kontak udara atau kontak langsung dengan pasien yang beresiko tinggi terkena infeksi, sedangkan bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif dan dipilih karena berpeluang pada beberapa infeksi dibandingkan bakteri lainnya (Todar 2004 dalam Rostinawati 2009).

Hasil uji antibakteri dengan rentang konsentrasi kitosan 0,25 % sampai konsentasi 1,5 % menunjukan adanya aktivitas antibakteri kitosan melalui terbentuknya zona bening. Aktivitas antibakteri tersebut beragam tergantung jenis bakteri uji dan konsentrasi kitosan. Tabel 3 menunjukan bahwa kitosan memberikan penghambatan yang lebih besar pada bakteri E. coli, S. aureus dan P. aeruginosa sebesar 13 mm pada konsentrasi 1,5 %. Hasil ini berbeda dengan penelitian Jeon et al. (2001) dan Hong et al. (2002) yang menyatakan bahwa efek penghambatan umunya lebih besar pada bakteri gram positif dibandingkan gram negatif. Akan tetapi, menurut Meidina et al. (2006), aktivitas antibakteri pada kitosan berhubungan dengan kehidrofilikan dinding sel bakteri. Kitosan dapat menyerap lebih baik pada bakteri gram negatif dibandingkan dengan gram positif karena muatan negatif pada permukaan sel bakteri gram negatif lebih banyak dari pada gram positif. Muatan negatif dari kitosan yang didistribusikan secara signifikan menuju permukaan dinding sel bakteri gram negatif dan selanjutnya akan menghambat aktivitas bakteri yang diujikan.

Hasil pengujian antibakteri dari sampel kitosan terhadap biakan bakteri menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan belum tentu menghasilkan zona bening yang semakin luas. Hal ini berhubungan dengan kemampuan difusi larutan kitosan pada media biakan, karena semakin banyak kitosan yang diserap maka akan menghasilkan perubahan yang besar terhadap struktur dinding sel dan permeabilitas membran sel bakteri (Fajrina 2008). Selain itu konsentrasi kitosan juga memiliki batas optimum sebagai antibakteri.

Menurut Hong et al. (2002), perbedaan daya hambat yang diperoleh mungkin disebabkan oleh variasi kondisi penelitian, seperti metode, pH dan media. Todar (1997) mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri, antara lain zona hambat sebesar 2 cm atau lebih berarti sangat kuat, zona hambat 1,0-2,0 cm berarti kuat, zona hambat 0,5-1,0 cm berarti sedang dan zona hambat


(25)

0,5cm atau kurang berarti lemah. Berdasarkan uji aktivitas antibakteri, kitosan yang diuji memiliki daya hambat yang tergolong sedang sampai kuat karena memiliki diameter rata-rata 0,5-1,0 cm dan 1,0-2,0 cm.

Wang (1992) meneliti bahwa konsentrasi kitosan yang lebih tinggi (1-1,5 %) dapat menginaktivasi S. aureus setelah 2 hari di inkubasi dalam medium pada pH 5,5-6,5. Ia juga melaporkan bahwa pencegahan bakteri yang terbaik setelah 2 hari selama inkubasi dengan 0,5 % ataupun 1,0 % kitosan pada pH 5.5. Melalui tahapan penelitian pengujian aktivitas antibakteri, perlakuan konsentrasi kitosan yang terbaik dalam menghambat bakteri untuk dijadikan perlakuan dalam pengujian chitoplast dipilih dengan rentang konsentrasi kitosan 0,5-1,5 %.

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penting pada produk, karena pH dapat mempengaruhi daya absorpsi pada kulit. Hasil pengukuran pH terhadap konsentrasi kitosan yang digunakan dalam pembuatan chitoplast dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengujian tingkat keasaman larutan kitosan Konsentrasi kitosan Nilai pH

Kitosan 0,50 % 4,50

Kitosan 1,0 % 4,72

Kitosan 1,5 % 5,86

Hasil pengujian terhadap pH larutan kitosan menunjukkan bahwa larutan kitosan cenderung memiliki pH asam. Hal ini karena bahan dasar penyusun kitosan bersifat asam karena dilarutkan menggunakan asam asetat. Menurut Purwatiningsih et al. (2009), kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organic pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Selain itu, keberadaan perbedaan derajat deasetilasi kitosan dapat menyebabkan hasil penelitian yang berbeda (Shahidi et al 1999).

4.1.3 Hasil analisis FTIR (fourier transform infrared)

Spektrum inframerah digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan yang digunakan, mengetahui gugus fungsi kitosan. Derajat deasetilasi adalah penghilangan gugus asetil (COCH3) yang terdapat pada kitin. Kitin yang mengalami proses deasetilasi disebut kitosan. Derajat deasetilasi dari kitosan


(26)

menentukan banyaknya gugus asetil yang telah hilang selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan (Muzzarelli dan Peter 1997 dalam Kencana 2009). Hasil analisis FTIR dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Spektrum FTIR kitosan

Gambar 6 menunjukan nilai Derajat deasetilasi (DD) kitosan yang dihasilkan sebesar 73,45 % (Lampiran 3). Hal ini menandakan bahwa kitosan yang digunakan sudah cukup optimal berdasarkan nilai derajat deasetilasi kitosan standar, yakni >70 %, karena menurut Muzarelli dan Peter (1997) kitin dengan nilai derajat deasetilasi lebih dari 70 % dapat dikatakan sebagai kitosan. Selain itu terlihat juga dari hasil deteksi FTIR yang dibandingkan dengan standar menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan terhadap gugus fungsi kitosan pada umumnya, yaitu gugus OH, CH, NH, amida dan karbonil. Kitosan yang dihasilkan identik dengan kitosan standar dengan sedikit pergeseran bilangan gelombang dapat disebabkan sedikit perbedaan kadar air dan kondisi lingkungan pengujian yang berbeda.

Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik kitosan dan akan mempengaruhi penggunaannya. Semakin tinggi derajat deasetilasinya semakin tinggi kemurniannya artinya kitin dan kitosan sudah murni dari pengotornya yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan


(27)

yang disertai kelarutannya yang sempurna dalam konsentrasi asam asetat 1,0 % (Suptijah 2004).

Menurut Suptijah (2006) untuk menghasilkan kitosan dengan nilai DD (derajat deasetilasi) sebesar 84 % dibutuhkan pemanasan pada suhu 130 °C selama 4 jam atau suhu 120 °C selama 6–7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat.

4.2 Penelitian Utama

Tahap penelitian utama yakni tahap pengujian efektivitas transdermal patch chitoplast antibakteri yang selanjutnya dilakukan pengujian pengaruh konsentrasi kitosan dalam chitoplast. Waktu pengambilan sampel dilakukan saat sebelum menggunakan plester, jam ke-24 dan jam ke-48. Pengamatan terhadap pengaruh kitosan dalam chitoplast dilakukan secara objektif berupa total plate count (TPC) dan derajat infeksi pada luka.

4.2.1 Efektivitas chitoplast sebagai transdermal patch antibakteri

Transdermal adalah salah satu rute untuk penghantaran obat dan salah satu bentuk sediaan transdermal adalah patch (potongan). Sediaan patch ada dua tipe yaitu patch tipe membran dan patch tipe matriks. Efektivitas suatu sediaan farmasi ditentukan oleh jumlah obat yang terlepas dari pembawa dan selanjutnya terpenetrasi. Jumlah obat yang terlepas dari sediaan patch tipe membran ditentukan oleh reservoir dan polimer yang berfungsi sebagai membran pengontrol pelepasan, sedangkan sediaan tipe matriks ditentukan oleh komposisi matriks pembentuknya (Hendradi et al. 2010).

Plester yang dimodifikasi dengan kitosan dalam bentuk penyerapan larutan kitosan menggunakan larutan kitosan sebanyak 8 tetes (konversi 4 mg/ml). Menurut Summit (1983), beberapa derajat kelarutan jenis zat dianggap penting dalam absorpsi perkutan, yaitu absorpsi suatu zat dari luar kulit ke posisi bawah kulit yang masuk ke dalam aliran darah. Hal ini ditunjukan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan koefisien partisi yang mempengaruhi jumlah kelarutan zat dalam minyak mineral dan air sebanyak >1mg/ml sehingga dapat meresap ke dalam kulit. Dengan demikian, melalui hasil konversi jumlah tetesan


(28)

kitosan tersebut diharapkan kitosan sudah cukup optimal dalam mempercepat proses penyerapan dan penyembuhan luka.

Sistem penyampaian obat secara transdermal telah dikembangkan untuk menyajikan pemberian obat dalam keadaan steady state selama 72 jam (3 hari). Penelitian ini menggunakan perlakuan selama 24 jam dan 48 jam dilatarbelakangi oleh analisis pengujian bakteri yang dapat dihambat selama 2 hari. Wang (1992) meneliti bahwa konsentrasi kitosan yang lebih tinggi (1,0-1,5 %) dapat menginaktivasi bakteri S. aureus setelah 2 hari di inkubasi dalam medium pada pH 5,5-6,5.

Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan jenis plester komersil lainnya yang menggunakan salah satu bahan kimia seperti pavidone iodine. Pada pengujian antibakteri pada kontrol positif, sampel yang digunakan menggunakan zat aktif pavidone iodine yang merupakan zat aktif murni yang umum digunakan sebagai zat aktif obat pada salah satu plester komersil. Povidone iodine merupakan salah satu pengobatan luka secara kimiawi yang sering kali digunakan dalam penyembuhan luka. Pavidone iodine memiliki efek antimikroba yang dapat menciptakan lingkungan lembab dan dapat menginduksi angiogenesis. Obat ini juga dilaporkan dapat mencegah inflamasi, namun pavidone iodine 10 % dikatakan pula memiliki efek menghambat pertumbuhan fibroblast pada percobaan kultur in vitro(Ballin et al 2002 dalam Atik dan Januarsih 2009).

Pavidone iodine memiliki keuntungan dapat mempercepat proses reepitelisasi dan dapat memberikan suasana lembab pada luka sayat, namun bila dibandingkan dengan menggunakan kitosan, kitosan dapat menstimulir pembentukan jaringan baru pada bagian luka tanpa suasana yang lembab pada bagian kasa setelah melalui proses pengeringan. Pillai et al. (2009) menuturkan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai pembentuk fibroblast dalam aplikasi sebagai bahan benang, bahan penutup dan substrat yang bersifat biodegradable untuk pertumbuhan epitel kulit manusia dari hasil penelitian yang dilaporkan. Beberapa jenis plester komersil juga masih menggunakan bahan kimia tambahan seperti zat silver yang akan berpengaruh pada sebagian kulit yang sensitif terhadap alergi zat silver.


(29)

Penyembuhan luka yang normal merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, tetapi mempunyai suatu pola yang dapat diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase pokok, yaitu homeostasis dan inflamasi, proliferasi, maturasi dan remodeling. Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1) sel inflamatori dari jaringan sekeliling akan berpindah ke arah tempat luka, 2) fibroblast kelihatan dan mulai menghasilkan serat penghubung kolagen yang memberi tensile strength ke jaringan yang dihasilkan dan 3) secara serentak, kapiler-kapiler mulai terbentuk menyediakan tempat dengan nutrient dan oksigen serta sel epithelial pada ujung dari luka mulai terisi pada daerah di bawah luka sehingga epithelium terbentuk dan luka dapat disembuhkan (Wikesman et al. 2007 dalam Atik dan Januarsih 2009).

4.2.2 Uji total plate count (TPC) pada hewan coba

Kitosan memiliki kemampuan sebagai zat antibakteri karena memiliki sifat mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini disampaikan oleh Simpson (1997) bahwa kemampuan kitosan dalam menghambat ataupun membunuh bakteri dengan mekanisme terjadinya lisis pada membran sel bakteri. Chitoplast berbahan zat antibakteri kitosan dengan berbagai konsentrasi diaplikasikan secara in vivo dengan cara dilekatkan pada 10 ekor tikus percobaan yang digunakan dan 2 tikus percobaan lainnya sebagai hewan coba tanpa menggunakan penutup luka. Selang pengambilan sampel dilakukan dengan perlakuan tanpa penutup luka dan perlakuan konsentrasi kitosan pada jam ke-24 dan jam ke-48.

Jumlah bakteri pada luka sayat yang diberikan dapat diketahui dengan menggunakan analisis TPC. Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah koloni bakteri per jumlah pengencerannya (Fardiaz 1992). Perhitungan nilai TPC dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4.

Hasil analisis ragam terhadap kandungan nilai TPC berdasarkan perbedaan waktu selama 24 dan 48 jam selama pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan waktu dalam 24 dan 48 jam tidak memberikan pengaruh berbeda nyata, karena


(30)

(p<0,05) terhadap kandungan nilai TPC yang dihasilkan pada setiap taraf pengambilan sampel dan konsentrasi chitoplast yang diujikan. Hal ini diduga karena konsentrasi kitosan masih memiliki kondisi dan kemampuan yang sama dalam menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam selang waktu 24 dan 48 jam. Hasil analisis TPC pada luka sayat tikus disajikan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan: Huruf (a,b) pada diagram batang menunjukan perbedaan interaksi pada setiap taraf konsentrasi yang memberikan pengaruh terhadap nilai TPC luka sayat pada tikus percobaan kontrol negatif; kontrol positif; kitosan 0,5 %; kitosan 1,0 %

kitosan 1,5 % ; tanpa penutup luka

Gambar 7. Nilai rata-rata TPC pada setiap taraf interaksi konsentrasi dan waktu pengambilan sampel

Hasil analisis ragam terhadap interaksi antara konsentrasi kitosan dalam chitoplast dengan waktu pengambilan sampel (Lampiran 2a) menghasilkan data pengaruh yang berbeda. Hasil perbedaan konsentrasi dalam chitoplast memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC pada luka yang diujikan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 2b) menunjukan hambatan bakteri yang terjadi dari perlakuan tanpa adanya penutup luka dan perbandingan antara kontrol negatif serta kontrol positif dibandingkan dengan perlakuan beberapa konsentrasi kitosan (0,5 %; 1,0 %; dan 1,5 %) membuktikan bahwa perbedaan konsentrasi kitosan dalam chitoplast memberikan pengaruh yang nyata. Hambatan bakteri terbaik terdapat pada perlakuan jam ke-24 dihasilkan dari penutupan luka dengan chitoplast 1,5 % yang mampu menghambat bakteri sebesar 99,74 % atau mampu menghambat dari 6,00 x 105 hingga 1,59 x 103 koloni bakteri persampel, sedangkan untuk hasil hambatan bakteri terkecil dihasilkan dari penutupan luka dengan kontrol negatif yang mampu menghambat


(31)

bakteri sebesar 88,58 % atau mampu menghambat bakteri dari 6,00x105 hingga sebesar 6,85x104 koloni bakteri. Beda hal nya dengan hambatan bakteri yang dihasilkan oleh kontrol positif, yang hanya bisa mengahambat bakteri sebesar 94,4 %, yakni mengahambat bakteri hingga sebesar 3,36x104 koloni. Sementara untuk chitoplast dengan konsentrasi 0,5 % dan 1,0 % secara berturut turut hanya mampu menghambat bakteri sebesar 97,3 % dan 96,02 % pada perlakuan waktu dalam 24 jam.

Hambatan bakteri terbaik pada perlakuan jam ke-48 juga dihasilkan dari penutupan luka dengan chitoplast 1,5 % yang mampu menghambat bakteri sebesar 96,01% atau mampu menghambat dari 7,35x104 menjadi 2,93x103 koloni bakteri persampel, sedangkan untuk hasil hambatan bakteri terkecil dihasilkan dari penutupan luka dengan kontrol positif yang mampu menghambat bakteri sebesar 8,03 % atau mampu menghambat bakteri dari 7,35x105 hingga 6,76x104 koloni bakteri dan tidak berbeda signifikan denga kitosan 1,0 % yang mampu menghambat koloni bakteri dari 7,35x105 hingga sebesar 6,75x104 koloni bakteri . Sementara untuk chitoplast 0,5 % menghasilkan jumlah bakteri yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa penutup pada perlakuan waktu dalam 48 jam. Adanya penurunan jumlah persentase pada kontrol positif dapat disebabkan oleh zat kimia yang terkandung pada plester komersil yang digunakan karena berada pada kondisi kelembaban yang cukup tinggi.

Pada jam ke-48 hasil yang didapatkan dari semua perlakuan penutupan luka tidak berbeda jauh secara signifikan terhadap jumlah bakteri dibandingkan pada saat jam ke-24. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 2b) menunjukan bahwa chitoplast dengan konsentrasi 1,5 % memiliki hambatan yang berbeda nyata (p<0,05) serta menghasilkan hambatan bakteri yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perbedaan daya hambat bakteri yang terjadi pada setiap taraf konsentasi chitoplast mendukung pernyataan Liu (2003), yang menjelaskan bahwa aktivitas antibakteri tergantung pada konsentrasi kitosan dalam larutan. Aktivitas antibakteri dari kitosan dalam medium akan meningkat jika konsentrasi kitosan meningkat.

Menurut Rafaat et al. (2008), interaksi awal antara polikationik kitosan dan polimer dinding sel yang bermuatan negatif dipengaruhi oleh interaksi


(32)

elektrostatis dan asam teikoat. Akibatnya, pengikatan kitosan pada polimer dinding sel memicu terjadinya efek seluler kedua, yaitu destabilisasi dan perusakan fungsi membran bakteri sehingga mengganggu fungsi membran sebagai pelindung dan mengakibatkan pergerakan substansi bakteri terhambat. 4.2.3 Derajat infeksi luka

Semakin banyak bakteri yang mengkontaminasi luka maka semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi luka. Apabila terdapat lebih dari 105 bakteri jaringan kulit maka akan terjadi infeksi. Tidak semua bakteri mempunyai potensi yang sama untuk menyebabkan infeksi klinis. Strain tertentu membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi untuk menimbulkan infeksi, sedangkan strain yang lainnya hanya membutuhkan konsentrasi minimal untuk menyebabkan infeksi (Fry 2002). Data derajat infeksi luka digunakan untuk mengetahui indicator tingkat infeksi pada luka yang diamati oleh peneliti dan konsultan. Hasil pengamatan data hasil uji beda pengamatan dengan uji statitistik non parametrik Kruskall Wallis dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Data derajat infeksi luka

Sampel Pengamat Infeksi

Hasil Jam Ke-24 Peneliti Konsultan

(Kontrol Negatif) 1 1 Sama

(Kontrol Positif) 1 0 Beda

(0,5 %) 0 0 Sama

(1,0 %) 0 0 Sama

(1,5 %) 0 0 Sama

Jam Ke-48

(Kontrol Negatif) 0 0 Sama

(Kontrol Positif) 0 0 Sama

(0,5 %) 0 0 Sama

(1,0 %) 0 0 Sama

(1,5 %) 0 0 Sama

Hasil uji tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada derajat infeksi keseluruhan sampel percobaan (p=0,144; p >0,05) (Lampiran 5). Derajat infeksi menurut Hulton et al. (1994) dalam Henry (2007) yang diperoleh dari hasil keseluruhan sampel penelitian selama selang waktu 24 jam dan 48 jam mempunyai nilai derajat 0, sedangkan pada perlakuan


(33)

kontrol negatif menunjukan derajat 1. Hasil pengamatan luka pada tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 8.

Selang Waktu 24 Jam

Kontrol Negatif Kontrol Positif Kitosan 0,5 %

Kitosan 1,0 % Kitosan 1,5 % Tanpa Penutup Selang Waktu 48 Jam

Kontrol Negatif Kontrol Positif Kitosan 0,5 %

Kitosan 1,0 % Kitosan 1,5 % Tanpa Penutup Gambar 8. Hasil pengamatan luka sayat pada tikus percobaan

Hasil ini menunjukan adanya perbedaan hasil pengamatan secara visual terhadap luka sayat setelah mendapatkan perlakuan Chitoplast. Kedalaman luka sayat pada keseluruhan tikus percobaan adalah sekitar 0,2 mm dengan panjang luka sayatan sebesar 1 cm. Adanya perbedaan visual derajat infeksi pada kontrol negatif (jam ke-24) terlihat dari kulit yang berwarna kemerahan di sekitar luka akibat proses inflamasi bakteri.


(34)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1) Kitosan yang diuji memiliki daya hambat yang tergolong kuat, yakni sebesar 13 mm terhadap bakteri S. aureus, P.aeruginosa dan E. coli pada Chitoplast dengan konsentrasi 1,5 %.

2) Perbedaan waktu pengambilan sampel (24 jam dan 48 jam) dalam penelitian ini diketahui tidak memiliki pengaruh berbeda nyata (p>0,05), sedangkan untuk jumlah TPC pada luka sayat untuk tikus percobaan dengan kontrol negatif, chitoplast 0,5 %; 1,0 %; dan 1,5 %, dan kontrol positif (plester komersil) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TPC pada luka (p<0,05). Chitoplast dengan konsentrasi 1,5 % memiliki nilai penurunan nilai TPC terbaik sebesar 99,74 % pda jam ke-24 dibandingkan dengan hasil penutupan luka dengan plester komersil dan perlakuan lainnya.

5.2 Saran

1) Perlu optimalisasi pembuatan plester Chitoplast untuk menghasilkan chitosan drug release yang baik sebagai obat transdermal.

2) Perlu adanya perbaikan modifikasi perekat (adhesive plester) chitoplast 3) Perlu dilakukan penelitian modifikasi bahan dan ukuran chitoplast dalam


(35)

MODIFIKASI

KITOSAN PADA APLIKASI PLESTER LUKA

BERBASIS KITOSAN (

CHITOPLAST

) SEBAGAI

TRANSDERMAL PATCH

ANTIBAKTERI

HILDA RAFIKA WATY

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(36)

RINGKASAN

HILDA RAFIKA WATY C34080004. Modifikasi Kitosan pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai Transdermal Patch Antibakteri. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan SUGENG HERI SUSENO.

Semakin meningkatnya dampak negatif pada kesehatan manusia akibat aktivitas bakteri patogen, telah mendorong banyak pihak dalam mencari alternatif untuk mengurangi kondisi yang menyebabkan penyakit. Sampai saat ini beberapa jenis bahan penutup dan penyembuh luka banyak yang telah beredar, namun demikian masih ada yang menimbulkan efek samping dalam penggunaannya, diantaranya sebagian besar bahan alternatif tersebut masih menggunakan bahan atau zat kimia yang memiliki efek samping terhadap kulit yang sensitif, dapat menyebabkan alergi dan iritasi di sekitar kulit, timbul bintik-bintik merah yang bergelembung berisi air. dapat menyebabkan gatal–gatal, bahkan menimbulkan bekas hitam yang sulit hilangnya (NHF 2008). Salah satu jenis penyakit yang diakibatkan oleh bakteri patogen dan mendominasi di masyarakat adalah masalah infeksi akibat proses penutupan luka yang kurang efektif. Hasil survey National Research Council (NRC) USA menunjukan bahwa resiko terjadinya infeksi kulit pada operasi bersih terkontaminasi secara keseluruhan adalah sebesar 7-20 % (Henry 2007).

Melihat permasalahan tersebut diperlukan alternatif zat antibakteri yang alami serta aman dalam aplikasinya. Salah satu zat anti bakteri tersebut adalah kitosan. Suatu terobosan yang dilakukan adalah dengan memodifikasi kitosan pada pembuatan plester (transdermal patch) antibakteri sehingga diperoleh efektivitas tanpa efek samping serta pengaplikasian kitosan dapat dioptimalkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efektivitas dan konsentrasi terbaik pada pengujian antibakteri kitosan dan membandingkan kemampuan antibakteri chitoplast berbasis kitosan dengan plester komersil.

Kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari CV Bioteksurindo, Cirebon. Kitosan komersil yang digunakan mengandung air sebesar 8,13 %, nitrogen sebesar 2,27 %, abu sebesar 0,69 %, dan derajat deasetilasi sebesar 73,45 %.

Perbedaan selang waktu pengambilan sampel (24 jam dan 48 jam) diketahui tidak memiliki pengaruh yang nyata (p>0,05). Berbeda halnya dengan jumlah TPC pada luka sayat tikus percobaan yang menggunakan penutup luka dengan chitoplast 0 % (kontrol negatif), 0,5 %; 1,0 %; 1,5 %, dan kontrol positif (plester pembanding) yang diketahui memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai TPC pada luka sayat (p<0,05). Chitoplast dengan konsentrasi 1,5 % memberikan pengaruh yang berbeda nyata dan memiliki efektivitas penurunan nilai TPC terbaik dibandingkan dengan kontrol posistif, sedangkan kitosan dengan konsentrasi 1,0 % diketahui memiliki efektivitas penurunan TPC yang tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol positif.


(37)

MODIFIKASI

KITOSAN PADA APLIKASI PLESTER LUKA

BERBASIS KITOSAN (

CHITOPLAST

) SEBAGAI

TRANSDERMAL PATCH

ANTIBAKTERI

HILDA RAFIKA WATY

C34080004

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(38)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Modifikasi Kitosan pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai

Transdermal Patch Antibakteri” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi

lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali bahan sebagai rujukan yang dinyatakan dalam naskah.

Bogor, Juni 2012

Hilda Rafika Waty C34080004


(39)

Judul : Modifikasi Kitosan Pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai Transdermal Patch

Antibakteri

Nama : Hilda Rafika Waty

NIM : C34080004

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Pipih Suptijah, MBA Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si NIP.19531020 198503 2 001 NIP. 19730116 199903 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil. NIP. 19580511 198503 1 002


(40)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di wilayah Cakung Timur, Jakarta Timur pada tanggal 17 September 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan ayah bernama Imam Hambaly Zulkarnaen dan ibu bernama Siti Nur Zalfah.

Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Bina Cempaka, Cakung Jakarta pada periode 1995-1996 dan melanjutkan sekolah di SDN Cakung Timur 04 Pagi pada tahun 1996 hingga tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di MTs Negeri 20 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di MAN 8 Jakarta pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.

Penulis diterima sebagai Mahasiswi pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi dalam Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara periode 2009 (d’Amora), δembaga Pengajaran Al Qur’an periode β009 dan β010, serta anggota Forcess tahun 2009 pada masa Tingkat Persiapan Bersama. Selanjutnya penulis aktif sebagai Staf Komisi Advokasi (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada periode 2009-2010 dan melanjutkan pada periode 2010-2011 menjadi staf Komisi Kontroling, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selain itu, penulis juga aktif sebagai Sekretaris Badan Pekerja Hubungan Kelembagaan MPM KM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa) IPB tahun 2009-2010 dan aktif sebagai Reporter Majalah Emulsi Pangan dan Gizi pada Periode 2010-2011 serta staf Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (DPM KM IPB) Periode 2011-2012.

Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, di antaranya Ekologi Perairan (2010), Mikrobiologi Hasil Perairan (2011), Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan (2011), dan Teknologi Pengembangan Kitin dan Kitosan (2011). Tahun 2009 penulis pernah menjadi Kafilah MTQ Mahasiswa Nasional IPB di Releut, Aceh Utara dan selanjutnya


(41)

menjadi kafilah MTQ Mahasiswa Nasional IPB di Makassar pada tahun 2011. Tahun 2012, penulis juga pernah menjadi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa IPB (PIM IPB) pada lomba Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang didanai oleh Ditjen Dikti KPN.

Tahun 2011, penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) dengan judul laporan Good Manufacturing Practices (GMP) Pembekuan Paha Kodok (Rana sp.) PT Oriens Prima Lestari Cirebon”. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Modifikasi Kitosan pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai


(42)

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT, atas karunia-Nya yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Modifikasi Kitosan pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai Transdermal PatchAntibakteri”.. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dr. Pipih Suptijah MBA dan Bapak Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol sebagai Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak memberikan bantuan dan saran kepada penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen pembimbing akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan juga selaku doseng penguji yang telah memberikan saran kepada penulis.

5. Staf dosen dan staf Tata Usaha Departemen THP yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi penelitian ini.

6. Keluarga, terutama Bapak dan Ummi yang selalu memberikan doa, semangat dan cinta kepada penulis.

7. Sahabat-sahabatku tercinta; Iis, Nia, Erna, Intan, Hana, Putu, Aulia (Tachul), Fitri, Steven, Andi, Fitry, Icha, Nona, Resa, Esa, Ukon, Emen, Abbas, Raudhoh, Neng Tanty, Aksar yang telah banyak memberikan banyak bantuan, semangat serta doanya kepada penulis.

8. Bu Ema, Mbak Dini dan Mba Lastri yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan penelitian selama di laboratorium.


(43)

9. Kak Ilman F dan keluarga, Kak H. Humaidi A and Tong-tong group, Kak Zahid, Kak Anis, Kak Reza Z, Kak Isnan yang telah memberikan bantuan, pencerahan, dukungan dan terus mengingatkan dalam tahap penyelesaian skripsi.

10.Chae, Mega, Ratna, Santi, Mba Yeni dan Raihana kost’ers, Tika Indriyani, Iffah, EεUδSI’ers, δPQ’ers, DPε C’ers, DPε Kε’ers IPB (BS Intan, Ana, Yuldev, Miftah, Dania, dkk), dan segenap aktivis BEM C dan BEM KM IPB yang telah banyak memberi semangat, doa, perhatian dan motivasi pada penulis.

11.Teman-teman THP 41, 42, 43, 44, 45 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan semangatnya dalam penyelesaikan skripsi ini. 12.Adik-adikku tercinta Nur aziezah Hapsari, Yucha, Rahmad, Hari, serta

semua adik-adik THP 46 dan THP 47 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dalam penyelesaikan skripsi ini.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2012


(44)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... x DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN ... xiii 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan ... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Kitosan ... 3 2.2 Sumber dan Mutu Kitosan ... 3 2.3 Sifat-sifat Kitosan Sebagai Zat Antibakteri ... 5 2.4 Jenis-jenis Penutup Luka (Transdermal Patch) dan Aplikasi Kitosan ... 6 2.5 Jenis-jenis Bakteri yang Berpeluang pada Luka ... 8 2.6 Biologi Tikus Putih... 8 3 METODOLOGI ... 10 3.1 Waktu dan Tempat ... 10 3.2 Bahan dan Alat ... 10 3.3 Prosedur Kerja ... 11 3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 11 3.3.2 Penelitian utama ... 11 3.3.2 Formulasi chitoplast yang diujikan pada tikus percobaan ... 13 3.4 Analisis Sampel Penelitian ... 13 3.4.1 Analisis kadar air ... 13 3.4.2 Analisis kadar abu ... 14 3.4.3 Analisis kadar nitrogen ... 14 3.4.4 Analisis pengukuran derajat deasetilasi ... 15 3.4.5 Analisis pengujian antibakteri kitosan ... 16 3.4.6 Uji total plate count (TPC) ... 18 3.4.7 Analisis derajat infeksi luka... 18 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21 4.1 Penelitian Pendahuluan ... 21 4.1.1 Identifikasi kitosan komersil ... 21 4.1.2 Hasil pengujian antibakteri kitosan ... 23


(1)

c. Kadar protein

Sampel Ulangan bobot sampel (g)

V HCl

(mL) % N

rata-rata (%N) Kitosan

Komersil

1 1,00 1,85 2,6249

2,27%

2 1,00 1,35 1,9155

Keterangan :

V blanko = 0 mL FP = 10 Mr HCl = 14,007 N HCl = 0,1013

% N ulangan 1 = (V HCl - V blanko) x N HCl x FP x Mr HCl x 100% mg contoh

= (1,85 - 0) x 0,1013 x 10 x 14,007 x 100% 1,00 x 103

= 2,6249 %

% N ulangan 2 = (V HCl - V blanko) x N HCl x FP x Mr HCl x 100% mg contoh

= (1,35 - 0) x 0,1013 x 10 x 14,007 x 100% 1,00 x 103


(2)

Lampiran 2a. Analisis ragam analisa TPC bakteri pada penutup luka

chitoplast

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: LogTPC

Source

Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig,

Corrected

Model 4,706(a) 6 ,784 10,160 ,011

Intercept

255,348 1 255,348 3307,31

3 ,000

Waktu ,002 1 ,002 ,026 ,878

Perlakuan 4,704 5 ,941 12,187 ,008

Error ,386 5 ,077

Total 260,440 12

Corrected

Total 5,092 11

a R Squared = ,924 (Adjusted R Squared = ,833)

Lampiran 2b. Uji Lanjut duncan interaksi konsentrasi dan waktu LogTPC

Perlak

uan N Subset

1 2 1

Duncan(a,b) 1,5% 2 3,3175

1,0% 2 45950

KP 2 4,6650

KN 2 4,7275

TP 2 5,1700

0,5% 2 5,2025

Sig, 1,000 ,090

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,077. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.


(3)

Multiple Comparisons Dependent Variable: LogTPC

(I) Perlakuan

(J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std, Error Sig,

95 % Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound

Lower Bound

Upper Bound

Lower Bound

LSD KN KP ,0625 ,27786 ,831 -,6518 ,7768

0,5 % -,4750 ,27786 ,148 -1,1893 ,2393

1,0 % ,1325 ,27786 ,654 -,5818 ,8468

1,5 % 1,4100(*) ,27786 ,004 ,6957 2,1243

TP -,4425 ,27786 ,172 -1,1568 ,2718

KP KN -,0625 ,27786 ,831 -,7768 ,6518

0,5 % -,5375 ,27786 ,111 -1,2518 ,1768

1,0 % ,0700 ,27786 ,811 -,6443 ,7843

1,5 % 1,3475(*) ,27786 ,005 ,6332 2,0618

TP -,5050 ,27786 ,129 -1,2193 ,2093

0,5% KN ,4750 ,27786 ,148 -,2393 1,1893

KP ,5375 ,27786 ,111 -,1768 1,2518

1,0 % ,6075 ,27786 ,080 -,1068 1,3218

1,5 % 1,8850(*) ,27786 ,001 1,1707 2,5993

TP ,0325 ,27786 ,911 -,6818 ,7468

1,0% KN -,1325 ,27786 ,654 -,8468 ,5818

KP -,0700 ,27786 ,811 -,7843 ,6443

0,5 % -,6075 ,27786 ,080 -1,3218 ,1068

1,5 % 1,2775(*) ,27786 ,006 ,5632 1,9918

TP -,5750 ,27786 ,093 -1,2893 ,1393

1,5% KN -1,4100(*) ,27786 ,004 -2,1243 -,6957

KP -1,3475(*) ,27786 ,005 -2,0618 -,6332

0,5 % -1,8850(*) ,27786 ,001 -2,5993 -1,1707

1,0 % -1,2775(*) ,27786 ,006 -1,9918 -,5632

TP -1,8525(*) ,27786 ,001 -2,5668 -1,1382

TP KN ,4425 ,27786 ,172 -,2718 1,1568

KP ,5050 ,27786 ,129 -,2093 1,2193

0,5 % -,0325 ,27786 ,911 -,7468 ,6818

1,0 % ,5750 ,27786 ,093 -,1393 1,2893

1,5 % 1,8525(*) ,27786 ,001 1,1382 2,5668

Based on observed means.


(4)

Lampiran 3. Data hasil perhitungan DD (derajat deasetilasi) DD = [1 - ( x ( ) ] x 100%

A

3455 = A

1655 =

DD = [1 -[ ( x ( ) ] ] x 100% [1 -[0,353 x 0,752] ] x 100% [1– 0,2654] x 100%

[0,7345] x 100% DD = 73,45 %

Lampiran 4. Data hasil analisis TPC (Total Plate Count) Waktu Pengambilan

Sampel

TPC pada luka sayat Kontrol

Negatif 0,5 1 1,5

Kontrol Positif

Tanpa Penutup Jam Ke-24 6,85x104 1,62x104 2,39x104 1,59x103 3,36x104 6,00x105 Jam ke-48 4,20x104 1,64x105 6,75x10⁴ 2,93x103 6,76x104 7,35x104


(5)

Lampiran 5. Analisis ragam derajat infeksi luka tikus percobaan dengan

chitoplast

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: derajatinfeksi

Source

Type III Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig,

Corrected

Model 1,700(a) 5 ,340 3,400 ,130

Intercept ,900 1 ,900 9,000 ,040

Kode 1,600 4 ,400 4,000 ,104

Waktu ,100 1 ,100 1,000 ,374

Error ,400 4 ,100

Total 3,000 10

Corrected

Total 2,100 9

a R Squared = ,901 (Adjusted R Squared = ,571) derajat infeksi

Kode N Subset

1 2 1

Duncan(a,b) 0,5

% 2 ,00

1 % 2 ,00

1,5

% 2 ,00

Kp 2 ,50 ,50

KN 2 1,00

Sig, ,194 ,189

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,100. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.

Test Statistics(a,b)

derajatinfeksi

Chi-Square 6,857

Df 4

Asymp.

Sig ,144

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Kode


(6)

RINGKASAN

HILDA RAFIKA WATY C34080004. Modifikasi Kitosan pada Aplikasi Plester Luka Berbasis Kitosan (Chitoplast) sebagai Transdermal Patch Antibakteri. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan SUGENG HERI SUSENO.

Semakin meningkatnya dampak negatif pada kesehatan manusia akibat aktivitas bakteri patogen, telah mendorong banyak pihak dalam mencari alternatif untuk mengurangi kondisi yang menyebabkan penyakit. Sampai saat ini beberapa jenis bahan penutup dan penyembuh luka banyak yang telah beredar, namun demikian masih ada yang menimbulkan efek samping dalam penggunaannya, diantaranya sebagian besar bahan alternatif tersebut masih menggunakan bahan atau zat kimia yang memiliki efek samping terhadap kulit yang sensitif, dapat menyebabkan alergi dan iritasi di sekitar kulit, timbul bintik-bintik merah yang bergelembung berisi air. dapat menyebabkan gatal–gatal, bahkan menimbulkan bekas hitam yang sulit hilangnya (NHF 2008). Salah satu jenis penyakit yang diakibatkan oleh bakteri patogen dan mendominasi di masyarakat adalah masalah infeksi akibat proses penutupan luka yang kurang efektif. Hasil survey National Research Council (NRC) USA menunjukan bahwa resiko terjadinya infeksi kulit pada operasi bersih terkontaminasi secara keseluruhan adalah sebesar 7-20 % (Henry 2007).

Melihat permasalahan tersebut diperlukan alternatif zat antibakteri yang alami serta aman dalam aplikasinya. Salah satu zat anti bakteri tersebut adalah kitosan. Suatu terobosan yang dilakukan adalah dengan memodifikasi kitosan pada pembuatan plester (transdermal patch) antibakteri sehingga diperoleh efektivitas tanpa efek samping serta pengaplikasian kitosan dapat dioptimalkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efektivitas dan konsentrasi terbaik pada pengujian antibakteri kitosan dan membandingkan kemampuan antibakteri chitoplast berbasis kitosan dengan plester komersil.

Kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari CV Bioteksurindo, Cirebon. Kitosan komersil yang digunakan mengandung air sebesar 8,13 %, nitrogen sebesar 2,27 %, abu sebesar 0,69 %, dan derajat deasetilasi sebesar 73,45 %.

Perbedaan selang waktu pengambilan sampel (24 jam dan 48 jam) diketahui tidak memiliki pengaruh yang nyata (p>0,05). Berbeda halnya dengan jumlah TPC pada luka sayat tikus percobaan yang menggunakan penutup luka dengan chitoplast 0 % (kontrol negatif), 0,5 %; 1,0 %; 1,5 %, dan kontrol positif (plester pembanding) yang diketahui memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai TPC pada luka sayat (p<0,05). Chitoplast dengan konsentrasi 1,5 % memberikan pengaruh yang berbeda nyata dan memiliki efektivitas penurunan nilai TPC terbaik dibandingkan dengan kontrol posistif, sedangkan kitosan dengan konsentrasi 1,0 % diketahui memiliki efektivitas penurunan TPC yang tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol positif.